Kenapa bisa ilmu mantiq di sebut hewan berpikir

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Siapakah manusia? Dari mana asalnya? Di mana kedudukan dan fungsi manusia? Lalu apa tujuan manusia? Beberapa pertanyaan itu tidak akan usang dipertanyakan sepanjang jaman apabila membahas topik manusia.

Dalam ilmu mantiq [logika] manusia disebut sebagai Al-Insanu hayawanun nathiq [manusia adalah binatang yang berfikir]. Nathiq sama dengan berkata-kata dan mengeluarkan pendapatnya berdasarkan pikirannya. Sebagai binatang yang berpikir manusia berbeda dengan hewan. Walau pada dasarnya fungsi tubuh dan fisiologis manusia tidak berbeda dengan hewan, namun hewan lebih mengandalkan fungsi-fungsi kebinatangannya, yaitu naluri, pola-pola tingkah laku yang khas, yang pada gilirannya fungsi kebinatangan juga ditentukan oleh struktur susunan syaraf bawaan. Semakin tinggi tingkat perkembangan binatang, semakin fleksibel pola-pola tindakannya dan semakin kurang lengkap penyesuaian struktural yang harus dilakukan pada saat lahirnya.

Pada primata yang lebih tinggi [bangsa monyet] bahkan dapat ditemukan intelegensi yaitu penggunaan pikiran guna mencapai tujuan yang diinginkan sehingga memungkinkan binatang untuk melampaui pola-pola kelakuan yang telah digariskan secara naluri. Namun setinggi-tingginya perkembangan binatang, elemen-elemen dasar eksistensinya yang tertentu masih tetap sama.

Manusia menyadari bahwa dirinya sangat berbeda dari binatang apa pun. Tetapi memahami siapa sebenarnya manusia itu bukan persoalan yang mudah. Ini terbukti dari pembahasan manusia tentang dirinya sendiri yang telah berlangsung demikian lama. Barangkali sejak manusia diberi kemampuan berpikir secara sistematik, pertanyaan tentang siapakah dirinya itu mulai timbul. Namun informasi secara tertulis tentang hal ini baru terlacak pada masa Para pemikir kuno Romawi yang konon dimulai dari Thales [abad 6 SM].

Berikut pandangan filsafat terhadap manusia dari beberapa sudut pandang yakni dari:

1.Teori descendensi, Teori ini meletakkan manusia sejajar dengan hewan berdasarkan sebab mekanis. Artinya manusia tidaklah jauh berbeda dengan hewan, dimana manusia termasuk hewan yang berfikir, melakukan segala aktivitas hidupnya, manusia juga tidak beda dengan binatang yang menyusui.

Beberapa ahli filsafat berbeda pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Manusia adalah makhluk yang concerned [menaruh minat yang besar] terhadap hal-hal yang berhubungan dengannya, sehingga tidak ada henti-hentinya selalu bertanya dan berpikir.

Aristoteles [384-322 SM], seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal-pikirannya. Juga manusia adalah hewan yang berpolitik [zoonpoliticon, political animal], hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokkan yang impersonal dari pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan.

Berdasarkan Thomas Hobbes, Homo homini lupus artinya manusia yang satu serigala manusia yang lainnya [berdasarkan sifat dan tabiat] Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa.

Menurut Nietsche, bahwa manusia sebagai binatang kekurangan [a shortage animal]. Selain itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai binatang yang tidak pernah selesai atau tak pernah puas [ das rucht festgestelte tier ]. Artinya manusia tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Menurut Julien, bahwa manusia manusia tak ada bedanya dengan hewan karena manusia merupakan suatu mesin yang terus bekerja [ de lamittezie]. Artinya bahwa dari aktivitas manusia dimulai bangun tidur sampai ia tidur kembali manusia tidak berhenti untuk beraktivitas.

Menurut Ernest Haeskel, bahwa manusia merupakan [animalisme], tak ada sanksi bahwa segala hal manusia sungguh-sungguh ialah binatang beruas tulang belakang yakni hewan menyusui. Artinya bahwa tidak diragukan lagi manusia adalah sejajar dengan hewan yang menyusui.

Menurut Adi Negara bahwa alam kecil sebagian alam besar yang ada di atas bumi. Sebagian dari makhluk yang bernyawa, sebagian dari bangsa antropomoker, binatang yang menyusui, akan tetapi makhluk yang mengetahui keadaan alamnya, yang mengetahui dan dapat menguasai kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya [lahir dan batin].

2.Metafisika, adalah teori yang memandang keberadaan sesuatu dibalik atau di belakang fisik. Dalam teori ini manusia dipandang dari dua hal yakni:

a.Fisik, yang terdiri dari zat. Artinya bahwa manusia tercipta terdiri dari beberapa sel, yang dapat di indera dengan panca indera.

b.Ruh, manusia identik dengan jiwa yang mencakup imajinasi, gagasan, perasaan dan penghayatan semua itu tidak dapat diindera dengan panca indera.

3.Psikomatik, memandang manusia hanya terdiri atas jasad yang memiliki kebutuhan untuk menjaga keberlangsungannya artinya manusia memerlukan kebutuhan primer [sandang, pangan dan papan] untuk keberlangsungan hidupnya.

Manusia terdiri dari sel yang memerlukan materi cenderung bersifat duniawi yang diatur oleh nilai-nilai ekonomi [dinilai dengan harta / uang] artinya manusia memerlukan kebutuhan duniawi yang harus dipenuhi, apabila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi maka mereka akan merasa puas terhadap pencapaiannya.

Manusia juga terdiri dari ruh yang memerlukan nilai spiritual yang diatur oleh nilai keagamaan [pahala]. Dalam menjalani kehidupan duniawi manusia membutuhkan ajaran agama, melalui ceramah keagamaan untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Dalam hal ini manusia ingin menjadi manusia yang paling sempurna. Untuk menjadi manusia sempurna haruslah memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

1.Rasionalitas

2.Kesadaran

3.Akal budi

4.Spiritualitas

5.Moralitas

6.Sosialitas

7.Keselarasan dengan alam

SHARE

  • Twitter
  • Facebook
  • Google+
  • Pinterest
  • LinkedIn

Puncak dari tashawwur [pengertian, conception] dalam ilmu mantiq ialah membuat definisi. Suatu konsep dinyatakan ‘jelas cakupannya dan jelas batasannya’ bila ia memiliki definisi yang dalam istilah mantiq bersifat jami’-mani’. Jami’ berarti menginklusi segala spesies atau individu-individu yang harus masuk dalam cakupan makna konsep yang hendak dibuat definisinya. Mani’ berarti mengeksklusi spesies atau individu yang tidak boleh masuk dalam cakupan makna konsep tersebut.

Perangkat yang dipakai untuk membuat definisi dalam mantiq ialah apa yang disebut dengan “lima universal” [al-kulliyyat al-khams] yang terdiri dari:

  • spesies [nau’] yang hendak didefinisikan—kita ambil contoh manusia;
  • genus [jins]—genus dari manusia ialah hewan;
  • differensia [fashl]—differensia manusia dari hewan lain ialah ‘berpikir’;
  • aksiden khusus [khasshah]—misal dari aksiden khas dari manusia yang tidak dimiliki hewan lain adalah ‘tertawa’; dan
  • aksiden umum [‘ardh ‘amm]—misal dari aksiden umum yang menjadi sifat bagi manusia maupun hewan lain adalah ‘bersuara’.

Rumus membuat definisi [hadd] adalah genus [jins] + differensia [fashl]. Definisi yang sempurna [hadd tamm] ialah yang memakai genus terdekat [jins qarib]. Bila memakai genus yang jauh [jins ba’id], mantiq menyebutnya sebagai definisi yang kurang sempurna [hadd naqish].

Bila suatu spesies/individu diberi pengertian bukan dengan memakai differensia, melainkan dengan aksiden [‘ardh], baik yang umum [‘amm] maupun khusus [‘khash], ia dalam mantiq akan disebut sebagai deskripsi [rasm] saja, bukan definisi.

Genus dan differensia ialah kategori esensial dalam suatu spesies, sedangkan aksiden adalah lawan dari esensi, yakni sifat atau atribut yang bila hilang dari X, maka X masih tetap X. [Lebih jauh tentang perbedaan antara esensi dan aksiden, baca lagi catatan mantiq #5 pekan lalu].

Sebagai ilustrasi bagaimana rumus di atas bekerja, kita bisa memakai kategorisasi dalam mantiq [yang sesungguhnya berasal dari Porphyry] ketika mendefinisikan manusia, sebagaimana diuraikan berikut ini.

Segala substansi [jawhar] yang ada bisa dibagi menjadi dua: fisik [jism] dan non-fisik. Fisik bisa dibagi dua lagi, yakni yang hidup [al-hayy] dan yang mati. Yang hidup bisa dibagi dua lagi, yakni yang bisa mengindera [al-hassass, atau hayawan, hewan] dan yang tidak bisa mengindra [yakni tumbuhan]. Hewan bisa dibagi-bagi lagi sampai nanti tiba pada spesies terakhir yang hendak didefinisikan, yaitu manusia.

Masing-masing dari kategori di atas adalah genus bagi spesies di bawahnya dan sekaligus merupakan spesies bagi genus di atasnya. Jadi, ‘hewan’ adalah genus bagi ‘manusia’ dan sekaligus spesies bagi ‘fisik yang hidup’. ‘Manusia’ adalah spesies bagi ‘hewan’ dan sekaligus ‘genus’ bagi individu-individu seperti Zaid, Hasan, Ahmad, dst. Zaid ialah spesies terakhir yang di bawahnya tiada spesies lain lagi—maka Zaid bisa disebut ‘yang partikular’ [juz’iy] karena tidak bisa dibagi-bagi lagi. Bila ditarik ke atas akan ada genus-genus yang di atasnya tidak ada genus lagi. Dalam mantiq, ini disebut dengan genus-genus teratas [al-ajnas al-‘aliyah], yakni genus yang tak memiliki genus lagi. Genus-genus teratas ini membentuk apa yang dalam catatan mantiq #5 lalu disebut dengan “kategori sepuluh” [al-maqulat al-‘asyr].

***

Nah, ingat lagi rumus membuat definisi, yakni dengan genus dan differensia. Genus bagi manusia ialah ‘hewan’. Differensia [fashl] atau sifat esensial yang membedakan manusia dari spesies lain dalam genus hewan ialah ‘kemampuan berpikir’. Dengan demikian, definisi manusia ialah ‘hewan yang berpikir’ [hayawan nathiq].

Hewan adalah genus terdekat bagi spesies ‘manusia’. Bila pengertiannya memakai genus jauh, katakanlah ‘fisik’, dan manusia diberi pengertian sebagai ‘fisik yang berpikir’ maka ini dalam mantiq akan disebut sebagai definisi yang kurang sempurna [hadd naqish].

Bila pengertian manusia ialah ‘hewan yang tertawa’ [dengan ‘tertawa’ sebagai aksiden khas manusia] atau ‘hewan yang bersuara’ [dengan ‘bersuara’ sebagai aksiden umum], mantiq akan menyebut pengertian ini sebagai deskripsi [rasm] saja.

Beginilah mantiq atau bahkan logika klasik secara umum—yang dipakai sejak zaman Aristoteles, Porphyry di era akhir zaman kuno [antiquity], era skolastik abad pertengahan [medieval], bahkan sampai Madilog-nya Tan Malaka—memaparkan cara membuat definisi yang baik.

Hal yang sama sebenarnya berlaku juga dalam biologi, khususnya ketika membuat klasifikasi hewan. Animalia dapat dibagi secara sederhana, misalnya, menjadi dua: bertulang belakang [vertebrata] dan tidak bertulang belakang [invertebrata]. Vertebrata dapat dibagi lagi menjadi yang berdarah panas dan berdarah dingin. Bila yang berdarah dingin terdiri dari ikan [pisces], reptilia, dan amfibi, hewan berdarah panas mencakup unggas [aves] dan mamalia. Mamalia bisa dibagi lagi menjadi yang hidup di laut [paus] dan di darat [kambing, sapi, dst]. Pembagian bisa bermacam-macam bentuknya, tergantung pada dasar klasifikasinya.

Nah, dari klasifikasi hewan itu [yang versi sederhana, sebab saya tak mendalami biologi], kita bisa membuat definisi dengan mudah. Misalnya, mamalia adalah ‘vertebrata berdarah panas yang menyusui’. Di sini sifat ‘menyusui’ saya jadikan sebagai differensia yang membedakannya dari vertebrata berdarah panas lainnya—semoga saya tidak keliru. Bila seseorang membuat pengertian bagi mamalia sebagai ‘hewan yang beranak’ saja, maka ia tidak sedang membuat definisi, melainkan deskripsi, sebab sifat ‘beranak’ [entah dengan cara melahirkan atau bertelur] merupakan aksiden umum, bukan differensia yang mendefinisikan mamalia.

***

Identifikasi differensi memang proses yang paling rumit dalam pembuatan definisi. Pertama yang harus dilakukan ialah mendaftar spesies apa saja yang berada dalam genus yang sama dengan spesies yang hendak didefinisikan, lalu menyaring sifat mana dari segala sifat yang dimiliki spesies itu yang membuatnya esensial sekaligus distingtif dari spesies-spesies lain dalam genus yang sama. Karena ini, identifikasi differensia memiliki daya inklusi dan eksklusi [jami’-mani’].

Kita ambil contoh: apa definisi agama? Sebutlah genusnya, mengikuti yang banyak dipakai di sejumlah buku daras, ialah “sistem kepercayaan”. Apa differensianya? Jika orang menyebut “yang mengandung konsep mengenai Tuhan, nabi, dan kitab suci”, ia rentan mengeksklusi Buddhisme Teravada dan Konfusianisme karena kedua sistem kepercayaan ini tak memiliki konsep Tuhan [persisnya Tuhan-personal ala agama Abrahamik], apalagi kepercayaan lokal yang tak memiliki nabi dan kitab suci. Buddhisme secara umum tidak mengenal konsep Tuhan, atau mengenalnya tapi bukan doktrin esensial dalam Buddhisme. Konfusianisme di tanah kelahirannya, Tiongkok, malah lebih merupakan filsafat praksis alih-alih agama. Di Indonesialah, yang diskursus keagamaannya mendefinisikan agama harus memiliki konsep Tuhan, Buddhisme dan Konfusianisme menjadi ‘agama’.

Contoh lain: apa definisi Islam Nusantara? Genusnya jelas Islam. Apa differensianya? Jika orang menyebut “yang moderat, toleran”, ia tak memerikan sifat distingtif, sebab sifat-sifat ini didaku, dipunyai, atau diyakini dipunyai oleh bentuk Islam lain. Sifat ini masuk dalam kategori aksiden umum, bukan differensia, dan karena itu pengertian ini tergolong sebagai deskrispsi [rasm], bukan hadd. Bila differensianya adalah “yang dipraktikkan Nusantara”, ia terlalu jami’, menginklusi segala yang dipraktikkan di Nusantara, baik yang ekstrem maupun yang moderat. Bila differensianya adalah ‘yang akomodatif terhadap kultur lokal’, dan yang dimaksud dengan ini ialah penerimaan praktik tradisional seperti tahlilan, kenduri, dlsb, sebagai praktik yang sah/valid sebagai praktik Islami, maka implikasinya ialah bahwa Islam yang menolak praktik ini, sekalipun argumennya sah/valid dan tumbuh/diyakini banyak orang di Nusantara, bukanlah Islam Nusantara. Sekali lagi, differensia punya kekuatan jami’-mani’ [inklusi-eksklusi] terhadap entitas-entitas yang menyusun cakupan makna dari konsep yang hendak didefinisikan.

Identifikasi differensia itulah proses yang paling kunci dalam pembuatan definisi. Dan definisi yang baik justru adalah yang sesingkat-padat mungkin dalam menentukan differensianya. Karena itu, dalam film 3 Idiots, definisi mesin yang disampaikan Rancho kepada dosennya di kuliah teknik—definisi yang simpel dan mudah dipahami meski kurang sempurna itu—masih lebih baik sebagai suatu definisi ketimbang yang dikatakan Catur, yang panjang itu. Definisi mesin ala Rancho ialah ‘everything that reduces human effort and saves time’ [segala yang mengurangi tenaga manusia dan menghemat waktu]. Karena definisinya demikian, Rancho benar ketika mengatakan bahwa ritsleting pun juga merupakan mesin.  ‘Everything’ sebagai genus terlalu jauh, dan ia bisa dibuat lebih dekat lagi, misalnya, dengan ‘perkakas material’.

***

Ketika menjelaskan cara membuat definisi di kelas mantiq dengan memakai contoh manusia tadi [‘hewan yang berpikir’], ada pertanyaan dari peserta kelas tentang akurasi sifat ‘berpikir’ sebagai differensia manusia. Sebab, lumba-lumba, anjing, dan hewan-hewan semacam boleh jadi punya kemampuan berpikir juga, yang dibuktikan dengan kemampuannya untuk dilatih memahami isyarat manusia atau berkomunikasi dengan hewan lain dengan sistem kebahasaan tertentu.

Saya menjawab pertanyaan itu dengan menyatakan bahwa identifikasi differensia bukan hal yang tidak bisa ditawar. Inti idenya tetap: definisi dibuat dengan menentukan mana differensia yang esensial sekaligus distingtif. Namun, mana sifat yang merupakan differensia itu memerlukan investigasi tersendiri. Sejauh ini, dari sekian banyak sifat yang dimiliki manusia, yang paling esensial dan distingtif membedakannya dari hewan ialah kemampuan berpikir. Saya menambahi, kemampuan berpikir manusia jauh lebih canggih dibanding hewan. Cara mengujinya: bisakah hewan berpikir abstrak? Contoh pikiran abstrak yang paling mudah ialah berhitung. Bisakah hewan berhitung? Jika tidak, kemampuan berpikir [abstrak] ialah sifat distingtif manusia. Dengan demikian, ia sah menjadi differensia untuk mendefinisikan manusia. Sebenarnya ada satu kritik yang tajam terhadap rumus definisi ala mantiq atau logika Aristotelian ini. Salah satunya datang dari Ibn Taymiyyah, melalui karyanya ar-Radd ‘alal-Manthiqiyyin [Bantahan terhadap Ahli Logika]. Di dalam karya ini Ibn Taymiyyah menyatakan antara lain bahwa definisi ala mantiq Yunani mengandung penalaran sirkular [daur]. Sejumlah kritik itu kemudian ditanggapi oleh as-Suyuthi dalam karyanya Shawn al-Manthiq [Membela Mantiq]. Namun pembahasan tentang perdebatan ini cukup panjang, jadi butuh pemaparan dalam esai tersendiri nanti. Insyaallah.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề