Kenapa disebut tugu jam menara ria pembangunan

Ketika Anda ingin menjelajahi setiap sisi Surabaya sebagai kota metropolitan di Jawa Timur, Anda harus mulai dari pusat kota. Ini menyenangkan. Maka sangat tepat untuk memilih Grand Inna Tunjungan sebagai tempat menginap saat mengunjungi kawasan wisata di Surabaya.

Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia setelah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Surabaya memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri dibandingkan dengan daerah lain. Peninggalan sejarah, atraksi alam dan sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia terus dijaga di sini. Mereka diatur dengan baik sebagai tujuan wisata yang unik.

Beberapa hal menarik lainnya, Surabaya dapat mengakomodasi kebutuhan perjalanan bagi wisatawan yang memiliki waktu terbatas seperti saya. Satu hari di Surabaya dihabiskan khusus untuk mengunjungi tujuan wisata yang ikonik, bersejarah dan modern yang diprakarsai oleh pemerintah lokal visioner. Saya memulai perjalanan dari titik yang sering dikunjungi oleh wisatawan mulai dari orang muda hingga keluarga, yaitu Pantai Ria Kenjeran.

Pantai ini memiliki pesona matahari terbit yang indah. Namun sayangnya, saya terlambat sekitar setengah jam sehingga matahari sudah terbit dari garis horizon pantai. Tetapi pesona itu tidak hanya ada di sana. Pantai Ria Kenjeran memiliki banyak lokasi menarik untuk dikunjungi, salah satunya adalah Four-Face Buddha.

Patung Buddha Empat Wajah ini diresmikan pada 9 November 2004. Desain luar biasa dari bangunan ini menjadi salah satu tempat menarik untuk berfoto di Pantai Ria Kenjeran. Selain itu, kemegahan bangunan patung Buddha Empat Wajah juga dihargai dengan penghargaan dari Museum Rekor Indonesia [MURI] sebagai Patung Tertinggi di Indonesia.

Pembangunan patung ini dimulai pada Juli 2003, dan menempati lahan seluas 1,5 hektar. Lebar bangunan utama patung ini adalah 9 × 9 meter, dan termasuk kubah yang mencapai 36 meter. Patung ini menjadi lebih megah karena bahan untuk lapisan patung merupakan emas murni yang langsung diimpor dari Thailand.

Bangunan ini dikelilingi oleh empat pilar, pilar hijau atau emas; Yang terdiri dari 3 bagian: stupa, patung Buddha dan tahta Buddha. Bagian atas stupa dilengkapi dengan penangkal petir, sementara ketinggian patung Buddha dan tahta masing-masing adalah 9 meter.

Keempat wajah pada patung Buddha ini mewakili empat kualitas baik dari Buddha, welas asih, murah, adil, dan meditatif. Patung ini memiliki kemiripan dengan patung Buddha di Bangkok, yang terdiri dari: wajah kedamaian dan kesehatan, wajah hubungan baik, wajah keberuntungan, dan wajah perlindungan terhadap kejahatan.

Tidak jauh dari Patung Buddha Empat Wajah ada bangunan pagoda yang megah. Nama pagoda ini adalah Tian Ti Pagoda, sebuah bangunan yang menyerupai Kuil Surga di Tiongkok. Ya, Pantai Ria Kenjeran adalah tempat wisata alam yang menyatu dengan keindahan landmark ikonik. Berbicara tentang landmark ikonik, perjalanan saya akhirnya berlanjut ke ikon Surabaya lainnya, Patung Sura dan Baya.

Patung ini berada di depan Kebun Binatang Surabaya. Patung ini terdiri dari dua binatang yang menjadi inspirasi nama kota Surabaya: ikan sura dan buaya. Beberapa versi menyatakan bahwa pertempuran ikan sura dan buaya ini mengilhami penamaan Surabaya. Namun apa pun di balik kisah itu, Patung Sura dan Buaya adalah identitas Surabaya saat ini.

Tempat yang wajib dikunjungi saat berada di Surabaya

Tidak hanya Patung Sura dan Buaya, bukti sejarah yang masih ada saat ini adalah keberadaan Jembatan Merah. Ini merupakan salah satu monumen bersejarah di Surabaya, Jawa Timur yang dibiarkan sebagaimana fungsinya, yaitu sebagai jembatan. Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu yang dibuat oleh Gesang, dianggap penting bagi kebutuhan transportasi selama periode VOC karena melewati Kalimas ke Gedung Kepresidenan Surabaya, yang saat ini sudah tidak ada lagi.

Daerah ini merupakan kawasan komersial yang mulai berkembang sebagai hasil dari Perjanjian Pakubuwono II Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Berdasarkan perjanjian tersebut, beberapa daerah pesisir utara, termasuk Surabaya, diserahkan kepada VOC. Sejak saat itu, Surabaya sepenuhnya berada dalam kekuasaan Belanda. Sekarang, posisinya sebagai pusat komersial berlanjut. Di sekitar jembatan terdapat indikator ekonomi, salah satunya adalah Jembatan Merah Plaza.

Perubahan fisik terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika batas pagar dengan sungai berubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya hampir sama persis dengan jembatan lainnya. 

Puas dari peninggalan sejarah di Surabaya, perjalanan saya berlanjut ke Tugu Pahlawan. Tugu Pahlawan terletak di Jalan Tembaan yang ditandai oleh patung Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pertama, Soekarno-Hatta. Monumen pahlawan ini dibangun untuk menghormati tentara Surabaya yang tewas dalam pertempuran besar melawan Tentara Sekutu yang ingin menduduki Surabaya pada 10 November 1945.

Monumen pahlawan dibangun dalam bentuk "kuku terbalik" dengan ketinggian 40,45 meter dengan diameter 3,10 meter dan diameter bawah 1,30 meter. Di bawah monumen dihiasi ukiran "Trisula", "Cakra", "Stamba", dan "Padma" sebagai simbol api perjuangan.

Di dalam monumen ini, terdapat Museum 10 November. Museum 10 November dibangun untuk memperjelas keberadaan Monumen Pahlawan dan sebagai gudang bukti sejarah pada 10 November 1945.

Catatan sejarah yang tertata apik menjadikan kisah masa lalu Surabaya lebih menarik. Setelah seharian menghabiskan waktu mencoba untuk menangkap kisah sejarahnya, saya memilih untuk menikmati matahari terbenam di Jembatan Suramadu. Jembatan ini menghubungkan Surabaya dengan Madura. Keindahan jembatan dengan karakteristik lampu yang rapat membuat momen menikmati matahari terbenam menjadi luar biasa.

Menutup hari di Surabaya, saya memilih untuk menikmati air mancur menari [Dancing Fountain] di Jembatan Surabaya. Dari atas jembatan, air mancur berwarna-warni tampak menari mengikuti alunan lagu, salah satunya adalah Jembatan Merah. The Dancing Fountain hanya tersedia pada hari Sabtu dari jam 8 - 9 malam saja. Puluhan warga Surabaya dan beberapa turis asing tampak tertarik menikmati wriggler air berwarna-warni. Setelah satu jam penuh menikmati air mancur ini, akhirnya saya memilih untuk kembali ke hotel Grand Inna Tunjungan yang hanya membutuhkan waktu 30 menit dari lokasi Dancing Fountain. **

Teks & Foto: Dody Wiraseto

Translator: Miftahul Falah

Sumber: Majalah Gracious

Jum'at, 01 Januari 2021 - 05:00 WIB

Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang menjadi markah tanah Kota Bukittinggi, Sumatra Barat, Indonesia. [Ist]

Jam Gadang adalah nama untuk menara jam yang menjadi markah tanah Kota Bukittinggi , Sumatra Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam besar".

Jam Gadang telah dijadikan sebagai objek wisata dengan diperluasnya taman di sekitarnya. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik pada hari kerja maupun pada hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya diselenggarakan di sini.

Jam Gadang mulai dibangun pada 1926-1927 atas inisiatif Hendrik Roelof Rookmaaker, sekretaris kota atau controleur Fort de Kock [sekarang Kota Bukittinggi] pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Jamnya merupakan hadiah dari Ratu Belanda Wilhelmina. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazid Rajo Mangkuto dari Koto Gadang, sementara pelaksana pembangunan adalah Haji Moran dengan mandornya St. Gigi Ameh.Peletakan batu pertama pembangunan dilakukan oleh putra pertama Rookmaker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun. Pembangunannya menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang untuk ukuran waktu itu tergolong fantastis. Menurut sebuah sumber, Jam Gadang selesai dibangun pada 1932.Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat dengan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya. Maksudnya yakni agar orang Kurai, Banuhampu, sampai Sarik Sungai Puar bangun pagi apabila ayam sudah berkokok.Pada masa pendudukan Jepang, bentuk atap diubah menjadi bentuk pagoda. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada rumah adat Minangkabau, Rumah Gadang.

Ketika berita proklamasi kemerdekaan Indonesia diumumkan di Bukittinggi, bendera merah putih untuk pertama kalinya dikibarkan di puncak Jam Gadang, setelah melalui pertentangan dengan pucuk pimpinan tentara Jepang. Pemuda yang memimpin massa untuk menaikkan pertama kali Sang Saka Merah Putih di puncak Jam Gadang bernama Mara Karma. [Baca: Jaminan Tak Ada Kerumunan Malam Tahun Batru di Malioboro Disangsikan].

Pada masa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia [1958–1961], terjadi pertempuran antara Tentara Indonesia [ketika itu bernama Angkatan Perang Republik Indonesia atau APRI] dengan pasukan PRRI. Di bawah Jam Gadang, APRI membunuh sekitar 187 orang dengan cara ditembak. Hanya 17 orang dari jumlah tersebut yang merupakan tentara PRRI, sedangkan selebihnya merupakan rakyat sipil. Para mayat lalu dijejer di halaman Jam Gadang.

Jam Gadang sempat ditutup dengan dibalut kain marawa pada malam pergantian tahun baru 2008 dan 2009, saat Wali Kota Bukittinggi oleh Djufri. Alasan penutupan untuk mengurangi kerumunan pengunjung di pelataran Jam Gadang yang berpotensi terjadinya tindak kriminal dan korban jiwa. [Baca: Malam Menuju Tahun Baru 2021 Lalu Lintas di Tol Cipali Mulai Padat].

Penutupan Jam Gadang juga terjadi kembali pada malam tahun baru 2021 guna mencegah kerumunan untuk menghindari penyebaran virus Corona.

Pada Juli 2018, kawasan Jam Gadang direvitalisasi oleh pemerintah. Pengerjaannya memakan biaya Rp18 miliar dan rampung pada Februari 2019.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề