Ketika seekor unta menemukan sumber air dia akan minum sebanyak-banyaknya dengan tujuan

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Australia. 

Saya memandangi sebuah poster di Museum Unta. Di tengah poster itu ada sebuah kartun Unta. Dari dalam unta tersebut, menyeruak gambar foto-foto unta lainnya dengan ekspresi muka berbeda-beda. Kesannya doang beda, padahal ya tetap mirip. Kalau kita memandangi mata seekor Unta maka yang kita dapati adalah bola mata bening penuh ketenangan. Sekali lagi, kalau kita menatapi mata seekor unta, maka mata itu akan berkedip tenang, sementara mulutnya asoy memamah makanan. Menurut poster yang sedang saya pelototi ini, unta sebenarnya punya banyak sifat. "SIFAT-SIFAT UNTA YANG MENARIK," tertera dalam poster itu, di antaranya "ikatan kekeluargaan yang kuat", "sensitif", "loyal", "pintar" dan "sabar." Sayangnya, atribut-atribut yang luar biasa ini harus digabungkan dengan sifat yang bikin males "unta hewan yang bossy" serta satu kata lainnya di atas sosok unta warna hitam: "Gampang ngambek dan takut."

Semuanya tentang unta dan unta adalah segalanya di sini… di

… Festival Unta Raja Abdulaziz Arab Saudi!

PERTANYAAN: Kok kamu bisa ada di sini, di sebuah festival unta di Arab Saudi? JAWABAN: Karena dapat undangan dari humas acaranya. PERTANYAAN: Festival unta itu seperti apa sih? Sebenarnya apa latar belakangnya? JAWABAN: Sebenarnya aku juga engga ngerti-ngerti amat. Festival unta yang saya datangi mulai dipersiapkan Maret 2017, kira-kira enam minggu sebelum datang ke Arab Saudi. Jadi bisa dibilang, venue festivalnya belum benar-benar tuntas dibangun. Kalau boleh jujur, sebenarnya unta yang saya saksikan tidak sebanyak yang mungkin kamu bayangkan tatkala mendengar seseorang bilang "Eh gue mau ke Arab Saudi cuma buat lihat unta doang." PERTANYAAN: Jadi apa dong festival unta itu? JAWABAN: Sebenarnya sih yang namanya festival unta itu cuma sekumpulan mobil besar mengangkut banyak unta di atasnya. Bayangkan, saya terbang selama 7 jam, belum ditambah naik mobil 2 jam, cuma buat lihat pemandangan seperti itu. Intinya ya cuma itu: sekumpulan mobil yang diparkir, ada unta dalam mobil-mobil itu, lokasinya aja kebetulan di Arab Saudi. PERTANYAAN: Kira-kira apa kamu sangat merekomendasikan Festival Unta sebagai gelaran yang harus dikunjungi turis mancanegara?

JAWABAN: Engga—saya tentu engga akan bilang "sangat merekomendasikan datang ke acara ini"—jadi engga deh.

Saya sedang ada di tenda, berkutat dengan pertanyaan yang sama: apa sih yang bikin unta menarik di mata manusia? Di dekat kaki saya, ada piring berisi sisa-sisa ayam panggang, udang laut teluk, nasi, buah-buahan, om ali—sebuah puding yang pada kenyataannya adalah cornflake yang dicelup ke susu dan dihangatkan dengan tambahan biji jambu monyet. Di sisi kanan saya, ada bantal alas tiang. Di atasnya, ada dua (ya anda tidak salah, dua) gelas kertas kopi arab dan segelas plastik chai manis. Di luar, matahari baru saja nongol. Langit berubah dari gelap menuju kebiruan. Ada seorang anak lelaki dalam tenda. Tugasnya cuma satu: membawakan kopi atau teh tiap kali saya mengangkat tangan dan bilang "teh" atau "kopi". Kalau sedang tak sibuk melayaniku, dia bakal berdiri saja. Matanya terpaku ke arah TV. Barangkali, ada suatu yang aneh dengan sebuah TV HD baru dan masih kinclong yang terpasang dalam tenda. Di antara permadani yang dipasang untuk meredam panas gurun, TV menjadi semacam jendela bening, sepercik kehadiran teknologi di tengah gurun. Televisi itu tengah menayangkan sebuah serial TV lama BBC Two yang berkisah tentang keluarga modern yang hidup selama sehari entah sebagai budak atau majikan dalam rumah ala Downton Abbey. Tentu saja serial ini sudah didubbing bahasa Arab. Sebelumnya yang muncul sebuah tayangan dokumenter tentang kehidupan di alam liar. Entah atas alasan apa, monyet dalam tayangan itu punya logat Inggris—meski tentu saja bicara dalam bahasa Arab. Bocah yang bertugas membawa teh atau kopi itu datang lagi, kali ini dengan segelas chai. Aku baru saja dipanggang matahari selama sepuluh jam, langsung ketagihan chai. Monyet di TV punya aksen Inggris dan unta oleh beberapa orang dianggap hewan tercantik di muka bumi.

"Gini deh," kata Ali, humas Festival Unta, saat menerangkan semua perkara unta ini kepada saya. "Biasalah anak muda, ngerti kan? Buat pamer kalau mereka tajir…mereka pamer unta."

Saya bilang: "oh gitu." "Jadi mirip kayak…kuda. atau: elang. Kalian punya elang?" "Engga, kami engga biasa memelihara elang." Rupanya dia kaget.

"Kalian ga punya elang?"

"Iya, kami ga biasa memelihara elang di rumah." "Ahhhh jadi itu alasan kamu suka banget melihat elang tadi." Sebelumnya, kami baru saja melihat elang. Iya deh, saya ngaku saja: saya suka banget lihat elang. Saya suka lihat elang-elang itu.

"Ho'oh."

Selama beberapa saat, kami berhenti bicara di tengah panas yang luar biasa menyengat, berpikir keras mencari padanan unta selain kuda dan elang. Dalam benak saya terlintas pikiran tentang Instagram, lalu kenalanku menggunakannya untuk pamer ketika berada di tempat yang keren, caranya adalah menandai momen penting dalam hidup mereka dengan memiliki peliharaan tertentu. "Mungkinkah unta itu setara…anjing? Anjing dari bibit unggul? Seperti bulldog?" tanya saya.

Ali merenung sesaat sambil mengelus-elus janggutnya.
"Bisa jadi," ujarnya. "Ya, mungkin begitu kali ya."

Sebenarnya tidak. Yang saya pahami selama saya di Arab Saudi, kegilaan pada unta ini merupakan perpaduan antara fandom ala suporter sepakbola, hal-hal yang tak penting, maskulinitas jor-joran, dan pengakuan pada keindahan punuk unta. Yang jelas, unta tak bisa disandingkan dengan anjing, kuda, atau elang. Yang saya pahami di sini, di bawah sengatan matahari gurun dan pasir, tak ada—sekali lagi tak ada—yang bisa sebanding dengan unta.

Ketika seekor unta menemukan sumber air dia akan minum sebanyak-banyaknya dengan tujuan

Cuma mau klarifikasi nih, unta ini biarpun kelihatannya begitu, sebenarnya dia masih hidup kok.

Ada dua jenis unta di Arab Saudi: unta hitam dan unta putih. Sebenarnya, perbedaan warna dan jenis untanya akan lebih rumit kalau kamu mau telaten belajar lagi. (Sebab banyak kan anekdot yang sering diomongin tapi jarang diperiksa validitasnya, kayak contohnya orang eskimo konon punya banyak nama buat salju. Kasus yang sama bisa saja terjadi di Arab. Kita, misalnya, bisa ngomong "Bro, dalam bahasa Arab, ternyata ada 1.000 kata untuk menyebut unta." Padahal, tidak begitu kenyataannya. Memang, ada sekitar 40 spesies dan subspesies unta, dan tentunya ada istilah untuk semua jenis unta itu. Sama seperti kita—maksudnya kita yang berbahasa Inggris—punya kata untuk jenis-jenis anjing seperti "pug" dan "labrador." Tapi, orang Arab santai-santai saja tentang hal ini. Setidaknya mereka ga koar-koar. "Lo tahu gak? Orang inggris, orang Inggris gelo itu! Punya lebih dari sejuta kata untuk menyebut anjing doang!"). Tapi, agar tulisan ini sederhana—mengingat bakal banyak fakta tentang unta yang saya gelontorkan sepanjang tulisan—mari kita bagi unta menjadi dua tipe saja: unta hitam dari selatan (majaheem) dan unta putih dari utara (maghateer).

Unta memiliki dua perut. Unta berjalan seperti ini: pertama yang bergerak adalah kaki kanan depan dan kaki kiri belakang, baru setelah itu unta akan menggerakkan kaki kiri depan dan kaki kiri belakang. Mau coba menirunya? Silakan. Merangkaklah seperti itu. Niscaya kalian akan gagal total. Tak ada binatang lain di atas permukaan Bumi ini yang berjalan seperti unta. Unta bisa menghabiskan hampir 100 liter air kurang dari 13 menit dan bisa puasa minum selama beberapa minggu. Ketika seekor unta menghembuskan nafas lewat hidung, lubang hidungnya akan menangkap gelembung air yang terbawa untuk dikembalikan ke dalam tubuh. Kembali ke kaki tadi: unta bisa berdiri setelah duduk atau sebaliknya dengan meluruskan kaki belakang dulu baru kaki depannya. Mau meniru lagi? Cobain aja deh, dijamin kamu tak akan bisa melakukannya. Tak ada hewan di dunia yang duduk lalu bangun dari duduk seperti unta. Ada sekitar 1,7 unta di Arab Saudi. Artinya ada 3,4 juta perut unta berkeliaran di Arab Saudi. Lalu, ada juga 7,1 juta ekor unta di Somalia. Bulu unta bisa dirajut menjadi bahan baku permadani dan tenda-tenda gurun. Daging unta bisa disantap. Begitu juga susunya yang bertekstur kental, berbusa, dan hangat jika baru keluar dari pentilnya. Mau mengintip penampakan neraka? Gampang, coba saja lihat ke dalam mulut unta yang sedang mangap. Kaki unta hanya berupa dua jari kaki dengan kuku keras dan selapis kulit di bawahnya, mirip sepatu. Unta adalah mahluk yang tahan cuaca ekstrem—dari panas yang tak tertahankan hingga dingin yang menusuk selagi siang berganti malam di gurun. Unta bisa meludah, dan cairan yang diludahkan tadi bisa membasahi setengah tubuh manusia—ya kalian salah satunya—dari kepala sampai bagian tengah tubuh. Semua deskripsi ini saya gelontorkan cuma untuk bilang "unta itu binatang aneh." Pokoknya bentuknya aneh. Jadi unta itu—seperti kalian duga sebelumnya—bukan kuda berpunuk. Tapi segala keanehan ini—atau keistimewaannya—yang membuat unta dirayakan di Timur Tengah. Semua itulah alasan saya rela terbang jauh-juah ke Arab Saudi.

Festival Unta Raja Abdulaziz digelar 140 kilometer ke arah timur laut dari Ibu Kota Riyadh. Lazimnya, orang Arab menyebut festival ini sebagai kontes kecantikan "Miss Camel". Tapi, nama ini tak sepenuhnya tepat. Unta yang ikut ambil bagian dalam festival akan dinilai berdasarkan beberapa faktor—nanti kita bahas yang ini ya—yang bisa digabungkan untuk menilai "kecantikan unta" secara menyeluruh. Tapi, menyebut pemenang sebagai "Miss Camel" seakan memaksa kita membayangkan unta pakai gaun seks, lipstik merah, mengenakan stiletto, melenggak-lenggok di atas catwalk, dan ketika sampai di ujung catwalk, unta-unta itu akan menengok ke belakang lewat tatapan genit. Sementara itu, di balik sorotan lampu panggung, lelaki—yang mirip Donald Trump—memandangi mereka, setengah sange. Berbeda dari imajinasi ngawur tadi, kontes kecantikan unta berlangsung seperti ini:

Pagi-pagi buta, unta-unta yang ikut serta berjalan bolak-balik. Mereka melintasi rute yang sama di arena festival, bisa dibilang itu semacam panggung alakadarnya—yang tak penuh-penuh amat—riuh dengan hentakan kaki ratusan laki-laki berjubah. Saya beruntung diperkenankan mengambil beberapa foto—para pemiliki unta memegangi neon stick plastik memandu unta-unta berjalan sambil bersiul ya–ya–ya–ya!. Unta-unta berjalan pelan di belakang mereka. Unta-unta ini diarak di depan juri-juri. Binatang unik ini melewati juri beberapa kali sebelum akhirnya pergi meninggalkan arena. Sementara itu, ratusan penonton mengangkat tangah mereka, memicingkan mata, dan melihat unta-unta itu tanpa suara. Sesimpel itu. Jam 11 siang festivalnya bubar. Para pengunjung pergi meninggalkan venue dan membeli foto unta, bukan untanya sendiri. Beberapa orang malah langsung ngeloyor pulang. Begitu-begitu saja jalannya festival dan acara ini berlangsung selama enam minggu. Langsung muncul pertanyaan mengganjal: lah terus ini penontonnya dapat apa ya?

DALAM TENDA. PUKUL 9 MALAM. SENJA BARU SAJA TURUN SECARA ANGGUN DI ATAS PADANG PASIR. KAMI MASIH BERUSAHA MENEBAK, APAKAH MANUSIA BISA SANGE GARA-GARA KELAMAAN NONTON UNTA ATAU TIDAK.

"Kalau dengan perempuan kan jelas, kamu bisa lihat rambutnya, matanya atau apalah itu—pokoknya kamu tahu lah. Nah, tapi kalau dengan unta kan beda. Aku engga tahu apanya yang cantik dari unta. Sama kasusnya seperti kuda. Ketika kamu memberiku dua ekor unta terus kamu bilang, okay yang satu cantik dan satunya lagi jelek!" "Kalau besok ada yang bisa menghadapkan aku dengan dua ekor unta dan mengajarkan membedakan mana unta yang cantik, aku mau banget. Aku harus mengerti kenapa satu unta dianggap dan lainnya enggak." "Aku juga pengen mengerti– 'Oh, gadis itu hot banget',' ngerti kan?"

"Aku cuma ingin menjawab pertanyaanku. Apa sih tandanya seekor unta dianggap cantik."

"Syukurlah, bukan cuma aku yang engga ngerti."

MUNGKINKAH ADA MANUSIA YANG BISA HORNI LIAT UNTA?

Inti festival unta ini sebenarnya acara yang digelar pagi-pagi buta itu. Saat matahari belum tinggi dan gurun masih tenang. Memang sih, unta bisa menghadapi cuaca ekstrem, tapi kan manusianya tetap punya keterbatasan. Jadi seandainya kalau cukup tertarik nonton festival unta jangan sampai kesiangan. Buru-buru sarapan, lalu datanglah sebelum jam 9 pagi. Masalahnya cuma satu kalau menurut saya: setelah bangun pagi gue mesti ngapain njir! Dalam festival 2017 ini, saya kan tamu undangan. Saya tidurnya di semacam barak gitu, dekat dari kandang raksasa tempat ratusan unta acara ini disimpan. Arena festival kecantikan unta ini digelar di sebuah 'desa' buatan di tengah gurun. Terdiri dari tenda tidur, pasar kecil, museum unta, dan tempat pengamatan acara. Semua lokasi tadi kalau kita jalan kaki juga kelar disambangi tiga menitan. Di luar kawasan bagi manusia itu, semua wilayah gurun di sekitar arena adalah milik unta sepenuhnya. Arena parade unta ini dipagari oleh tiang-tiang dibalut kain beludru putih, serta tribun temporer bagi orang yang pengen nonton, dan rute pawai unta yang ujungnya adalah gurun. Sebuah tempat penuh pasir yang bisa dipakai buat parkiran pengunjung Disneyland tanpa khawatir kehabisan tempat. Tapi ya ga ada isinya. Namanya juga gurun. Sepi abis.

Untuk menuju ke lokasi acara festival, kalian akan berkendara selama dua jam lewat jalanan yang seakan-akan ada di Planet Mars (atau bisa juga bulan). Pengalaman berkendara ini aneh banget deh. Saya kan numpang di mobil orang ya. Saya duduk di depan, bareng sopir orang Arab gitu. Di kursi belakang duduk wartawan perempuan asal Dubai. Mereka saling ngomong bahasa Arab cepet banget. Saya engga ngerti apa-apa, tapi masih menangkap beberapa kata kayak "Twitter? No!" "SNAPCHAT" dan "Uggs". Mobil itu mampir bentar ke mal di luar Ibu Kota Riyadh… menjemput tiga anak-anak. Saya, satu-satunya orang yang tidak bisa berbahasa Arab di mobil, dikelilingi tiga bocah yang tampaknya menggilai unta…

—kenyataan ini membuat saya mikir, ini semua orang beneran suka unta ya? Sampai bela-belain datang ke tengah gurun jam 8 pagi. Mereka semua naik mobil nih dari Riyadh? Jangan-jangan ada yang dari kota lain lebih jauh. Bayangkan mereka naik jeep menembus gurun, atau tidur di gurun sejak tadi malam, bangun berangkat lagi, cuma buat nontonin unta. Kalau sudah selesai nonton terus pada mau ngapain? Sebagian saya lihat sih asyik duduk-duduk aja di sekitar arena festival. Mereka ngaso dulu di perbatasan luar arena, sebelum sinar matahari memanggang semua manusia di atas gurun beberapa jam lagi.

Siapa. Sih. Yang. Rela. Datang. Ke. Gurun. Nonton. Unta. Doang

Ke mana. Mereka. Semua. Pergi. Setelah. Nonton

Dari. Mana. Mereka. Berasal.

Mungkinkah. Ada. Manusia. Tergila-Gila. Unta. Kayak. Gitu?

Kerajaan Arab Saudi sangat yakin ada banyak penggemar unta dari seluruh dunia. Di Saudi sebetulnya peminat unta mulai berkurang. Panitia akhirnya berusaha merangkul generasi muda agar kembali mencintai unta, hewan gurun kebanggaan Saudi. "Festival ini adalah upaya mempertahankan tradisi," kata salah satu peserta yang bekerja sebagai pegawai jasa keuangan. "Festival ini sebaiknya tidak hanya dinikmati orang asing. Justru anak muda Saudi yang wajib lebih banyak datang. Karena orang-orang [Saudi] yang sekarang tinggal di kota sudah tak peduli pada unta. Padahal sejarah bangsa ini bisa hilang kalau kita tidak merawat tradisi."

Untunglah, penduduk negara-negara sekitar Saudi masih punya rasa cinta cukup besar terhadap unta. Misalnya saja penduduk Sudan, Mesir, Yaman, Uni Emirat Arab, Bahrain, hingga Irak. Festival Raja Abdulaziz masuk dalam upaya Saudi mereformasi ekonomi, tertuang pada 'Visi Pembangunan 2030'. Manifesto ekonomi itu adalah harapan Saudi menggenjot kembali ekonomi yang macet setelah harga minyak dunia melempem sejak 2013. Anggaran negara bertahun-tahun terlalu bertumpu pada emas hitam, sehingga kini sumber pemasukan harus didiversifikasi. Wisata—berbasis unta—menjadi salah satu tumpuannya.

Satu persoalan utama, Saudi selama ini kurang ramah pada turis luar negeri. Semua orang asing hendak masuk ke Negeri Petro Dollar itu wajib memperoleh visa kunjungan, bahkan sebelum mereka bisa membeli tiket pesawat. Lebih sulit lagi bagi turis perempuan, karena mereka harus memperoleh izin bepergian tertulis dari wali atau sponsor di Saudi untuk bisa lolos dari bandara. Kalau anda orang asing (terutama asal Barat) pernah mengunjungi Israel, bisa dipastikan pemeriksaan imigrasi Saudi berlipat ganda dan merepotkan. Dalam teorinya, visi 2030 akan menghapus semua hambatan-hambatan tadi. Saudi ingin devisa meningkat berkat kedatangan turis asing, dari semua negara. Saudi ingin berubah lebih ramah. Faktanya, saya masih mengalami banyak persoalan saat hendak diperiksa imigrasi Saudi. Petugas tampak tak percaya saya memegang konfirmasi visa asli, lalu bersemangat sekali agaknya merisak saya yang kelelahan sesudah terbang tujuh jam, dengan wajah kucel, dan badan apek gara-gara AC di kabin pesawat kurang dingin. Saya juga langsung syok merasakan cuaca terik khas gurun, setibanya di ruang pemeriksaan bandara. Singkat cerita, lembaran visa yang saya pegang tak punya kelebihan apapun. Aparat imigrasi membawa saya ke sebuah ruangan putih bersih, memaksa saya menunggu tanpa kejelasan selama dua jam. Tiga petugas berjaga di belakang kursi sambil memegangi paspor saya, entah ngapain aja tuh. Saya diem doang lah selama menunggu itu. Kadang sambil buka hape, liat-liat whatsapp, terus browsing sebentar, kemudian buka whatsapp lagi, hape masuk kantung celana, lantas saya buka lagi. Mati gaya. Benar-benar engga jelas deh. Tiba-tiba saja ada petugas masuk dan bilang saya boleh pergi, sambil mencap paspor saya dan dokumen laporan lainnya. Dari tadi juga bisa kaleeee kalau ngasih cap doang mah. Sudah jam lima pagi ketika saya akhirnya bisa meninggalkan bandara. Beruntung pemandangan subuh di Riyadh, saat saya naik taksi, indah sekali. Langit biru muda semu oranye, seakan pelukis di langit sana sedang iseng mencampur kedua warna tadi. Udara masih sejuk, tak ada tanda-tanda cuaca terik gurun seperti yang saya rasakan dini hari ketika baru tiba.

Pagi hari memang selalu indah, di belahan bumi manapun. Kalian menjadi lebih reflektif, agak sedih, dan ingin diam saja menikmati suasana. Di kepalamu hanya akan ada keinginan menculik setiap petugas pemeriksa visa orang asing di bandara Riyadh, mengubur mereka di sudut gurun paling terpencil, supaya tubuh para aparat itu tak bisa ditemukan selama-lamanya.

Saat sarapan, seorang pria di meja dekat saya mengajak ngobrol. Dia bilang pernah tinggal di London selama beberapa tahun. Saya tanya, dari daerah mana? Dia agak lupa. Duh, ini jenis percakapan basa-basi yang sebenarnya malas saya lakoni. Masalahnya, kamu mustahil bisa menyingkir dari orang asing SKSD ketika sedang menikmati makanan ala bedouin—yaitu bersila sambil mengambil aluk dari piring besar yang sama. Saya dan dia kemudian diam dalam rasa canggung lumayan lama. Makanan habis, kami sama-sama ngemil buah. Masih diam. Lalu kami sama-sama pergi dari tenda makan. Juga masih diam. Beberapa jam kemudian, ketika saya sedang memotret ratusan unta di arena festival, tiba-tiba saja lelaki yang sama itu menepuk bahu dari belakang sambil teriak "EALING, aku tinggal di EALING." Itu kawasan Barat London. Dalam sepersekian detik, saya dan dia segera jadi teman baik. Kawan baru saya itu ternyata penggemar berat unta. Berikut penjelasannya soal unta pada saya:

UNTA BERMUTU BAGUS MEMBUAT PRIA YANG TINGGAL DI LONDON MEMILIH KEMBALI PULANG KE ARAB SAUDI, NEGARA PENGHASIL UNTA TERBAIK

– Kupingnya harus mungil (kalau bisa ujung daun telinganya agak lancip ke atas, kalau lancipnya ke belakang juga masih dianggap indah); – Lehernya punya bentuk yang tegas, engga sekadar lurus; – Punuk unta itu kalau bisa mulus tapi juga menampilkan kesan 'punggung yang kuat'??? Dia sendiri kesulitan menjelaskan kriteria unta terbaik untuk poin ini; – Bibirnya semakin dower semakin bagus;

– Jinak paling diutamakan;

Jadi kamu sekarang sudah punya unta? tanya saya. Dia bilang punya satu. Unta kesayangan itu dia titipkan di peternakan kawasan gurun sana. Kawan asal Inggris itu belum sempat menengok unta peliharaannya selama beberapa pekan karena sibuk mengurus festival ini. "Kalau kita sudah sering berada di dekat unta…" dia berhenti sejenak, tampak mencari kata-kata paling pas. "Rasanya nikmat sekali."

Ada beberapa hal yang sering kalian saksikan di jalan selama berkendara dari Ibu Kota Riyadh menuju lokasi Festival Unta. Berikut daftarnya: ban yang mengelupas di pinggir jalan terpanggang matahari; sepatu-sepatu yang dibuang begitu saja; tong berisi minyak yang tidak jelas apa fungsinya, pemandangan cairan hitam kental itu sangat kontras dengan gurun yang oranye membara; begitulah.

"Kamu suka unta kayak gimana??"

"Maaf pak saya tidak paham maksudnya."

"Iya, kamu suka unta jenis apa?"

"Misalnya unta warna hitam atau yang putih begitu?"

"Saya kok lebih suka unta hitam. Kesannya gagah gitu pak, terus berkilau kayak kuda unggulan."

[eh dia ketawa, sianying]

"Berarti kamu orangnya pemarah. Unta hitam itu gampang marah dan ngambekan."

Wah, saya ternyata bisa diramal hanya dari cara milih unta.

"Nah, kalau unta putih itu baik, ramah."

Selama di Saudi, saya terus menumpang kendaraan kawan jurnalis perempuan asal Dubai yang telah meliput festival unta ini selama 10 tahun terakhir. Kami membicarakan unta selama dua jam perjalanan hari itu. Dia benar-benar bosan melihat unta. "Njir, unta, unta, unta melulu, Ya Rabb," ujarnya. "Editorku maunya aku nulis berita selain 'unta terjual US$ 1 juta', hadeh…"  tangannnya membuat gestur menggambarkan unta. "Kamu tahu sendirilah engga mungkin juga nulis yang unik-unik dari festival unta."

Memangnya semua hal tentang festival unta ini apa sih tujuan utamanya? "Jelas perkara duit lah," ujarnya ketus.

Lokasi festival ini adalah gurun yang bisa ditempuh dua jam perjalanan dari Ibu Kota Riyadh. Sama sekali tidak apa-apa di sekitarnya. Seandainya tak ada tenda-tenda dan ribuan unta, entah apa ada kehidupan di sini. Saat matamu memandang ke utara, barat, timur, atau selatan, semuanya sama belaka: gurun yang kosong. Bahkan, kalau berjalan terus ke selatan dari lokasi utama festival, kalian akan tiba di gurun yang dijuluki 'seperempat kehampaan'. Namanya serem njir. Kayak tempat jin buang anak, kita cuma akan menemukan tulang-belulang di atas tumpukan harta karun yang terkubur jauh di dalam tanah dan makin lapuk dimakan sang waktu. Uniknya, sejak ribuan tahun titik paling hampa itu justru dipakai oleh para pedagang nomaden di Saudi untuk berkumpul. Tapi ya sampai sekarang tidak ada kehidupan. Kosong melompong. Cuma gurun dan gurun sejauh mata memandang, serta desa unta dadakan yang saya tinggali selama beberapa hari ini.

Di pusat kehampaan inilah tradisi dan modernitas Arab Saudi bersatu. Bayi-bayi unta diangkut menggunakan pickup yang kebanyakan merek Toyota. Tapi lebih dari 30 ribu unta lainnya masih dibawa ke lokasi festival pakai cara manual: jalan kaki. Butuh waktu beberapa pekan bagi peserta festival dan unta-unta mereka tiba di lokasi acara. Kengototan sebagian orang naik unta ke pusat acara dilatari kegigihan mempertahankan tradisi. Beberapa dekade lalu, sempat muncul keyakinan bahwa unta akan ditinggalkan penghuni Jazirah Arab. Harga mobil semakin murah. SUV jelas lebih unggul dan tangguh dibandingkan unta saat menembus gurun. Siapa coba yang masih mau naik unta di masa depan? Keyakinan orang tua itu salah besar. Penikmat unta jumlahnya justru terus bertahan, kalau bukan bertambah. Festival Raja Abdulaziz membuktikan hewan dan mesin bisa hidup berdampingan, setidaknya, di atas gurun yang sepi dan kerontang.

Saya nongkrong di luar tenda para jurnalis dalam rangka mencari Wifi (padahal jelas-jelas tidak ada wifi. Gue kan lagi di gurun!!!). Tiba-tiba seorang pria yang cara bicaranya pelan dan santun menawari kopi arab. Dia minta maaf karena tidak bisa berbahasa Inggris. "Tidak usah pak, terima kasih atas tawarannya," kata saya agak keras sambil berusaha tetap ramah. Dia lama memperhatikan saya. Lalu terucap kata-kata dalam bahasa Inggris dari mulutnya yang sepersekian detik tadi bilang tidak bisa berbahasa Inggris.

"Kamu kalau senyum kayak… pemain Liga Inggris."

Setibanya di lokasi, unta yang saya lihat pertama kali tampak sangat kuyu. Ternyata dia sedang sakit parah. Usianya baru tiga hari. Saya sampai tidak tega melihatnya. Benar-benar sudah sekarat dan lemah. Sang pemilik hanya bisa mengelus-elus kepalanya. Si pemilik membisikkan sesuatu ke telinga bayi unta tersebut.  Sambil dielus, leher hewan itu tak henti-hentinya menoleh ke segala arah karena kepanasan. Salah satu jurnalis asing di dekat saya ternyata bisa bahasa Arab. Dia menghubungi seseorang lewat ponsel. "Tunggu ya pak, saya punya teman dokter hewan di sekitar sini," ujarnya. "Dia pasti bisa membantu anda."

Setelah menanti sekian menit—yang terasa seperti satu abad—telepon wartawan perempuan itu dibalas. Ngobrol sejenak, lalu perempuan tadi menoleh ke si bapak pemilik unta malang. "Dia butuh diberi terapi akupuntur pak," katanya. Wajah si pemilik sumringah, begitu pula orang-orang lain yang berkumpul di sekitar kami menonton unta sekarat itu. Buat saya sih bayi unta itu sudah tidak tertolong. Jelas-jelas mau mati, kok malah dikasih akupuntur.

Di hari kedua festival, saya diajak mengunjungi salah satu tenda mencicipi susu unta. Bagi kalian yang belum pernah mencobanya, susu unta pada dasarnya adalah: susu biasa. Cuma kalau sudah diteguk rasanya agak lebih hangat daripada susu sapi atau kambing. Mungkin karena benar-benar baru diperas. Saya tidak suka rasanya. Bukan apa-apa, saya memang engga doyan semua jenis susu dari dulu. Masalahnya kan sebagai undangan saya mustahil menolak tawaran. Udahlah, diminum saja susu unta itu, lalu pura-pura menikmatinya. Di banyak kebudayaan, susu selalu dianggap minuman luhur dan suci. Susu dimaknai sebagai cairan kehidupan. Susu itu ajaib. Bayi baru lahir, dari mamalia apa saja, pasti segera bugar setelah minum susu. Di tenda itu, seorang kenalan yang lumayan bisa berbahasa Inggris bertanya pada saya. "Kamu sudah coba susu unta?" Saya jawab sudah. Rasanya enak, saya menambahkan asal-asalan aja buat basa-basi. Eh dia ketawa ngakak. Semua orang di tenda ikut ketawa mendengar jawaban saya. Bayangkan puluhan orang bersila di karpet permadani dalam tenda terpingkal-pingkal memandang seorang wartawan bule. Sebagian dari mereka menggelengkan kepala. Kenapa ya? Sobat saya Ali, sang penerjemah andalan, memberi tahu penyebabnya.

"Minum susu unta biasanya bikin orang sakit perut," kata Ali sambil memegangi perutnya untuk menggambarkan efek buruk itu. "Ya tapi engga semua, kadang-kadang doang, itupun kalau mereka belum pernah minum susu unta sebelumnya."

"Sakit perut maksudnya kita jadi sering boker atau mencret gitu?" tanya saya. "Iya lah," balas Ali. Saya buru-buru menambahkan tidak merasakan apapun setelah minum susu unta beberapa jam sebelumnya. "Eh, Ali, kasih tahu mereka dong. Aku sampai sekarang nyatanya engga mencret kok." Si Ali diam aja, menikmati pemandangan orang-orang yang masih ketawa. Sianying. "Tenang saja, cuma 10 persen saja kok yang mencret gara-gara susu unta," kata Ali menambahkan.

Saya berusaha menghentikan kesalahpahaman. Saya mengusap perut sambil membuat gerakan pura-pura menggunting. "Suer deh, saya engga mencret nih." Percuma. Orang-orang di tenda terus ketawa. Mereka yakin banget saya bakal cepirit.

Sesungguhnya saya menikmati keramahan orang Saudi. Saya cuma bingung, kenapa minuman yang bisa bikin mencret (bahkan berak di celana) disuguhkan pada tamu yang pertama kali datang ke negara mereka. Itu aja sih.

Ada satu hal yang selalu menarik perhatian saya selama jalannya festival. Di tengah kerumunan unta yang sedang berjalan, ditunggangi pria yang melecut hewan-hewan itu pakai tongkat neon sambil teriak ya–ya–ya–yai!, selalu ada mobil pickup membawa bayi unta. Jalannya mobil pelan, berusaha mengiringi unta-unta tadi. Kenapa harus begitu? Salah satu panitia menjelaskan, artinya di rombongan itu ada unta betina. Bayi unta di bak mobil pickup adalah anaknya. Unta betina tidak bisa berjalan jauh dari bayi-bayi mereka. Jadi manusia harus membawa serta si anak naik mobil supaya sang ibu tidak mogok jalan. Inilah pengetahuan baru saya soal unta. Semoga trivia gini jadi soal ujian deh, biar ada gunanya.

DAFTAR MANFAAT RUTIN MINUM SUSU UNTA

– Pencernaan kita akan lancar; – Bisa menambah kekebalan tubuh; – Bagus untuk mengobati diare; – Orang asing yang tidak biasa minum susu ini bakal langsung mencret ga berenti-berenti; – Konon sih bisa memperbesar penis gitu, kayak viagra;

– Kandungan gulanya rendah;

Katakanlah unta yang kamu punya sebenarnya sangat cantik. Punuknya oke, kupingnya kecil, matanya besar, bulunya lebat. Tapi bayangkan bibirnya jelek abis. Itu doang kekurangannya. Padahal kalau bibirnya dower, kecantikannya akan sempurna. Bukannya dower, bibir untamu malah tipis kayak Kate Middleton. Duh, bener-bener engga ada bibirnya nih. Padahal kamu adalah pemilik unta yang berambisi dapat hadiah ketika mengikuti kontes kecantikan macam ini. Kamu tak mungkin menang bila untamu kurang dower bibirnya. Kamu harus ngapain dong?

Ibaratkan dirimu Kris Jenner, lalu unta itu anak gadismu sendiri. Kamu pasti ingin anakmu punya fisik semenarik mungkin kan? Jadi pakai dong insting ala-ala Kris Jenner. Dia pasti menyuntikkan kolagen ke bibir unta kesayangannya. Kok pada ketawa, beneran ini, ada banyak pemilik unta melakukannya. Di Festival Unta Raja Abdulaziz, panitia ternyata tak suka manusia model Kris Jenner. Mereka mengatur tegas larangan doping, sampai ada panitia khusus terdiri dari pakar buat memantau potensi kecurangan. Saya bertemu Dr Fahd Abdulla Al-Semari, salah satu panitia sekaligus juri pemantau doping. "Festival ini mirip pertandingan olahraga. Pasti ada saja orang yang main-main sama untanya. Kadang mereka pakai silikon, supaya bentuk tubuh untanya bagus. Kami sudah nemu tiga pelanggaran tahun ini. Pemiliknya langsung didiskualifikasi. Kami membentuk tim supaya masalah serupa tidak terulang di masa depan. Sama saja seperti Tour de France atau lomba renang Olimpiade. Kita harus tahu celah seorang atlet memakai doping."

Sedih saya mendengar keterangan dari Dr Fahd. Ternyata untamu yang bibirnya tipis itu bisa berdosa setara Lance Armstrong. Mereka juga sama berdosanya seperti Yulia Efimova. Rupanya tak ada mahluk yang benar-benar suci di dunia ini, tak terkecuali unta.

Semua orang di festival kesulitan mengucapkan nama saya. Benar-benar tak ada yang bisa mengejanya secara benar. Jadi saya pun terlibat kursus singkat mengucapkan 'Golby' pada mereka. Beberapa kawan segera menirukan "Gol–bee, gol–bee" sambil mengangguk. Kawan panitia festival yang berusia muda menunjuk dadanya pada saya. Satu orang lain segera berbisik, "nama Golby kalau diucapkan mirip kata 'hatiku' dalam Bahasa Arab." Demikianlah ceritanya, saya kemudian dipanggil 'hatiku' selama dua hari terakhir penyelenggaraan festival unta Arab Saudi.

Seperti Dubai yang pernah saya kunjungi, Saudi tak punya aroma apapun. Gurun tak memicu bau-bauan yang aneh. Saudi ibaratnya gurun yang sedang dibangun karena penduduknya kaya raya. Bayangkan saja New York, setahun setelah luluh lantak akibat serangan alien kayak di film Avengers. Satu trivia lainnya, di Saudi orang bisa mengendarai mobil sesuka hati. Tidak ada hukum berlalu lintas di sini. Namanya juga gurun. Semua orang seakan membawa mobil di tengah permainan Mario Kart. Mobil saling tikung dan memotong seenak udelnya dalam kecepatan tinggi. Bayangkan kalian sedang dalam adegan kejar-kejaran mobil seperti film Matrix: Reloaded. Bayangkan adegan itu berlangsung 15 menit melibatkan mobil mewah berharga mahal. Sudah kebayang? Nah begitulah suasana naik mobil di Arab Saudi.

Saya cepat beradaptasi dengan budaya Bedouin. Kayaknya budaya ini gue banget. Inti dari budaya ini, kalau cuaca gurun sudah mulai sangat panas, orang-orang akan berkumpul di dalam tenda. Di dalam tenda itu diatur susunan permadani dan kain-kain beludru, memunculkan cukup ruang di bagian tengah untuk puluhan orang duduk bersama. Di tengah tenda ini orang dipersilakan makan sepuasnya, nonton TV, atau ngobrol ngalur-ngidul sesuka mereka. Saya engga suka ngobrol basa-basi, mohon dicatat tuh. Masalahnya orang-orang di sekitar saya kok seneng banget ngemeng macem-macem, melontarkan guyonan khas om-om, lalu ketawa rame-rame. Ada juga orang yang menirukan suara mesin mobil ("brmmm, brmmm"). Awalnya sih lucu, terus kok kelamaan jadi garing. Tapi orang-orang ya terus aja ketawa. Bedouin.

Ada orang duduk di sebelah mengajak saya bicara, sambil minta maaf tidak bisa bahasa Inggris. Saya bilang, tidak perlu minta maaf pak, saya kan juga engga bisa Bahasa Arab. Kemudian dia mengambil ponselnya dari dalam gamis, menunjukkan pada saya sebuah aplikasi: kalau saya atau dia bicara agak pelan ke arah mikrofon, maka kalimat kita bisa diterjemahkan ke Arab atau Inggris. Setidaknya kami berdua bisa ngobrol tanpa harus lewat penerjemah, walaupun agak kaku dan patah-patah. Sambutlah masa depan, berikut gambaran cara kerja aplikasi tersebut:

Berapa usiamu  29 Kamu warga negara mana Inggris Kamu sudah menikah 

Anda tanya-tanya kayak om dan tante saya di acara keluarga deh. Kepo mulu.

Orang Saudi sangat, sangat suka basa-basi dan bersenda gurau. Itu adalah bahasa universal bagi mereka. Tidak diragukan lagi—

Dia lanjut bertanya, bagaimana pandanganku soal Arab Saudi. Saya jawab, sejauh ini sih bagus lah. Saya cuma agak kesal karena sempat tertahan di imigrasi bandara. Melalui penerjemah, saya jabarkan persoalan aneh soal visa tadi, terus kelakuan absurd para petugas yang cuma membolak-balik paspor saya dua jam penuh, sebelum akhirnya mengizinkan saya pergi. 

Saya sebenarnya masih beruntung sih. Saya datang ke Negeri Petro Dollar ini setelah aturan visa diperlonggar. Sebelum krisis ekonomi, pengamanan imigrasi Saudi lebih ketat lagi. Ada polisi syariah (sebutannya Hayaa) yang akan memeriksa dan menghukum siapapun mereka anggap melanggara aturan Islam. Sudah biasa orang asing digunduli terutama kalau rambutnya terlalu gondrong. Kekuasaan hayaa nyaris tanpa batas. Februari lalu, Hayaa akhirnya tersandung masalah. Beberapa personelnya menyerang perempuan di sebuah mal kawasan Riyadh. Akhirnya satuan ini dibekukan sementara waktu untuk evaluasi lebih lanjut. Karena itulah, saya di bandara tidak sampai bertemu Hayaa, karena mereka semua sedang liburan. Tapi jangan salah sangka. Nonton unta doang saja semua orang harus melewati pemeriksaan penjaga berlapis, yang semuanya menenteng senapan mesin. Ini mau nonton unta atau berangkat perang? Kabarnya ada lebih dari 1.000 polisi, satpam, dan pemadam kebakaran bersiaga di sekitar lokasi Festival unta ini. Buat apa tenaga pengamanan sebanyak itu? Karena ada lebih dari 30 ribu unta ikut serta, termasuk 1.300-an pemiliknya. Penonton yang datang mencapai lebih dari 400 ribu orang selama 42 hari penyelenggaraan. Artinya, satu penjaga bersenapan mesin mengawasi 9,5 pengunjung per hari. Tetap saja rasanya lebay deh.

"Penjagaan ketat ini karena Raja datang," kata salah satu panitia pada saya. Benar saja, Raja Salman bin Abdulaziz dijadwalkan menutup festival tersebut, bersama rombongan tamu negara lain. Saya berada di dekat rombongan raja, bersama tukang bangunan yang beberapa jam sebelumnya mati-matian membangun podium khusus untuk tempat duduk sang raja dan tamu VIP di tengah gurun. Mereka bekerja bagaikan unta yang bersemangat kabur dari kekejaman gurun. Raja lantas menyerahkan hadiah senilai US$30 juta secara simbolis kepada pemilik unta pemenang kontes kecantikan itu. Hadiah terbesar diperoleh Pangeran Sultan bin Saud bin Mohammed dan Pangeran Abdul Al-Rahman bin Abdulaziz Al Saud. Semuanya masih kemenakan Raja Salman. Ketika seremoni berakhir, saya sudah kembali ke tenda bersama mandor utama yang membangun podium. Dia kembali mengajak saya ngobrol lewat aplikasi penerjemah di hape.

Tiba-tiba dia nyeletuk, "kami sangat suka sistem kerajaan di Saudi."

"Ya kadang-kadang doang sih," imbuhnya. Tawa dari semua orang di dalam tenda segera meledak.

Sebelum meninggalkan festival ini, saya sudah ditakdirkan untuk menaiki unta. Unta, perlu kalian ingat, punya cara bangkit dari duduk yang unik banget. Unta berdiri setelah duduk atau sebaliknya dengan meluruskan kaki belakang dulu baru kaki depannya. Jadi, kalau kamu menaiki punggungnya, kamu bakal diajak maju-mundur dulu sebelum akhirnya si unta mencapai titik keseimbangan. Saya sempat khawatir proses naik unta ini tidak akan mulus. Ternyata sama sekali tidak ada masalah. Unta yang saya naiki sangat kalem, padahal tubuhnya besar banget. Dia berjalan anggun, kayak megabintang unta di antara unta-unta lain di arena festival. Naik punggung unta menyadarkan saya keunggulan binatang ini. Unta bisa menjulang tinggi, tapi tak terlalu tinggi. Setidaknya kalian bisa melihat sekeliling, memantau cakrawala, dan memperhatikan lingkungan sekitar lebih waspada.

Saya sudah nonton unta selama beberapa hari, minum susunya, diludahi, nonton bayi unta mau mati, menyadari ada unta hitam dan putih, ngobrol dengan ratusan orang tentang unta lagi, datang ke museum unta, terbang tujuh jam demi nonton unta sebanyak-banyaknya, dan saya sempat malu karena merasa tidak memahami unta setelah sekian pengalaman tersebut. Barulah, setelah menaiki punggung unta, saya tahu kenapa hewan ini punya penggemar. Unta ternyata nyantai abis hewannya. Memang agak aneh, tapi binatang satu ini manfaatnya banyak banget. Mereka bagaikan kapal tanker yang tahan banting melewati lautan pasir di Arabia. Ngerti saya sekarang. Paham. Unta emang hebat sih. Unta memang bukan anjing, tapi mereka tak kalah bergunanya.

Pengalaman naik taksi ngebut menyusuri aspal membelah gurun benar-benar tidak ada bandingannya deh. Saya dalam perjalanan menuju Bandara Riyadh. Semakin mendekati ibu kota, jalanan makin ruwet. Ada persimpangan yang bentuknya menyerupai spaghetti tumpah. Sesampainya di kawasan Riyadh, pemandangan bertambah rumit. Di sebelah kiri, ada komplek pabrik, gudang petikemas, serta parkir mobil yang sangat luas. Sementara di sisi kanan, hanya ada gurun, gurun, dan gurun. Kalau kalian berjalan kaki tanpa bawa bekal air minum yang banyak, pasti kurang dari sehari sudah mati kehausan. Harus saya akui, dari semua pemandangan itu, ada yang agung dari lanskap gurun. Lautan warna oranye kemerah-merahan yang diam di sana sejak ribuan tahun lalu, tak berubah sedikitpun, tanpa awan di atasnya, kering, dan tentu saja panas bukan main laiknya oven disetel dalam suhu tertinggi. Gurun sebetulnya tidak cocok dihuni manusia, ataupun hewan. Nyatanya, ada yang tinggal di gurun ini. Unta menjadi rajanya.

Itulah catatan saya selama berkunjung ke Saudi mendatangi festival kecantikan unta di tengah gurun. Silakan datang kalau mau. Saya pokoknya sudah memperingatkan soal gurun lho.

Follow penulis artikel ini di akun Twitter @joelgolby