Keunggulan tanaman budidaya dibandingkan tanaman liar sebagai sumber simplisia adalah

Oleh:
Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, M.S.

Disampaikan pada Sidang Senat Terbuka Universitas Sebelas Maret Tanggal 30 April 2009

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Selamat Pagi dan Salam Sejahtera untuk kita semua.
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan, karunia, rahmat, taufik, hidayah, inayah serta barokah-Nya kepada kita semua, sehingga sampai saat ini kita dapat hadir di sini dalam keadaan sehat tidak kurang suatu apa. Atas ijin Allah SWT saya dapat berdiri di mimbar terhormat ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar dalam bidang Ilmu Agronomi pada Fakultas Pertanian, UNS di hadapan para hadirin yang mulia.

Hadirin yang saya hormati,

Pada hari yang berbahagia ini, perkenankanlah saya menyampai¬kan pidato pengukuhan guru besar dengan judul ”Strategi Pengembangan Budidaya Tumbuhan Obat dalam Menunjang Pertanian Berkelanjutan”. Judul ini saya pilih mengingat pentingnya tumbuhan obat sebagai bagian dari kekayaan plasma nutfah di Indonesia, yang perlu dimanfaatkan sekaligus dilestarikan eksistensinya. Selain itu tumbuhan obat merupakan salah satu komoditi hortikultura prospektif untuk dikembangkan menjadi salah satu komoditas andalan, karena mempunyai peranserta yang besar dalam peningkatan pendapatan masyarakat dan penerimaan devisa negara. Peran tumbuhan obat dalam pemberdayaan ekonomi dapat melalui: (1) penyediaan bahan baku, (2) sebagai penggerak ber¬kembangnya sektor ekonomi pedesaan, (3) pemanfaatan sumber daya domestik, (4) penyerapan tenaga kerja produktif di pedesaan sekaligus sebagai media untuk meratakan dan meningkatkan kese¬jah¬teraan masyarakat, (5) menghasilkan devisa negara. Pengem¬bang¬an tumbuhan obat harus memperhatikan: (1) pengembangan sentra produksi, (2) pengembangan benih, (3) pengembangan penangkar benih/ bibit, (4) pemanfaatan paket teknologi, (5) peningkatan sumber daya manusia, dan (6) penguatan modal kelompok petani  (Pujiasmanto, 2003).

Hasil olahan tumbuhan obat mempunyai nilai ekonomi tinggi.  Penggunaan obat tradisional (herbal medicine) di dunia terus meningkat dari tahun ke tahun.  Total impor fitofarmaka di pasaran internasional pada dekade terakhir ini mencapai 500.000 ton per tahun dan tumbuh 8.5% per tahun. Budidaya tumbuhan obat me¬miliki keuntungan yang bersifat ekonomis maupun non ekonomis, yaitu: (1) peningkatan pendapatan masyarakat, (2) pelestarian ekosistem dan plasma nutfah, (3) penjaminan kontinyuitas suplai bahan baku, (4) peningkatan kuantitas dan kualitas hasil produksi tumbuhan obat.  Perhatian dunia terhadap obat-obatan dari bahan alam (obat herbal) menunjukkan peningkatan, baik di negara-negara berkembang maupun di negara-negara maju. Menurut data  yang dihimpun oleh Sekretariat Convention on Biological Diversity (CBD) penjualan global obat herbal dapat mencapai US $ 60 milyar (>54 triliun rupiah/tahun). Obat-obatan herbal telah diterima secara luas di negara-negara yang tergolong berpendapatan rendah sampai maju. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa 65% dari penduduk negara-negara maju menggunakan obat-obatan herbal (Aspan,  2004; Depkes, 2006;  Pujiasmanto, 2009).

Strategi Pengembangan Tumbuhan Obat Strategi ialah perencanaan, arah dan pengelolaan untuk mencapai suatu tujuan. Strategi ialah rencana yang disatukan, menyeluruh dan terpadu yang mengkaitkan keunggulan strategi dengan tantangan lingkungan. Strategi dirancang untuk memasti¬kan bahwa tujuan utama dapat dicapai melalui pelaksanaan yang tepat. Arah penyiapan teknologi budidaya tumbuhan obat perlu memperhatikan aspek teknis, sosial, budaya dan ekonomi. Aspek teknis ditinjau dari ekologi ialah faktor abiotis dan biotis. Faktor abiotis ialah suhu, kelembaban udara, curah hujan, pH, jenis tanah, struktur tanah, kedalaman solum dan kesuburan tanah. Faktor biotis ialah jenis-jenis pohon dan tumbuhan herba yang berasosiasi dengan tumbuhan obat (Dephut, 2004).

Tahapan awal strategi pengembangan tumbuhan obat dapat dilakukan berkaitan dengan pembudidayaan tumbuhan obat. Proses dari tumbuhan liar menjadi tanaman budidaya melalui penanaman pada habitat baru disebut domestikasi. Domestikasi sebagai proses perkembangan organisme yang dikontrol manusia, mencakup pertumbuhan genetik tumbuhan yang berlangsung berkelanjutan semenjak dibudidayakan. Domestikasi berkaitan dengan seleksi dan manajemen oleh manusia dan tidak hanya sekedar pemeliharaan. Proses mendomestikasi ialah menaturalisasikan biota ke kondisi manusia dengan segala kebutuhan dan kapasitasnya. Pada domestikasi tumbuhan perlu dikaji kondisi benih, perubahan morfologi, laju pertumbuhan dan perkembangannya. Berdasarkan penalaran manusia, tumbuhan didomestikasi dengan beragam cara, mulai cara yang sederhana hingga ke cara yang sangat maju dengan bioteknologi. Menurut Demchik dan Streed (2002) domestikasi untuk tumbuhan dengan cara bertahap ialah: (1) wildcrafting, (2) stand improvement, (3) penanaman (pemeliharaan), (4) seleksi (pemuliaan) dan penggunaan stok andal dalam penanaman (budidaya). Pengubahan tersebut berkonsekuensi dengan penam¬bah¬an modal dan teknologi agronomik penggunaan benih dan bibit terpilih, pengaturan tanaman dan pemupukan yang tepat. Perbaikan teknik budidaya tumbuhan obat ialah cara memperbaiki kualitas simplisia dan meningkatkan kuantitas simplisia dalam jumlah cukup dan seragam untuk memenuhi bahan baku obat. Langkah awal yang dilakukan ialah mengevaluasi kondisi habitat tumbuhan sebagai dasar pengembangan tumbuhan lebih lanjut (Luasunaung et al., 2003; Naiola et al., 2006).

Prospek Pengembangan Budidaya Tumbuhan Obat, dan Pemanfaatannya Prospek pengembangan tumbuhan obat cukup cerah dilihat dari aspek potensi flora, iklim, tanah maupun aspek industri obat dan komestika tradisional. Secara empiris, beberapa tumbuhan obat selain mempunyai keunggulan kimiawi (sebagai bahan obat) juga mempunyai keunggulan fisik (sebagai tanaman hias), dan biologis (sebagai tanaman yang dibudidayakan). Pemanfaatan obat tradisio¬nal meningkat karena pergeseran pola penyakit dari infeksi ke penyakit degeneratif serta gangguan metabolisme. Penyakit dege¬ne¬ratif memerlukan pengobatan jangka panjang yang menyebabkan efek samping serius bagi kesehatan. (Depkes,  2005). Indonesia sangat kaya dengan berbagai spesies flora. Sebanyak 40 ribu jenis flora yang tumbuh didunia, 30 ribu tumbuh di Indonesia. Sekitar 26% telah dibudidayakan dan sisanya sekitar 74% masih tumbuh liar di hutan-hutan. Indonesia memiliki sekitar 17% jumlah species yang ada di dunia. Hutan tropis yang sangat luas beserta keaneragaman hayati yang ada di dalamnya merupakan sumber daya alam yang tak ternilai harganya.  Indonesia dikenal sebagai gudang tumbuhan obat (herbal) sehingga mendapat julukan live laboratory  (Litbang Depkes, 2009). Pemakaian tanaman obat dalam dekade terakhir ini cende¬rung meningkat sejalan dengan berkembangnya industri jamu atau obat tradisional, farmasi, kosmetik, makanan dan minuman. Tanaman obat yang dipergunakan biasanya dalam bentuk simplisia (bahan yang telah dikeringkan dan belum mengalami pengolahan apapun). Simplisia tersebut berasal dari akar, daun, bunga, biji, buah, terna dan kulit batang. Pemanfaatan tanaman obat Indonesia akan terus meningkat mengingat kuatnya keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi kebudayaan mengkonsumsi jamu. Eks¬ploitasi tumbuhan obat yang berlebihan tanpa memperhatikan upaya konservasi, tentu sangat mengkuatirkan. Peran para ahli budidaya (agronomis) dan para ahli bioteknologi khususnya tekno¬logi kultur jaringan sangat penting untuk menghindari kelangkaan bahan baku obat herbal, yang masih banyak diambil dari tanaman aslinya secara konvensional (Radji, 2005). Beberapa bahan baku obat tradisional telah menjadi komo¬ditas ekspor yang andal untuk menambah devisa negara.  Berdasar¬kan data ekspor, Hongkong merupakan pasar utama tumbuhan obat Indonesia karena mempunyai nilai ekspor yang paling besar, walaupun nilai setiap tahunnya berfluktuasi. Rata-rata ekspor tanaman obat Indonesia ke Hongkong setiap tahunnya sebesar 730 ton dengan nilai sebesar US$ 526,6 ribu. Ekspor terbesar kedua adalah ke Singapura dengan rata-rata ekspor setiap tahunnya mencapai 582 ton dengan nilai sebesar US$ 647 ribu. Jerman merupakan tujuan ekspor terbesar ketiga dengan tingkat ekspor rata-rata setiap tahunnya mencapai sebesar 155 ton dengan nilai sebesar US$ 112,4 ribu. Selain itu tujuan ekspor tanaman obat Indonesia ialah Taiwan, Jepang, Korea Selatan & Malaysia. Sebanyak 2000 tumbuhan obat dan tanaman aromatik digunakan di Eropa untuk kebutuhan komersial. Beberapa species botani secara konsisten diperlukan oleh banyak industri di USA dan Eropa, diantaranya gingseng, valerian dan bawang putih (Maximillian, 2008). Untuk menunjang kelestarian lingkungan hidup dan men¬jamin suplai bahan baku bagi kebutuhan industri obat maka perlu dikembangkan sistem budidaya tumbuhan obat yang sesuai dengan agroekosistem. Dalam budidaya tersebut perlu diperhatikan kualitas produk bahan baku yang dihasilkan dan kualitas varietas tanaman.  Pemanfaatan tanaman obat harus seiring dengan upaya pertanian yang menjaga ketersedian, kelestarian dan keaslian jenisnya (speciesnya) (Sukardiman et al.,2009). Terkait kesesuaian lingkungan, iklim dan tanah, untuk budi¬daya tumbuhan obat, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan. Setiap tahap mempunyai ciri tersendiri dan memerlukan perlakuan khusus. Lingkungan tumbuh merupakan faktor yang cukup penting karena berkaitan dengan peningkatan produksi dan dapat di¬pertahankan sifat genetik dari tanaman. Masalah pengolahan lepas panen juga ikut berperan dalam mendapatkan bahan atau simplisia yang bermutu tinggi. Penggunaan produk herbal untuk jamu perawatan kesehatan maupun kecantikan telah diakui oleh masyarakat sejak beberapa abad yang lalu. Konsep jamu ini sebenarnya diambil dari hubungan harmoni antara manusia dan lingkungan alam sekitarnya sehingga menghasilkan konsep-konsep yang unik dalam kaitannya dengan pemeliharaan kesehatan dan kecantikan selaras dengan siklus hidup perkembangan manusia. Prospek pengembangan tanaman obat sangat cerah, karena ada beberapa faktor pendukung, ialah (1) tersedianya sumber kekayaan alam Indonesia dengan keaneka¬ragaman hayati terbesar ketiga di dunia, (2) sejarah pengobatan tradisional yang telah dikenal lama oleh nenek moyang dan diamalkan secara turun menurun sehingga menjadi warisan budaya bangsa, (3) isu global ”back to nature” berakibat meningkatkan pasar produk herbal termasuk Indonesia, (4) krisis moneter menyebabkan pengobatan tradisional menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat dan (5) kebijakan pemerintah berupa peraturan perundangan menunjukkan perhatian yang serius bagi pengembangan tumbuhan obat (Kintoko, 2006).

Banyak kalangan mulai melirik untuk mengembangkan tanaman obat, baik untuk kebutuhan sendiri maupun untuk bisnis. Apalagi sejak masyarakat mulai sadar tentang manfaat tanaman obat untuk menjaga dan memelihara kesehatan dan dengan makin menjamurnya industri-industri obat tradisional di dalam maupun luar negeri. Hal ini juga ditunjang dengan meningkatnya pandang¬an tentang segi positif mengkonsumsi bahan-bahan alam (natural) dibandingkan bahan kimia atau sintesis. Dengan latar belakang tersebut maka beberapa pendapat mengatakan bahwa tanaman obat Indonesia patut dan layak dikembangkan.

Kelemahan Pengembangan Tumbuhan Obat
Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, ditemukan berbagai simpul lemah dalam rangkaian kegiatan yang berhubung¬an dengan kegiatan pengembangan tumbuhan obat. Simpul-simpul lemah tersebut perlu diangkat sebagai isu strategis untuk mendapat¬kan penanganan secara tepat, profesional dan terpadu. Berbagai simpul lemah tersebut yaitu:

1. Sumber bahan obat alam sebagian besar (diperkirakan lebih dari  90%) masih merupakan pengumpulan dari tumbuhan liar, hutan dan pekarangan. Kegiatan budidaya tanaman obat belum banyak diselenggarakan secara profesional. 2. Industri kecil obat tradisional dan juga banyak industri obat tradisional berskala besar memperoleh bahan baku langsung dari pengumpul dan atau pedagang (penyalur) simplisia. Pedagang simplisia yang sebagian besar berada di Jawa Tengah dan di Jawa Timur memperoleh suplai simplisia dari petani di pulau Jawa. 3. Mutu simplisia pada umumnya kurang memenuhi persyaratan yang diperlukan, akibat ketidakmampuan petani dan pengumpul dalam mengolah dan mengelola simplisia secara baik. 4. Hampir semua obat tradisional, baik industri kecil maupun industri besar, belum melakukan bimbingan/pelatihan teknis kepada pengumpul dan petani. Industri mengaku menerima dan menyeleksi kembali hasil yang diperoleh dari pengumpul dengan biaya yang cukup besar. Walaupun demikian sudah ada beberapa industri obat tradisional yang membangun kemitraan dengan petani di sekitar lokasi pabriknya.

5. Industri obat tradisional masih sangat kurang memperhatikan dan memanfaatkan hasil-hasil penelitian ilmiah dalam pengem¬bangan produk dan pasar. Dalam pengembangan pasar industri obat tradisional masih lebih menekankan pada kegiatan pro¬mosi, dibanding dukungan ilmiah mengenai kebenaran khasiat, keamanan dan kualitasnya. Dalam era globalisasi dengan pasar bebasnya, upaya standarisasi yang berlaku secara nasional/ internasional menjadi hal yang sangat penting. Oleh karena itu penyusunan standar bahan baku dan sediaan jadi perlu terus ditingkatkan.

Peluang Pengembangan Tumbuhan Obat
Beberapa peluang yang bisa mewujudkan keberhasilan agri¬bisnis tanaman obat di Indonesia antara lain sebagai berikut.

1. Sejak terjadi masa krisis, posisi obat tradisional yang berbahan baku nabati mulai bisa sejajar dengan obat-obatan modern di pasaran karena harganya relatif murah. 2. Tren kembali ke alam di negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika makin mempopulerkan pengobatan dan perawatan kesehatan secara natural sehingga meningkatkan permintaan dunia terhadap bahan baku nabati. 3. Untuk mengantisipasi tingginya permintaan bahan baku nabati oleh negara-negara penghasil produk herbal seperti Cina dan India maka Indonesia adalah daerah yang cocok untuk pengem¬bangan budidaya tanaman obat. Seperti yang terjadi di negara Eropa dan Amerika yang mengembangkan bahan baku nabati di daerah Amerika Selatan dan Afrika Barat yang bersuhu tropis.

4. Beberapa jenis tanaman tropis yang berkhasiat obat dan banyak digunakan untuk perawatan natural hanya bisa tumbuh di daerah tropis Indonesia.

Tantangan Pengembangan Tumbuhan Obat
Beberapa tantangan yang mendorong untuk segera dilakukan pengembangan budidaya tumbuhan obat dan kosmetika di Indo¬nesia adalah sebagai berikut:

1. Tumbuhan obat sudah mulai sulit ditemukan di habitatnya, bahkan  beberapa spesies sudah mulai langka karena kurangnya kesadaran masyarakat yang tidak menghiraukan segi peles¬tarian, tetapi hanya memanfaatkan saja. 2. Berdasarkan beberapa penelitian, produksi simplisia dari tanaman obat  hasil budidaya masih lebih rendah dari tanaman liar, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. 3. Beberapa spesies tumbuhan obat masih cukup sulit dibudi¬dayakan secara konvensional. 4. Budidaya tumbuhan obat dan komestika sebaliknya dilakukan dengan sistem organik (organic farming) tanpa menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya seperti pupuk kimia buatan, herbisida, insektisida, dan fungisida. 5. Budidaya tanaman tanpa menerapkan bioteknologi yang di¬kuatir¬kan dapat merusak gen-gen bermanfaat dari tanaman dalam jangka waktu yang lama.

6. Pasar tumbuhan bahan obat masih terbatas dan eksklusif, walaupun akhir-akhir ini permintaannya cukup tinggi baik lokal maupun ekspor.

Program Pengembangan Tumbuhan Obat Secara umum kebijakan pengembangan tumbuhan obat di Indonesia ditujukan untuk pemanfaatan sumber daya alam tum¬buhan obat lainnya secara optimal bagi pembangunan kesehatan sekaligus pembangunan industri obat tradisional dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam tersebut. Strategi pengembangan tumbuhan obat dilakukan dengan pendekatan asas manfaat, asas legalitas secara komprehensif terpadu dari hulu ke hilir dengan melibatkan semua pihak terkait yang mencakup unsur pemerintah, industri, petani, pendidik, peneliti dan praktisi kesehatan. Semua kegiatan pengembangan tumbuhan obat berbasis pada lima pilar program pengembangan tumbuhan obat yaitu: 1.    Pemeliharaan mutu, keamanan dan kebenaran khasiat 2.    Keseimbangan antara suplai dan permintaan (demand) 3.    Pengembangan dan kesinambungan antara industri hulu, industri antara, dan industri hilir. 4.    Pengembangan dan penataan pasar, termasuk penggunaan pada pelayanan kesehatan

5.    Penelitian dan pendidikan.

Pengembangan Budidaya Tumbuhan Obat Menunjang Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Pada hakikatnya, sistem pertanian yang berkelanjutan adalah back to nature, yakni sistem pertanian yang tidak merusak, tidak mengubah, serasi, selaras, dan seimbang dengan lingkungan atau pertanian yang patuh dan tunduk pada kaidah-kaidah alamiah. Upaya manusia yang mengingkari kaidah-kaidah ekosistem dalam jangka pendek mungkin mampu memacu produktivitas lahan dan hasil. Namun, dalam jangka panjang biasanya hanya akan berakhir dengan kehancuran lingkungan. Kita yakin betul bahwa hukum alam adalah kuasa Tuhan. Manusia sebagai umat-Nya hanya berwenang menikmati dan berkewajiban menjaga serta melestari¬kannya. Terminologi pertanian berkelanjutan (sustainable agri¬culture) sebagai padanan istilah agroekosistem pertama kali dipakai sekitar awal tahun 1980 oleh pakar pertanian FAO (Food Agriculture Organization). Agroekosistem sendiri mengacu pada modifikasi ekosistem alamiah dengan sentuhan campur-tangan manusia untuk menghasilkan bahan pangan, serat, dan kayu untuk memenuhi kebutuhan dan kesejahteraan manusia. Conway (pakar pertanian) menggunakan istilah pertanian berkelanjutan dengan konteks agroekosistem yang berupaya memadukan antara produktivitas (productivity), stabilitas (stability), dan pemerataan (equity). Jadi, semakin jelas bahwa konsep agroekosistem atau pertanian ber¬kelanjutan adalah jawaban bagi kegamangan dampak green revolution yang antara lain ditengarai oleh semakin merosotnya produktivitas pertanian (leveling off). Green revolution memang sukses dengan produktivitas hasil panen biji-bijian yang menakjub¬kan (miracle seeds), namun ternyata juga memiliki sisi buruk atau eksternalitas negatif, misalnya erosi tanah yang berat, punahnya keanekaragaman hayati, pencemaran air, bahaya residu bahan kimia pada hasil-hasil pertanian, dan lain-lain (Conway and Barbier, 1990). Di kalangan para pakar ilmu tanah dan agronomi, istilah sistem pertanian berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input (benih, pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian (Reijntjes et al., 2006). Kata sustainable mengandung dua makna, yaitu maintenance dan prolong. Artinya, pertanian berkelanjutan harus mampu merawat atau menjaga (maintenance) untuk jangka waktu yang panjang (prolong). Dalam bahasa Indonesia, sustainable di¬terjemah¬kan dengan kata berkelanjutan. Otto Soemarwoto lebih senang menggunakan istilah terkelanjutan. Dalam bahasa Jawa dikenal istilah yang lebih tepat, yaitu pertanian lumintu (terus-menerus), sempulur (lestari, langgeng), atau milimintir. Berhubung lahir sebagai solusi alternatif untuk mengatasi kegagalan pertanian modern di masa lalu, pertanian berkelanjutan juga dapat disebut pertanian pascamodern (Salikin, 2007).

Di Indonesia, pembangunan berwawasan lingkungan merupa¬kan implementasi dari konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat tani secara luas, melalui peningkatan produksi pertanian, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas, dengan tetap memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Pembangunan pertanian yang dimaksud ialah pembangunan pertanian dalam arti luas atau komprehensif, meliputi bidang-bidang pertanian tanaman pangan, tumbuhan obat (hortikultura), perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan kelautan. Pembangunan pertanian harus dilakukan secara seimbang dan disesuaikan dengan daya dukung ekosistem sehingga kontinyuitas produksi dapat dipertahankan dalam jangka panjang, dengan menekan tingkat kerusakan lingkungan sekecil kecilnya. Pengembangan budidaya tumbuhan obat yang menunjang pem¬bangunan pertanian berkelanjutan dapat dilakukan dengan budi¬daya secara organik.

Pengembangan Budidaya Tanaman Obat Secara Organik Di kawasan hutan hujan tropis Indonesia diperkirakan terdapat sekitar 30.000 spesies tanaman tumbuh di jumlah tersebut jauh melebihi potensi daerah-daerah tropis lainnya, termasuk Amerika Selatan dan Afrika Barat. Dari spesies tanaman yang ada tersebut, lebih dari 8.000 spesies merupakan tanaman yang mem¬punyai khasiat obat dan baru 800-1.200 spesies yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk obat tradisional atau jamu (Litbang Depkes, 2009). Mengingat kekayaan alam Indonesia dengan keberagaman tanaman berkhasiat obat maka sudah selayaknya jika penggunaan dan pemanfaatannya tetap memperhatikan faktor pelestariannya agar tidak sampai punah. Namun demikian, sejalan dengan meningkatnya permintaan bahan nabati yang diambil dari tanaman untuk keperluan pengobatan maupun perawatan kesehatan dan kecantikan maka perlu segera dilakukan upaya pembudidayaan tanaman tersebut di habitat aslinya (in situ) maupun luar ling¬kungan tumbuhnya (ex situ). Hal ini dimaksudkan untuk menjaga keberadaan suatu jenis tanaman dengan tidak mengambilnya secara liar dan tidak terkendali dari lingkungan tumbuhnya. Untuk itu, perlu dilakukan upaya pembudidayaannya. Upaya ini diharapkan dapat mengimbangi pesatnya perkembangan pemanfaatan bahan nabati untuk produk herbal dalam skala industri besar. Pada awalnya, industri herbal memang hanya terbatas pada industri kecil dan skala rumah tangga yang dipasarkan secara lokal dan individu seperti jamu gendong. Namun, industri ini sekarang sudah ekspor ke manacanegara. Oleh karena itu, upaya pembudi¬dayaan tanaman obat ini sangat tepat. Di samping untuk memenuhi kebutuhan bahan baku nabati dengan kualitas yang baik dan kontinyu, upaya ini juga untuk melestarikan jenis-jenis tanaman obat tertentu dengan tidak mengganggu kehidupan di lingkungan tumbuhnya atau di habitatnya. Beberapa orang yang sangat peduli terhadap keberlanjutan hidup generasi mendatang mulai berbuat sesuatu dengan memper¬kenalkan sistem bercocok tanam yang tidak bergantung pada bahan-bahan kimia. Sistem bercocok tanam ini dikenal dengan sebutan bercocok tanam secara organik (organic farming). Bercocok tanam secara organik didasarkan pada empat prinsip dasar yaitu 1) tidak menggunakan pestisida kimia. 2) tidak meng¬gunakan pupuk kimia. 3) beberapa spesies gulma tetap dibiarkan tumbuh, dan 4) tidak membajak tanah yang akan ditanami. Penggunaan pestisida kimia sebaiknya dihindarkan sama sekali dan diganti dengan pestisida alami, seperti misalnya dengan menanam beberapa jenis tanaman atau gulma yang bagian tubuh¬nya (bunga, daun, atau akarnya) dapat berfungsi sebagai pengusir serangga pengganggu. Pestisida alami bisa juga dibuat dengan menggunakan ramuan dari beberapa jenis tanaman kemudian dicampur dan dilarutkan untuk disemprotkan ke tanaman. Sementara, pupuk yang digunakan untuk menambah nutrisi dalam tanah sebaiknya berupa pupuk alam atau pupuk organik berasal dari sampah dapur, humus, serasah daun, atau tanaman lainnya yang telah melalui proses penguraian oleh bakteri. Menurut Fukuoka (1985)  pembajakan tanah akan merusak udara, air, dan nutrisi di dalam tanah yang sangat diperlukan bagi pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies gulma yang dibiarkan tumbuh di sekitar pertanaman dimungkinkan dapat menanggulangi kerusakan tanah akibat pertumbuhan tanaman lainnya. Jenis gulma tersebut tentu saja yang dapat menunjang pertumbuhan tanaman utama seperti gulma dari jenis Leguminoccae atau polong-polongan. Beberapa ahli di bidang budidaya organik yang lain yaitu Klaus Mori, Kurt Egger, dan Bapa Agato Eisener (Swiss) sangat mendukung konsep budidaya organik ini. Mereka berpendapat bahwa konsep utama budidaya organik ialah bercocok tanam secara tumpang sari (multiple cropping), yaitu dalam satu luasan ditanam beberapa jenis tanaman. Upaya ini pada awalnya memang sangat sulit dan cukup berat untuk mengubah sistem bercocok tanam yang telah lama dilakukan petani menuju sistem budidaya organik. Kendala ini terutama dirasakan pada saat menghadapi serangan hama atau penyakit karena dalam sistem budidaya organik tidak digunakan pestisida. Petani umumnya juga belum siap menghadapi kenyataan bahwa hasil panennya sangat jelek dan di pasar dihargai sangat murah. Namun demikian, masalah-masalah tersebut sudah dapat diatasi sedikit demi sedikit, misalnya saja untuk menang¬gulangi hama bisa digunakan pestisida alami seperti daun sereh, tembakau, bunga cengkih, atau bahan-bahan lain (Wardana et al., 2002). Departemen Pertanian pernah mencetuskan suatu tema ”Menuju Pertanian Organik 2010”. Hal ini merupakan salah satu langkah strategis dalam rangka mempercepat terwujudnya program pembangunan agribisnis berwawasan lingkungan (ecoagri¬business) untuk meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan masya¬rakat. Selanjutnya, dikatakan bahwa pertanian organik ialah sistem produksi yang holistik dan terpadu dengan mengutamakan kesehatan dan produktivitas agroeosistem secara alami untuk mampu meng¬hasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berke¬lanjutan.

Untuk itu, beberapa teknik yang dilakukan dalam pertanian organik adalah sebagai berikut:

1. Mengindari penggunaan benih/bibit hasil rekayasa genetika. 2. Menghindari penggunaan pestisida kimia sintesis. Pengendalian gulma, hama mapun penyakit sebaiknya dilakukan secara mekanis, biologis, dan rotasi tanaman.

3. Menghindari penggunaan zat pengatur dan pupuk kimia sintesis. Untuk itu, kesuburan dan produktivitas tanah di¬tingkatkan dan dipelihara melalui penggunaan bahan-bahan organik berupa humus, serasah tanaman, pupuk kompos, kandang, dan batuan mineral alami, serta penanaman legum (tanaman polong-polongan), dan rotasi tanaman.

Tumbuhan Obat Unggulan Berdasarkan Badan POM Depkes RI ada 9 tanaman obat unggulan Indonesia. Pengembangan produk obat bahan alam ke arah fitofarmaka dengan melakukan serangkaian penelitian ter¬hadap 9 tumbuhan obat unggulan Indonesia mulai dari budidaya sampai uji klinik (Aspan, 2004). Obat bahan alam yang telah dibuktikan khasiat dan ke¬amanan¬nya berdasarkan uji klinik adalah sejajar dengan obat modern. Oleh karena itu tidak ada alasan penolakan penggunaan fitofarmaka pada pelayanan kesehatan formal asalkan sesuai dengan tujuan penggunaannya.

Kesembilan tumbuhan obat unggulan tersebut ialah :

1. Salam (Eugenia polyantha), bagian daunnya berkhasiat: anti¬hipertensi, imunomodulator, dan diabetes. 2. Sambiloto (Andrographis paniculata), bagian tanaman di atas tanah berkhasiat; diabetes, antiinflamasi, antihipertensi, dan antimikroba. 3. Kunyit (Curcuma domestica), bagian rimpang berkhasiat; menurunkan hepatoprotector, antiinflamasi, dan dyspepsia (gangguan pencernaan). 4. Temulawak (Curcuma xanthorriza) bagian rimpang ber¬kha¬siat; hepatoprotector, antiinflamasi, dyspepsia (gangguan pencernaan). 5. Jati Belanda (Guazuma ulmifolia) bagian daun berkhasiat; menurunkan kolesterol, dan diabetes. 6. Cabe Jawa (Piper retrofractum) bagian buah berkhasiat; andro¬genik, dan anabolik. 7. Mengkudu/Pace (Morinda citrifolia) bagian buah masak berkhasiat; antihipertensi, imunomodulator, diabetes. 8. Jambu biji (Psidium guajava) bagian daun untuk mengobati demam berdarah.

9. Jahe merah (Zingiber officinale) bagian rimpang berkhasiat; antiinflamasi, analgesik, rheumatik.

Penelitian-penelitian terhadap tumbuhan obat unggulan telah dilakukan oleh institusi terkait dan perguruan tinggi, sebagaimana yang pernah penulis lakukan terhadap tumbuhan obat sambiloto atas payung kerjasama BPTO dengan Fakultas Pertanian UNS.  Sambiloto sebagai salah satu tumbuhan obat unggulan, berdasarkan survai yang penulis lakukan ternyata belum dibudidayakan, dan diambil dari hutan-hutan, sehingga dapat mengganggu kelestarian alam. Terkait dengan pertanian berkelanjutan, sambiloto perlu didomestikasi (dibudidayakan), sehingga sebagai bahan obat herbal dapat terpenuhi baik kuantitas dan kualitas, sekaligus terjaga erosi plasmanutfah dan kerusakan alam. Diharapkan hasil penelitian akan meningkatkan pemanfaatan bahan obat alam dalam pelayanan kesehatan masyarakat.
Pengembangan pemanfaatan obat bahan alam dalam pela¬yanan kesehatan masyarakat membuka kesempatan kepada produsen untuk mengembangkan produknya ke arah fitofarmaka. Untuk melindungi masyarakat dari produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan manfaat ada instansi yaitu Badan POM yang melakukan pengawasan terhadap produk sebelum dan sesudah beredar. Sebelum beredar, produk didaftarkan di Badan POM untuk dievaluasi terhadap aspek mutu, keamanan dan manfaat, dan apabila telah memenuhi persyaratan maka diberikan persetujuan sehingga produk tersebut dapat beredar. Terhadap produk yang telah beredar dilakukan kegatan survei dan atau monitoring dengan mengamati parameter efek samping, kegiatan yang merugikan serta periklanan dan promosi. Peran Badan POM dalam mendukung industri obat bahan alam diharapkan dapat meningkatkan gairah perkembangan bisnis obat bahan alam mengingat masa depannya yang cerah dan potensinya yang cukup besar (Aspan, 2004).

Pengembangan Budidaya Tumbuhan Obat dengan Riset Aksi Riset Aksi (action research) merupakam metode pembelajaran masyarakat menjadi pilihan tepat untuk usaha pengembangan masyarakat dalam rangka pemasyarakatan budidaya tumbuhan obat yang berorientasi komersial. Dalam riset aksi terjadi usaha-usaha untuk mendorong masya¬rakat baik secara individu maupun kelompok untuk meman¬faat¬kan potensi yang ada pada diri mereka untuk mengembangkan diri dan melakukan perbaikan-perbaikan. Pertama kali yang perlu ditempuh dalam penemuan paket teknlogi tanaman obat adalah melakukan pengumpulan data pendahuluan (need assesment); yang dalam hal ini dapat diketahui kebutuhan-kebutuhan apa yang diperlukan oleh masyarakat setempat. Setelah diketahui secara pasti potensi daerah maupun minat masyarakat terhadap pengembangan tanaman obat lalu diadakan persiapan sosial, pengorganisasian masyarakat dan kemudian dilakukan kegiatan aksi yang dapat berupa pembuatan demplot (lahan percontohan) yang berisi percobaan-percobaan yang berhubungan dengan budidaya tanaman obat untuk mendapatkan paket teknologi yang tepat guna. Mulai dari persiapan sampai pengamatan, evaluasi masyarakat dilibatkan secara aktif. Setiap tahapan riset aksi diadakan ”back up research” untuk menindaklanjuti kegiatan-kegiatan yang menonjol atau hal-hal yang perlu diteliti lebih lanjut. Tahap akhir dari riset aksi adalah pelembagaan (institusionalisasi), jika kegiatan komoditi tanaman obat dengan paket teknologinya telah teruji dengan baik. Hadirin yang saya hormati,

Uraian yang telah saya sampaikan dapat diambil suatu kesimpulan bahwa (1) pengembangan budidaya tumbuhan obat harus memperhatikan kaidah-kaidah alam, dengan strategi melaku¬kan domestikasi terhadap tumbuhan obat secara organik, (2) pengem¬bangan tumbuhan obat didahulukan yang unggul dan prospektif serta telah teruji secara klinik untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya tanpa merusak lingkungan, (3) pengembangan budidaya tumbuhan obat dapat dilakukan dengan cara riset aksi (action research) dengan pelibatan masyarakat di semua tahapan kegiatan. Akhirnya keberhasilan pengembangan tumbuhan obat bergantung kesinambungan antara petani (industri hulu), pengum¬pul/pedagang (industri antara), dan pabrik/eksportir obat herbal (industri hilir). Semua pihak baik unsur petani, pedagang, industri obat, peneliti dan pemerintah harus sinergi dan terpadu agar pengembangan budidaya tumbuhan obat yang berwawasan per¬tanian berkelanjutan terwujud.

UCAPAN TERIMA KASIH

Hadirin yang saya hormati dan saya muliakan.
Sebelum mengakhiri pidato pengukuhan ini, secara tulus saya menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk memangku jabatan Guru Besar dalam bidang Agronomi pada Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. 2. Rektor/Ketua Senat Universitas Sebelas Maret, Bapak Prof. Dr. Muchammad Syamsulhadi, dr., Sp.Kj.(K), dan seluruh anggota Senat Universitas, Dekan/Ketua Senat Fakultas Pertanian Univer¬sitas Sebelas Maret dan segenap  anggota Senat Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Agronomi, Ketua Laboratorium EMPT beserta jajarannya, dan Tim Kumulatif Kredit Point (CCP) yang telah menyetujui dan mengusulkan saya untuk menduduki jabatan Guru Besar. 3. Tim Asistensi Kelayakan Pengukuhan Guru Besar: Prof. Drs. Suranto, MSc., PhD.;  Prof. Dr. Ambar Mudigdo, dr.,Sp.PA(K); Prof. Dr. Bani Sudardi, M.Hum.; Prof. Dr. Sigit Santosa, MPd.; dan Prof. Dr. Joko Nurkamto, MPd. yang telah memberikan masukan. 4. Kepada guru-guru saya di Sekolah Rakyat Negeri V Karang¬anyar, SD Negeri Jetis Karangmalang Juwiring Klaten, SMP Negeri 1 Karanganyar, SMA Negeri I  Karanganyar, Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada dan Program Pascasarjana Univer¬sitas Brawijaya, saya menghaturkan terima kasih yang berkat jasa dan pengabdiannya, saya dapat mencapai jabatan tertinggi sebagai Guru Besar di Perguruan Tinggi. Untuk para guru saya tersebut, saya mendoakan semoga Allah SWT membalas budi baik beliau dengan pahala dan karunia yang berlipat ganda. 5. Prof. Ir. Harjono Danoesastro (alm.); Prof. Dr. Ir. T. Sujono selaku pembimbing saya pada jenjang S1 dan Prof. Ir. Asparno Mardjuki (alm.); Prof. Dr. Ir. Soedharoedjian (alm.); Ir. Djoko Isbandi, MSc. (alm); dan Ir. Siti Fatimah, SU selaku pem¬bimbing saya pada jenjang S2. 6. Prof. Dr. Ir. Jody Moenandir, Dipl. Agr. Sc.; Prof. Dr. Ir. Syamsul¬bahri, MS., dan Prof. Dr. Ir. Kuswanto, MS., selaku Promotor, Ko-Promotor disertasi saya, dan Prof. Dr. Ir. Tatik Wardiyati, MS.; Dr. Ir. Agus Suryanto, MS.; Dr. Ir. Sudiarso, MS.; dan Prof. Dr. Ir. Djoko Purnomo, MP. selaku penguji disertasi, terima kasih atas segala bimbingan, perhatian, dan arahan yang sangat besar kepada saya. 7. Segenap civitas akademika Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, khususnya di Jurusan Agronomi/Prodi. Agro¬teknologi. Terima kasih atas doa, dukungan, bantuan dan kerja sama yang telah kita ciptakan bersama selama ini. 8. Ir. Toeranto Sugiyatmo, Ir. Zainal Jauhari, MS., Prof. Dr. Ir. Sholahudin, MS.; Prof. Dr. Ir. Suntoro Wongso Atmojo, MS. yang telah memberikan bimbingan dan motivasi kepada saya untuk menuntut ilmu dan karier. Prof. Dr. Ir. Djoko              Purnomo, MP.; Ir. Wartoyo SP, MS.; Ir. Suharto Pr., MS.;  Prof. Dr. Ir. Supriyono, MS.; Prof. Dr. Ir. Edi Purwanto, MSc.; Dr. Ir. Pardono, MS.; Dr. Ir. Sulanjari, MS.; Ir. Eddy Tri¬haryanto, MP.; Ir. Sri Nyoto, MS.; Ir. Triyono DS, MP.;             Dr. Ir. Purwanto, MS.; Dr. Ir. Eko Murniyanto, MS.;                      Dr. Ir. MTH Budiastuti M.Si.; Drs. Didik Suroto, MP.; Hery Widijanto, SP.,MP.; dan kolega yang lain di lab. EMPT dan lab. lainnya lingkup FP-UNS yang telah memberikan inspirasi dan teman diskusi. 9. Kedua Orang Tua Saya, Ayahanda M. Tarumulyatno (Alm.) yang selalu memberikan keteladanan dan berpesan agar putra-putranya menuntut ilmu setinggi-tingginya, dan ibunda                     R. Ngt. Sriyati tercinta, atas jasanya membesarkan dan men¬didik saya sejak kecil, memberikan motivasi dan selalu mendoakan saya. Kedua mertua saya Bp. Mulyanto (alm) dan ibu R. Ngt. Ning Komariasri yang telah memotivasi dan selalu mendoakan saya. 10. Akhirnya, terima kasih kepada istriku Dra. Linda Nur              Susila, MM. dan kedua anakku Bintang Asmanda Putra dan Kartika Asmanda Putri atas pengertian, doa, pengorbanan dan sumbang sarannya. Juga kepada kakakku beserta keluarganya: Ir. Suwono Pujiastopo; Dr. Ir. Djoko Muljanto, MSc. (alm.);  dr. Tri Atmodjo Wasito, SpB. dan adikku beserta keluarganya: drh. Sri Gatiyono, MSc.;   Ir. Heru Santosa, dan Drs. Saptono, yang selalu mendoakan dan berdiskusi. Juga kakak dan adik ipar beserta keluarganya: Sri Mulyaningsih, BA. (alm.), Anda Nur Juwita, Cahyo Nugroho, SE.; Dirgahayu Nugrahani, SE. dan Kurniawan Jati, ST. yang telah memberikan doa.

11. Semua pihak yang telah membantu baik berupa tenaga, sumbangsaran dan fasilitas,  penulis mengucapkan terima kasih. Semoga cita-cita luhur kita selalu mendapat ridhlo Allah SWT, Allahumma Amin. Maha Suci Allah, Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam.

Wabillahittaufiq Wal Hidayah,
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh.

DAFTAR PUSTAKA

Aspan, R. 2004. Pengembangan pemanfaatan obat bahan alam dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Pros. Sem. Nas. 25 Tumb. Obat Ind. Depkes RI.: 8 -15. Demchik and Streed. 2002. “Non timber forest products and implication for forest managers: use, collection and growth of berries, fruits and nuts”. http://www.rudyct.topcities.com. Dephut.  2004.  “The roles of medicinal plants on plantation forest development”.  http://www.dephut.go.id/indonesia. Depkes. 2005. Pokok-pokok kebijakan nasional penelitian dan pengembangan tanaman obat dan pengobatan tradisional. Temu Ilmiah Iptek Balitbang Depkes RI. : 1 – 14. Depkes. 2006. ”Mengenal beberapa tanaman yang digunakan sebagai anti diabetika”. http://www.pom.go.id/public/ default.asp. 6 Januari 2006. Conway, G.R. and Barbier. 1990. After green revolution, sustain¬able agriculture development. Earthscan Pub., London. Fukuoka, M. 1985. The One-Straw Revolution. Bamtam Books. Toronto. Gunawan, D. dan S. Mulyani. 2004. Ilmu obat alam (farma¬kognosi). Penebar Swadaya. pp. 139. Jenie, U.A., M.Hanafi dan L.B.S. Kardono. 2005. Metode bio¬teknologi dan biomolekuler terkini dan tepat guna yang mendukung pengembangan obat tradisional/alam di pasar lokal dan global. Temu iIlmiah dan Iptek Balitbang Depkes RI.: 4 – 11. Kintoko, 2006. ”Prospek pengembangan tanaman obat”.  http://pkukuwel.ukm. Download 31-03-2009. Litbang Depkes. 2009. ”Tanaman obat asli milik bangsa dan negara RI”. http://www.bmf.litbang.depkes.go.id. Download              31-03-2009. Luasunaung, A., Erwan, G.E. Mamuaya, Kisman, N. Sahiri, R.L. Worang, Purwantomo,S., Susiyanti,  dan V.J.Pical. 2003. ”Domestikasi tumbuhan dan hewan”. http://www.ruyct. topcities.com. 2 Maret 2006. Maxximilllian, 2008. “Pharmacy Business, an overview of pharmacy related and healthcare industry”. http://www. bisnisfarmasi.wordpress.com Muhlisah, F.1999. Temu-Temuan dan Empon-empon Budidaya dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Mursito, B dan H. Prihmantoro. 2002. Tanaman Hias Berkhasiat Obat. Penebar Swadaya, Jakarta. Moenandir, J. 2004. Prinsip-prinsip utama, Cara menyukseskan produksi pertanian. Dasar-dasar budidaya pertanian. Bayu Media Publ. Malang. pp. 378. Naiola B.P., T. Murningsih dan Chairul. 1996.  Pengaruh stres air terhadap kualitas dan kuantitas komponen aktif pada sambiloto.  Warta Tumb. Obat Indo. Pujiasmanto, B. 2001. Usaha-usaha Peningkatan Tanaman Jahe. Caraka Tani (19) : 1. FP-UNS, Surakarta. Pujiasmanto, B. 2003. Pengembangan Budidaya Tanaman Obat. Pelatihan Teknis Fungsional Pengawasan Mutu Benih Tanaman Obat, di Tawangmangu 20 – 23 Oktober 2003. Pujiasmanto, B. 2008. ”Prospek Budidaya Tumbuhan Obat”. Berita Nasional Yogyakarta. 11 Oktober 2008. Pujiasmanto, B. 2008. ”Perlunya Domestikasi Tumbuhan Obat”. Berita Nasional Yogyakarta. 1 November 2008. Pujiasmanto, B. 2009. Domestikasi Tumbuhan Obat Untuk Mengatasi Erosi Plasmanutfah Akibat Krisis Ekonomi. Seminar Nasional Revitalisasi Pertanian Dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global. Suarakarta 21 Maret 2009. Pus.Ris. Obat & Makanan. 2004. Pedoman budidaya pasca panen dan produksi obat bahan alam. Pus. Ris. Obat dan Makanan. Jakarta.  pp. 27. Radji, M.,2005. ”Peranan bioteknologi dan mikroba endofit dalam pengembangan obat herbal”. Jurnal Ilmu Kefarmasian (2)3 : 113- 126. Tim Penulis. 2004. ”Obat tradisional”. http://www.majalah-farmacia.com/news.php.  5 Januari 2006. Tim Penulis.  2007.  ”Menjaga benteng pertahanan tubuh”. http:// www.pen.swadaya.com. 6 Januari 2008. Reijntjes, C., B. Havercort, dan W. Bayer. 2006. Pertanian Masa Depan. Pengantar untuk pertanian berkelanjutan dengan input luar rendah. Kanisius, Yogyakarta. Salikin, K.A. 2007. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius, Yogyakarta. Simon, A.J. 1996. “ICRAF’s Strategy for domestication of non–wood tree products”. http://.www.fao.org/docrep/w373e/ 373eo7.htm. Soemartono, 1996. Paradigma Dasar dan Inovasi Iptek Menyongsong Pertanian Abad ke-21. FP-UGM, Yogyakarta. Sumarno, 2003. Kesiapan Pertanian Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas dan Otonomi Daerah Khususnya Agrobisnis Hortikultura. Seminar Nasional FP-UNS, Surakarta. Sukardiman, A. Wydarwaruyanti, H.Plumeriastuti, 2009. Komisi Pengembangan Obat Tradisional (KPOT). LPPM, Univ. Airlangga, Surabaya. Syukur C, 2003. Temu Putih Tanaman Obat Anti Kanker. Penerbit Swadaya, Jakarta. Syukur C, dan Hernani, 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Penerbit Swadaya, Jakarta. Utami, N.W. dan T. Juhaeti. 2004. Respon mengkudu  pada media tanam dan naungan. Pros. Sem. Nas. 25. Pokjanas Tan. Obat Indonesia.: 118 -126. Vanhaelen, M., J. Lejoly, M. Hanocq, and L. Molle. 1991. Climate and geographical aspects of medicinal plant constituents. The Medicinal Plant Industry.  2(1): 59 – 76. Verpoorte, R.  2000.  Secondary metabolism. Kluwer Acad. Publi. London. p. 1 – 9. Wardana, H., N.S. Barwa, A.Kongsjahyu, M.A. Iqbal, M.Khalid  dan R.R. Karyadi. 2002. Budidaya organik tanaman obat rimpang. Penebar Swadaya, Jakarta. pp.  96. Winarto, W.P. 2003. Sambiloto : Budidaya dan pemanfaatan untuk obat. Penebar Swadaya. Jakarta. pp.  71. Wilkipedia. 2008. Domestication. http://www.encyclipedia.org/ AE/AEC/AEF/case leaf.html. 9 Januari 2008. Widiyastuti, Y. 2003. Budidaya dan pembibitan tanaman obat. Mak. Pel. BPTO. Tawangmangu.: 4 – 9.

Yulianto, A, 2003. “Peran Pemerintah Daerah Pada Pengembangan Agrobisnis Hortikultura Di Era Otonomi Daerah”. Seminar Nasional. FP-UNS, Surakarta.