Kewajiban orang tua terhadap anak laki-laki menurut islam

GALAJABAR - Kewajiban dan tanggung jawab seorang anak laki laki menurut Islam tidak hanya hanya tanggung jawab pada dirinya sendiri. Tanggung jawab tersebut adalah bagaimana seorang laki-laki mampu memberikan keselamatan, mengingatkan, menasehati, mendidik, membimbing, merawat, menjaga, dan kebaikan kepada lawan jenisnya, yaitu perempuan.

Allah SWT ber firman dalam Alquran,

“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Qs. At-Tahrim : 6).

Lalu siapa sajakah perempuan-perempuan tersebut? Berikut empat wanita yang menjadi tanggung jawab laki-laki? Berikut penjelasannya.

Baca Juga: Teddy Gusnaidi Tak Mau Ikut Campur Gejolak Partai Demokrat: Ada Gonjang-Ganjing di Internal Partai Itu Biasa

1. IbuIbu yang melahirkannya merupakan tugas dan tanggung jawab anak laki-laki. Anak laki-laki bertanggung jawab atas segala perbuatan ibunya.

Jika anak laki-laki tidak mau mengingatkan dan menasehati ibunya dalam hal perbuatan yang melanggar ajaran Islam atau tidak mau beribadah, maka kelak ia akan ikut bertanggung jawab atas perbuatan ibunya.

Anak laki-laki yang sudah menikah dan memiliki istri juga anak, tetap ia bertanggung jawab penuh terhadap ibu kandungnya. Kenapa harus anak laki-laki?

karena anak perempuan apabila telah menikah, ia harus lebih mentaati suaminya dibandingkan kepada ibunya. Anak laki-laki yang telah menikah harus memperhatikan ibu kandungnya. Ibu masih memiliki hak penuh terhadap anak laki-lakinya meskipun telah menikah.

>

Baca Juga: Haikal Hassan Minta Bebaskan HRS, Ferdinand Hutahaean: Kalau Tak Mampu Membedakan Sebaiknya Diam

Sayangilah ibumu dengan cara memberi nasihat jika ia melakukan kesalahan atau melenceng dari ajaran Islam. Karena itulah tugas dan tanggung jawab anak laki-laki terhadap ibunya.

Jika tidak ingin melihat ibumu tersesat, maka nasihatilah ia, jauhkanlah ia dari siksa api neraka, jangan sampai merasa diri terbebas dari tanggung jawab atasnya. Karena jika kelak ibumu masuk kedalam neraka atas sebab anak laki-lakinya tidak mau mengurus, merawat, menasehati dan meluruskan jalannya, maka kau pun akan ikut bersama ibumu didalam neraka.

2. Istri
Istri adalah pasangan yang di anugerahkan untuk menemani kehidupan laki-laki. Suami memiliki tanggung jawab penuh atas segala perbuatan istrinya.

Jika istri dibiarkan tidak ibadah, tidak mau menjaga lisan, dibiarkan memutus silaturahmi dengan keluarga, tidak mampu mendidik anak-anaknya, maka suami lah yang bertanggung jawab atas dosa-dosa istrinya.

Apakah kita memahami bagaimana kewajiban terhadap anak? Dalam Islam posisi anak dalam Islam, yakni sebagai amanah terindah dalam kehidupan, Islam pun merinci lebih jauh tentang hak-hak anak dan kewajiban orang tua dan masyarakat untuk memperhatikan dan memenuhi hak-hak  anak tersebut. Di antara yang terpenting adalah selalu memberikan dorongan positif dan konstruktif serta menanamkan sikap membangun dalam diri anak. Tujuannya, tiada lain agar anak tumbuh menjadi individu yang penuh tanggung jawab, selalu terdorong untuk berbuat baik dan bijak kepada sesamanya dan juga kepada lingkungannya.

Hak anak yang paling utama dalam Islam adalah hak perlindungan. Perlindungan di sini terutama dari segala situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan, yang dapat membuat anak menjadi terlantar atau membuatnya menjadi manusia yang dimurkai Tuhan. Islam mengajarkan agar upaya perlindungan dan pengasuhan anak dilakukan jauh sebelum kelahirannya ke muka bumi. Ini dimulai dengan memberi tuntunan kepada manusia dalam memilih pasangan hidup. Laki-laki dan perempuan dianjurkan untuk memilih pasangan hidup dari orang-orang yang baik; berakhlak mulia dan beramal saleh.  Jauh sebelum menikah, dianjurkan banyak berdoa: seperti Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau, seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengarkan doa  (Q.S. Ali Imran, 3:38).

Kemudian ketika masih dalam kandungan, orang tuanya (ayah dan ibu) diperintahkan lagi agar banyak membaca Al-Qur’an, dan banyak berbuat kebajikan sambil terus berdoa (Q.S. Ibrahim, 14:35; al-Naml, 27:19; al-Ahqaf, 46:15).

Tentu saja tidak cukup dengan hanya berdoa, melainkan harus diikuti ikhtiar dan upaya yang sungguh-sungguh untuk mewujudkan doa itu dalam realitas kehidupan. Mewujudkan doa itu dalam bentuk perbuatan dan tindakan terpuji yang menyenangkan bagi orang-orang di sekitar kita, dimulai dari orang-orang terdekat dan para kerabat.

Setelah lahir, orang tua (ayah atau ibu) diperintahkan untuk mengumandangkan azan pada telinga kanan dan iqamah pada telinga kiri (seperti tertuang dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Abu Daud, dan al-Tirmizi). Kemudian, memberi nama yang baik (hadis riwayat Abu Daud); mencukur rambut bayi (hadis riwayat Imam Malik); melaksanakan akikah, yakni menyembelih kambing bagi yang mampu untuk disedekahkan kepada fakir miskin, khususnya dari lingkungan keluarga; dan berikutnya, mengkhitan anak. Khitan atau sunat hanya diperintahkan untuk anak laki-laki agar anak terlindungi dari segala macam bahaya dan pengaruh buruk yang akan merusak kehidupannya kelak. Sedangkan bagi anak perempuan tidak dianjurkan khitan, karena secara medis tidak ada manfaatnya bagi perempuan. Upaya perlindungan lainnya adalah mendaftarkan atau mencatatkan kelahiran sang anak ke instansi pemerintah terkait (seperti Kantor Catatan Sipil) agar memiliki akta kelahiran yang sangat diperlukan kelak ketika sang anak beranjak dewasa nanti.

Hak lain yang tidak kurang pentingnya adalah hak anak untuk hidup dan bertumbuh-kembang.  Ini terlihat jelas dalam anjuran Islam untuk menyusukan anak paling kurang selama dua tahun. Anak-anak berhak mendapat penyusuan dari air susu ibunya kurang lebih selama dua tahun. Sesuai dengan firman Allah swt:  Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yakni bagi mereka yang ingin menyempurnakan penyusuan (Q.S. al-Baqarah, 2:233).

Begitu besarnya perhatian Islam terhadap perkembangan anak. Dalam kondisi apapun sebuah keluarga, perhatian orang tua (ayah dan ibu) kepada anak harus tetap terjaga. Orang tua tidak boleh menggunakan alasan sibuk, mengurus karir, tidak ada waktu atau alasan lainnya untuk menghindari kewajiban memenuhi hak-hak anak tersebut. Anak harus tetap dipenuhi hak-haknya. Bahkan, ketika terjadi perceraian antara ayah dan ibu, Islam telah mengatur bahwa ayah tetap bertanggungjawab memberi nafkah demi kelangsungan hidup sang anak sampai usia dewasa. Demikian pula ibu, tetap bertanggung jawab menyusukannya hingga anak tidak memerlukan air susu ibu lagi (sebaiknya selama 2 tahun penuh).

Setelah masa penyusuan lewat, mulailah tugas orang tua (ayah dan ibu) untuk mendidik anak, terutama pendidikan agama dan pendidikan budi pekerti. Pendidikan itu dapat diberikan dengan beragam metode sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan psikologis anak. Di antaranya, pendidikan melalui pembiasaan, pemberian contoh teladan, nasehat dan dialog, pemberian hadiah atau penghargaan (kalau melakukan sesuatu yang baik atau prestasi) dan juga hukuman (kalau melakukan sesuatu yang buruk), dan sebagainya.

Hukuman bagi anak sebaiknya tidak diberikan dalam bentuk hukuman fisik, seperti pemukulan atau semacamnya karena itu dapat dikategorikan sebagai tindakan kekerasan terhadap anak. Semua bentuk kekerasan terhadap anak dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan melanggar hukum. Hukuman sebaiknya diberikan dalam bentuk pendidikan, misalnya dihukum dengan perintah mencuci baju sendiri, membersihkan kamar mandi, menanam pohon, membuat tulisan dan sebagainya.

Pendidikan di lingkungan keluarga lebih diarahkan kepada penanaman nilai-nilai moral keagamaan, pembentukan sikap dan perilaku yang diperlukan agar anak-anak dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Anak senantiasa diajarkan untuk bersikap dan perilaku yang halus, lembut, sopan, santun, jujur, disiplin, arif, dan bijaksana. Mereka dijauhkan dari mencontoh sikap dan perilaku yang kasar, bengis, berbohong, gampang marah, tidak perduli pada orang lain dan seperangkat perangai buruk lainnya.

Anak secara bertahap diperkenalkan pada ajaran agama yang dapat membimbingnya menjadi manusia yang mencintai sesama manusia, menghargai orang yang lebih tua, menyayangi orang-orang miskin dan terlantar, rajin mengaji Al-Qur’an, salat, puasa dan berbagai bentuk ibadah lainnya. Nabi saw. bersabda: “Tidak ada pemberian orang tua kepada anaknya yang lebih baik, selain dari budi pekerti yang luhur” (H.R. al-Tirmizi). Dalam hadis lain Nabi mengatakan: “Orang tua yang mendidik anaknya dengan benar, itu jauh lebih baik daripada ia bersedekah setiap hari sebanyak satu sha’” (H.R. al-Tirmizi).  Demikian pentingnya nilai pengasuhan anak dalam Islam.

Musdah Mulia

Fiqih Islam memberikan batasan orang tua wajib menafkahi anaknya.

istimewa

Fiqih Islam memberikan batasan orang tua wajib menafkahi anaknya. Ilustrasi orang tua dan anak.

Rep: Ali Yusuf Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Menafkahi anak adalah kewajiban dan tanggung jawab orang tua. Dalam Islam, secara umum kewajiban ini dipikul masing-masing orang tua.    

Baca Juga

Ustadzah Maharati Marfuah, Lc dalam bukunya "Hukum Fiqih Seputar Nafkah", mengatakan perintah nafkah orang tua kepada anak, dalilnya adalah ijma para ulama.  

Ibnul Mundzir mengatakan, “Ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta.“ Dalam hadits sahih riwayat Ibnu Hibban disebutkan demikian:  

أمرَ النَّبيُّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ بالصَّدقةِ ، فقالَ رجلٌ : يا رسولَ اللَّهِ ، عِندي دينارٌ ، فقالَ : تصدَّق بِهِ على نفسِكَ ، قالَ : عِندي آخرُ ، قالَ : تصدَّق بِهِ على ولدِكَ ، قالَ : عندي آخرُ ، قالَ : تصدَّق بِهِ على زوجتِكَ أو قالَ : زوجِكَ ، قالَ : عندي آخرُ ، قالَ : تصدَّق بِهِ على خادمِكَ ، قالَ : عندي آخرُ ، قالَ : أنتَ أبصَرُ

"Dari Abi Hurairah RA mengatakan, “Datang seorang laki-laki kepada Nabi seraya bertanya : Wahai Rasulullah saya mempunyai dinar?” Rasul menjawab, ‘Buatlah nafkah untuk dirimu’. Ia mengatakan saya mempunyai yang lain? Rasul menjawab, ‘Buatlah untuk nafkah anakmu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Dia mengatakan, ‘Buatlah untuk nafkah keluargamu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Rasul menjawab, ‘Buatlah untuk nafkah pembantumu.’ Dia mengatakan, ‘Saya mempunyai yang lain?’ Rasul menjawab,  ‘Anda lebih mengetahui.’ (HR Ibnu Hibban).

Meskipun tentang perinciannya, ada beberapa hal yang dibahas lebih detail, terkait sampai kapan anak itu mendapatkan nafkah dari orang tuanya, bagaimana jika anak itu miskin, apakah sama antara laki-laki dan perempuan? 

Menurut Ustadzah Maharati Marfuah, ada dua batasan untuk keadaan anak terkait wajib tidaknya nafkah dari orang tuanya. Batasan pertama, usia, apakah anak sudah baligh ataukah belum?   

Batasan kedua, harta, apakah anak memiliki harta yang mencukupi kebutuhannya ataukah tidak memiliki harta, sehingga masih bergantung kepada orang lain?  Dari dua batasan ini, kata dia, kita bisa mengelompokkan anak menjadi empat kategori berikut ini:  

1. Anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta

2. Anak yang belum baligh dan memiliki harta

3. Anak yang sudah baligh dan memiliki harta

4. Anak yang sudah baligh dan tidak memiliki harta

Dari empat katagori itu, kata Ustazah Maharati Marfuah, masing-masing memiliki hukum yang berbeda terkait kewajiban nafkah orang tua kepada anaknya. Pertama, anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta.  

"Mayoritas ulama berpendapat bahwa memberi nafkah anak yang belum baligh hukumnya wajib atas orangtua yang mampu," katanya.  

Imam al-Jassash al-Hanafi menyebutkan, orang tua yang fakir tidak dipaksa untuk memberi nafkah kecuali jika orang tua itu bapak, dia wajib dipaksa untuk memberi nafkah kepada  anaknya yang masih kecil, kepada istrinya dan kepada ibunya yang fakir. 

Imam Ibnul Mundzir (w 319 H), bahwa para ulama telah sepakat bahwa nafkah anak yang belum baligh dan tidak memiliki harta ditanggung oleh ayahnya. Ibnul Mundzir mengatakan ulama yang kami ketahui sepakat bahwa seorang lelaki wajib menanggung nafkah anak-anaknya yang masih kecil, yang tidak memiliki harta. 

Imam az-Zailaghi (w 743 H) menyebutkan: “Wajib memberi nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya yang kecil dan fakir. Pembatasan masih kecil dan fakir ini maksudnya jika anak itu meski masih kecil atau sudah besar tapi kaya maka tak wajib dinafkahi. Seorang anak laki-laki yang sudah baligh, dia sehat maka bapaknya tak wajib memberinya nafkah, juga tak wajib kepada kerabat yang lain. Kedua dan ketiga, anak belum baligh atau sudah  baligh yang memiliki harta. 

Imam az-Zailaghi (w 743 H) al-Hanafi menyebutkan: "Wajib memberi nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya yang kecil dan fakir."

Kewajiban orang tua terhadap anak laki-laki menurut islam

Anak-anak melakukan sungkem kepada orang tua. Ilustrasi. (Republika/ Wihdan)

Pembatasan masih kecil dan fakir ini, kata  Ustadzah Maharati Marfuah, maksudnya jika anak itu meski masih kecil atau sudah besar tapi kaya maka tak wajib dinafkahi. Seorang anak laki-laki yang sudah baligh, dia sehat maka bapaknya tak wajib memberinya nafkah, juga tak wajib kepada kerabat yang lain.

Sebagaimana Imam ad-Dusuqi al-Maliki menyebutkan: “Waktu selesainya kewajiban membari nafkah adalah ketika sudah baligh, dengan syarat anak tersebut tidak gila dan lumpuh.” Lihat: Muhammad bin Ahmad ad-Dusuqi al-Maliki (w 1230 H).

Para ulama menegaskan, apabila anak memiliki harta yang cukup untuk menutupi seluruh kebutuhannya, maka ayahnya tidak wajib menanggung nafkahnya.  

As-Shan’ani juga mengatakan, "Jika mereka memiliki harta, maka tidak ada  kewajiban nafkah atas ayahnya.” (Subulus Salam, 2/325).

Maka, jika anak itu memiliki harta, orang tua tak wajib menafkahi anaknya. Tidak wajib bukan berarti tidak boleh. Kalau masih tetap dikasih nafkah, itu juga bagus.

Keempat, anak sudah baligh yang tidak memiliki harta. Tentu banyak di antara kita yang secara umur sudah baligh, tapi tidak punya harta dan tak berpenghasilan. Seperti anak yang sudah masuk bangku kuliah. 

Untuk keadaan keempat ini, ulama membagi dua yaitu:

1. Anak perempuan. Mereka wajib dinafkahi ayahnya hingga dia menikah  

2. Anak laki-laki, ulama berbeda pendapat, apakah anak 

laki-laki sudah baligh yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, wajib dinafkahi ayahnya ataukah tidak.  

Pendapat pertama, mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban nafkah hanya sampai usia baligh untuk anak laki-laki dan sampai nikah untuk anak perempuan.

As-Shan’ani menuliskan: “Sementara mayoritas ulama berpendapat, bahwa kewajiban memberikan nafkah kepada anak itu sampai usia baligh atau sampai menikah bagi anak perempuan. Kemudian setelah itu, tidak ada tanggungan kewajiban nafkah atas bapak, kecuali jika anaknya sakit-sakitan.” (Subulus Salam, 2/325).

Pendapat kedua, orang tua tetap wajib memberikan nafkah kepada anaknya yang tidak memiliki harta dan pekerjaan, meskipun sudah baligh. 

Di antara ulama yang memilih pendapat ini adalah al-Mardawi. Dalam kitabnya al-Inshaf beliau menyebutkan. "Termasuk yang wajib dinafkahi seseorang adalah bapaknya, kakeknya dan seterusnya ke atas. Serta anaknya, cucunya dan seterusnya ke bawah. Kemudian beliau menjelaskan, yang dimaksud ‘anaknya, cucunya dan  seterusnya ke bawah’ mencakup anaknya yang sudah besar (baligh), yang sehat, kuat, jika mereka fakir (tidak memiliki harta dan pekerjaan). Inilah pendapat yang kuat.”

Hal ini berbeda jika ternyata anak yang sudah baligh tersebut sibuk mencari ilmu sampai tak ada waktu untuk menghasilkan uang sendiri. Maka orang tua tetap wajib memberikan nafkah kepada anak tersebut.

Disebutkan dalam kitab Hasyiyah  al-Baijuri: “Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib (bagi orang tua) menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak  lagi menerima nafkah, sebaliknya ia (justru) dituntut untuk bekerja.” 

Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa  anak yang mampu bekerja ini masuk kategori  anak yang kaya. Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syariat dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan (dari ilmunya) sedangkan jika dia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalamkeadaan demikian dia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja.

Kewajiban orang tua terhadap anak laki-laki menurut islam

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...