Melaksanakan kerjasama dengan negara lain menurut UUD 1945 harus dilandasi oleh nilai nilai

oleh: Dr. Patrialis Akbar, SH. MH.

Pendahuluan

Salah satu tuntutan yang paling mendasar dalam gerakan reformasi 1998 adalah pembenahan sistem hukum yang kemudian menghasilkan adanya 4 (empat) kali perubahan atau amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). Hal ini menunjukkan bahwa rakyat Indonesia pada saat itu merasakan bahwa faktor manusia bukanlah satu-satunya penyebab absolutisme kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan. Absolutisme telah dirasakan pula dalam susbtansi-substansi hukum yang mewarnai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pada masa itu, muncul berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih berorientasi untuk melanggengkan kekuasaan kelompok tertentu sehingga menghasilkan suatu pemerintahan yang bersifat oligarkis.

Fenomena tersebut di atas dapat terjadi karena lemahnya kontrol sosial dan peran serta masyarakat, sehingga pembangunan hukum nasional dilaksanakan dengan berorientasi untuk mempertahakan status quo dengan mengabaikan esensi dan proses penyelenggaraan negara yang demokratis. Setelah 16 tahun reformasi, pembangunan hukum nasional nampaknya masih dalam tahap mencari bentuk dan pola yang ideal. Namun, proses penyelenggaraan pemerintahan dapat dikatakan jauh lebih baik karena adanya peningkatan kontrol sosial dan peran serta masyarakat dalam penyusunan dan pelaksanaan konsep pembangunan hukum nasional.

Arah pembangunan hukum bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terintegrasi dengan arah pembangunan di bidang lainnya memerlukan penyerasian. Betapapun arah pembangunan hukum bertitik tolak pada garis-garis besar gagasan dalam UUD NRI Tahun 1945, dibutuhkan penyelarasan dengan tingkat perkembangan masyarakat yang dimimpikan akan tercipta pada masa depan. Pembangunan hukum tidak identik dan tidak boleh diidentikan dengan pembangunan undang-undang atau peraturan perundangan menurut istilah yang lazim digunakan di Indonesia. Membentuk undang-undang sebanyak-banyaknya, tidak berarti sama dengan membentuk hukum. Negara hukum bukan negara undang-undang. Pembentukan undang-undang hanya bermakna pembentukan norma hukum. Padahal tatanan sosial, ekonomi budaya, dan politik bukan tatanan normatif semata. Karena itulah maka diperlukan ruh tertentu agar tatanan tersebut memiliki kapasitas.

Apabila dilihat dari aspek norma hukum, hal tersebut hanya merupakan salah satu bagian kecil dari kehidupan hukum. Norma hukum merupakan aspek subtansial hukum. Di samping substansi hukum terdapat struktur dan kultur hukum. Struktur merujuk pada institusi pembentukan dan pelaksana hukum (penegak hukum) dan kultur hukum yang merujuk pada nilai, orientasi dan harapan atau mimpi-mimpi orang tentang hukum. Hal yang terakhir ini dapat disamakan dengan secondary rules yang dikonsepkan oleh H. A. L Hart.  Esensinya sama, yaitu nilai-nilai, orientasi dan mimpi orang tentang hukum atau hal-hal yang berada di luar norma hukum positif model Hart, memainkan peranan yang amat menentukan bagi kapasitas hukum positif.

Pembahasan

Lawrence M. Friedman mengemukakan adanya 3 (tiga) pilar penting dalam pembangunan hukum, yakni substansi (substance), struktur (structure), dan budaya/kultur (culture). Secara ideal, ketiga pilar pembangunan hukum nasional itu harus berjalan serasi, selaras, dan seimbang karena ketiga hal tersebut sangat berkaitan erat satu sama lain.

Di samping itu, dari sisi tujuan hukum, Gustav Radbruch menyatakan bahwa tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paling utama dari pada kepastian hukum dan kemanfaatan. Secara historis, pada awalnya menurut Gustav Radburch tujuan kepastian hukum menempati peringkat yang paling atas diantara tujuan yang lain. Namun, setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya tersebut di Jerman di bawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-praktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun akhirnya meralat teorinya tersebut diatas dengan menempatkan tujuan keadilan menempati posisi diatas tujuan hukum yang lain. Sebagaimana diketahui bahwa didalam kenyataannya sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan kemanfaatan, atau antara keadilan dengan kepastian hukum, antara keadilan terjadi benturan dengan kemanfaatan.[1]

Pasal 1 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 mengatur bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal ini berimplikasi bahwa segala aspek penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machtstaat) dengan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar dan hierarki tertinggi dalam peraturan perundang-undangan.
Untuk mewujudkan konsep negara hukum (rechtsstaat/the rule of law), diperlukan adanya pemahaman hukum sebagai satu kesatuan sistem. Setiap sistem umumnya terdiri dari elemen-elemen pendukung. Dengan mengacu pada teori Friedmann maka substansi (substance), struktur (structure), dan budaya/kultur (culture) merupakan 3 (tiga) elemen pendukung yang sangat penting sebagai penyangga (pilar) dari sistem hukum.

Sistem hukum memerlukan perencanaan jangka panjang sebagai arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang perlu dilakukan secara bertahap untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur sebagaimana diamanatkan oleh UUDNRI Tahun 1945. Hal ini menjadi penting karena perubahan UUDNRI Tahun 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam pengelolaan pembangunan, yaitu dengan tidak dibuatnya lagi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan nasional.

Pada masa reformasi, khususnya dalam periode pemerintahan 2009-2014, strategi pembangunan hukum nasional secara yuridis mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Dalam BAB II huruf G Lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 dijabarkan bahwa upaya perwujudan sistem hukum nasional dalam era reformasi terus dilanjutkan dengan meliputi pembangunan substansi hukum, penyempurnaan struktur hukum yang lebih efektif, dan peningkatan keterlibatan seluruh komponen masyarakat yang mempunyai kesadaran hukum tinggi untuk mendukung pembangunan sistem hukum nasional yang dicita-citakan.

Pembangunan substansi hukum, khususnya hukum tertulis, dilakukan melalui mekanisme pembentukan hukum nasional yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan pembangunan dan aspirasi masyarakat, yaitu berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diwujudkan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang untuk membuat peraturan perundang-undangan serta meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses pembentukan hukum dan peraturan perundang-undangan.

Secara struktural, amandemen UUD NRI Tahun 1945 juga telah membawa perubahan mendasar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia, misalnya di bidang kekuasaan kehakiman dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang mempunyai hak menguji Undang-Undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 dan Komisi Yudisial yang berwenang melakukan pengawasan terhadap sikap tindak dan perilaku hakim. Saat ini Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial juga diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011. Perubahan kedua UU tersebut dilakukan dengan pertimbangan antara lain untuk mengimbangi cepatnya dinamika kehidupan ketatanegaraan sehingga menyebabkan sebagian substansi dari kedua UU tersebut perlu disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan. Hal ini dilakukan untuk lebih menjamin penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, sehingga penyelenggaraan fungsi negara di bidang hukum dapat dilakukan secara lebih efektif dan efisien.

Arah pembangunan hukum masa depan harus mencakup lima aspek, sebagai berikut;

1.  Pembangunan hukum berlandaskan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia

Dalam hal pembangunan hukum di segala sektor senantiasa harus melandaskan diri pada semangat tekad jiwa nasionalisme  para founding fathers bangsa yang lebih mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa yang terbingkai dalam negara kesatuan republik Indonesia. Seluruh aspek sistem ketatanegaraan harus tetap dalam bingkai NKRI sehinga dapat memproteksi adanya disintegrasi dan separatisme yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa. Apabila dikaji secara lebih mendalam, pembagunan hukum tidak dapat dilepaskan dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang telah menjadi modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa yang majemuk. Ia juga dapat disebut sebagai tanda kelahiran (certificate of birth) yang di dalamnya memuat pernyataan kemerdekaan (proklamasi) serta identitas diri dan pijakan melangkah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan nasional. Dari sudut hukum, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang memuat Pancasila itu menjadi dasar falsafah negara yang melahirkan cita hukum(rechtsidee) dan dasar sistem hukum tersendiri sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia sendiri. Pancasila sebagai dasar negara menjadi sumber dari segala sumber hukum yang memberi penuntun hukum serta mengatasi semua peraturan perundang-undangan. Dalam kedudukannya yang demikian, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 dan Pancasila yang dikandungnya menjadistaatsfundamentalnorms atau pokok-pokok kaidah negara yang fundamental dan tidak dapat diubah dengan jalan hukum, kecuali perubahan mau dilakukan terhadap identitas Indonesia yang dilahirkan pada tahun 1945.

Dalam melakukan perumusan konsep penyelenggaraan negara Indonesia berdasarkan konsep negara hukum, sebelumnya perlu diketahui apakah tujuan penyelenggaraan negara Indonesia, atau apakah tujuan negara Indonesia. Hal ini penting karena konsep penyelenggaraan negara hukum harus selalu tertuju pada terwujudnya tujuan negara Indonesia. Tujuan negara Indonesia secara definitif tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu :

1.    Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia;

2.    Memajukan kesejahteraan umum;

3.    Mencerdaskan kehidupan bangsa;

4.    Ikut melaksanakan perdamaian dunia, berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Terwujudnya tujuan negara ini menjadi kewajiban negara Indonesia sebagai organisasi tertinggi bangsa Indonesia yang penyelenggaraannya harus didasarkan pada lima dasar negara (Pancasila). Dari sini dapat dipahami bahwa Pancasila merupakan pedoman utama kegiatan penyelenggaraan negara yang didasarkan atas prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam rangka terwujudnya tujuan negara Indonesia tersebut maka dalam setiap kebijakan negara yang diambil oleh para penyelenggara negara (termasuk di dalamnya upaya melakukan pembangunan sistem hukum nasional) dalam upaya penyelenggaraan negara hukum Pancasila harus sesuai dengan empat prinsip cita hukum (rechtsidee) Indonesia (Pancasila), yakni:

1.       Menjaga integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial;

2.       Mewujudkan kedaulatan rakyat (demokrasi) dan negara hukum (nomokrasi) sekaligus, sebagai satu kesatuan tidak terpisahkan;

3.       Mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;

4.       Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama.

Oleh karenanya dalam penyelenggaraan negara hukum, harus dibangun suatu sistem hukum nasional yang:[2]

1.       Bertujuan untuk menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial;

2.       Berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui musyawarah mufakat maupun pemungutan suara, dan hasilnua dapat diuji konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee;

3.       Bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial;

4.       Bertujuan untuk mewujudkan toleransi beragama yang berkeadaban, dalam arti tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan kelompok-kelompok atau golongan-golongan tertentu.

Pembangunan hukum nasional tersebut, bersumber pada dua sumber hukum materiil, yakni sumber hukum materiil pra kemerdekaan dan sumber hukum materiil pasca kemerdekaan. Adapun yang termasuk sumber hukum materiil pra kemerdekaan terdiri dari (1) hukum adat asli, sebagai suatu living law yang telah hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia; (2) hukum agama baik hukum Islam maupun hukum agama lainnya; (3) hukum Belanda; (4) hukum Jepang. Sedangkan sumber hukum materiil pasca kemerdekaan terdiri dari: (1) instrumen hukum internasional; (2) perkembangan hukum dalam civil law system; (3) perkembangan hukum dalam common law system.

2.  Pembangunan hukum berlandaskan pada Welfare State

Sebagaimana telah diamanatkan oleh Founding Fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam dasar konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Indonesia adalah negara kesejahteraan (Welfare State).  Rumusan konsep Negara Welfare State tersebut termaktub dalam Pembukaan (Preambule ) UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-empat yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan. Tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah salah satu cita-cita yang diinginkan oleh para pendiri negara Indonesia.Proses pembangunan yang hanya memberikan kesempatan bagi sebagian kecil kelompok masyarakat untuk menikmati hasil-hasil pembangunan dan meminggirkan kelompok masyarakat lainnya adalah pengingakaran terhadap cita-cita tadi. Para peneliti ekonomi kerakyatan berpandangan bahwa proses pembangunan ekonomi di Indonesia telah semakin menjauh dari cita-cita keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat dan kecenderungan pada ekonomi pasar sehingga siapa yang kuat akan mampu mengakses sumber-sumber ekonomi produktif lebih banyak sedangkanrakyat lebih dianggap sebagai obyek pembangunan sehingga dibiasakan untuk bersikap pasif dan pasrah menerima keadaaan. Konsekuensinya, kemiskinan dan ketimpangan sosial muncul sebagai akibat dari proses pembangunan tadi.[3]

Michael Grimm, peneliti di International Institute of Social Studies di The Hague, dalam studinya tahun 2007 menemukan bahwa kesenjangan ekonomi di masyarakat Indonesia sangat besar dimana sekitar 20 persen penduduk memiliki perilaku ekonomi dan pendapatan yang sama dengan penduduk di negara-negara OECD[4],sedangkan 80 persen penduduk lainnya sangat jauh tertinggal. Kecenderungan penguasaan asset ekonomi oleh kelompok 20% ini cenderung semakin meningkat: pada tahun 2002 mereka menguasai 45 persen sedang pada tahun 2006 sudah berada pada level 46,5 persen.Kondisi inilah yang menyumbang pada meningkatnya angka pendapatan per kapita penduduk Indonesia setelah krisis ekonomi yaitu $ 1.200/kapita pada tahun 2008.Kenyataan ini kemudian sering digunakan oleh pemerintah sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan di Indonesia.[5] Padahal banyak kelompok masyarakat yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuh dasarnya seperti kesehatan, pendidikan, makanan pokok, dan perumahan.

Amartya Sen telah mengkritik konsep pembangunan yang hanya menekankan akumulasi kekayaan, pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk dan variabel-variabel lain yang terkait dengan pendapatan.Menurut Sen, proses pembangunan adalah semua usaha untuk menghilangkan “ketidak-bebasan” yang menimbulkan penderitaan bagi semua elemen masyarakat. Pembangunan seharusnya diukur dengan seberapa banyak kebebasan yang dimiliki karena tanpa kebebasan orang tidak bisa membuat pilihan yang memungkin mereka untuk membantu diri sendiri dan orang lain. Amartya Sen mendefinisikan kebebasan sebagai sesuatu yang terkait dan saling melengkapi antara: 1) kebebasan politik dan hak-hak sipil; 2) kebebasan ekonomi, termasuk didalamnya kesempatan untuk mendapatkan kredit; 3) kesempatan sosial, seperti fasilitas kesehatan, pendidikan dan layanan sosial lainnya; 4) jaminan keterbukaan (transparency), yaitu interaksi antara satu orang dengan yang lain, termasuk dengan pemerintah, yang ditandai dengan saling pengertian tentang apa yang ditawarkan dan apa yang diharapkan; 5) perlindungan keamanan (security), seperti bantuan pada kondisi darurat dan jejaring pengaman lainnya.[6]

3.  Pembangunan hukum berlandaskan pada asas kemanusiaan

Dalam kekuasaan ada segitiga yang satu sama lain sukar dapat berjalan beriringan secara simetris yaitu politik, hukum dan kemanusiaan. Hubungan antara politik dan kemanusiaan bagi kucing dan tikus, Keduanya tidak mungkin dapat disandingkan. Politik kerap hanya menjadikan kemanusiaan sebagai propaganda untuk meraih kemenangan. Sekedar jargon, namun ketika maksud telah tercapai, kemanusiaan kemudian menjelma menjadi kosakata asing. Dalam masyarakat yang berdemokrasi, hukum seharusnya berada di atas politik, akan tetapi tidak jarang hukum diintervensi oleh politik demi langgengnya kekuasaan. Bahkan hukum diciptakan atau direkayasa untuk menjadi payung politik agar terlegitimasi. Hukum seharusnya ditegakkan sesuai aturan demi kemanusiaan, tetapi penerapan yang kaku dan positivistik justru menciptakan ketidakadilan.[7]

Kita mendapati kenyataan bahwa masih sering terjadi penegakan hukum tanpa menggunakan hati nurani. Pendekatan dalam penegakan hukum hanya berlandaskan pada legal-formalistik, hanya mengacu pada teks undang-undang. Sebagian penegak hukum merasa telah cukup puas apabila telah menegakkan hukum dengan cara melaksanakan teks undang-undang. Mereka tidak berupaya keras untuk mencari dan menemukan keadilan dan kebenaran di dalam atau dibalik teks undang-undang tersebut. Akibatnya penerapan hukum di Indonesia kerap terkesan kejam dan masih jauh dari rasa keadilan sejati. Banyak aparat penegak hukum belum dapat memahami makna dari nilai-nilai keadilan di masyarakat. Sebagian aparat penegak hukum hanya menjadi “corong undang-undang”.

Aparat penegak hukum menerapkan hukum berdasarkan aturan formal KUHP dan KUHAP tanpa memperhatikan aspek-aspek sosial yang berkembang di tengah masyarakat. Tidak mengherankan apabila kita menjumpai anak-anak usia sekolah yang harus masuk ditahan atau bahkan divonis penjara hanya karena mencuri akibat lapar, karena mencuri hp, mencuri pulsa hp, atau berkelahi dengan temannya. Demikian pula terduga/tersangka pencuri peralatan dapur/rumah tangga yang murah harganya, tanaman dan buah-buahan dalam jumlah sedikit, harus diproses di Kepolisian, Kejaksaan dan diadili di pengadilan. Dan selama proses berlangsung, terduga/tersangka masuk tahanan yang sudah tentu sangat merugikan dan membuatnya menderita.

Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada pelibatan masyarakat dan korban dalam penyelesaian perkara pidana yang ada. Pelibatan ini terkait dengan tahapan-tahapan penegakan hukum pidana di tingkat penyidikan. Sebenarnya dalam masyarakat Indonesia, konsep ini telah terbiasa dijalankan dimana kasus-kasus yang tergolong kecil/sepele yang dimusyawarahkan di bawah pengaruh dan wibawa kepala pemerintahan tingkat bawah (lurah atau ketua RT) atau kepala adat dan tokoh agama setempat. Dari musyawarah itu biasanya akan diambil putusan yang sama-sama mempertimbangkan kepentingan pelaku dan korban dengan memfokuskan pada tujuannya yakni memulihkan atau mengembalikan ketenteraman dan kedamaian di masyarakat serta tidak terjadinya permusuhan dan dendam antara pelaku dan korban. Model keadilan semacam ini telah dicoba dipraktikkan dalam perkara pidana yang rnelibatkan anak sebagai pelakunya.

Sebagai salah satu pelaksanaan paham keadilan restoratif tersebut adalah saat ini pemerintah tengah menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang proses peradilan dan hukum menyangkut anak, penyandang cacat serta warga lanjut usia. RUU tersebut merupakan bagian integral dari perbaikan sistem hukum nasional yang tengah kita lakukan. Apabila naskah RUU tersebut telah siap akan dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).  Dalam RUU tersebut akan dirumuskan bagaimana hukuman bagi anak dalam kasus yang sama harus dibedakan. Jadi anak-anak, lanjut usia, orang cacat itu tidak bisa disamakan hukumannya.

Dengan demikian apabila ada orang yang melakukan kejahatan ringan seperti mencuri HP dan dan pemilik HP telah memaafkan maka pelaku tidak perlu diproses hukum, apalagi ditahan di rutan dan dihukum oleh hakim untuk dimasukkan penjara. Selain itu penyebab pelaku melakukan kejahatan menjadi faktor penting untuk menentukan proses selanjutnya. Apabila motifnya karena kelaparan, karena ingin memenuhi kebutuhan keluarga untuk makan sehari-hari dalam jumlah ala kadarnya, karena keterpaksaan karena mempertahankan kehormatan dan martabatnya tentu jauh berbeda proses hukumnya dibandingkan dengan pelaku perampokan besar-besaran atau korupsi milyaran rupiah.

Sebagaimana prespektif hukum progresif yang menempatkan hukum untuk manusia dimana pengangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai manusia sebagai pusatnya. Hukum ada untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila kita berpegangan pada keyakinan, bahwa manusia itu adalah untuk hukum, maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan, untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum.[8]

Dalam konteks penegakan hukum Indonesia,  Bagir Manan menyatakan bahwa penegakan hukum indonesia bisa dikatakan “communis opinio doctorum”, yang artinya bahwa penegakan hukum yang sekarang dianggap telah gagal dalam mencapai tujuan yang diisyaratkan oleh Undang-Undang.[9] Oleh karena itu, diperkenankanlah sebuah alternatif penegakan hukum, yaitu Restorative Justice System, dimana pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio-kultural dan bukan pendekatan normatif.

Restorative Justice (keadilan restoratif) atau dikenal dengan istlah “reparative justice” adalah suatu pendekatan keadilan yang memfokuskan kepada kebutuhan dari pada para korban, pelaku kejahatan, dan juga melibatkan peran serta masyarakat, dan tidak semata-mata memenuhi ketentuan hukum atau semata-mata penjatuhan pidana. Dalam hal ini korban juga dilibatkan di dalam proses, sementara pelaku kejahatan juga didorong untuk mempertanggungjawabkan atas tindakannya, yaitu dengan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat dengan meminta maaf, mengembalikan uang telah dicuri, atau dengan melakukan pelayanan masyarakat.

Restorative justice merupakan pendekatan untuk memecahkan masalah, dalam berbagai bentuknya, melibatkan korban, pelaku, jaringan sosial mereka, badan-badan peradilan dan masyarakat. Program keadilan restoratif didasarkan pada prinsip dasar bahwa perilaku kriminal tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melukai korban dan masyarakat. Setiap upaya untuk mengatasi konsekuensi dari perilaku kriminal harus, bila memungkinkan, melibatkan pelaku serta pihak-pihak yang terluka, selain menyediakan yang dibutuhkan bagi korban dan pelaku berupa bantuan dan dukungan.[10]

Konsep restorative justice pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi berdasarkan pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis atau hukuman); namun perbuatan yang menyakitkan itu disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan mensyaratkan pelaku untuk bertanggungjawab, dengan bantuan keluarga dan masyarakat bila diperlukan.

Dalam konteks Indonesia, restorative justice  berarti penyelesaian secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara bersama mencari penyelesaian terhadap tindak pidana dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula.[11]

Untuk mewujudkan keadilan bagi korban dan pelaku, adalah baik ketika para penegak hukum berpikir dan bertindak secara progresif yaitu tidak menerapkan peraturan secara tekstual tetapi perlu menerobos aturan (rule breaking) karena pada akhirnya hukum itu bukan teks demi tercapainya keadilan yang diidamkan oleh masyarakat.

Dalam UUD NRI Tahun 1945 terdapat 4 (empat ) prinsip yang menjadi landasan penyelenggaraan bantuan hukum, yaitu: (1) Indonesia adalah negara hukum Pasal 1 ayat (3); (2) Setiap orang berhak memperoleh peradilan yang fair dan impartial; (3) Keadilan harus dapat diakses semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all); (4) Perwujudan dari negara demokratis. Konstitusi menjamin hak setiap warga neraga mendapat perlakuan yang sama di muka hukum, Problem dasar yang muncul adalah tidak adanya perluasaan akses yang sama bagi setiap warganegara untuk mendapatkan perlakuan yang sama dimuka hukum, meskipun doktrinnya  keadilan harus dapat diakses oleh semua warga negara tanpa terkecuali (justice for all/accessible to all).

Keadilan adalah hak semua warga negara dan masyarakat tanpa pandang bulu. Justice for all. Keadilan tidak cukup menjadi penjaga moral masyarakat, keadilan tidak sekadar panji-panji politis, keadilan tidak cukup sekadar “rasa keadilan masyarakat”, tetapi keadilan harus menjadi moral kehidupan yang melembaga dalam hukum.

Hukum sendiri harus tegas mengatur bahwa kesetaraan hak-hak dan kewajiban-kewajiban masyarakat dikawal oleh Undang-undang, dan diatur dalam ketentuan-ketentuan rinci dengan sanksi-sanksi. Tidak boleh ada (lagi) perbedaan perlakuan atas dasar golongan, kedudukan politis, agama, etnis, warna kulit, atau strata masyarakat. Semua orang sama di depan hukum. Penegakkan hak azasi manusia dan supremasi hukum merupakan satu cara di mana keadilan bisa lebih terjamin. Keadilan tidak saja menyangkut kesetaraan didepan hukum, tetapi juga keadilan untuk memperoleh kesempatan pendidikan, pekerjaan dan informasi.

Dalam arah pembangunan hukum nasional yang berlandaskan konstitusi dan kemanusiaan, keadilan haruslah dapat diakses semua kalangan masyarakat termasuk juga kepastian dalam mendapatkan keadilan. Lamanya proses hukum di pengadilan terkadang membuat masyarakat semakin sulit meraih keadilan hakiki.  Oleh karena itu perlu terobosan hukum agar peradilan tetap konsisten menerapkan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Dengan cara demikian akan terhindarkan pula adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak  (“justice delayed justice denied”).[12]Dengan kata lain, rasa keadilan yang ditunda  adalah sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan.

4.     Pembangunan hukum bertitik tolak pada affirmative action (tindakan afirmatif)

Dalam Pembukaan UUD 1945, dinyatakan secara eksplisit bahwa salah satu dasar terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencapai keadilan sosial (social justice) bagi seluruh rakyat Indonesia.18  Hal ini sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai  oleh  konsep  akses  terhadap  keadilan  yaitu  mencapai  suatu  keadilan  sosial. Sistem ekonomi dan pembangunan yang tidak liberalistik dan menindas kaum lemah dan terpinggirkan. Satu hal lain adalah tentang perlunyaaffirmative action. Dalam masyarakat yang penuh dengan ketidaksamaan dalam banyak aspek kehidupan, menyatakan secara formal (oleh hukum) tentang keharusan adanya kesamaan hukum di antara para anggota masyarakat, adalah sama saja dengan mempertahankan atau mengabadikan ketidaksamaan yang nyata dalam masyarakat.57Tindakan afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktik konvensional dan menegaskan satu cara yang lain (melakukan terobosan).[13] Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan  Pancasila  dan  Undang-Undang  Dasar  1945,  maka  kesinambungan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang berasaskan kekeluargaan harus senantiasa dipelihara dengan baik melalui sistem dan pranata hukum yang modern, tetapi tetap berakar pada nilai-nilai wawasan kebangsaan dan kepentingan nasional. Oleh karena itu, pentingnya hukum untuk dibangun agar hukum dapat benar-benar menjadi sarana pembangunan  dan pembaharuan  masyarakat  yang kita harapkan. Hukum dapat berperan sebagai objek pembangunan dalam rangka mewujudkan hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai   yang   hidup   di   masyarakat.   Tetapi   juga   hukum   dapat   menjadi   subjek pembangunan manakala hukum itu telah berfungsi di masyarakat sebagai penggerak dan pengaman pembangunan dan hasil-hasilnya.

Ada tiga dimensi yang dapat dijadikan sebagai alasan pentingnya pembangunan hukum nasional, yaitu dimensi konstitusional, dimensi juridis sosiologis dan dimensi perspektif.  Dimensi konstitusional  bermakna  pembangunan  hukum nasional   merupakan upaya untuk mewujudkan konsepsi negara hukum dalam tata kehidupan masyarakat. berbangsa dan bernegara   sekaligus mewujudkan amanat konstitusional Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum serta pemerintahan dengan tidak ada kecuali. Dimensi juridis sosiologis bermakna membangun hukum merupakan upaya untuk mewujudkan konsepsi hukum yang sesuai dengan ide Kerangka Teori. Dimensi perspektif bermakna  pembangunan  hukum  nasional  merupakan  upaya  untuk  menjadikan  hukum sebagai  sarana  pembangunan  dalam arti mengatur  arah kegiatan  manusia  ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan.

Indonesia adalah negara yang menganut paham negara hukum modern yang relijius (religious welfare state). Oleh karenanya pemerintah mempunyai tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai lapangan (bestuurzorg) dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada penyelenggara negara dalam menjalankannya. Dalam rangka bestuurzorg ini diberikan kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatifnya sendiri untuk turut serta dalam mengatur kehidupan sosial rakyatnya.[14]Dalam perkembangannya, peranan negara pada abad ini berbeda dengan peranan negara pada abad-abad sebelumnya dimana negara hanya berperan sebagai negara penjaga malam(nachwachterstataat).[15]

Tanggung jawab negara dalam menyelenggarakan pelayanan publik termuat dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain dalam pembukaan, tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pelayanan publik juga diatur dalam batang tubuh, yakni dalam Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan,”Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Amanat kedua ketentuan tersebut yang dimuat dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land) mengandung makna bahwa negara berkewajiban memenuhi kebutuhan setiap warga negara melalui suatu sistem pemerintahan yang mendukung terciptanya penyelenggaraan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar dan hak sipil setiap warga negara atas barang publik, jasa publik, pelayanan administratif dan pelayanan kesehatan yang baik sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945,”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Dalam Pasal 34 ayat (4) UUD 1945 ditegaskan pula,”Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”. Oleh karenanya konkretisasi ketentuan Pasal 34 ayat (3) dan Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 adalah adanya undang-undang di bidang kesehatan yang menjamin terpenuhinya kebutuhan warga masyarakat akan jaminan pelayanan kesehatan dan pelayanan publik yang baik. Namun proses konkretisasi ketentuan kedua Pasal ini perlu memerhatikan Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee)  agar undang-undang yang dibuat memiliki keselarasan, kesesuaian, keserasian, koherensi dan korespondensi dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai kaidah penuntun pembentukan hukum nasional.

5.  Pembangunan hukum mencerminkan checks and balances

Sistem Presidensial yang dianut politik Indonesia telah membentuk sebuah konfigurasi lembaga negara yang saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain. Pelaksanaan checks and balances tersebut tidak hanya terjadi antara lembaga eksekutif dan legislatif saja tapi juga merata kepada lembaga negara lain seperti yudikatif dan auditatif sebagaimana diatur dalam konstitusi.[16]

Konsep checks and balances memungkinkan suatu cabang kekuasaan negara tertentu untuk menjalankan fungsi dan cabang kekuasaan negara lainnya. Di Indonesia, konsepsi dan implementasi checks and balances diatur pada UUD NRI 1945. Secara definitif, UUD NRI 1945 menata sikluschecks and balances antar lembaga negara agar bisa saling mengawasi secara efektif.

Pemahaman sistem checks and balances dalam konteksi ini antara lain adalah bahwa antara lembaga negara harus saling kontrol dan saling mengimbangi. Dalam penyelenggaraan negara tidak lagi ada lembaga yang tertinggi dari lembaga negara yang lain. Semua lembaga negara mempunyai kedudukan yang sejajar. Semua lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang ditentukan secara proporsional oleh Undang-Undang Dasar yang dielaborasi lebih lanjut  ke dalam berbagai macam  undang-undang.

Mahkamah Konstitusi merupakan bagian kekuasaan kehakiman yang mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan dan menjaga konstitusi sesuai tugas dan kewenangannya sebagaimana yang ditentukan dalam UUD NRI 1945 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011. Pembentukan Mahkamah Konstitusi adalah sejalan dengan dianutnya paham konstitusional, prinsip negara hukum dan sistem checks and balances.

Dari kelima aspek tersebut, maka diharapkan dapat terwujud pembangunan hukum nasional yang 1) menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial; (2) berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui musyawarah mufakat maupun pemungutan suara, dan hasilnya dapat diuji konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee; (3) dapat mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial; (4) dapat mewujudkan toleransi beragama yang berkeadaban, dalam arti tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan kelompok-kelompok atau golongan-golongan tertentu. Selain itu, sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, pembentukan hukum nasional perlu dilandasi asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan ini merupakan derivasi dari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai cita hukum(rechtsidee). Dengan demikian, Pancasila menjadi ruh dan spirit yang menjiwai pembangunan hukum nasional.

Kesimpulan

Sebagai penutup dapat disampaikan beberapa hal penting yang senantiasa harus kita lakukan dalam rangka terwujudnya pembangunan hukum nasional berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, sebagai berikut :

1.     Penegakan hukum merupakan sebuah proses yang harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tidak melupakan budi nurani kita sebagai manusia. Penegakan hukum harus dilaksanakan dengan itikad baik untuk membangun masyarakat yang berbudaya hukum.

2.     Hukum dan keadilan ibarat dua sisi mata uang. Masing-masing harus ada untuk saling melengkapi. Hukum tanpa keadilan adalah tirani, sedangkan keadilan tanpa hukum adalah kemustahilan.

3.     Hukum harus ditegakkan tanpa memandang status dan latar belakang. Hukum tidak boleh diwarnai keberpihakan terhadap kelompok tertentu. Satu-satunya pihak yang diperjuangkan oleh hukum adalah keadilan.

4.     Tetaplah berada pada garda terdepan dalam membangun hukum yang berkeadilan dan mengedepankan prinsip perlindungan dan penegakan Hak Asasi Manusia. Semangat dan dedikasi kita dalam menegakkan hukum yang berkeadilan merupakan wujud keberadaban kita sebagai sebuah bangsa yang besar.

[1] Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, (Bandung, PT Refika Aditama, 2007), hal. 20-21

[2] Moh. Mahfud M.D., Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2006), hlm. 19.

[3] Nunung Nuryartono dan Hendri Saparini, “Kesenjangan Ekonomi Sosial dan Kemiskinan”, Ekonomi Konstitusi: Haluan Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia, eds. Soegeng Sarjadi dan Iman Sugema, (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate, 2009), hlm. 283-284.

[4] Organisation for Economic Cooperation and Development, yakni organisasi Negara-negara dengan pendapatan ekonomi yang tinggi dan Indeks Pembangunan Manusia yang sangat tinggi. Negara-negara ini digolongkan sebagai Negara maju (developed countries). Organisasi yang didirikan tahun 1961 ini sekarang beranggotakan 34 negara mayoritas adalah negara-negara di benua Eropa, Amerika serta beberapa Negara maju di Asia dan Australia-Pasifik.

[5] Nunung Nuryartono dan Hendri Saparini, “Kesenjangan Ekonomi Sosial”, hlm. 275.

[6] Amartya Sen, Development as Freedom, (New York: Anchor Books, 2000), hlm. 14, 15-17, 38-41.

[7] Patrialis Akbar, Kekuasaan untuk Kemanusiaan, (Jakarta: IFI, 2010), hlm. 7

[8] Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm.61

[9] Rudi Rizky (ed), Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir), (Jakarta: Perum Percetakan Negara Indonesia, 2008), hlm. 4.

[10] UNODC, Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series, (Vienna: UN New York, 2006), hlm. 6

[12] Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitiusi Nomor 49/PUU-X/2012 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, hlm. 47

[13] Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm. 141-142

[14] Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusidi Indonesia:Studi tentang Interaksi Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003),hlm.29.

[15] Pemerintah sebagai nachwachsterstaat sangat sempit ruang geraknya bukan saja dalam lapangan politik tetapi juga dalam lapangan ekonomi yang dikuasai oleh dalil laisser faire, laisser aller (keadaan ekonomi negara akan sehat jika setiap manusia dibiarkan mengurus  kepentingan ekonominya masing-masing). Ditinjau dari segi politik, pada pokoknya tugas suatu nachwachsterstaatadalah menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi dari mereka yang menguasai alat-alat pemerintah, yakni rullingclass yang merupakan golongan eksklusif, sedangkan nasib mereka yang bukan rulingclass tidak dihiraukan oleh nachwachterstaat….lihat dalam buku E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH PM UNPAD, Bandung, 1960, hlm 21.

[16] Patrialis Akbar, Hubungan Lembaga Kepresidenan dan Dewan Perwakilan Rakyat dan Veto Presiden, (Jakarta: Total Media & P3IH FH UMJ, 2010), hlm.97