Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Show

Kesultanan Demak
Kesultanan Demak

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Mesjid Luhur Demak, yang dibangun dengan arsitektur tradisional Jawa.

IbukotaDemak Bintara
BahasaJawa
AgamaIslam
PemerintahanKerajaan
?
 - 1475-1518 ¹Raden Patah
 - 1518-1521Pati Unus
 - 1521-1548Trenggana
Sejarah 
 - Berdirinya kota pelabuhan Demak1475
 - Wafatnya raja Trenggana1548
¹ (1475-1478 sebagai bawahan Majapahit)

Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, akhir muncul sebagai daya baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.[1]

Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia kebanyakan. Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran karena terjadi perebutan kekuasaan di selang kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak berpindah ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Luhur Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.

Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), masa ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan bagi periode ini kerajaan dinamakan Demak Prawata.

Masa awal

Menjelang kesudahan ratus tahun ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.

Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai daerah yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan akbar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.[2] Kemungkinan akbar puteranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adinda Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, akhir dari tahun 1521 sampai 1546. Di selang kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.[1]

Masa keemasan

Pada awal ratus tahun ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya dengan menundukan beberapa daerah pelabuhan dan pedalaman di nusantara.

Di bawah Pati Unus

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi akbarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang akbar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Akhir beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya bagi menyerang Portugis di Malaka.[3]

Di bawah Trenggana

Trenggana berbuat kelakuan yang berguna atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam suatu pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan akhir dialihkan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati[4] diperintah oleh Trenggana bagi menundukkan Banten Girang. Akhir hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.[1]

Kemunduran

Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Penunjukannya sebagai sunan ditentang oleh adinda Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Dalam penumpasan pemberontakan, Pangeran Sekar Seda Lepen akhir-akhirnya terbunuh. Akan tetapi, pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang akhir menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, raja muda Jepara, dan hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi Arya Penangsang, salah satunya adalah Raja muda Pengging.

Arya Penangsang akhir-akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak naikkan Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.

Catatan

  1. ^ a b c Ricklefs, M., (2002), A History of Modern Indonesia Since c. 1200, Stanford University Press, ISBN 9780804744805.
  2. ^ M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, halaman 38
  3. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  4. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.

Lihat pula

  • Kerajaan Pajang
  • Walisongo
  • Ki Ageng Pandan Arang
  • Semarang

Tautan luar

  • M. Faliqul Isbah, Menyingkap Sejarah Hindu-Jawa, Resensi buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, karangan Slamet Muljana.

edunitas.com


Page 2

Kesultanan Demak
Kesultanan Demak

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Mesjid Luhur Demak, yang dibangun dengan arsitektur tradisional Jawa.

IbukotaDemak Bintara
BahasaJawa
AgamaIslam
PemerintahanKerajaan
?
 - 1475-1518 ¹Raden Patah
 - 1518-1521Pati Unus
 - 1521-1548Trenggana
Sejarah 
 - Berdirinya kota pelabuhan Demak1475
 - Wafatnya raja Trenggana1548
¹ (1475-1478 sebagai bawahan Majapahit)

Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, akhir muncul sebagai daya baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.[1]

Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia kebanyakan. Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran sebab terjadi perebutan kekuasaan di selang kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak berpindah ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Luhur Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.

Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), masa ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan bagi periode ini kerajaan dinamakan Demak Prawata.

Masa awal

Menjelang kesudahan ratus tahun ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.

Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai daerah yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan akbar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.[2] Kemungkinan akbar puteranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adinda Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, akhir dari tahun 1521 sampai 1546. Di selang kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.[1]

Masa keemasan

Pada awal ratus tahun ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya dengan menundukan beberapa daerah pelabuhan dan pedalaman di nusantara.

Di bawah Pati Unus

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi akbarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang akbar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Akhir beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya bagi menyerang Portugis di Malaka.[3]

Di bawah Trenggana

Trenggana berbuat kelakuan yang berguna atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam suatu pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan akhir dialihkan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati[4] diperintah oleh Trenggana bagi menundukkan Banten Girang. Akhir hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.[1]

Kemunduran

Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Penunjukannya sebagai sunan ditentang oleh adinda Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Dalam penumpasan pemberontakan, Pangeran Sekar Seda Lepen akhir-akhirnya terbunuh. Akan tetapi, pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang akhir menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, raja muda Jepara, dan hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi Arya Penangsang, salah satunya adalah Raja muda Pengging.

Arya Penangsang akhir-akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak naikkan Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.

Catatan

  1. ^ a b c Ricklefs, M., (2002), A History of Modern Indonesia Since c. 1200, Stanford University Press, ISBN 9780804744805.
  2. ^ M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, halaman 38
  3. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  4. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.

Lihat pula

  • Kerajaan Pajang
  • Walisongo
  • Ki Ageng Pandan Arang
  • Semarang

Tautan luar

  • M. Faliqul Isbah, Menyingkap Sejarah Hindu-Jawa, Resensi buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, karangan Slamet Muljana.

edunitas.com


Page 3

Kesultanan Demak
Kesultanan Demak

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Mesjid Luhur Demak, yang dibangun dengan arsitektur tradisional Jawa.

IbukotaDemak Bintara
BahasaJawa
AgamaIslam
PemerintahanKerajaan
?
 - 1475-1518 ¹Raden Patah
 - 1518-1521Pati Unus
 - 1521-1548Trenggana
Sejarah 
 - Berdirinya kota pelabuhan Demak1475
 - Wafatnya raja Trenggana1548
¹ (1475-1478 sebagai bawahan Majapahit)

Kesultanan Demak atau Kerajaan Demak adalah kerajaan Islam pertama dan terbesar di pantai utara Jawa ("Pasisir"). Menurut tradisi Jawa, Demak sebelumnya merupakan kadipaten dari kerajaan Majapahit, akhir muncul sebagai daya baru mewarisi legitimasi dari kebesaran Majapahit.[1]

Kerajaan ini tercatat menjadi pelopor penyebaran agama Islam di pulau Jawa dan Indonesia kebanyakan. Walau tidak berumur panjang dan segera mengalami kemunduran sebab terjadi perebutan kekuasaan di selang kerabat kerajaan. Pada tahun 1568, kekuasaan Demak berpindah ke Kerajaan Pajang yang didirikan oleh Jaka Tingkir. Salah satu peninggalan bersejarah Kerajaan Demak ialah Mesjid Luhur Demak, yang menurut tradisi didirikan oleh Walisongo.

Lokasi keraton Demak, yang pada masa itu berada di tepi laut, berada di kampung Bintara (dibaca "Bintoro" dalam bahasa Jawa), masa ini telah menjadi kota Demak di Jawa Tengah. Sebutan kerajaan pada periode ketika beribukota di sana dikenal sebagai Demak Bintara. Pada masa raja ke-4 ibukota dipindahkan ke Prawata (dibaca "Prawoto") dan bagi periode ini kerajaan dinamakan Demak Prawata.

Masa awal

Menjelang kesudahan ratus tahun ke-15, seiring dengan kemuduran Majapahit, secara praktis beberapa wilayah kekuasaannya mulai memisahkan diri. Bahkan wilayah-wilayah yang tersebar atas kadipaten-kadipaten saling serang, saling mengklaim sebagai pewaris tahta Majapahit.

Sementara Demak yang berada di wilayah utara pantai Jawa muncul sebagai daerah yang mandiri. Dalam tradisi Jawa digambarkan bahwa Demak merupakan penganti langsung dari Majapahit, sementara Raja Demak (Raden Patah) dianggap sebagai putra Majapahit terakhir. Kerajaan Demak didirikan oleh kemungkinan akbar seorang Tionghoa Muslim bernama Cek Ko-po.[2] Kemungkinan akbar puteranya adalah orang yang oleh Tomé Pires dalam Suma Oriental-nya dijuluki "Pate Rodim", mungkin dimaksudkan "Badruddin" atau "Kamaruddin" dan meninggal sekitar tahun 1504. Putera atau adinda Rodim, yang bernama Trenggana bertahta dari tahun 1505 sampai 1518, akhir dari tahun 1521 sampai 1546. Di selang kedua masa ini yang bertahta adalah iparnya, Raja Yunus (Pati Unus) dari Jepara. Sementara pada masa Trenggana sekitar tahun 1527 ekspansi militer Kerajaan Demak berhasil menundukan Majapahit.[1]

Masa keemasan

Pada awal ratus tahun ke-16, Kerajaan Demak telah menjadi kerajaan yang kuat di Pulau Jawa, tidak satu pun kerajaan lain di Jawa yang mampu menandingi usaha kerajaan ini dalam memperluas kekuasaannya dengan menundukan beberapa daerah pelabuhan dan pedalaman di nusantara.

Di bawah Pati Unus

Demak di bawah Pati Unus adalah Demak yang berwawasan nusantara. Visi akbarnya adalah menjadikan Demak sebagai kerajaan maritim yang akbar. Pada masa kepemimpinannya, Demak merasa terancam dengan pendudukan Portugis di Malaka. Akhir beberapa kali ia mengirimkan armada lautnya bagi menyerang Portugis di Malaka.[3]

Di bawah Trenggana

Trenggana berbuat kelakuan yang berguna atas penyebaran Islam di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di bawahnya, Demak mulai menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa dari Pajajaran serta menghalau tentara Portugis yang akan mendarat di sana (1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527), Malang (1545), dan Blambangan, kerajaan Hindu terakhir di ujung timur pulau Jawa (1527, 1546). Trenggana meninggal pada tahun 1546 dalam suatu pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan akhir dialihkan oleh Sunan Prawoto. Salah seorang panglima perang Demak waktu itu adalah Fatahillah, pemuda asal Pasai (Sumatera), yang juga menjadi menantu raja Trenggana. Sementara Maulana Hasanuddin putera Sunan Gunung Jati[4] diperintah oleh Trenggana bagi menundukkan Banten Girang. Akhir hari keturunan Maulana Hasanudin menjadikan Banten sebagai kerajaan mandiri. Sedangkan Sunan Kudus merupakan imam di Masjid Demak juga pemimpin utama dalam penaklukan Majapahit sebelum pindah ke Kudus.[1]

Kemunduran

Suksesi ke tangan Sunan Prawoto tidak berlangsung mulus. Penunjukannya sebagai sunan ditentang oleh adinda Trenggana, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen. Dalam penumpasan pemberontakan, Pangeran Sekar Seda Lepen akhir-akhirnya terbunuh. Akan tetapi, pada tahun 1561 Sunan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh suruhan Arya Penangsang, putera Pangeran Sekar Seda Lepen. Arya Penangsang akhir menjadi penguasa tahta Demak. Suruhan Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Hadiri, raja muda Jepara, dan hal ini menyebabkan adipati-adipati di bawah Demak memusuhi Arya Penangsang, salah satunya adalah Raja muda Pengging.

Arya Penangsang akhir-akhirnya berhasil dibunuh dalam peperangan oleh Sutawijaya, anak naikkan Joko Tingkir. Joko Tingkir memindahkan pusat pemerintahan ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kerajaan Pajang.

Catatan

  1. ^ a b c Ricklefs, M., (2002), A History of Modern Indonesia Since c. 1200, Stanford University Press, ISBN 9780804744805.
  2. ^ M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, halaman 38
  3. ^ Cortesão, Armando, (1944), The Suma Oriental of Tomé Pires, London: Hakluyt Society, 2 vols
  4. ^ Uka Tjandrasasmita, (2009), Arkeologi Islam Nusantara, Kepustakaan Populer Gramedia, ISBN 979-9102-12-X.

Lihat pula

  • Kerajaan Pajang
  • Walisongo
  • Ki Ageng Pandan Arang
  • Semarang

Tautan luar

  • M. Faliqul Isbah, Menyingkap Sejarah Hindu-Jawa, Resensi buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, karangan Slamet Muljana.

edunitas.com


Page 4

Kesultanan Kutai atau semakin lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) adalah kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Luhur Dewa Sakti di Kutai Lama dan berkesudahan pada 1960. Kesudahan pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan hukum budaya istiadat dan hukum budaya Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Sejarah

Pendirian

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada permulaan ratus tahun ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Luhur Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), adalah salah satu daerah taklukan di negara bidang Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.

Pada ratus tahun ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kesudahan menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan selang dua kerajaan tersebut.

Pada ratus tahun ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Agung Dunia. Setelah sebagian puluh tahun, sebutan Raja diwakili dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) adalah sultan Kutai Kartanegara pertama yang memanfaatkan nama Islami. Dan kesudahan sebutan kerajaan pun bertukar menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai adalah salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada ratus tahun ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Lebih kurang tahun 1620 Kutai mempunyai di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Akad VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki daya militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menempati wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin adalah vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Lebih kurang tahun 1638 (sebelum akad Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat jualan kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan akad dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud adalah Raja Tallo yang menjabat mangkubumi untuk Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya beliau hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan akad 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha menduduki tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Dunia membikin akad dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada ratus tahun ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian akbar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kesudahan wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kesudahan Belanda memperbaharui akad dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Akad berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].

Secara hukum Kutai dianggap negara bidang di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Akad Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].

Pemindahan ibukota kerajaan

La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris adalah raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang mempunyai dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut berperang melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu sedang kecil kesudahan dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kesudahan meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan memanfaatkan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berjalan dengan siasat embargo yang sempit oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado menanti bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil menduduki kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kesudahan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung semakin populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk jualan dan menanti tanah untuk membangun pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk jualan hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah sebagian hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray hasilnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas sama sekali. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di selang yang tewas tersebut[6].

Insiden pertempuran di Tenggarong ini hingga ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris akan melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bidang dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kesudahan Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangung. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani berperang melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara hasilnya kalah dan takluk pada Belanda.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani akad dengan Belanda yang mencetuskan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang bermarkas di Banjarmasin.[7]

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menyilakan duduk J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu daya politik dan ekonomi sedang mempunyai dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bidang dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan akad dengan Belanda. Dalam akad itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bidang dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibentangkan di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletak dasar untuk eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membikin Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya dunia di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kesudahan, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget sedang belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena mempunyai sebagian kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak dinaikkan menjadi Sultan Kutai. dalam sebagian media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak permulaan ratus tahun ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melewati surplus yang diproduksi tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - banyak yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit membangun istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang

Ketika Jepang menempati wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kesudahan, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kesudahan pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

  1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
  2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
  3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kesudahan, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong disediakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari perkara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berkesudahan, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[6].

Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.

Wilayah

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).

Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian wilayah otonom yang mempunyai di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:

Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.

Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melewati UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.

Keraton Kesultanan

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya mempunyai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada ratus tahun ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah warga negara Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membikin ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.

Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan propertti beton yang semakin kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kesudahan menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik propertti keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kesudahan yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kesudahan dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diwakili dengan sebuah propertti baru yakni gedung Serapo LPKK.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berkesudahan pada tahun 1960, propertti keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kesudahan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di selangnya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dll.

Dalam bidang yang terkait keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini semakin banyak terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di selangnya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di bidang yang terkait keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia supaya tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton untuk Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki pemikiran rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.

Gelar kebangsawanan

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara diketahui penggunaan gelar sebagai berikut:

  • Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan untuk kerabat kerajaan.
  • Aji Ratu : gelar yang diberikan untuk permaisuri Sultan.
  • Aji Pangeran : gelar untuk putera Sultan.
  • Aji Puteri : gelar untuk puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
  • Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
  • Aji Bambang : gelar yang setingkat semakin tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
  • Aji : gelar untuk keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

  • Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
  • Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Berarti gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
  2. ^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  3. ^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
  4. ^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian selang Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
  5. ^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di ratus tahun ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.  ISBN 9789794074107
  6. ^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
  7. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0. ISBN 978-602-8397-21-6
  8. ^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n. 
  9. ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358. 
  10. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 5

Kesultanan Kutai atau semakin lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) adalah kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Luhur Dewa Sakti di Kutai Lama dan berkesudahan pada 1960. Kesudahan pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan hukum budaya istiadat dan hukum budaya Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Sejarah

Pendirian

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada permulaan ratus tahun ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Luhur Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), adalah salah satu daerah taklukan di negara bidang Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.

Pada ratus tahun ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kesudahan menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan selang dua kerajaan tersebut.

Pada ratus tahun ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Agung Dunia. Setelah sebagian puluh tahun, sebutan Raja diwakili dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) adalah sultan Kutai Kartanegara pertama yang memanfaatkan nama Islami. Dan kesudahan sebutan kerajaan pun bertukar menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai adalah salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada ratus tahun ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Lebih kurang tahun 1620 Kutai mempunyai di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Akad VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki daya militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menempati wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin adalah vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Lebih kurang tahun 1638 (sebelum akad Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat jualan kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan akad dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud adalah Raja Tallo yang menjabat mangkubumi untuk Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya beliau hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan akad 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha menduduki tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Dunia membikin akad dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada ratus tahun ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian akbar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kesudahan wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kesudahan Belanda memperbaharui akad dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Akad berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].

Secara hukum Kutai dianggap negara bidang di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Akad Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].

Pemindahan ibukota kerajaan

La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris adalah raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang mempunyai dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut berperang melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu sedang kecil kesudahan dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kesudahan meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan memanfaatkan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berjalan dengan siasat embargo yang sempit oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado menanti bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil menduduki kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kesudahan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung semakin populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk jualan dan menanti tanah untuk membangun pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk jualan hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah sebagian hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray hasilnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas sama sekali. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di selang yang tewas tersebut[6].

Insiden pertempuran di Tenggarong ini hingga ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris akan melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bidang dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kesudahan Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangung. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani berperang melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara hasilnya kalah dan takluk pada Belanda.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani akad dengan Belanda yang mencetuskan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang bermarkas di Banjarmasin.[7]

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menyilakan duduk J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu daya politik dan ekonomi sedang mempunyai dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bidang dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan akad dengan Belanda. Dalam akad itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bidang dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibentangkan di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletak dasar untuk eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membikin Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya dunia di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kesudahan, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget sedang belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena mempunyai sebagian kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak dinaikkan menjadi Sultan Kutai. dalam sebagian media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak permulaan ratus tahun ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melewati surplus yang diproduksi tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - banyak yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit membangun istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang

Ketika Jepang menempati wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kesudahan, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kesudahan pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

  1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
  2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
  3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kesudahan, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong disediakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari perkara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berkesudahan, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[6].

Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.

Wilayah

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).

Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian wilayah otonom yang mempunyai di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:

Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.

Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melewati UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.

Keraton Kesultanan

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya mempunyai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada ratus tahun ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah warga negara Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membikin ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.

Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan propertti beton yang semakin kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kesudahan menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik propertti keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kesudahan yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kesudahan dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diwakili dengan sebuah propertti baru yakni gedung Serapo LPKK.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berkesudahan pada tahun 1960, propertti keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kesudahan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di selangnya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dll.

Dalam bidang yang terkait keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini semakin banyak terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di selangnya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di bidang yang terkait keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia supaya tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton untuk Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki pemikiran rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.

Gelar kebangsawanan

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara diketahui penggunaan gelar sebagai berikut:

  • Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan untuk kerabat kerajaan.
  • Aji Ratu : gelar yang diberikan untuk permaisuri Sultan.
  • Aji Pangeran : gelar untuk putera Sultan.
  • Aji Puteri : gelar untuk puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
  • Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
  • Aji Bambang : gelar yang setingkat semakin tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
  • Aji : gelar untuk keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

  • Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
  • Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Berarti gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
  2. ^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  3. ^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
  4. ^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian selang Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
  5. ^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di ratus tahun ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.  ISBN 9789794074107
  6. ^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
  7. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0. ISBN 978-602-8397-21-6
  8. ^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n. 
  9. ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358. 
  10. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 6

Kesultanan Kutai atau semakin lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) adalah kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Luhur Dewa Sakti di Kutai Lama dan berkesudahan pada 1960. Kesudahan pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan hukum budaya istiadat dan hukum budaya Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Sejarah

Pendirian

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada permulaan ratus tahun ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Luhur Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), adalah salah satu daerah taklukan di negara bidang Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.

Pada ratus tahun ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kesudahan menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan selang dua kerajaan tersebut.

Pada ratus tahun ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Agung Dunia. Setelah sebagian puluh tahun, sebutan Raja diwakili dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) adalah sultan Kutai Kartanegara pertama yang memanfaatkan nama Islami. Dan kesudahan sebutan kerajaan pun bertukar menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai adalah salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada ratus tahun ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Lebih kurang tahun 1620 Kutai mempunyai di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Akad VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki daya militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menempati wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin adalah vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Lebih kurang tahun 1638 (sebelum akad Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat jualan kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan akad dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud adalah Raja Tallo yang menjabat mangkubumi untuk Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya beliau hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan akad 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha menduduki tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Dunia membikin akad dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada ratus tahun ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian akbar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kesudahan wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kesudahan Belanda memperbaharui akad dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Akad berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].

Secara hukum Kutai dianggap negara bidang di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Akad Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].

Pemindahan ibukota kerajaan

La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris adalah raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang mempunyai dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut berperang melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu sedang kecil kesudahan dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kesudahan meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan memanfaatkan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berjalan dengan siasat embargo yang sempit oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado menanti bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil menduduki kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kesudahan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung semakin populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk jualan dan menanti tanah untuk membangun pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk jualan hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah sebagian hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray hasilnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas sama sekali. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di selang yang tewas tersebut[6].

Insiden pertempuran di Tenggarong ini hingga ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris akan melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bidang dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kesudahan Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangung. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani berperang melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara hasilnya kalah dan takluk pada Belanda.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani akad dengan Belanda yang mencetuskan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang bermarkas di Banjarmasin.[7]

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menyilakan duduk J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu daya politik dan ekonomi sedang mempunyai dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bidang dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan akad dengan Belanda. Dalam akad itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bidang dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibentangkan di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletak dasar untuk eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membikin Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya dunia di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kesudahan, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget sedang belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena mempunyai sebagian kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak dinaikkan menjadi Sultan Kutai. dalam sebagian media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak permulaan ratus tahun ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melewati surplus yang diproduksi tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - banyak yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit membangun istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang

Ketika Jepang menempati wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kesudahan, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kesudahan pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

  1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
  2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
  3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kesudahan, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong disediakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari perkara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berkesudahan, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[6].

Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.

Wilayah

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).

Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian wilayah otonom yang mempunyai di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:

Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.

Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melewati UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.

Keraton Kesultanan

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya mempunyai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada ratus tahun ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah warga negara Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membikin ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.

Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan propertti beton yang semakin kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kesudahan menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik propertti keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kesudahan yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kesudahan dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diwakili dengan sebuah propertti baru yakni gedung Serapo LPKK.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berkesudahan pada tahun 1960, propertti keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kesudahan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di selangnya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dll.

Dalam bidang yang terkait keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini semakin banyak terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di selangnya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di bidang yang terkait keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia supaya tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton untuk Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki pemikiran rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.

Gelar kebangsawanan

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara diketahui penggunaan gelar sebagai berikut:

  • Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan untuk kerabat kerajaan.
  • Aji Ratu : gelar yang diberikan untuk permaisuri Sultan.
  • Aji Pangeran : gelar untuk putera Sultan.
  • Aji Puteri : gelar untuk puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
  • Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
  • Aji Bambang : gelar yang setingkat semakin tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
  • Aji : gelar untuk keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

  • Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
  • Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Berarti gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
  2. ^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  3. ^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
  4. ^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian selang Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
  5. ^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di ratus tahun ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.  ISBN 9789794074107
  6. ^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
  7. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0. ISBN 978-602-8397-21-6
  8. ^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n. 
  9. ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358. 
  10. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 7

Kesultanan Kutai atau semakin lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) adalah kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Luhur Dewa Sakti di Kutai Lama dan berkesudahan pada 1960. Kesudahan pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan hukum budaya istiadat dan hukum budaya Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Sejarah

Pendirian

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada permulaan ratus tahun ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Luhur Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), adalah salah satu daerah taklukan di negara bidang Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.

Pada ratus tahun ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kesudahan menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan selang dua kerajaan tersebut.

Pada ratus tahun ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Agung Dunia. Setelah sebagian puluh tahun, sebutan Raja diwakili dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) adalah sultan Kutai Kartanegara pertama yang memanfaatkan nama Islami. Dan kesudahan sebutan kerajaan pun bertukar menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai adalah salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada ratus tahun ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Lebih kurang tahun 1620 Kutai mempunyai di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Akad VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki daya militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menempati wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin adalah vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Lebih kurang tahun 1638 (sebelum akad Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat jualan kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan akad dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud adalah Raja Tallo yang menjabat mangkubumi untuk Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya beliau hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan akad 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha menduduki tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Dunia membikin akad dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada ratus tahun ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian akbar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kesudahan wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kesudahan Belanda memperbaharui akad dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Akad berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].

Secara hukum Kutai dianggap negara bidang di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Akad Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].

Pemindahan ibukota kerajaan

La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris adalah raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang mempunyai dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut berperang melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu sedang kecil kesudahan dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kesudahan meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan memanfaatkan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berjalan dengan siasat embargo yang sempit oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado menanti bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil menduduki kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kesudahan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung semakin populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk jualan dan menanti tanah untuk membangun pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk jualan hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah sebagian hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray hasilnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas sama sekali. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di selang yang tewas tersebut[6].

Insiden pertempuran di Tenggarong ini hingga ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris akan melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bidang dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kesudahan Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangung. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani berperang melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara hasilnya kalah dan takluk pada Belanda.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani akad dengan Belanda yang mencetuskan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang bermarkas di Banjarmasin.[7]

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menyilakan duduk J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu daya politik dan ekonomi sedang mempunyai dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bidang dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan akad dengan Belanda. Dalam akad itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bidang dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibentangkan di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletak dasar untuk eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membikin Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya dunia di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kesudahan, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget sedang belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena mempunyai sebagian kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak dinaikkan menjadi Sultan Kutai. dalam sebagian media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak permulaan ratus tahun ke-20, ekonomi Kutai berkembang dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melewati surplus yang diproduksi tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - banyak yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit membangun istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang

Ketika Jepang menempati wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kesudahan, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kesudahan pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

  1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
  2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
  3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kesudahan, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong disediakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari perkara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berkesudahan, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[6].

Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.

Wilayah

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).

Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian wilayah otonom yang mempunyai di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:

Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.

Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melewati UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.

Keraton Kesultanan

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya mempunyai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada ratus tahun ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah warga negara Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membikin ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.

Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan propertti beton yang semakin kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kesudahan menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik propertti keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kesudahan yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kesudahan dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diwakili dengan sebuah propertti baru yakni gedung Serapo LPKK.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berkesudahan pada tahun 1960, propertti keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kesudahan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di selangnya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dll.

Dalam bidang yang terkait keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini semakin banyak terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di selangnya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di bidang yang terkait keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia supaya tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton untuk Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki pemikiran rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.

Gelar kebangsawanan

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara diketahui penggunaan gelar sebagai berikut:

  • Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan untuk kerabat kerajaan.
  • Aji Ratu : gelar yang diberikan untuk permaisuri Sultan.
  • Aji Pangeran : gelar untuk putera Sultan.
  • Aji Puteri : gelar untuk puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
  • Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
  • Aji Bambang : gelar yang setingkat semakin tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
  • Aji : gelar untuk keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

  • Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
  • Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Berarti gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
  2. ^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  3. ^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
  4. ^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian selang Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
  5. ^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di ratus tahun ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.  ISBN 9789794074107
  6. ^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
  7. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0. ISBN 978-602-8397-21-6
  8. ^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n. 
  9. ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358. 
  10. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 8

Tags (tagged): kesultanan maguindanao, kesultanan, maguindanao, unkris, wato, bahasa arab resmi, iranun mindanao, melayu, maranao manobo, ma, i kerajaan, tondo, konfederasi madya as, kerajaan manila, pemerintahan, insuler persemakmuran pendudukan, jepang, berkembang, dari, semenanjung zamboanga ke, teluk, pusat, ilmu, pengetahuan kesultanan pada, mulanya beribukota, kawasan, kesultanan maguindanao kesultanan


Page 9

Tags (tagged): kesultanan maguindanao, kesultanan, maguindanao, unkris, magindanaw 15 1888, bendera kesultanan, monarki, sultan 1619 1671, dipatuan kudarat, era, mindanao filipina selatan, pengaruh kesultanan, mohammed, kabungsuwan dari johor, memperkenalkan agama, pusat, ilmu pengetahuan pada, mulanya beribukota, kawasan, cotabato kesultanan kesultanan, maguindanao kesultanan


Page 10

Tags (tagged): sultanate of maguindanao, sultanate of, maguindanao, unkris, maguindanao magindanaw, 15 1888, bendera, kesultanan, monarki sultan, 1619 1671, dipatuan, kudarat era, mindanao, filipina selatan, pengaruh, mohammed kabungsuwan, dari johor, memperkenalkan, agama, center of, studies pada, mulanya, beribukota kawasan cotabato, kesultanan sultanate, of, maguindanao sultanate of


Page 11

Tags (tagged): sultanate of maguindanao, sultanate of, maguindanao, unkris, wato bahasa, arab resmi, iranun, mindanao melayu maranao, manobo, ma, i, kerajaan tondo konfederasi, madya as, kerajaan, manila, pemerintahan insuler, persemakmuran pendudukan, jepang, berkembang dari semenanjung, zamboanga ke, teluk, center of studies, kesultanan pada, mulanya, beribukota kawasan sultanate, of maguindanao, sultanate, of


Page 12

Kesultanan Kutai atau semakin lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) adalah kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Luhur Dewa Sakti di Kutai Lama dan berkesudahan pada 1960. Kesudahan pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan hukum budaya istiadat dan hukum budaya Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Sejarah

Pendirian

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada permulaan ratus tahun ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Luhur Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), adalah salah satu daerah taklukan di negara bidang Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.

Pada ratus tahun ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kesudahan menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan selang dua kerajaan tersebut.

Pada ratus tahun ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Agung Dunia. Setelah sebagian puluh tahun, sebutan Raja diwakili dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) adalah sultan Kutai Kartanegara pertama yang memanfaatkan nama Islami. Dan kesudahan sebutan kerajaan pun bertukar menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai adalah salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada ratus tahun ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai mempunyai di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Akad VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki daya militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menempati wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin adalah vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum akad Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat jualan kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan akad dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud adalah Raja Tallo yang menjabat mangkubumi untuk Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya beliau hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan akad 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha menduduki tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Dunia membikin akad dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada ratus tahun ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian akbar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kesudahan wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kesudahan Belanda memperbaharui akad dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Akad berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].

Secara hukum Kutai dianggap negara bidang di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Akad Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].

Pemindahan ibukota kerajaan

La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris adalah raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang mempunyai dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut berperang melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu sedang kecil kesudahan dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kesudahan meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan memanfaatkan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berjalan dengan siasat embargo yang sempit oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado menginginkan bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil menduduki kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kesudahan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung semakin populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk jualan dan menginginkan tanah untuk membangun pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk jualan hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah sebagian hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray hasilnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas sama sekali. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di selang yang tewas tersebut[6].

Insiden pertempuran di Tenggarong ini hingga ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris akan melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bidang dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kesudahan Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangung. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani berperang melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara hasilnya kalah dan takluk pada Belanda.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani akad dengan Belanda yang mencetuskan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang bermarkas di Banjarmasin.[7]

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menyilakan duduk J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu daya politik dan ekonomi sedang mempunyai dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bidang dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan akad dengan Belanda. Dalam akad itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bidang dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibentangkan di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletak dasar untuk eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membikin Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya dunia di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kesudahan, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget sedang belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena mempunyai sebagian kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak dinaikkan menjadi Sultan Kutai. dalam sebagian media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak permulaan ratus tahun ke-20, ekonomi Kutai menjadi semakin sempurna dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melewati surplus yang diproduksi tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - banyak yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit membangun istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang

Ketika Jepang menempati wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kesudahan, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kesudahan pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

  1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
  2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
  3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kesudahan, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong disediakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari perkara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berkesudahan, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[6].

Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.

Wilayah

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).

Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian wilayah otonom yang mempunyai di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:

Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.

Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melewati UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.

Keraton Kesultanan

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya mempunyai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada ratus tahun ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah warga negara Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membikin ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.

Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan propertti beton yang semakin kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kesudahan menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik propertti keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kesudahan yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kesudahan dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diwakili dengan sebuah propertti baru yakni gedung Serapo LPKK.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berkesudahan pada tahun 1960, propertti keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kesudahan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di selangnya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dll.

Dalam bidang yang terkait keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini semakin banyak terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di selangnya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di bidang yang terkait keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia supaya tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton untuk Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki pemikiran rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.

Gelar kebangsawanan

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara diketahui penggunaan gelar sebagai berikut:

  • Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan untuk kerabat kerajaan.
  • Aji Ratu : gelar yang diberikan untuk permaisuri Sultan.
  • Aji Pangeran : gelar untuk putera Sultan.
  • Aji Puteri : gelar untuk puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
  • Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
  • Aji Bambang : gelar yang setingkat semakin tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
  • Aji : gelar untuk keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

  • Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
  • Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Berarti gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
  2. ^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  3. ^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
  4. ^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian selang Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
  5. ^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di ratus tahun ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.  ISBN 9789794074107
  6. ^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
  7. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0. ISBN 978-602-8397-21-6
  8. ^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n. 
  9. ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358. 
  10. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 13

Kesultanan Kutai atau semakin lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) adalah kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Luhur Dewa Sakti di Kutai Lama dan berkesudahan pada 1960. Kesudahan pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan hukum budaya istiadat dan hukum budaya Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Sejarah

Pendirian

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada permulaan ratus tahun ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Luhur Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), adalah salah satu daerah taklukan di negara bidang Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.

Pada ratus tahun ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kesudahan menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan selang dua kerajaan tersebut.

Pada ratus tahun ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Agung Dunia. Setelah sebagian puluh tahun, sebutan Raja diwakili dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) adalah sultan Kutai Kartanegara pertama yang memanfaatkan nama Islami. Dan kesudahan sebutan kerajaan pun bertukar menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai adalah salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada ratus tahun ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai mempunyai di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Akad VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki daya militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menempati wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin adalah vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum akad Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat jualan kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan akad dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud adalah Raja Tallo yang menjabat mangkubumi untuk Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya beliau hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan akad 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha menduduki tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Dunia membikin akad dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada ratus tahun ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian akbar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kesudahan wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kesudahan Belanda memperbaharui akad dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Akad berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].

Secara hukum Kutai dianggap negara bidang di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Akad Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].

Pemindahan ibukota kerajaan

La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris adalah raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang mempunyai dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut berperang melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu sedang kecil kesudahan dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kesudahan meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan memanfaatkan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berjalan dengan siasat embargo yang sempit oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado menginginkan bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil menduduki kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kesudahan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung semakin populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk jualan dan menginginkan tanah untuk membangun pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk jualan hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah sebagian hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray hasilnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas sama sekali. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di selang yang tewas tersebut[6].

Insiden pertempuran di Tenggarong ini hingga ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris akan melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bidang dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kesudahan Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangung. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani berperang melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara hasilnya kalah dan takluk pada Belanda.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani akad dengan Belanda yang mencetuskan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang bermarkas di Banjarmasin.[7]

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menyilakan duduk J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu daya politik dan ekonomi sedang mempunyai dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bidang dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan akad dengan Belanda. Dalam akad itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bidang dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibentangkan di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletak dasar untuk eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membikin Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya dunia di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kesudahan, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget sedang belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena mempunyai sebagian kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak dinaikkan menjadi Sultan Kutai. dalam sebagian media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak permulaan ratus tahun ke-20, ekonomi Kutai menjadi semakin sempurna dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melewati surplus yang diproduksi tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - banyak yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit membangun istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang

Ketika Jepang menempati wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kesudahan, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kesudahan pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

  1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
  2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
  3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kesudahan, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong disediakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari perkara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berkesudahan, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[6].

Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.

Wilayah

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).

Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian wilayah otonom yang mempunyai di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:

Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.

Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melewati UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.

Keraton Kesultanan

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya mempunyai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada ratus tahun ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah warga negara Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membikin ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.

Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan propertti beton yang semakin kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kesudahan menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik propertti keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kesudahan yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kesudahan dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diwakili dengan sebuah propertti baru yakni gedung Serapo LPKK.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berkesudahan pada tahun 1960, propertti keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kesudahan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di selangnya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dll.

Dalam bidang yang terkait keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini semakin banyak terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di selangnya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di bidang yang terkait keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia supaya tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton untuk Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki pemikiran rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.

Gelar kebangsawanan

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara diketahui penggunaan gelar sebagai berikut:

  • Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan untuk kerabat kerajaan.
  • Aji Ratu : gelar yang diberikan untuk permaisuri Sultan.
  • Aji Pangeran : gelar untuk putera Sultan.
  • Aji Puteri : gelar untuk puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
  • Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
  • Aji Bambang : gelar yang setingkat semakin tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
  • Aji : gelar untuk keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

  • Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
  • Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Berarti gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
  2. ^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  3. ^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
  4. ^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian selang Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
  5. ^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di ratus tahun ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.  ISBN 9789794074107
  6. ^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
  7. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0. ISBN 978-602-8397-21-6
  8. ^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n. 
  9. ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358. 
  10. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 14

Kesultanan Kutai atau semakin lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) adalah kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Luhur Dewa Sakti di Kutai Lama dan berkesudahan pada 1960. Kesudahan pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan hukum budaya istiadat dan hukum budaya Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Sejarah

Pendirian

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada permulaan ratus tahun ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Luhur Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), adalah salah satu daerah taklukan di negara bidang Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.

Pada ratus tahun ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kesudahan menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan selang dua kerajaan tersebut.

Pada ratus tahun ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Agung Dunia. Setelah sebagian puluh tahun, sebutan Raja diwakili dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) adalah sultan Kutai Kartanegara pertama yang memanfaatkan nama Islami. Dan kesudahan sebutan kerajaan pun bertukar menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai adalah salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada ratus tahun ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai mempunyai di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Akad VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki daya militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menempati wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin adalah vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum akad Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat jualan kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan akad dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud adalah Raja Tallo yang menjabat mangkubumi untuk Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya beliau hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan akad 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha menduduki tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Dunia membikin akad dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada ratus tahun ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian akbar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kesudahan wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kesudahan Belanda memperbaharui akad dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Akad berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].

Secara hukum Kutai dianggap negara bidang di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Akad Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].

Pemindahan ibukota kerajaan

La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris adalah raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang mempunyai dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut berperang melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu sedang kecil kesudahan dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kesudahan meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan memanfaatkan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berjalan dengan siasat embargo yang sempit oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado menginginkan bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil menduduki kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kesudahan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung semakin populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk jualan dan menginginkan tanah untuk membangun pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk jualan hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah sebagian hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray hasilnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas sama sekali. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di selang yang tewas tersebut[6].

Insiden pertempuran di Tenggarong ini hingga ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris akan melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bidang dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kesudahan Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangung. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani berperang melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara hasilnya kalah dan takluk pada Belanda.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani akad dengan Belanda yang mencetuskan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang bermarkas di Banjarmasin.[7]

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menyilakan duduk J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu daya politik dan ekonomi sedang mempunyai dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bidang dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan akad dengan Belanda. Dalam akad itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bidang dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibentangkan di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletak dasar untuk eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membikin Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya dunia di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kesudahan, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget sedang belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena mempunyai sebagian kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak dinaikkan menjadi Sultan Kutai. dalam sebagian media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak permulaan ratus tahun ke-20, ekonomi Kutai menjadi semakin sempurna dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melewati surplus yang diproduksi tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - banyak yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit membangun istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang

Ketika Jepang menempati wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kesudahan, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kesudahan pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

  1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
  2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
  3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kesudahan, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong disediakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari perkara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berkesudahan, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[6].

Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.

Wilayah

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).

Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian wilayah otonom yang mempunyai di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:

Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.

Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melewati UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.

Keraton Kesultanan

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya mempunyai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada ratus tahun ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah warga negara Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membikin ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.

Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan propertti beton yang semakin kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kesudahan menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik propertti keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kesudahan yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kesudahan dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diwakili dengan sebuah propertti baru yakni gedung Serapo LPKK.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berkesudahan pada tahun 1960, propertti keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kesudahan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di selangnya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dll.

Dalam bidang yang terkait keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini semakin banyak terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di selangnya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di bidang yang terkait keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia supaya tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton untuk Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki pemikiran rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.

Gelar kebangsawanan

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara diketahui penggunaan gelar sebagai berikut:

  • Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan untuk kerabat kerajaan.
  • Aji Ratu : gelar yang diberikan untuk permaisuri Sultan.
  • Aji Pangeran : gelar untuk putera Sultan.
  • Aji Puteri : gelar untuk puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
  • Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
  • Aji Bambang : gelar yang setingkat semakin tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
  • Aji : gelar untuk keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

  • Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
  • Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Berarti gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
  2. ^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  3. ^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
  4. ^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian selang Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
  5. ^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di ratus tahun ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.  ISBN 9789794074107
  6. ^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
  7. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0. ISBN 978-602-8397-21-6
  8. ^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n. 
  9. ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358. 
  10. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242. 

Pranala luar


edunitas.com


Page 15

Kesultanan Kutai atau semakin lengkap disebut Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura) adalah kesultanan bercorak Islam yang berdiri pada tahun 1300 oleh Aji Batara Luhur Dewa Sakti di Kutai Lama dan berkesudahan pada 1960. Kesudahan pada tahun 2001 kembali eksis di Kalimantan Timur setelah dihidupkan lagi oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan hukum budaya istiadat dan hukum budaya Kutai Keraton.

Dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II pada tanggal 22 September 2001.

Sejarah

Pendirian

Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada permulaan ratus tahun ke-13 di daerah yang bernama Tepian Batu atau Kutai Lama (kini menjadi sebuah desa di wilayah Kecamatan Anggana) dengan rajanya yang pertama yakni Aji Batara Luhur Dewa Sakti (1300-1325). Kerajaan ini disebut dengan nama Kerajaan Tanjung Kute dalam Kakawin Nagarakretagama (1365), adalah salah satu daerah taklukan di negara bidang Pulau Tanjungnagara oleh Patih Gajah Mada dari Majapahit[1].

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Lambang Kesultanan Kutai Kartanegara dalam versi lain.

Pada ratus tahun ke-16, Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah pimpinan raja Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai (atau disebut pula: Kerajaan Kutai Martadipura atau Kerajaan Kutai Martapura atau Kerajaan Mulawarman) yang terletak di Muara Kaman. Raja Kutai Kartanegara pun kesudahan menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura sebagai peleburan selang dua kerajaan tersebut.

Pada ratus tahun ke-17, agama Islam yang disebarkan Tuan Tunggang Parangan diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara yang saat itu dipimpin Aji Raja Mahkota Agung Dunia. Setelah sebagian puluh tahun, sebutan Raja diwakili dengan sebutan Sultan. Sultan Aji Muhammad Idris (1735-1778) adalah sultan Kutai Kartanegara pertama yang memanfaatkan nama Islami. Dan kesudahan sebutan kerajaan pun bertukar menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura[1].

Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (1663), negeri Kutai adalah salah satu tanah di atas angin (sebelah utara) yang mengirim upeti kepada Maharaja Suryanata, raja Banjar-Hindu (Negara Dipa) pada ratus tahun ke-14 hingga kerajaan ini digantikan oleh Kesultanan Banjar. Sekitar tahun 1620 Kutai mempunyai di bawah pengaruh Kesultanan Makassar. Akad VOC dan Kesultanan Banjar tahun 1635 menyebutkan VOC membantu Banjar untuk menaklukan Paser dan Kutai kembali. Dengan demikian sejak tahun 1636, Kutai diklaim oleh Kesultanan Banjar sebagai salah satu vazalnya karena Banjarmasin sudah memiliki daya militer yang memadai untuk menghadapi serangan Kesultanan Mataram yang berambisi menaklukan seluruh Kalimantan dan sudah menempati wilayah Sukadana (1622)[2]. Sebelumnya Banjarmasin adalah vazal Kesultanan Demak (penerus Majapahit), tetapi semenjak runtuhnya Demak (1548), Banjarmasin tidak lagi mengirim upeti kepada pemerintahan di Jawa. Sekitar tahun 1638 (sebelum akad Bungaya) Sultan Makassar (Gowa-Tallo) meminjam Pasir serta Kutai, Berau dan Karasikan (Kepulauan Sulu/Banjar Kulan) sebagai tempat jualan kepada Sultan Banjar IV Mustain Billah/Marhum Panembahan dan berjanji tidak akan menyerang Banjarmasin. Hal tersebut terjadi ketika Kiai Martasura diutus ke Makassar dan mengadakan akad dengan I Mangadacinna Daeng Sitaba Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud adalah Raja Tallo yang menjabat mangkubumi untuk Sultan Malikussaid Raja Gowa tahun 1638-1654.[3].

Tahun 1747, VOC Belanda mengakui Pangeran Tamjidullah I sebagai Sultan Banjar padahal yang sebenarnya beliau hanyalah mangkubumi. Pada 1765, VOC Belanda berjanji membantu Sultan Tamjidullah I yang pro VOC Belanda untuk menaklukan kembali daerah-daerah yang memisahkan diri diantaranya Kutai berdasarkan akad 20 Oktober 1756.[4], karena VOC bermaksud menyatukan daerah-daerah di Kalimantan sebagai daerah pengaruh VOC. Padahal Kutai di bawah pengaruh La Maddukelleng (raja Wajo) yang anti VOC. Pangeran Amir, pewaris mahkota Kesultanan Banjar yang sah dibantu pamannya - Arung Turawe (kelompok anti VOC) berusaha menduduki tahta tetapi mengalami kegagalan.

Pada 13 Agustus 1787, Sultan Banjar Sunan Nata Dunia membikin akad dengan VOC yang menjadikan Kesultanan Banjar sebagai daerah protektorat VOC sedangkan daerah-daerah lainnya di Kalimantan yang dahulu kala pada ratus tahun ke-17 pernah menjadi vazal Banjarmasin diserahkan secara sepihak sebagai properti VOC Belanda. Tahun 1778 Landak dan Sukadana (sebagian akbar Kalbar) telah diperoleh VOC dari Sultan Banten. Pada 9 September 1809 VOC meninggalkan Banjarmasin (kota Tatas) dan menyerahkan benteng Tatas dan benteng Tabanio kepada Sultan Banjar yang ditukar dengan intan 26 karat. Kesudahan wilayah Hindia-Belanda diserahkan kepada Inggris karena Belanda kalah dalam peperangan, Alexander Hare menjadi wakil Inggris di Banjarmasin sejak 1812. Tanggal 1 Januari 1817 Inggris menyerahkan kembali wilayah Hindia Belanda termasuk Banjarmasin dan daerah-daerahnya kepada Belanda dan kesudahan Belanda memperbaharui akad dengan Sultan Banjar[4]. Negeri Kutai diserahkan sebagai daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan I pada 1 Januari 1817 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Aernout van Boekholzt.[5] Akad berikutnya pada tahun 1823, negeri Kutai diserahkan menjadi daerah pendudukan Hindia Belanda dalam Kontrak Persetujuan Karang Intan II pada 13 September 1823 selang Sultan Sulaiman dari Banjar dengan Hindia Belanda diwakili Residen Mr. Tobias[4].

Secara hukum Kutai dianggap negara bidang di dalam negara Banjar. Negeri Kutai ditegaskan kembali termasuk daerah-daerah pendudukan Hindia Belanda di Kalimantan menurut Akad Sultan Adam al-Watsiq Billah dengan Hindia Belanda yang ditandatangani dalam loji Belanda di Banjarmasin pada tanggal 4 Mei 1826[4].

Pemindahan ibukota kerajaan

La Madukelleng menawan daerah Paser dan Kutai. Aji Muhammad Idris adalah raja kutai Kartanegara pertama yang memakai gelar Sultan sebagai upaya melepaskan diri dari dominasi Sultan Banjar yang mempunyai dalam pengaruh VOC. Sultan Aji Muhammad Idris yang adalah menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng berangkat ke tanah Wajo, Sulawesi Selatan untuk turut berperang melawan VOC bersama rakyat Bugis. Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara untuk sementara dipegang oleh Dewan Perwalian[1].

Pada tahun 1739, Sultan Aji Muhammad Idris gugur di medan laga. Sepeninggal Sultan Idris, terjadilah perebutan tahta kerajaan oleh Aji Kado. Putera mahkota kerajaan Aji Imbut yang saat itu sedang kecil kesudahan dilarikan ke Wajo[1]. Aji Kado kesudahan meresmikan namanya sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan memanfaatkan gelar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin.

Setelah dewasa, Aji Imbut sebagai putera mahkota yang syah dari Kesultanan Kutai Kartanegara kembali ke tanah Kutai. Oleh kalangan Bugis dan kerabat istana yang setia pada mendiang Sultan Idris, Aji Imbut dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin. Penobatan Sultan Muslihuddin ini dilaksanakan di Mangkujenang. Sejak itu dimulailah perlawanan terhadap Aji Kado.

Perlawanan berjalan dengan siasat embargo yang sempit oleh Mangkujenang terhadap Pemarangan. Armada bajak laut Sulu terlibat dalam perlawanan ini dengan melakukan penyerangan dan pembajakan terhadap Pemarangan. Tahun 1778, Aji Kado menginginkan bantuan VOC namun tidak dapat dipenuhi[1].

Pada tahun 1780, Aji Imbut berhasil menduduki kembali ibukota Pemarangan dan secara resmi dinobatkan sebagai sultan dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin di istana Kesultanan Kutai Kartanegara. Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan[1].

Aji Imbut dengan gelar Sultan Aji Muhammad Muslihuddin memindahkan ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara ke Tepian Pandan pada tanggal 28 September 1782. Perpindahan ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh kenangan pahit masa pemerintahan Aji Kado dan Pemarangan dianggap telah kehilangan tuahnya. Nama Tepian Pandan kesudahan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti Rumah Raja, lama-kelamaan Tangga Arung semakin populer dengan sebutan Tenggarong dan tetap bertahan hingga kini[6].

Pada tahun 1838, Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Salehuddin setelah Aji Imbut mangkat pada tahun tersebut.

Serangan kapal Inggris

Pada tahun 1844, 2 buah kapal dagang pimpinan James Erskine Murray asal Inggris memasuki perairan Tenggarong. Murray datang ke Kutai untuk jualan dan menginginkan tanah untuk membangun pos dagang serta hak eksklusif untuk menjalankan kapal uap di perairan Mahakam. Namun Sultan A.M. Salehuddin mengizinkan Murray untuk jualan hanya di wilayah Samarinda saja. Murray kurang puas dengan tawaran Sultan ini. Setelah sebagian hari di perairan Tenggarong, Murray melepaskan tembakan meriam ke arah istana dan dibalas oleh pasukan kerajaan Kutai. Pertempuran pun tak dapat dihindari. Armada pimpinan Murray hasilnya kalah dan melarikan diri menuju laut lepas sama sekali. Lima orang terluka dan tiga orang tewas dari pihak armada Murray, dan Murray sendiri termasuk di selang yang tewas tersebut[6].

Insiden pertempuran di Tenggarong ini hingga ke pihak Inggris. Sebenarnya Inggris akan melakukan serangan balasan terhadap Kutai, namun ditanggapi oleh pihak Belanda bahwa Kutai adalah salah satu bidang dari wilayah Hindia Belanda dan Belanda akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan caranya sendiri. Kesudahan Belanda mengirimkan armadanya dibawah komando t'Hooft dengan membawa persenjataan yang lengkap. Setibanya di Tenggarong, armada t'Hooft menyerang istana Sultan Kutai. Sultan Aji Muhammad Salehuddin diungsikan ke Kota Bangung. Panglima perang kerajaan Kutai, Awang Long yang bergelar Pangeran Senopati bersama pasukannya dengan gagah berani berperang melawan armada t'Hooft untuk mempertahankan kehormatan Kerajaan Kutai Kartanegara[6]. Awang Long gugur dalam pertempuran yang kurang seimbang tersebut dan Kesultanan Kutai Kartanegara hasilnya kalah dan takluk pada Belanda.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Sultan Sulaiman bersama putra mahkota dan para menteri kerajaan.

Pada tanggal 11 Oktober 1844, Sultan A.M. Salehuddin harus menandatangani akad dengan Belanda yang mencetuskan bahwa Sultan Kutai mengakui pemerintahan Hindia Belanda dan mematuhi pemerintah Hindia Belanda di Kalimantan yang diwakili oleh seorang Residen yang bermarkas di Banjarmasin.[7]

Tahun 1846, H. von Dewall menjadi administrator sipil Belanda yang pertama di pantai timur Kalimantan[6]. Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië tahun 1849, wilayah Kesultanan Kutai termasuk dalam zuid-ooster-afdeeling berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8[8]

Pada tahun 1850, Sultan A.M. Sulaiman memegang tampuk kepemimpinan Kesultanan Kutai kartanegara Ing Martadipura. Pada tahun 1853, pemerintah Hindia Belanda menyilakan duduk J. Zwager sebagai Assisten Residen di Samarinda. Saat itu daya politik dan ekonomi sedang mempunyai dalam genggaman Sultan A.M. Sulaiman (1850-1899). Dalam tahun 1853 penduduk Kesultanan Kutai 100.000 jiwa.[9] Tahun 1855, Kesultanan Kutai termasuk sebagai bidang dari de zuid- en oosterafdeeling van Borneo.[10] Pada tahun 1863, kerajaan Kutai Kartanegara kembali mengadakan akad dengan Belanda. Dalam akad itu disepakati bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara menjadi bidang dari Pemerintahan Hindia Belanda.

Pembukaan tambang batubara pertama

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Keraton Kesultanan pada masa Sultan Alimuddin.

Tahun 1888, pertambangan batubara pertama di Kutai dibentangkan di Batu Panggal oleh insinyur tambang asal Belanda, J.H. Menten. Menten juga meletak dasar untuk eksploitasi minyak pertama di wilayah Kutai. Kemakmuran wilayah Kutai pun nampak semakin nyata sehingga membikin Kesultanan Kutai Kartanegara menjadi sangat terkenal pada masa itu. Royalti atas pengeksloitasian sumber daya dunia di Kutai diberikan kepada Sultan Sulaiman[6].

Tahun 1899, Sultan Sulaiman wafat dan digantikan putera mahkotanya Aji Mohammad dengan gelar Sultan Aji Muhammad Alimuddin.

Pada tahun 1907, misi Katolik pertama didirikan di Laham, Kutai Barat. Setahun kesudahan, wilayah hulu Mahakam ini diserahkan kepada Belanda dengan kompensasi sebesar 12.990 Gulden per tahun kepada Sultan Kutai Kartanegara.

Sultan Alimuddin hanya bertahta dalam kurun waktu 11 tahun saja, beliau wafat pada tahun 1910. Berhubung pada waktu itu putera mahkota Aji Kaget sedang belum dewasa, tampuk pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipegang oleh Dewan Perwalian yang dipimpin oleh Aji Pangeran Mangkunegoro.

Pada tanggal 14 Nopember 1920, Aji Kaget dinobatkan sebagai Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan Aji Muhammad Parikesit namun hal ini juga banyak mengalami kontroversi karena mempunyai sebagian kerabat tidak setuju dengan pengangkatan Aji Muhammad Parikesit Tersebut, hal ini dikarenakan anggapan bahwa Aji Pangeran Soemantri 1 lah yang berhak dinaikkan menjadi Sultan Kutai. dalam sebagian media juga di sebutkan bahwa pengangkatan Aji Muhamad Parikesit dikarenakan ke dua saudaranya telah meninggal. Hal inilah yang mengundang banyak kontroversi dari berbagai pihak.

Sejak permulaan ratus tahun ke-20, ekonomi Kutai menjadi semakin sempurna dengan sangat pesat sebagai hasil pendirian perusahaan Borneo-Sumatra Trade Co. Pada tahun-tahun tersebut, kapital yang diperoleh Kutai tumbuh secara mantap melewati surplus yang diproduksi tiap tahunnya. Hingga tahun 1924, Kutai telah memiliki dana sebesar 3.280.000 Gulden - banyak yang sangat fantastis untuk masa itu.

Tahun 1936, Sultan A.M. Parikesit membangun istana baru yang megah dan kokoh yang terbuat dari bahan beton. Dalam kurun waktu satu tahun, istana tersebut selesai dibangun.

Kedatangan Jepang

Ketika Jepang menempati wilayah Kutai pada tahun 1942, Sultan Kutai harus tunduk pada Tenno Heika, Kaisar Jepang. Jepang memberi Sultan gelar kehormatan Koo dengan nama kerajaan Kooti.

Era kemerdekaan dan penghapusan kesultanan

Indonesia merdeka pada tahun 1945. Dua tahun kesudahan, Kesultanan Kutai Kartanegara dengan status Daerah Swapraja masuk ke dalam Federasi Kalimantan Timur bersama-sama daerah Kesultanan lainnya seperti Bulungan, Sambaliung, Gunung Tabur dan Pasir dengan membentuk Dewan Kesultanan. Kesudahan pada 27 Desember 1949 masuk dalam Republik Indonesia Serikat.

Daerah Swapraja Kutai diubah menjadi Daerah Istimewa Kutai yang adalah daerah otonom/daerah istimewa tingkat kabupaten berdasarkan UU Darurat No.3 Th.1953.

Pada tahun 1959, berdasarkan UU No. 27 Tahun 1959 tentang "Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Kalimantan", wilayah Daerah Istimewa Kutai dipecah menjadi 3 Daerah Tingkat II, yakni:

Pada tanggal 20 Januari 1960, bertempat di Gubernuran di Samarinda, A.P.T. Pranoto yang menjabat sebagai Gubernur Kalimantan Timur, dengan atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia melantik dan mengangkat sumpah 3 kepala daerah untuk ketiga daerah swatantra tersebut, yakni:

  1. A.R. Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai
  2. Kapt. Soedjono sebagai Walikota Kotapraja Samarinda
  3. A.R. Sayid Mohammad sebagai Walikota Kotapraja Balikpapan

Sehari kesudahan, pada tanggal 21 Januari 1960 bertempat di Balairung Keraton Sultan Kutai, Tenggarong disediakan Sidang Khusus DPRD Daerah Istimewa Kutai. Inti dari perkara ini adalah serah terima pemerintahan dari Kepala Kepala Daerah Istimewa Kutai, Sultan Aji Muhammad Parikesit kepada Aji Raden Padmo sebagai Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kutai, Kapten Soedjono (Walikota Samarinda) dan A.R. Sayid Mohammad (Walikota Balikpapan). Pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara dibawah Sultan Aji Muhammad Parikesit berkesudahan, dan beliau pun hidup menjadi rakyat biasa[6].

Penghidupan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara

Pada tahun 1999, Bupati Kutai Kartanegara, Syaukani Hasan Rais berniat untuk menghidupkan kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Dikembalikannya Kesultanan Kutai ini bukan dengan maksud untuk menghidupkan feodalisme di daerah, namun sebagai upaya pelestarian warisan sejarah dan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia. Selain itu, dihidupkannya tradisi Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk mendukung sektor pariwisata Kalimantan Timur dalam upaya menarik minat wisatawan nusantara maupun mancanegara.

Pada tanggal 7 Nopember 2000, Bupati Kutai Kartanegara bersama Putera Mahkota Kutai H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerja Adiningrat menghadap Presiden RI Abdurrahman Wahid di Bina Graha Jakarta untuk menyampaikan maksud di atas. Presiden Wahid menyetujui dan merestui dikembalikannya Kesultanan Kutai Kartanegara kepada keturunan Sultan Kutai yakni putera mahkota H. Aji Pangeran Praboe.

Pada tanggal 22 September 2001, Putra Mahkota Kesultanan Kutai Kartanegara, H. Aji Pangeran Praboe Anoem Soerya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H. Aji Muhammad Salehuddin II. Penabalan H.A.P. Praboe sebagai Sultan Kutai Kartanegara baru dilaksanakan pada tanggal 22 September 2001.

Wilayah

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Wilayah kekuasaan kesultanan Kutai (berwarna hijau tua).

Pada masa kejayaannya hingga tahun 1959, Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian wilayah otonom yang mempunyai di propinsi Kalimantan Timur saat ini, yakni:

Dengan demikian, luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.

Pada tahun 1959, wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara atau Daerah Istimewa Kutai dibagi menjadi 3 wilayah Pemerintah Daerah Tingkat II, yakni Kabupaten Kutai, Kotamadya Balikpapan dan Kotamadya Samarinda. Dan sejak itu berakhirlah pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara setelah disahkannya Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Kutai melewati UU No.27 Tahun 1959 tentang Pencabutan Status Daerah Istimewa Kutai.

Keraton Kesultanan

Dokumentasi bentuk istana Sultan Kutai hanya mempunyai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Sulaiman yang kala itu beribukota di Tenggarong, setelah para penjelajah Eropa melakukan ekspedisi ke pedalaman Mahakam pada ratus tahun ke-18. Carl Bock, seorang penjelajah warga negara Norwegia yang melakukan ekspedisi Mahakam pada tahun 1879 sempat membikin ilustrasi pendopo istana Sultan A.M. Sulaiman. Istana Sultan Kutai pada masa itu terbuat dari kayu ulin dengan bentuk yang cukup sederhana.

Setelah Sultan Sulaiman wafat pada tahun 1899, Kesultanan Kutai Kartanegara kesudahan dipimpin oleh Sultan A.M. Alimuddin (1899-1910). Sultan Alimuddin mendiami keraton baru yang terletak tak jauh dari bekas keraton Sultan Sulaiman. Keraton Sultan Alimuddin ini terdiri dari dua lantai dan juga terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Keraton ini dibangun menghadap sungai Mahakam. Hingga Sultan A.M. Parikesit naik tahta pada tahun 1920, keraton ini tetap digunakan dalam menjalankan roda pemerintahan kerajaan.

Pada tahun 1936, keraton kayu peninggalan Sultan Alimuddin ini dibongkar karena akan digantikan dengan propertti beton yang semakin kokoh. Untuk sementara waktu, Sultan Parikesit beserta keluarga kesudahan menempati keraton lama peninggalan Sultan Sulaiman. Pembangunan keraton baru ini dilaksanakan oleh HBM ( Hollandsche Beton Maatschappij ) Batavia dengan arsiteknya Estourgie. Dibutuhkan waktu satu tahun untuk menyelesaikan istana ini. Setelah fisik propertti keraton rampung pada tahun 1937, baru setahun kesudahan yakni pada tahun 1938 keraton baru ini secara resmi didiami oleh Sultan Parikesit beserta keluarga. Peresmian keraton yang megah ini dilaksanakan cukup meriah dengan disemarakkan pesta kembang api pada malam harinya. Sementara itu, dengan telah berdirinya keraton baru maka keraton buruk peninggalan Sultan Sulaiman kesudahan dirobohkan. Pada masa sekarang, areal bekas keraton lama ini telah diwakili dengan sebuah propertti baru yakni gedung Serapo LPKK.

Mengapa demak disebut kesultanan atau kerajaan

Kedaton Kutai Kartanegara yang baru.

Setelah pemerintahan Kesultanan Kutai berkesudahan pada tahun 1960, propertti keraton dengan luas 2.270 m2 ini tetap menjadi tempat kediaman Sultan A.M. Parikesit hingga tahun 1971. Keraton Kutai kesudahan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur pada tanggal 25 Nopember 1971. Pada tanggal 18 Februari 1976, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyerahkan bekas keraton Kutai Kartanegara ini kepada Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat untuk dikelola menjadi sebuah museum negeri dengan nama Museum Mulawarman. Didalam museum ini disajikan beraneka ragam koleksi peninggalan kesultanan Kutai Kartanegara, di selangnya singgasana, arca, perhiasan, perlengkapan perang, tempat tidur, seperangkat gamelan, koleksi keramik kuno dari China, dll.

Dalam bidang yang terkait keraton Sultan Kutai terdapat makam raja dan keluarga kerajaan Kutai Kartanegara. Jirat atau nisan Sultan dan keluarga kerajaan ini semakin banyak terbuat dari kayu besi yang dapat tahan lama dengan tulisan huruf Arab yang diukir. Sultan-sultan yang dimakamkan disini di selangnya adalah Sultan Muslihuddin, Sultan Salehuddin, Sultan Sulaiman dan Sultan Parikesit. Hanya Sultan Alimuddin saja yang tidak dimakamkan di bidang yang terkait keraton, beliau dimakamkan di tanah miliknya di daerah Gunung Gandek, Tenggarong.

Pada tanggal 22 September 2001, putra mahkota H. Aji Pangeran Praboe Anum Surya Adiningrat dinobatkan menjadi Sultan Kutai Kartanegara dengan gelar Sultan H.A.M. Salehuddin II. Dipulihkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ini adalah sebagai upaya untuk melestarikan warisan hukum budaya istiadat Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua di Indonesia supaya tak punah dimakan masa. Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah membangun sebuah istana baru yang disebut Kedaton untuk Sultan Kutai Kartanegara yang sekarang. Bentuk kedaton baru yang terletak disamping Masjid Jami' Aji Amir Hasanuddin ini memiliki pemikiran rancangan yang mengacu pada bentuk keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin.

Gelar kebangsawanan

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan di depan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara diketahui penggunaan gelar sebagai berikut:

  • Aji Sultan : digunakan untuk penyebutan nama Sultan untuk kerabat kerajaan.
  • Aji Ratu : gelar yang diberikan untuk permaisuri Sultan.
  • Aji Pangeran : gelar untuk putera Sultan.
  • Aji Puteri : gelar untuk puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.
  • Aji Raden : gelar yang setingkat di atas Aji Bambang. Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.
  • Aji Bambang : gelar yang setingkat semakin tinggi dari Aji. Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.
  • Aji : gelar untuk keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai. Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh gelar sebagai berikut:

  • Aji Sayid : gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.
  • Aji Syarifah : gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Berarti gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f - Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 1
  2. ^ M. Gazali Usman, Kerajaan Banjar: Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam, Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press, 1994.
  3. ^ Johannes Jacobus Ras, Hikayat Banjar terjemahan dalam Bahasa Malaysia oleh Siti Hawa Salleh, Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, Lot 1037, Mukim Perindustrian PKNS - Ampang/Hulu Kelang - Selangor Darul Ehsan, Malaysia 1990
  4. ^ a b c d (Indonesia) Bandjermasin (Sultanate), Surat-surat perdjandjian selang Kesultanan Bandjarmasin dengan pemerintahan2 V.O.C.: Bataafse Republik, Inggeris dan Hindia- Belanda 1635-1860, Penerbit Arsip Nasional Republik Indonesia, Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat 1965
  5. ^ (Indonesia)Poesponegoro; Nugroho Notosusanto (1992). Sejarah nasional Indonesia: Nusantara di ratus tahun ke-18 dan ke-19. Indonesia: PT Balai Pustaka. ISBN 979-407-410-1.  ISBN 9789794074107
  6. ^ a b c d e f Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura halaman 2
  7. ^ (Inggris) Magenda, Burhan Djabier (2010). East Kalimantan: The Decline of a Commercial Aristocracy. Equinox Publishing. ISBN 602-8397-21-0. ISBN 978-602-8397-21-6
  8. ^ (Belanda) (1849)Staatsblad van Nederlandisch Indië. s.n. 
  9. ^ (Belanda) {1853)Verhandelingen en berigten betrekkelijk het zeewezen en de zeevaartkunde 13. hlm. 358. 
  10. ^ (Belanda) J. B. J Van Doren (1860). Bydragen tot de kennis van verschillende overzeesche landen, volken, enz 1. J. D. Sybrandi. hlm. 242. 

Pranala luar


edunitas.com