Mengapa historiografi kolonial lebih menceritakan mengenai kisah perjalanan?

BAB I

Show

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Berbicara mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan buku-buku historiografi yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial. Tidak dapat disangkal bahwa historiografi kolonial turut memperkuat proses historiografi Indonesia, historiaografi kolonial dengan sendirinya menonjolkan peran bangsa Belanda dan memberi tekanan pada aspek politik dan ekonomi. Hal ini merupakan perkembangan logis dari situasi kolonial ketika penulisan sejarah bertujuan utama mewujudkan sejarah dari golongan yang berkuasa beserta lembaga-lembaganya.

Penulisan sejarah kolonial tentunya tidak lepas dari kepentingan penguasa kolonial, kepentingan itu mewarnai interpretasi mereka terhadap suatu peristiwa sejarah yang tentunya berbeda dengan penafsiran penulis sejarah nasional Indonesia. Jika dalam sejarah Belanda-sentris menonjolkan peranan VOC sebagai pemersatu dalam menulis sejarah Hindia-Belanda (Indonesia) maka dalam pandangan Indonesia-sentris hal itu akan berbeda. Kehadiran bangsa barat pada umumnya serta Belanda pada khususnya dan sengaja atau tidak sengaja mendorong kearah integrasi.

  1. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diambil sebuah rumusan masalah sebagai berikut :

  1. Bagaimana pengertian serta ruang lingkup historiografi kolonial ?
  2. Apa sajakah ciri-ciri historiografi kolonial ?
  3. Apa kelebihan dan kekurangan historiografi kolonial ?
  4. Bagaimanakah historiografi kolonial pada masa Hindia Belanda tahun 1816-1942 ?
  5. Bagaimanakah karakteristik dari historiografi kolonial pada masa Hindia Belanda tahun 1816-1942 ?

  1. TUJUAN

Dari rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

  1. Menjelaskan pengertian dan ruang lingkup historiografi kolonial.
  2. Mendeskripsikan ciri-ciri historiografi kolonial.
  3. Mendeskripsikan kelebihan dan kekurangan historiografi kolonial.
  4. Mendeskripsikan historiografi kolonial pada masa Hindia Belanda tahun 1816-1942.
  5. Mendeskripsikan karakteristik historiografi kolonial pada masa Hindia Belanda tahun 1816-1942.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP

Perkataan sejarah mempunyai dua arti yang dapat membedakan sejarah dengan penulisan sejarah. Sejarah dalam arti obyektif, adalah kejadian sejarah yang sebenarnya. Terjadi hanya sekali dan bersifat unik (History of Actuality). Sejarah dalam arti subyektif ialah gambaran atau cerita serta tulisan tentang suatu kejadian (History as Written atau Historiografi).

Dari sudut etimologis, semula berasal dari bahasa Yunani: Historia dan Grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala alam phisik (Physical Research), sedangkan kata Grafein berarti gambaran, lukisan, tulisan atau uraian (discription). Dengan demikian secara harafiah historiografi dapat diartikan sebagai uraian atau tulisan tentang hasil penelitian mengenai gejala alam. Namun dalam perkembangannya historiografi juga mengalami perubahan. Hal ini disebabkan para sejarawan mengacu pada pengertian historia, sebagai suatu usaha mengenai penelitian ilmiah yang cenderung menjurus pada tindakan manusia di masa lampau.

Pada masa penjajahan atau masa kolonial menghasilkan banyak tulisan-tulisan yang berbeda dengan tulisan-tulisan pada masa sebelumnya. Historiografi kolonial adalah merupakan produk penulisan sejarah Indonesia selama di bawah pemerintahan Kolonial Belanda dan merupakan antitesis sejarah tradisional yang telah berkembang sebelumnya (Warto: 9). Sama dengan hal tersebut, historiografi kolonial merupakan penulisan sejarah yang membahas masalah penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia. Penulisan tersebut dilakukan oleh orang-orang Belanda dan banyak di antara penulis-penulisnya yang tidak pernah melihat Indonesia, sumber-sumber yang dipergunakan adalah dari arsip negara di negeri Belanda dan di Jakarta, namun pada umumnya tidak menggunakan atau lebih menggabaikan sumber-sumber Indonesia.

Historiografi Kolonial adalah penulisan sejarah Indonesia yang ditulis untuk kepentingan dan dengan cara pandang kolonial Belanda atau lebih bersifat Eropasentris atau Nearlandosentris. Seperti yang di ungkapakan (Kartodirdjo: 25), Telah banyak kupasan-kupasan tentang pandangan historiografis sejarah yang tradisional dan kesemuanya menekankan ciri yang menonjol, ialah Nederlandosentrisme khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya.

Salah satu perkembangan penting dalam penulisan sejarah di Indonesia yang mengarah pada bentuk historiografi yang moderen adalah penulisan sejarah yang di tulis oleh orang Belanda. Sebuah tim yang terdiri dari para ahli sejarah dan diketahui Dr. FW. Stapel. Judul buku sejarah yang di tulis tersebut yaitu Geschiedenis Van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda).

Buku yang di tulis oleh stapel tersebut lebih banyak menceritakan peran penjajah Belanda di Indonesia. Penjajah Belanda merupakan subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Sedangkan bangsa Indonesia hanyalah merupakan objek dari cerita sejarah. Bangsa Belanda merupakan pemilik daerah jajahan, orang yang harus di pertuan, sedangkan bangsa Indonesia adalah merupakan abdi bagi bangsa Belanda. Tindakan tindakan bangsa Indonesia yang bertentangan dengan penjajah Belanda dianggap sebagai pemberontak.

Tokoh-tokoh penting dari orang Belanda di anggap sebagai orang besar, sedangkan tokoh tokoh bangsa Indonesia yang di anggap sebagai pahlawan, dianggap sebagai orang jelek, jahat dan selalu terkait dengan cerita negatif lainnya. Misalnya diceritakan bagaimana kompeni merasa kehilangan besar ketika J.P. Coen seorang Gubernur Jendral meninggal. Dia dikuburkan dengan cara penguburan yang besar. Ketika akan dikuburkan, rakyat betawi mengusungnya. Contoh sebaliknya adalah cerita mengenai Sultan Banten. Diceritakan bahwa Sultan Ageng Tirtayasa adalah seorang yang cerdik, bijaksana dan taat menjalankan agama islam, tapi dibalik itu semua diceritakan bahwa dia memiliki kelakuan yang bengis, hatinya jelek, selamanya memusuhi kompeni dan ingin memajukan Banten dan ingin membinasakan orang-orang Betawi Jakarta.

Uraian penulisan sejarah yang demikian itu seperti yang di tulis oleh stapel, disebut dengan pendekatan penulisan yang Nederlandosentris. Pendekatan ini berarti penulisan sejarah yang dilihat dari sudut Belanda. Buku yang ditulis stepel tersebut bukanlah merupakan sejarah Indonesia, tetapi merupakan suatu penulisan sejarah penajajahan Belanda atau sejarah Belanda di negeri jajahan. Karena penulisan sejarah yang lebih menampilkan orang Belanda maka dalam tulisan itu, orang Belanda seakan akan menjadi subjek dalam cerita sejarah. Bangsa Indonesia dikenal sebagai kaum pribumi. Sebutan ini lebih menunjukan bahwa Indonesia bukanlah dianggap sebgai bangsa, dan tidak memiliki suatu negara. Dan kedudukan bangsa Indonesia dianggap sebagai pelayan bagi orang-orang Belanda.

Penulisan sejarah yang Nederlandsentris dalam perkembangan kemudian banyak mendapatkan kritikan. Nederlandsentris tidak dapat menampilkan bangsa Indonesia atau penulisan yang berdasarkan pada nasionalisme bangsa Indonesia. Penulisan sejarah yang lebih menonjolkan peran bangsa Indonesia atau Indonesiansenris merupakan bentuk dari dekolonisasi terhadap historiografi, artinya pelepasan penulisan sejarah dari penjajahan Belanda.

Tidak dapat disangkal, bawa historiografi turut memperkuat proses naturalisasi historiografi Indonesia. Terlepas dari berbagai objektivitas yang melekat pada penulisan penulisan sejarawan kolonial, pada umumnya deskripsinya berorentasikan fakta-fakta dan kejadian kejadian, umpamanya dalam sejarah VOC tentang yang bersangkutan dengan pelayaran, perdagangan dan peperangan melawan raja-raja. Kekayaan akan fakta-fakta sungguh menyolok. Apabila dalam sistem historiografi tradisional kehadiran bangsa Belanda di Indonesia handaklah diterangkan dengan memitologisasikan, seperti kisah baron sakender, sejarah (secara) teknis kita akan menghadapinya secara kritis dengan sendirinya selektif.

Historiografi kolonial dengan sendirinya menonjiokan peran bangsa Belanda dan memberi teks pada aspek politis, ekonomis dan institusional. Hal ini merupakan perkembangan secara logis dari situasi kolonial di mana penulisan sejarah dari golongan yang dominan beserta lembaga-lembaganya. Interprestasi dari zaman kolonial cenderung untuk membuat mitologisasi dari dominasi itu, dengan menyebut perang-perang kolonial sebagai usaha pasifikasi daerah-daerah, yang sesungguhnya mengadakan perlawanan untuk survival masyarakat serta kebudayaannya. Apabila kita mengingat banyaknya perlawanan selama abad 19, baik yang berupa dalam skala besar seperti perang padri dan perang di negara atau perang Aceh, atau maupun yang bersekala kecil, yang oleh rakyat juga di sebut rusuh atau brandalan, seperti pemberontakan Cilegon, Gedangan, Jambi, Cimareme, maka apa disebut pax Neerlandica lebih merupakan mitos daripada kenyataan sejarah. Sejarah perang kolonial itu terutama menguraikan pelbagai operasi militer secara mendetail. Sedang bangsa Indonesia hanya disebut sebagai objek dari aksi militer Belanda, tidak diterangkan organisasi intern dari pemberontakan itu, siapa dan termasuk golongan apakah golongan itu, serta apakah yang sesungguhnya menjadi tujuannya.

Sesuai dengan namanya yaitu sejarah kolonial, maka sebenarnya kuranglah tepat bila disebut dengan penulisan sejarah Indonesia. Lebih tepat disebagai sejarah Bangsa Belanda di Hindia Belanda (Indonesia) mengapa demikian, hal ini tidaklah mengherankan sebab fokus pembicaraan adalah bangsa Belanda, bukanlah kehidupan rakyat atau kiprah bangsa Indonesia di masa penjajahan Belanda. Itulah sifat pokok dari Historiografi Kolonial ialah Eropasentris atau Belandasentris yang dibentangkan atau diuraikan secara panjang lebar di dalam aktivitas bangsa Belanda, pemerintahan kolonial, aktivitas para pegawai kompeni (orang-orang kulit putih) seluk beluk kegiatan para gubernur jenderal dalam menjalankan aktivitasnya ditanah jajahan, dan mengabaikan segala aktivitas, kejadian yang dialami oleh rakyat dan Bangsa Indonesia.

Historiografi kolonial banyak dipengaruhi tradisi penulisan sejarah di Eropa abad ke-19 di bawah tokoh Leopold von Ranke, yang di anggap sebagai bapak historografi modern. Historiografi kolonial yang bersadar pada sumber-sumber arsip resmi negara mempengaruhi konstruk sejarah yang dihadirkan. Para sejarawan sejarah kolonial sepenuhnya mengandalakan studi arsip resmi yang dihimpun oleh pemerintah Kolonial Belanda yang sebagian besar merupakan laporan para pejabat baik dipusat maupun di daerah. Mudah diduga bahwa laporan-laporan resmi tersebut cenderung disusun untuk menyenangkan atasan dan di manupulasi untuk kepentingan karir mereka masing-masing.

Dari sumber sejarah seperti itulah para sejarah merekonstruksi proses sejarah Indonesia yang pada dasarnya menceritakan sejarah orang-orang Belanda di Indonesia. Pemanfaatan sumber-sumber lokal seperti sumber lisan dan artefak lainya belum banyak diminati sehingga kehadiran penduduk pribumi dalam historiografi kolonial tidak terlihat atau dengan sengaja disingkirkan. Di samping itu, historiografi yang bisa kepentingan negara kolonial menutup kemungkinan dihadirkannya peran pribumi yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan pemerintah kolonial Belanda. Justru yang terjadi adalah memutar balikan realitas sejarah untuk mendukung kerangka historiografi yang kolonial.

  1. CIRI-CIRI HISTORIOGRAFI KOLONIAL

Historiografi kolonial sering disebut dengan Eropasentris yang berasal dari karya-karya yang dihasilkan oleh orang-orang Belanda. Historiografi kolonial memiliki beberapa ciri-ciri diantaranya :

  1. Penulisan sejarahnya biasanya berisi tentang kisah perjalanan atau petualangan untuk menemukan daerah-daerah baru untuk dijadikan koloninya (dijajah),
  2. Tulisan mereka lebih merupakan sarana propaganda untuk kepentingan mereka (Belanda) dan sekaligus untuk mengendurkan semangat perlawanan bangsa Indonesia,
  3. Bersifat Belanda sentris kepentingan kolonial sangat mewarnai interpretasi mereka terhadap suatu peristiwa sejarah yang terjadi. Tujuan Historiografi Kolonial adalah semata-mata untuk memperkokok kekuasaan mereka di Indonesia ataupun di temapat jajahan mereka.

Histirografi Kolonial adalah penulisan sejarah Indonesia yang ditulis untuk kepentingan dan dengan cara pandangan kolonial Belanda atau bersifat Eropasentris atau Nearlandosentris. Peristiwa yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Belanda di tulis berdasarkan kepentingan Belanda. Historiografi kolonial berisi kisah-kisah orang-orang Belanda di tanah jajahan (Indonesia) dan orang-orang pribumi yang memiliki peran dan mendukung kepentingan pemerintahan kolonial. Orang-orang pribumi yang tidak memiliki dan menentang kepentingan pemerintah kolonial tidak masuk dalam sejarah kolonial. Ciri-ciri lain historiografi kolonial :

  1. Bersifat diskriminatif;
  2. Menggunakan sumber-sumber belanda;
  3. Berisi sejarah orang besar dan sejarah politik;
  4. Merupakan sejarah orang Belanda di tanah jajahan (Indonesia);
  5. Menganggap bahwa Indonesia belum memiliki sejarah sebelum kedatangan orang-orang belanda.

Penulisan Historiogarafi kolonial dipelopori oleh penulis-penulis Belanda sebagai berikut :

  1. Valentijn melaui karyanya yang berjudul Oud en Nieuw oost Indien.
  2. Veth melalui karyanya yang berjudul Java, Geografisch, Etnologisch, Historisch.
  3. Eykman dan Stapel melalui karyanya yang berjudul Beknopt Leerboek der Geschiedenis van Nederlandsch-Indie.
  4. Van dam melalui karyanya yang berjudul Beschrijvinge der O.I Compagnie.
  5. C Van Leur melalui karyanya yang berjudul Indonesia Trade and Society.
  6. Schrieke melalui karyanya yang berjudul Indonesia Sociological Studies.
  7. Wertheim melalui karyanya yang berjudul Indonesia Society in Transition.

  1. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN HISTORIOGRAFI KOLONIAL
  2. Kelebihan Historiografi Kolonial

Tidak disangka bahwa historiografi masa kolonial turut memperkuat proses naturalisasi historiografi Indonesia, terlepas dari subjektifitas yang melekat sejarawan kolonial berorientasikan fakta-fakta dan kejadian-kejadian. Kekayaan akan fakta-fakta sunggu mencolok, pembicaraan mengenai perkembangan historiografi Indonesia tidak dapat mengabaikan literatur yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial.

  1. Kelemahan Historiografi Masa Kolonial
  2. Subyektivitas Tinggi Terhadap Belanda

Subyektivitas begitu melekat pada historiografi kolonial, sejarawan kolonial pada umumnya deskripsinya berorientasi pada kejadian-kejadian yang menyangkut orang-orang Belanda, misalnya dalam sejarah VOC. Banyak kupasan-kupasan yang menekankan ciri yang menonjol yaitu Nederlandosetrisme pada khususnya dan Eropasentrisme pada umumnya.

Apabila kita meningkat banyak perlawanan selama abad 19, baik berupa perang berskala besar (perang padri, perang diponegoro, dan perang aceh) maupun berskala kecil yang dilakukan ole rakyat disebut rusuh atau berandalan.

  1. Kekurangan Kualitatif dari Sejarawan-Sejarawan Kolonial

Kebanyakan buku tentang sejarah kolonial mempunyai hal-hal yang kaku dan dibuat-buat, buku-buku yang ditulis dari ruang studi di Belanda dan hampir seluruhnya membahas Gubernemen dan pejabat-pejabat dan orang-orang pribumi yang kebetulan bekerja pada pemerintahan kolonial. Hanya sedikit yang dibicarakan tentang rakyat berfikir, yang merasa bertindak dan hampir tidak seorang pun berusaha meneliti syair-syair, hikayat, babad, dan sejarah. Apa yang menjadi pertimbangan dan pendapat mereka karena kebanyakan sejarawan Campagnie hampir tidak menceritakan akan adanya tulisan-tulisan pribumi atau menilainya terlalu rendah. Mereka malu akan bahan-bahannya baik orang Eropa maupun orang pribumi dikritik, bahwa keadaanya jauh lebih baik dan hal ini membenarkan kehadiran orang-orang Eropa sekarang.

  1. Kekurangan Kuantitatif

Setelah masa kompeni relatif sedikit karya-karya yang diterbitkan yang disebabkan oleh sistem kerahasiaan yang fatal dan berlaku pada masa itu dan pengawasan yang menurun terhadap jajahan pada abad ke-18. Berdasarkan jumlah arsip yang banyak, hanya sedikit saja yang merupakan sumber terbuka. Cukup besar keuntungan kita apabila mempunyai penerbit dari Generalie Missiven atau laporan-laporan kolonial yang dititipkan setiaptahun, satu atau beberapa examplar pada kapal-kapal yang berlayar pulang. Tidak hanya mengenai sejarah Hindia-Belanda melainkan juga tentang sejarah Asia dan Afrika. Kita saat ini hanya memiliki satu penerbitan yang sangat tidak lengkap dari Missive yang dikumpulkan oleh ahli arsip kerajaan, de jonge memiliki hubungan dengan Indonesia. Penerbit ini dicetak atas kertas yang buruk sekali, sehingga penerbit ini tidak akan bertahan lama, hal ini merupakan salah satu contoh kesulitan yang dihadapi seorang sejarawan kompeni dan jumlah buku mengenai sejarah Indonesia sangatlah minim.

  1. HISTORIOGRAFI KOLONIAL PADA MASA HINDIA BELANDA (1816-1942)

Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan tentang bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa tersebut. Tanpa itu, penelitian mengenai aspek mana pun dari sejarah Indonesia mustahil dilakukan. Namun dilihat sepintas lalu, sebagian besar sumber-sumber Belanda mungkin tampak tidak penting kaitannya dengan sejarah Indonesia. Seorang sejarawan Indonesia berhak bertanya: apa peduliku pada berita-berita yang dicatat oleh suatu bangsa lain selain bangsa Indonesia? Laporan-laporan resmi Belanda pasti melukiskan kehidupan serta tindakan orang Belanda, dan bukan orang Indonesia. Laporan itu ditulis dengan sudut pandang Eropa, bukan Asia.

Semua itu merupakan keberatan yang meyakinkan, namun jawabannya dapat ditemukan. Pertama-tama, seluruh sumber Belanda saja, yang bersifat naskah dalam tulisan tangan maupun cetakan harus ditekankan artinya. Berjilid-jilid buku bersampul kulit dari berita-berita VOC yang dijajarkan dalam almari arsip negara di den haag saja sudah berjumlah lebih dari dua belas ribu buah. Berita-berita dari pengganti kompeni, yaitu pemerintah Hindia-Belandasebagian dari antaranya sudah berjilid, sebagian lainnya masih dalam berkas-berkasnya yang aslisepuluh kali lebih banyak dari jumlah itu. Tentu sangat ganjil bila himpunan yang begitu banyak tidak mengandung penjelasan tentang sekurang-kurangnya beberapa hal yang bersifat non-eropa.

Kedua, para pegawai Belanda di Indonesia sejak masa yang paling awal, mempunyai banyak kepentingan dan tanggung jawab di luar kegiatan-kegiatan perdagangan dan tata usaha sehari-hari. Pada abad ke-17, ketika ketidaktahuan Eropa tentang asia, para pegawai VOC harus menyiapkan laporan-laporan yang teliti mengenai keadaan di Indonesia, bagi para tuannya di Belanda dengan sedikit gambaran tentang keadaan Indonesia, sehingga keputusan yang diambil di Belanda mempunyai dasar yang lebih kokoh daripada dugaan semata.

Kemudian, ketika pemerintah Hindia Belanda memerintah di seluruh Indonesia, para pegawainya diharuskan memberikan laporan tentang seluruh negeri dan setiap rincian tentang hukum dan kebiasaan setempat yang menarik perhatiannya. Sekali lagi, tujuannya adalah agar kebijakan pemerintah dapat disesuaikan dengan tuntutan tampat dan waktu. Umumnya tugas itu dilaksanakan secara lebih cakap oleh para pegawai Belanda di timur daripada para pegawai kolonial mana pun.

Sampai kini, kita hanya mampu meninjau sumber-sumber untuk sejarah Indonesia sebagaimana yang sampai kepada kita dari zaman kompeni Hindia Timur Belanda. Pada akhir abad ke-18 kompeni mundur dengan cepat. Kompeni tidak berhasil mengatasi pukulan-pukulan di bidang keuangan yang dideritanya selama perang Inggris-Belanda pada tahun 1780-1784. Pada tahun 1796 para direkturnya terpaksa menyerahkan kekuasaan mereka kepada sebuah panitia yang dibentuk oleh kaum revolusioner pro-Perancis, yang telah merebut kekuasaan di negeri Belanda pada tahun sebelum itu, dan pada tanggal 31 desember 1799 kompeni dibubarkan.

Dalam jangka waktu enam belas tahun setelah itu, bangsa Perancis dan Inggris menguasai harta milik Belanda di Indonesia. Sampai tahun 1811 bangsa Belanda secara nominal masih memerintah Indonesia, tetapi penguasa yang sebenarnya dari kepulauan Hindia dan juga negeri Belanda sendiri adalah Napoleon. Pada bulan september tahun 1811, jawa jatuh ke tangan Inggris sampai tahun 1816, dimana seluruh bekas milik Belanda di kepulauan tersebut dikembalikan kepada Belanda, sesuai dengan konvensi London. Pemerintah Hindia Belanda dilantik di Batavia pada 19 Agustus 1816, dan tetap memegang kekuasaan Belanda di Indonesia sampai saat mereka diusir Jepang pada tahun 1942.

Pemerintah baru itu membawa ke Indonesia suatu jenis tata pemerintahan yang lain dari semua jenis tata pemerintahan yang pernah ada di negeri ini sebelumnya. Kompeni Hindia Timur merupakan perusahaan dagang yang mengejar laba, yang hanya memikirkan transaksi jual beli dengan mengesampingkan apa saja. Kompeni tidak memiliki misi budaya, tidak berhasrat melakukan campur tangan dalam tata cara hidup rakyat yang diajak berniaga.

Sumber-sumber non-pemerintah memiliki keadaan yang sama. Sejak abad ke-17 dan ke-18, hanya sedikit bahan yang selamat, kecuali dokumen-dokumen kompeni Hindia Timur, karena kompeni adalah satu-satunya organisasi Belanda yang aktif di wilayah itu. Tetapi pada abad ke-19 dan abad ke-20 muncul semua jenis badan hukum non-pemerintah: perusahaan dagang, serikat buruh, partai politik, bank, perusahaan asuransi, maskapai pelayaran, perusahaan tambang, kantor impor dan ekspor, sekolah, perkumpulan missionaris, dan sebagainya. Bagian terbesar diantaranya adalah organisasi orang Belanda, atau setidaknya yang menggunakan bahasa Belanda. Semuanya mempunyai hubungan erat dengan hal ihwal Indonesia, dan laporan-laporan mereka harus dianggap sebagai bahan-bahan sumber Belanda asli untuk sejarah Indonesia.

  1. Manuskrip

Arsip-arsip bekas Kementrian Urusan Jajahan terbagi atas dua seksi utama: arsip kementrian itu sendiri dan salinan terjemahan-terjemahan pemerintah Hindia Belanda yang dikirimkan ke negeri Belanda dari Batavia.

  1. Berita-berita kementrian urusan daerah jajahan. Seri yang terkenal dengan nama Gewoon Archief (arsip biasa) ini, meliputi surat-surat yang keluar dan masuk sehari-hari dari kementrian ini tentang semua masalah yang ada pada waktu itu tidak dianggap bersifat rahasia. Berkas sejumlah 1906 buah yang meliputi jangka waktu 1814-1849 ditempatkan di dalam gudang utama di Bleijenburg, Den Haag. Yang lebih penting bagi para sejarawan Indonesia ialah Geheim Archief (arsip rahasia). Pada abad ke-19 banyak masalah yang digolongkan rahasia, yang sekarang dalam keadaan yang sama tidak akan dimasukan ke dalam jenis itu. Karena itu, Geheim Archief lebih kaya dalam segi penjelasan umum dibandingkan dengan yang mungkin terbayang melalui namanya. Antara lain terkandung di dalamnya pembahasan mengenai rancangan kebijakan, pernyataan pendapat mengenai tindakan pemerintah pada masa lampau, dan uraian tentang perundingan dengan negara dan orang asing. Memang rupanya segala sesuatu yang seandainya diumumkan akan dapat menyulitkan pemerintah, telah dimasukan ke dalam Geheim Archief dan bukannya Gewoon Archief. Tentu saja hal itu menyebabkan orang menduga bahwa yang tersebut pertama lebih dapat diandalkan karena merupakan sumber yang lebih bebas pengungkapannya.

Berkas-berkas lain dari kementrian urusan jajahan yang bertalian dengan sejarah Indonesia mencakup Kabinetsarchief, yang memuat keterangan mengenai transaksi dan keputusan pribadi para menteri urusan jajahan yang silih berganti, maupun sekitar tiga puluh kumpulan dokumen rahasia yang diserahkan kepada arsip negara oleh para pejabat yang bertugas di bawah pemerintah Hindia Belanda atau oleh anak cucu mereka.

  1. Berkas-berkas pemerintahan Hindia Belanda. Dekrit Hindia Timur di mana termuat transaksi-transaksi pemerintahan Hindia Belanda, terbagi ke dalam empat sub-judul. Pertama, dibagi menjadi dekrit biasa dan dekrit rahasia; kedua, dibagi menjadi Dekrit Gubernur Jenderal dalam kedudukannya di dewan (in rade) dan Dekrit Gubernur-Jenderal yang bertindak dalam kedudukannya sendiri (buiten rade). Dengan Regeeringsreglement tahun 1836, dewan Hindia (raad van indie) dilucuti fungsi eksekutifnya dan menjadi badan penasihat saja. Karenanya, sejak itu semua dekrit dikeluarkan oleh gubernur jenderal sendiri. Tetapi, sebelum tahun 1836 Gubernur Jenderal diberi kuasa untuk mengambil keputusan atas tanggung jawabnya sendiri dalam beberapa hal, tetapi tidak dalam semua hal. Karena itu dekrit-dekrit yang muncul sampai tahun 1836 keluar di bawah dua sub-judul: in rade dan buiten rade.

Berikut ini adalah daftar dari pelbagai Koleksi Dekrit Hindia Timur sebagaimana yang terbagi-bagi di dalam arsip negara:

  1. Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bersama Dewan, 1819- 1836
  2. Dekrit Rahasia Gubernur Jenderal Hindia Belanda Bersama Dewan, 1819- 1834
  3. Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bertindak Sendiri, 1814- 1849
  4. Dekrit Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Dekrit Hindia Timur), 1830- 1932
  5. Dekrit Rahasia Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Bertindak Sendiri 1819- 1836
  6. Terbitan Resmi

Laporan tahunan pemerintah Hindia Belanda kepada Majelis Perwakilan Tinggi dikenal dengan nama Verslagen, terbit sebagai pelengkap bagi Staatscourant (diterbitkan di Belanda) sejak tahun 1851/2 dan seterusnya. Fakta dan angka resmi serta rincian undang-undang, ordonasi dan peraturan pemerintah yang dapat diterapkan di Indonesia, dapat diperoleh dari Almanak van Nederlandsch-Indie dan Staatsblad van Nederlandsch-Indie, Bijblad op het Staatsblad van Nederlandsch-Indie serta Javasche Courant.

Pengumuman tentang kebijakan pemerintah, dan banyak informasi kecil lainnya, dapat ditemukan dalam Handelingen der 1e en 2e Kamer der Staten-Generaal (Laporan Tentang Perdebatan Parlemen). Handelingen van den Volksraad, (Transaksi-Transaksi Dewan Rakyat), diterbitkan sejak tahun 1918 dan seterusnya, yakni tahun pelantikan Volksraad atau parlemen Hindia Belanda. Banyak bahan untuk sejarah hukum, sejarah sosial dan sejarah ekonomi dapat juga ditemukan dalam laporan tahunan pelbagai kementerian pemerintah Hindia Belanda.

  1. Sarana Bantu Penelitian

Akhirnya dapat disebutkan dua terbitan yang bersama-sama memberi uraian yang boleh dikatakan lengkap tentang sumber-sumber tercetak mengenai sejarah Indonesia yang ada dalam bahasa Belanda. Keduanya mendaftar bahan sekunder maupun primer, tetapi referensi yang diberikan cukup terinci sehingga pada umumnya memungkinkan kita untuk membedakan yang satu dari yang lainnya.

Yang pertama adalah Catalogus der Koloniale Bibliotheek van het Koninklijk Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie en het Indisch Genootschap (4 jilid, 1908-1937). Dalam katalog ini disebut hampir seluruh terbitan sejarah tentang jajahan Belanda yang muncul sampai tahun 1935. karena itu katalog ini dapat dianggap sebagai bibliografi sejarah Indonesia yang hampir lengkap yang ditulis sampai tahun itu.

Alat bantu penelitian tambahan yang bernilai adalah J.C Hooykaas dan lain-lain, ed., Repertorium op de Koloniale Litteratuur (11 jilid, 1877-1935). Karya ini merupakan catalogue raisonne dari semua artikel dalam berbagai majalah, jurnal, dan transaksi perkumpulan-perkumpulan ilmiah yang berkenaan dengan wilayah Belanda di seberang lautan, dan diterbitkan dalam wilayah itu atau di negeri Belanda antara tahun 1595-1932. Kepustakaan majalah Belanda memuat bahan-bahan rujukan asli secara melimpah ruah. Dalam majalah ilmiah yang daftar namanya terdapat di dalam repertorium, terdapat banyak terjemahan kronik Indonesia, berbagai kumpulan dokumen, dan laporan serta notulen asli dari banyak konperensi dan komisi penyelidik pemerintah.

  1. CIRI HISTORIOGRAFI KOLONIAL PADA MASA HINDIA BELANDA (1816-1942)

Dalam historiografi kolonial ini memiliki beberapa karakteristik yang membedakannya dengan historiografi pada periode yang lainnya. Historiografi kolonial ditulis oleh sejarawan atau orang-orang pemerintah kolonial yang intinya bahwa yang membuat adalah orang barat. Pembuatan historiografi ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai bahan laporan pada pemerintah kerajaan Belanda, sebagai bahan evaluasi menentukan kebijakan pada daerah kolonial.

Oleh karena motivasinya adalah sebagai bahan laporan maka yang ditulisnya pun adalah sejarah dan perkembangan orang-orang asing di daerah kolonial khususnya Indonesia. Sangat sedikit hasil historiografi kolonial yang menceritakan tentang kondisi rakyat jajahan, atau bahkan mungkin tidak ada. Toh, kalau pun tercatat, orang pribumi itu sangat dekat hubungannya dengan orang asing dan yang telah berjasa pada pemerintah kolonial.

Selain itu, ciri dari historiografi kolonial masa Hindia Belanda adalah memiliki sifat Europa-Centrisme atau yang lebih fokusnya adalah Neerlando-Centrsime. Boleh dikatakan bahwa sifat ini memusatkan perhatiannya kepada sejarah bangsa Belanda dalam perantauannya, baik dalam pelayarannya maupun permukimannya di benua lain. Jadi yang primer ialah riwayat perantauan atau kolonisasi bangsa Belanda, sedangkan peristiwa-peristiwa sekitar bangsa Indonesia sendiri menjadi sekunder.

BAB III

PENUTUP

  1. KESIMPULAN

Dari sudut etimologis, historiografi semula berasal dari bahasa Yunani: Historia dan Grafein. Historia berarti penyelidikan tentang gejala alam phisik (Physical Research), sedangkan kata grafein berarti gambaran, lukisan, tulisan atau uraian (discription). Dengan demikian secara harafiah historiografi dapat diartikan sebagai suatu usaha mengenai penelitian ilmiah yang cenderung menjurus pada tindakan manusia di masa lampau.

Bagi para sejarawan Indonesia, pengetahuan tentang bahasa Belanda dan sumber-sumber Belanda mutlak diperlukan. Hampir semua dokumen resmi dan sebagian besar memoar pribadi serta gambaran mengenai negeri ini, yang muncul selama lima puluh tahun terakhir, tertulis dalam bahasa tersebut. Sumber dari historiografi kolonial masa Hindia Belanda sendiri ada yang berupa Arsip-arsip bekas Kementrian Urusan Jajahan terbagi atas dua seksi utama: arsip kementrian itu sendiri dan salinan terjemahan-terjemahan pemerintah Hindia Belanda yang dikirimkan ke negeri Belanda dari Batavia. Selain itu ada yang berupa terbitan resmi yang mencakup undang-undang, ordonasi dan peraturan pemerintah yang dapat diterapkan di Indonesia.

Ciri dari historiografi kolonial ini adalah memiliki sifat neerlando-centrisme yang menulis tentang sejarah dan perkembangan kolonisasi belanda pada daerah jajahan (indonesia). Sang penulis historiografi ini sendiri adalah orang-orang asing.

DAFTAR PUSTAKA

Anggar Kaswati. 1998. Metodologi Sejarah dan Historiografi. Yogyakarta: Beta Offset.

H.J. De Graaf. 1971. Historiografi Hindia Belanda. Jakarta: Bharatara.

I Gde Widja. 1989. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran Sejarah. Jakarta: Depdikbud.

Sartono Kartodirdjo. 1968. Beberapa Fatsal Dari Historiografi Indonesia. Yogyakarta: kanisius.

Sartono Kartodirdjo. 1960. Historiografi. Yogyakarta: Fak. Sastra dan Kebudayaan UGM.

Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia

Soedjatmoko. 1995. Historiografi Indonesia: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bagikan ini:

  • Twitter
  • Facebook

Menyukai ini:

Suka Memuat...