Mengapa kemiskinan dan KETIMPANGAN pendapatan menjadi masalah pembangunan ekonomi

Oleh: Eri Hariyanto, Widyaiswara Ahli Madya Pusdiklat Keuangan Umum, BPPK*]

I. Pendahuluan

Indonesia dan negara-negara lain di dunia, saat ini masih menghadapi kondisi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi antar individu maupun daerah. Fenomena kemiskinan dan ketidakadilan global ditunjukkan dengan adanya 20% populasi dunia yang mampu menikmati lebih dari 70% pendapatan dunia, atau dengan kata lain sebanyak 80% populasi dunia hanya mampu menikmati kurang dari 30% pendapatan dunia. Kemiskinan dan ketimpangan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi. Biasanya daerah yang memiliki sumber daya dan faktor produksi akan memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memiliki. Todaro [2003] berpendapat bahwa ketimpangan yang ekstrim akan menimbulkan berbagai dampak antara lain inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas sosial dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi pada umumnya dipandang tidak adil.

Pemerintah menginginkan agar masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi segera terselesaikan agar tidak merembet ke masalah sosial dan stabilitas nasional. Berbagai kebijakan telah diterapkan oleh Pemerintah untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan memacu pertumbuhan ekonomi agar terus meningkat sesuai dengan potensi yang dimiliki. Pemerintah memberikan berbagai dorongan [stimulus] agar kegiatan perekonomian semakin bertambah sehingga menciptakan penambahan produksi barang dan jasa oleh masyarakat. Hal ini selanjutnya diharapkan akan berdampak terhadap penambahan kesempatan kerja yang akan berakibat pada meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat. 

Beberapa ahli ekonomi berpendapat bahwa pertumbuhan saja belum cukup untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan ekonomi biasanya hanya mementingkan pertumbuhan Gross Domestic Product [GDP] suatu negara tetapi kurang memerhatikan masalah penyerapan tenaga kerja, pengurangan kemiskinan dan pemerataan pendapatan. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang terjadi justru menambah jumlah penduduk miskin dan memperlebar ketimpangan pendapatan antar individu. Menurut Eric Maskin [penerima penghargaan Nobel Ekonomi, 2007] mengukur hasil pembangunan hanya dari pertumbuhan ekonomi semata akan meniadakan terjadinya pemerataan dalam masyarakat untuk menikmati hasil pembangunan.  

II. Ekonomi Inklusif

Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, banyak yang terjebak dalam ekonomi ekslusif yaitu keinginan untuk mengejar taraf perekonomian negara-negara maju dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi terutama dengan memacu pertumbuhan ekonomi sektor sekunder [industri manufaktur] dan tersier [industri jasa]. Kedua sektor tersebut memberikan kontribusi yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi tetapi hanya menyerap sedikit tenaga kerja. Disisi lain yakni di sektor primer, terutama sektor pertanian, kurang mendapatkan perhatian padahal sektor tersebut banyak sekali menyerap tenaga kerja. Akibatnya terjadilah ketimpangan pendapatan antar penduduk yang bekerja pada sektor pertanian dengan sektor manufaktur dan jasa. Hal ini terbukti dengan data pertumbuhan ekonomi dari BPS pada tahun 2009 sebesar 4,5% menjadi 6,3%  pada tahun 2012, sedang Indeks Gini naik dari 0,37 [2009] menjadi 0,41 [Agustus 2012], serta kontribusi PDB Jawa dan Sumatera sebesar 81,16% [2011] dan 81,35% [triwulan III 2012] sedang lainnya sebesar 18,84% [2011] dan 18,65% [triwulan III 2012]. Meskipun dalam kurun waktu 2017-2018 terjadi penurunan Indeks Gini Ratio yaitu sebesar 0,393 namun secara umum ketimpangan masih terjadi. Dari data tersebut tampak sekali adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun namun kondisi tersebut juga dibarengi dengan peningkatan kesenjangan kekayaan antarpenduduk, peningkatan Indeks Gini dan kesenjangan antar wilayah. Dampak dari kondisi tersebut masyarakat berpenghasilan rendah akan semakin tertinggal jauh oleh masyarakat kelas menengah dan atas.

Menurut Prof. Roemer, tingginya ketimpangan [ataupun tren perubahannya] dalam masyarakat dapat disebabkan oleh: 1]. Ketimpangan dalam usaha,  kerja keras, dan talent individu; 2]. Ketimpangan dalam opportunity [kesempatan]; dan 3]. Kebijakan.  Berdasarkan pernyataan diatas perlu digaris bawahi bahwa upaya mengatasi ketimpangan lebih diutamakan untuk mengatasi ketimpangan kesempatan dalam berusaha, bukan mengatasi ketimpangan dalam memperoleh pendapatan [outcome] dan konsumsi.

Pemerintah sejatinya telah mengusahakan agar ekonomi Indonesia tidak hanya tumbuh dari sisi kuantitas, namun juga dari sisi kualitas. Pertumbuhan ekonomi yang ekspansif diharapkan menjadi pendorong pembangunan inklusif yaitu pembangunan ekonomi yang mampu menciptakan lapangan pekerjaan, mengurangi kemiskinan dan kesenjangan. Presiden RI ke 6 dalam Regional Meeting and Stakedolder Consultation on the Post-2015 De velopment Agenda yang diselenggarakan di Nusa Dua Bali Desember 2012 yang lalu, menyampaikan pendapat bahwa Indonesia dan negara-negara lain harus menjalankan 'Pembangunan Inklusif' agar dunia berhasil dalam mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan global. Beliau juga menyebutkan bahwa pembangunan inklusif adalah pembangunan yang berkualitas, yaitu pembangunan yang memperhitungkan pertumbuhan [pro-growth], penyerapan tenaga kerja [pro-job], mengurangi kemiskinan [pro-poor] dan memperhatikan lingkungan [pro-environment].

III. Kebijakan Fiskal sebagai Stimulus Ekonomi Inklusif

Pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi untuk mewujudkan ekonomi inklusif di Indonesia, dengan berbagai kebijakan yang mendukung berkembangnya ekonomi inklusif.  Kementerian Keuangan sebagai bagian dari pemerintah dan pengelola keuangan negara mempunyai peran yang sangat strategis dalam mengarahkan berbagai kebijakan fiskal yang mendukung ekonomi inklusif. Sebagaimana disebutkan oleh Musgrave and Musgrave [1989], peran keuangan negara mencakup fungsi alokasi, distribusi dan stabilisasi. Fungsi-fungsi tersebut selanjutnya diimplementasikan dalam berbagai kebijakan fiskal. Sebagai contoh: pemerintah dapat menggunakan fungsi distribusi untuk mengarahkan pendapatan pajak yang dipungut dari orang-orang mampu sebagai jaring pengaman sosial bagi masyarakat miskin.

Melalui kebijakan fiskal, pemerintah dapat memastikan bahwa anggaran negara dialokasikan lebih maksimum untuk mengatasi ketimpangan dalam memperoleh kesempatan pada sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini bertujuan agar semua warga negara, tanpa dibatasi oleh status sosial ekonomi dan letak geografi, dapat memperoleh kesamaan kesempatan dalam bidang pendidikan dan layanan kesehatan. Dampak selanjutnya yang diharapkan adalah terjadinya peningkatan pembangungan manusia Indonesia secara merata. United Nation Development Program [UNDP] memantau pembangunan manusia setiap negara dengan menerbitkan Human Development Index [HDI] untuk mengatagorikan setiap negara menjadi negara terbelakang, berkembang, dan maju. Dalam penilaian tahun 2014, Indonesia menduduki peringkat 108 dari 187 negara dan dikategorikan negara berkembang. Di kawasan ASEAN, posisi Indonesia masih di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, dan Thailand. Dengan pembangunan ekonomi inklusif terutama pada sektor kesehatan dan pendidikan diharapkan dapat meningkatkan taraf kehidupan masyarakat sekaligus indeks pembangunan manusia.

Arah kebijakan fiskal lainnya yang mendorong pembangunan ekonomi inklusif adalah mengarusutamakan pembangunan infrastruktur. Dalam APBN-P 2018 pemerintah telah menganggarkan Rp410 triliun untuk pembangunan infrastruktur. Nilai ini jauh lebih besar dari anggaran tahun-tahun sebelumnya. Sebagaimana diketahui infrastruktur sangat bermanfaat bagi pertumbuhan ekonomi terutama dalam menciptakan konektifitas antar daerah dan mempermudah aktivitas perekonomian. Infrastruktur yang tersedia dengan baik akan membuka kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk melakukan aktifitas ekonomi. Selain itu, proses pembangunan infrastruktur memerlukan banyak tenaga kerja dan membuka lapangan usaha baru yang menunjang pembangunan infrastruktur tersebut, sehingga dapat mengangkat taraf kehidupan masyarakat. Infrastruktur yang memadai juga akan menjadi penarik investasi yang bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Sebagai negara agraris, saat ini sebagian besar tenaga kerja Indonesia masih diserap oleh sektor pertanian. Menurut data BPS, pada tahun 2017 jumlah tenaga kerja sektor pertanian mencapai 35,93 juta orang. Sektor ini merupakan penyerap tenaga kerja terbesar dengan persentase dari seluruh tenaga kerja mencapai 29.69%. Bila disandingkan dengan data kemiskinan pada tahun yang sama, maka sebanyak 26.58 juta orang adalah penduduk miskin yang tinggal di desa [ dengan presentase mencapai 61.4%] dan sebesar 49,9% adalah petani. Berdasarkan data-data di atas maka selayaknya bila pemerintah mengarahkan kebijakan anggarannya agar lebih berpihak kepada sektor pertanian. Pembangunan sektor pertanian tentu bukan hanya menbangun infrastrukturnya saja seperti waduk dan saluran irigasi. Namun perlu juga dibangun SDM sektor pertanian, agar sektor pertanian terus mengalami inovasi produk. Membangun sektor pertanian secara intensif berarti telah mendukung pembangunan ekonomi inklusif. Selain itu, membangun sektor pertanian juga mendukung ketahanan pangan nasional.

Referensi:

Musgrave, Richard Abel., and Musgrave, Peggy B [1989], Public Finance in Theory and Practice, 5th edition, New York: McGraw Hill

Todaro, Michael P., and Smith, Stephen C [2012], Economic Development, 11th edition, Boston: Addison-Wesley

*] Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja

Posted by Ishaq Hasibuan on May 07,2018 15:23:43

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề