Mengapa organisasi sektor publik harus melakukan pengukuran kinerja?

Kinerja (performance) adalah tingkat prestasi atau hasil nyata seseorang yang dihitung secara periodik baik kualitas maupun kuantitas berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya sebagai hasil kewenangan dan tanggung jawab sebuah pekerjaan dalam suatu perusahaan atau organisasi.

Mengapa organisasi sektor publik harus melakukan pengukuran kinerja?

Kinerja merupakan hasil fungsi pekerjaan atau kegiatan seseorang dalam suatu organisasi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor untuk mencapai tujuan organisasi dalam periode waktu tertentu. Kinerja adalah keberhasilan personel, tim atau unit organisasi dalam mewujudkan sasaran strategic yang telah ditetapkan sebelumnya dengan perilaku yang diharapkan.

Berikut pengertian dan definsi kinerja dari beberapa sumber buku:
  • Menurut Drucker (1999), kinerja adalah tingkat prestasi atau hasil nyata yang dicapai kadang-kadang dipergunakan untuk memperoleh suatu hasil positif.
  • Menurut Mulyadi (2005), kinerja adalah penentuan secara periodik efektifitas operasional organisasi, bagian organisasi dan karyawannya berdasarkan sasaran, standar dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.
  • Menurut Widodo (2006), kinerja adalah melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan tanggungjawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan.
  • Menurut Mangkunegara (2000), kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas seseorang dalam melaksanakan fungsinya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan padanya.
  • Menurut Prawirosentono (1999), kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.

Pengertian Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik dalam bentuk tindakan yang efektif dan efisien dan akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian.

Menurut Hansen dan Mowen (2004), pengukuran kinerja terbagi menjadi dua kelompok, yaitu tradisional dan kontemporer. Pengukuran kinerja tradisional dilakukan dengan membandingkan kinerja aktual dengan kinerja yang dianggarkan atau biaya standar sesuai dengan karakteristik pertanggungjawabannya. Pengukuran kinerja kontemporer menggunakan aktivitas sebagai pondasinya. Ukuran kinerja dirancang untuk menilai seberapa baik aktivitas dilakukan dan dapat mengidentifikasi apakah telah dilakukan perbaikan yang berkesinambungan.

Sistem pengukuran kinerja hanyalah suatu mekanisme yang memperbaiki kemungkinan bahwa organisasi tersebut akan mengimplementasikan strateginya dengan baik. Menurut Yuwono (2002), pengukuran kinerja merupakan proses mencatat dan mengukur pencapaian pelaksanaan kegiatan dalam arah pencapaian misi (mission accomplishment) melalui hasil-hasil yang ditampilkan berupa produk, jasa ataupun suatu proses.

Sedangkan menurut Mahmudi (2010), pengukuran kinerja adalah suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditentukan, termasuk informasi atas efisiensi penggunaan sumber daya dalam menghasilkan barang atau jasa, kualitas barang atau jasa, perbandingan hasil kerja dengan target dan efektivitas tindakan dalam mencapai tujuan.

Tujuan dan Manfaat Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja bertujuan untuk memotivasi karyawan agar dapat mencapai sasaran organisasi dan mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar menghasilkan tindakan yang diinginkan oleh organisasi. Pengukuran kinerja digunakan untuk menekan perilaku yang tidak semestinya diinginkan melalui umpan balik hasil kerja, serta sebagai landasan untuk memberikan penghargaan kepada orang yang telah mencapai atau melebihi tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Mahmudi (2005), tujuan pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:
  1. Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi. Penilaian kinerja berfungsi sebagai tonggak yang menunjukkan tingkat ketercapaian tujuan dan menunjukkan apakah organisasi berjalan sesuai arah atau menyimpang dari tujuan yang ditetapkan.
  2. Menyediakan sarana pembelajaran pegawai. Penilaian kinerja merupakan sarana untuk pembelajaran pegawai tentang bagaimana seharusnya mereka bertindak dan memberikan dasar dalam perubahan perilaku, sikap, ketrampilan atau pengetahuan kerja yang harus dimiliki pegawai untuk mencapai hasil kerja terbaik.
  3. Memperbaiki kinerja periode-periode berikutnya. Penerapan penilaian kinerja dalam jangka panjang bertujuan untuk membentuk budaya berprestasi di dalam organisasi dengan menciptakan keadaan dimana setiap orang dalam organisasi dituntut untuk berprestasi.
  4. Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan, pemberian penghargaan dan hukuman. Organisasi yang berkinerja tinggi berusaha menciptakan sistem penghargaan seperti kenaikan gaji/tunjangan, promosi atau hukuman seperti penundaan promosi atau teguran, yang memiliki hubungan yang jelas dengan pengetahuan, ketrampilan dan kontribusi terhadap kinerja organisasi.
  5. Memotivasi pegawai. Dengan adanya penilaian kinerja yang dihubungkan dengan manajemen kompensasi, maka pegawai yang berkinerja tinggi atau baik akan memperoleh penghargaan.
  6. Menciptakan akuntabilitas publik. Penilaian kinerja menunjukkan seberapa besar kinerja manajerial dicapai yang menjadi dasar penilaian akuntabilitas. Kinerja tersebut harus diukur dan dilaporkan dalam bentuk laporan kinerja sebagai bahan untuk mengevaluasi kinerja organisasi dan berguna bagi pihak internal maupun eksternal organisasi.
Menurut Yuwono dkk (2007), manfaat pengukuran kinerja adalah sebagai berikut:
  1. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa perusahaan lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan.
  2. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata rantai pelanggan dan pemasok internal.
  3. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste).
  4. Membuat suatu sasaran strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi.
  5. Membangun konsensus untuk melakukan sesuatu perubahan dengan memberi reward atas perilaku yang diharapkan tersebut. Uraian manfaat pengukuran kinerja tersebut sudah cukup baik, hanya saja kekurangannya belum mengungkapkan manfaat pengukuran kinerja terkait dengan aspek non-market yaitu lingkungan dan sosial.

Syarat dan Indikator Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja baik kuantitatif maupun kualitatif harus dapat menggambarkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan organisasi, baik pada tahap perencanaan (ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going), maupun tahap setelah kegiatan selesai (ex-post). Selain itu pengukuran kinerja juga digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari menunjukkan kemajuan dalam rangka menuju tercapainya sasaran maupun tujuan organisasi yang bersangkutan.

Menurut Mutia (2009), terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pengukuran kinerja, yaitu:
  1. Spesifik dan jelas untuk menghindari kesalahan interpretasi.
  2. Dapat diukur secara obyektif baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
  3. Menangani aspek-aspek yang relevan.
  4. Harus penting atau berguna untuk menunjukkan keberhasilan input, output, hasil/outcome, manfaat maupun dampak serta proses.
  5. Fleksibel dan sensitif terhadap perubahan pelaksanaan.
  6. Efektif, dalam arti datanya mudah diperoleh, diolah, dianalisis dengan biaya yang tersedia.
Selain itu menurut Mulyadi (2005), terdapat beberapa syarat lain yang harus dipenuhi sebelum melakukan pengukuran kinerja, yaitu sebagai berikut:
  1. Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri sesuai perspektif pelanggan.
  2. Evaluasi atas berbagai aktivitas menggunakan ukuran-ukuran kinerja yang customer-validated.
  3. Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang komprehensif.
  4. Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh anggota organisasi mengenali masalah-masalah yang ada kemungkinan perbaikan.
Menurut Mutia (2009), terdapat beberapa indikator dalam pengukuran kinerja, yaitu sebagai berikut:
  1. Indikator kinerja input (masukan), yaitu indikator yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat menghasilkan keluaran yang ditentukan, misalnya dana, SDM, informasi, dll.
  2. Indikator kinerja output (keluaran), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik.
  3. Indikator kinerja outcome (hasil), yaitu segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran (output) kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
  4. Indikator kinerja benefit (manfaat), yaitu sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
  5. Indikator kinerja impact (dampak), yaitu pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Menurut Mulyadi (2005), terdapat beberapa ukuran penilaian kinerja yang dapat digunakan untuk menilai kinerja, yaitu:
  1. Ukuran kinerja tunggal. Adalah ukuran kinerja yang hanya menggunakan satu ukuran penilaian. Dalam hal ini, karyawan dan manajemen cenderung memusatkan usahanya pada kriteria tersebut dan mengabaikan kriteria lainnya.
  2. Ukuran kinerja beragam. Adalah ukuran kinerja yang menggunakan berbagai macam ukuran untuk menilai kinerja. Ukuran kinerja beragam merupakan cara untuk mengatasi kelemahan kriteria kinerja tunggal. Berbagai aspek kinerja manajer dicari ukuran kriterianya sehingga manajer diukur kinerjanya dengan berbagai kriteria.
  3. Ukuran kinerja gabungan. Dengan adanya kesadaran beberapa kriteria lebih penting bagi perusahaan secara keseluruhan dibandingkan dengan tujuan lain, maka perusahaan melakukan pembobotan terhadap ukuran kinerjanya.

Model-model Sistem Pengukuran Kinerja

Sebuah sistem pengukuran kinerja yang baik adalah serangkaian ukuran kinerja, sebuah proses pengambilan keputusan dan metode belajar timbal balik yang membantu untuk mengelola, mengontrol, merencanakan dan melakukan berbagai aktivitas yang dilakukan di dalam perusahaan. Dalam merancang suatu sistem pengukuran kinerja dibutuhkan model yang mampu memotret kinerja secara keseluruhan dalam sebuah organisasi.

Terdapat beberapa model sistem pengukuran kinerja yang telah dibuat oleh akademisi maupun praktisi. Menurut Vanany (2003), model-model sistem pengukuran kinerja antara lain adalah sebagai berikut:
  1. Balance Scorecard (BSC). Sampai saat ini Balance Scorecard adalah model terpopuler untuk Sistem Pengukuran Kinerja (SPK) baru yang telah dikembangkan. Kerangka kerja Balance Scorecard menggunakan empat perspektif (finansial, pelanggan, proses bisnis internal, dan proses belajar & pertumbuhan) dengan titik awal strategi sebagai dasar perancangan SPK.
  2. Sustainability Balance Scorecard (SBSC). Model SBSC merupakan perluasan dari model Balance Scorecard dengan penambahan aspek lingkungan dan sosial. Sustainability Balance Scorecard (SBSC) memperlihatkan hubungan kausal antara kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial dari perusahaan.
  3. Cambridge Model. Model Cambridge menggunakan product group sebagai dasar untuk mengidentifikasi KPI dan dari pengelompokan produk tersebut dilakukan penentuan tujuan bisnis untuk product group-nya.
  4. Integrated Performance Measurement System (IPMS). Model IPMS merupakan model SPK yang bertujuan agar sistem pengukuran kinerja lebih robust, terintegrasi, efektif dan efesien. Model IPMS menjadikan keinginan stakeholder menjadi titik awal dalam melakukan perancangan SPK.
  5. Integrated Environment Performance Measurenment System (IEPMS). Integrated Environment Performance Measurenment System (IEPMS) merupakan model sistem pengukuran kinerja yang berkaitan dengan lingkungan. IEPMS menggunakan ukuran-ukuran kuantitatif dan kualitatif yang digunakan secara bersama-sama.

Proses Pengukuran Kinerja

Menurut Mutia (2009), terdapat beberapa langkah yang dilakukan dalam proses pengukuran kinerja, yaitu:

a. Mendefinisikan misi, penetapan tujuan, sasaran dan strategi perusahaan

Misi bertujuan meyakinkan adanya satu kesatuan tujuan didalam perusahaan. Sasaran merupakan tujuan organisasi yang sudah dinyatakan secara eksplisit dengan disertai batasan waktu yang jelas. Strategi adalah cara atau teknik yang digunakan organisasi untuk mencapai tujuan dan sasaran.

b. Penetapan dan pengembangan indikator

Indikator kinerja merupakan sesuatu yang akan dihitung dan diukur dan mengacu pada penilaian kinerja secara tidak langsung yaitu hal-hal yang sifatnya hanya merupakan indikasi-indikasi kinerja. Ukuran kinerja mengacu pada penilaian kinerja secara langsung.

c. Pengukuran kinerja dan penilaian hasil pengukuran

Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi. Jika kita sudah mempunyai indikator dan ukuran kinerja yang jelas, maka pengukuran kinerja bisa diimplementasikan. Mengukur tingkat ketercapaian tujuan, sasaran dan strategi adalah membandingkan hasil aktual dengan indikator dan ukuran kinerja yang telah ditetapkan.

d. Pelaporan hasil-hasil secara formal

Pelaporan secara formal akan memberikan gambaran kepada penerima informasi mengenai nilai kinerja yang berhasil dicapai organisasi. Informasi capaian kinerja dapat dijadikan:
  1. Sebagai bertanggung jawaban atas hasil yang dicapai, proses yang dilakukan dan sumber daya yang telah dipercayakan untuk dikelola. Hasil pengukuran terhadap pencapaian kinerja dijadikan dasar bagi manajemen atau pengelola organisasi untuk perbaikan kinerja pada periode berikutnya. Bisa dijadikan landasan pemberian reward and punishment terhadap manajer dan anggota organisasi.
  2. Sebagai umpan balik. Pengukuran kinerja yang dilakukan setiap periode waktu tertentu sangat bermanfaat untuk menilai kemajuan yang telah dicapai organisasi.

Daftar Pustaka

  • Drucker, P.F. 1999. Manajemen: Tugas, Tanggung Jawab dan Praktek. Jakarta: Gramedia.
  • Mulyadi. 2005. Sistem Perencanaan dan Pengendalian Manajemen. Jakarta: Salemba Empat.
  • Widodo, Joko. 2006. Membangun Birokrasi Berbasis Kinerja. Jakarta: Bayumedai Publishing.
  • Mangkunegara, A.P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
  • Prawirosentono, Suyadi. 1999. Manajemen sumber Daya Manusia (Kebijakan Kinerja Karyawan), Kiat membangun Organisasi Kompetitif menjelang Perdagangan Bebas Dunia. Yogyakarta: BPFE.
  • Hansen & Mowen. 2004. Manajemen Biaya. Jakarta: Salemba Empat.
  • Mahmudi. 2010. Manajemen Kinerja Sektor Publik. Yogyakarta: UPP STIMYKPN.
  • Yuwono, Sony. dkk. 2007. Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Scorecard. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
  • Mutia, Nila. 2009. Tesis: Usulan Rancangan Indikator Pengukuran Kinerja Service Scorecard untuk Kualitas Jasa pada Diklat Pelayaran. Jakarta: Universitas Indonesia.
  • Vanany, Iwan. 2003. Aplikasi Analytic Network Process (ANP) Pada Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja (Studi Kasus pada PT.X). Jurnal teknik Industri Vol.5.