Mengapa Pelanggaran HAM terjadi dan siapa yang bertanggung jawab
Metrik
Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM. Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM, namun sampai sekarang kasus-kasus tersebut belum juga terselesaikan. Penulisan hukum ini bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut tentang berbagai pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia dan kasus mana saja yang dapat diselesaikan melalui proses non-yudisial. Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan doktrinal dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Spesifikasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah deskriptif analitis.Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tujuh kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia. Ketujuh kasus tersebut tidak semua dapat dikategorikan sebagai kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan tidak semua kasus dapat diselesaikan melalui proses non-yudisial atau rekonsiliasi, karena tidak semua alat bukti, pelaku, dan korban masih ada. Pelanggaran berat HAM masa lalu yang dapat diselesaikan melalui rekonsiliasi adalah kasus G.30.S/PKI dan penembakan misterius. Penyelesaian kasus-kasus tersebut memerlukan adanya political will dari pemerintah agar tidak menjadi beban sejarah.
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. Dengan demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakan. Deklarasi HAM Universal (1948) lahir sebagai akibat pelanggaran HAM yang sangat berat selama PD II. Selama penjajahan Jepang (1942–1945) rakyat Indonesia sangat menderita, dengan pelanggaran HAM yang berat, antara lain kekejaman Polisi Militer Jepang. Pengiriman dengan paksa ribuan tenaga kerja (Romusha) ke Birma dan Thailand dan pengerahan wanita penghibur bagi tentara Jepang. Pada era revolusi fisik atau Perang Kemerdekaan (1945–1949) terkenal kekejaman Polisi Rahasia Belanda terhadap para pejuang kemerdekaan yang ditawan oleh Belanda. Pembantaian terhadap kira-kira 40.000 rakyat Sulawesi Selatan oleh Kapten Westerling merupakan pula noda sejarah pada era perang kemerdekaan. Demikian pula pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada awal tahun lima puluhan di Jawa Barat diduga tidak lepas dengan kekejaman para pemberontak tersebut terhadap rakyat dan prajurit TNI dan sebaliknya. Setelah masa-masa tersebut, pelanggaran HAM masih terus berlanjut. Menurut pakar hukum Adnan Buyung Nasution, pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu sebagai berikut.
HAM merupakan hak yang ada dalam diri seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Oleh sebab itu, pelanggaran HAM dapat dikategorikan merupakan pelanggaran hukum yang sifatnya struktural, artinya pelanggaran itu bukan merupakan pelanggaran biasa melainkan suatu pelanggaran yang sifatnya mengurangi eksistensi keberadaan manusia yang memiliki harkat dan martabat. Dengan kata lain “pelanggaran hukum yang sifatnya struktural” adalah perbuatan yang secara sistemik dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara yang sifatnya mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM dan dengan adanya tindakan tersebut seseorang atau kelompok orang menjadi insan yang telah kehilangan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tidak membedakan secara tegas antara pengertian pelanggaran dan kejahatan terhadap HAM. Setiap bentuk perbuatan seorang atau sekelompok orang maupun aparat negara yang menafikan HAM dimasukkan dalam kategori pelanggaran terhadap HAM. Berkaitan dengan sifat istimewa ini maka UU ini juga memberikan upaya hukum yang istimewa yaitu dengan cara class action. Pasal 90 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang dan/atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM”. Lebih lanjut pasal 101 menyatakan: “Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM”. Ketentuan Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 101 mengandung makna bahwa class action yang dimaksudkan tidak diarahkan kepada mekanisme penyelidikan, penyidikan dan penuntutan melainkan hanya diarahkan kepada aspek pelaporannya. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 104 menegaskan:
Berdasar Pasal 104 itulah, dikeluarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Pengadilan HAM yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Ketentuan semacam ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran yang bersifat khusus bahkan sebagai pelanggaran yang sifatnya struktural. Pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan oleh aparat, negara maupun masyarakat, secara kuantitas terus meningkat. Hal ini disebabkan belum adanya penyelesaian secara tuntas mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM, meskipun kita memiliki UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Padahal apabila ditelaah, UU tentang pengadilan HAM telah memberikan kewenangan penuh, antara lain berikut ini.
Menurut Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama dengan cara:
Menurut Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:
Memperhatikan pelanggaran-pelanggaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat struktural dari pelanggaran HAM juga dapat dilihat dari pelaku pelanggaran HAM. Secara logika sosiologis, pelaku pelanggaran tidak mungkin dilakukan oleh orang per orang. Pelanggaran tersebut tentunya hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisir termasuk di dalamnya aparat negara. Dalam UU Pengadilan HAM, perlindungan terhadap korban dan saksi juga mendapat perhatian di mana korban dan saksi berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan. Perlindungan tersebut wajib dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Sebagai konsekuensi dari pelanggaran HAM maka para korban dan ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang diatur dengan menggunakan peraturan pemerintah. Ketentuan pidana yang dijatuhkan terhadap pelanggaran HAM, di mana meliputi genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah pidana mati, pidana seumur hidup dan penjara antara 10 sampai 25 tahun. Oleh karena itu, pelanggaran HAM dapat terjadi dalam dua cara, yaitu sebagai berikut.
B. PENEGAKAN HUKUM Implementasi demokrasi dan HAM tidak akan bermakna dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat apabila tidak ditunjang dengan penegakan hukum dalam bidangnya. Oleh karena itu, harus diciptakan “budaya hukum”. Tanpa budaya hukum mudah terjadi pelanggaran hukum dalam masyarakat. Langkah awal yang harus diciptakan untuk menuju budaya hukum adalah membangun kesadaran hukum dalam masyarakat, artinya individu dan masyarakat mematuhi hukum karena suara batinnya yang menghendaki dan bukan karena paksaan dari luar. Suara batin menghendaki demikian karena hukum itu sendiri dapat menjamin hak-hak yang sangat diperlukan bagi kelanjutan hidupnya. Kesadaran hukum tidak lahir dengan sendirinya, tetapi dapat tumbuh dari perasaan hukum yang dimiliki setiap orang atau masyarakat. Adanya perasaan hukum yang tumbuh ditandai dengan adanya keinginan dari masyarakat itu sendiri untuk senantiasa berbuat yang benar, menegakkan hak dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat. Setiap anggota masyarakat hendaknya memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang sama tentang apa yang patut atau tidak patut dilakukan atau dikerjakan atau meninggalkan hal-hal tercela. Perasaan ini harus tumbuh dan berkembang serta terpelihara sampai meningkat menjadi kesadaran hukum. Faktor moral sangat berperan karena dengan moral orang, akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang positif dan pantas. Apabila kondisi ini ditumbuhkan dalam masyarakat, akan tercipta kedaulatan hukum yang dapat melahirkan negara hukum. Kedaulatan hukum atau negara hukum dimaksud bukan dalam arti formal saja, tetapi sekaligus dalam arti materiil yaitu masyarakat sendiri dengan suara batinnya atau dengan kesadaran mematuhi hukum dalam realitas hidup sehari-hari. Menurut Hugo Krabbe, tumbuhnya perasaan hukum akan menjelma menjadi kesadaran hukum yang akan menimbulkan kewajiban bagi setiap orang atau masyarakat untuk mematuhi hukum bukan karena tekanan dari pihak luar (penguasa). Contoh: Presiden Kennedy sebagai presiden AS, pada saat melakukan perjalanan secara kebetulan anjingnya ikut serta. Ia menolak kebijakan perusahaan penerbangan yang tidak memungut harga tiket untuk anjingnya. Sang presiden tetap membelikan tiket untuk anjingnya karena anjingnya memiliki berat badan dan memerlukan tempat di pesawat walaupun hanya tinggal di lantai pesawat. Sikap presiden demikian tidak lain karena kepatuhan terhadap hukum di AS yang sudah membudaya sehingga setiap orang termasuk presiden merasa tidak tepat diperlakukan istimewa. Bagaimana dengan di Indonesia? Jika kita tidak mengembangkan budaya hukum dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sekarang , rasanya tidak akan banyak manfaat yang dihasilkan oleh reformasi termasuk reformasi hukum. Bila kita tidak mereformasi tingkah laku melalui peningkatan budaya hukum yang dapat menjamin dilaksanakan hasil-hasil reformasi menjadi kenyataan , tampaknya akan sia-sia pengorbanan yang telah dilakukan pada masa orde baru, di mana yang kuat leluasa melakukan pelanggaran dan HAM sehingga rakyat kecil banyak yang jadi korban. Semakin banyaknya instrumen HAM baik pada tingkat internasional maupun dalam negeri Indonesia dan Keppres No. 129 Tahun 1998 sebagai bagian dari rencana aksi HAM tahun 1998–2003 menunjukkan kemampuan politik pemerintah untuk memajukan HAM di Indonesia. Pada tatanan operasional dibuat Komisi Nasional HAM berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993, namun demikian pelaksanaan HAM di Indonesia masih memerlukan perbaikan karena masih sering terjadi pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan secara hukum. Pemerintah berupaya lebih meningkatkan penghormatan terhadap HAM. Salah satu upaya yang harus ditempuh adalah penegakan hukum secara konsisten dan tidak pandang bulu. Dengan demikian, supremasi hukum harus sungguh-sungguh diwujudkan demi perlindungan dan jaminan terhadap HAM. Berdasar Pasal 28I ayat (5) Amandemen UUD 1945, pelaksanaan penegakan HAM akan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Berpijak dari ketentuan tersebut, dikeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 1 angka 1 UU tersebut antara lain menyatakan: ”HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan dan martabat manusia”. Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan: ”Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Perdebatan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam penegakan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM menjadi wacana dan diskursus yang tidak berkesudahan. Ada dua pandangan, yaitu sebagai berikut.
Pelaksanaan HAM seperti halnya pelaksanaan demokrasi, dibedakan antara pelaksanaan demokrasi (HAM dalam arti ideal dan pragmatis). Pelaksanaan demokrasi/HAM, dalam pengertian pragmatis senantiasa banyak dipengaruhi oleh muatan lokal atau kepentingan demi pembangunan penguasa dengan begitu mudahnya mengabaikan prinsip-prinsip HAM. Secara ideal, negara tidak dibenarkan mencampuri HAM setiap warga negara, apalagi menindasnya atau menghilangkannya. Sejalan dengan amanat konstitusi, Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan kepada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan maupun dalam pelaksanaan. Sesuai dengan Pasal 1 (3), Pasal 55, dan Pasal 56 Piagam PBB, upaya pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan melalui suatu kerja sama internasional yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesedarajatan dan hubungan antar negara serta hukum internasional yang berlaku. Program penegakan hukum dan HAM (PP Nomor 7 Tahun 2005) yaitu yang meliputi pemberantasan korupsi, anti terorisme dan pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten. |