Mengapa Pelanggaran HAM terjadi dan siapa yang bertanggung jawab

Metrik

  • visibility 464 kali dilihat
  • get_app 780 downloads

Negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM. Pemerintah Indonesia terus berupaya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM, namun sampai sekarang kasus-kasus tersebut belum juga terselesaikan. Penulisan hukum ini bertujuan untuk menganalisis lebih lanjut tentang berbagai pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia dan kasus mana saja yang dapat diselesaikan melalui proses non-yudisial. Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah pendekatan doktrinal dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Spesifikasi penelitian dalam penulisan hukum ini adalah deskriptif analitis.Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tujuh kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi di Indonesia. Ketujuh kasus tersebut tidak semua dapat dikategorikan sebagai kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan tidak semua kasus dapat diselesaikan melalui proses non-yudisial atau rekonsiliasi, karena tidak semua alat bukti, pelaku, dan korban masih ada. Pelanggaran berat HAM masa lalu yang dapat diselesaikan melalui rekonsiliasi adalah kasus G.30.S/PKI dan penembakan misterius. Penyelesaian kasus-kasus tersebut memerlukan adanya political will dari pemerintah agar tidak menjadi beban sejarah.

Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja ataupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak didapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang berlaku. Dengan demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran kemanusiaan baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau institusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis dan alasan rasional yang menjadi pijakan.

Deklarasi HAM Universal (1948) lahir sebagai akibat pelanggaran HAM yang sangat berat selama PD II. Selama penjajahan Jepang (1942–1945) rakyat Indonesia sangat menderita, dengan pelanggaran HAM yang berat, antara lain kekejaman Polisi Militer Jepang. Pengiriman dengan paksa ribuan tenaga kerja (Romusha) ke Birma dan Thailand dan pengerahan wanita penghibur bagi tentara Jepang.

Pada era revolusi fisik atau Perang Kemerdekaan (1945–1949) terkenal kekejaman Polisi Rahasia Belanda terhadap para pejuang kemerdekaan yang ditawan oleh Belanda. Pembantaian terhadap kira-kira 40.000 rakyat Sulawesi Selatan oleh Kapten Westerling merupakan pula noda sejarah pada era perang kemerdekaan. Demikian pula pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pada awal tahun lima puluhan di Jawa Barat diduga tidak lepas dengan kekejaman para pemberontak tersebut terhadap rakyat dan prajurit TNI dan sebaliknya.

Setelah masa-masa tersebut, pelanggaran HAM masih terus berlanjut. Menurut pakar hukum Adnan Buyung Nasution, pelanggaran HAM dapat dikelompokkan menjadi empat golongan, yaitu sebagai berikut.

  1. Kejahatan terhadap kemanusiaan, antara lain:
    1. Gerakan 30 September/PKI pada tahun 1965, yaitu pembunuhan terhadap tujuh orang Pahlawan Revolusi, yang disusul oleh pembunuhan terhadap 500.000 orang yang dituduh PKI.
    2. Kasus Timor Timur pada tahun 1971–1977 dan 1977–1982.
    3. Peristiwa Tanjung Priok pada tahun 1984 dengan pembunuhan terhadap kelompok umat Islam.
    4. Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dengan korban meninggal 2.000 orang dan 7.000 kasus penyelesaian.
    5. Penembakan terhadap mahasiswa Universitas Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dengan gugur empat orang pahlawan Reformasi.
    6. Penembakan terhadap mahasiswa dalam Peristiwa Semanggi pada tahun 1998.
  2. Kejahatan terhadap integritas orang, antara lain:
    1. Arbritory arrest and dentemtion (komunis) pada tahun 1965–1971.
    2. Arbritory arrest and dentemtion (peristiwa Malari) pada tahun 1971–1977.
    3. Penghilangan orang (Timor Timur) pada tahun 1977–1982.
    4. Penembakan misterius pada tahun 1982–1983.
    5. Peristiwa 27 Juli 1996, yaitu penyerbuan, perusakan dan pembunuhan pada Markas Partai Demokrasi Indonesia.
  3. Tindak kekerasan terhadap hak sipil dan Politik, antara lain berikut ini.
    1. Kemerdekaan berserikat dan berkelompok yang secara sistematik dilanggar.
    2. Kebijakan kemerdekaan berpendapat yang dilanggar.
    3. Kebijakan dari lembaga Ekstra-Yudisial yang mencampuri fungsi kehakiman.
  4. Tindak kekerasan terhadap hak sosial ekonomi dan budaya, antara lain berikut.
    1. Pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat adat.
    2. Pelanggaran terhadap lingkungan hidup.
    3. Pemiskinan secara struktural.
    4. Proses pemiskinan.

HAM merupakan hak yang ada dalam diri seseorang sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME, baik sebagai makhluk individu maupun sosial. Oleh sebab itu, pelanggaran HAM dapat dikategorikan merupakan pelanggaran hukum yang sifatnya struktural, artinya pelanggaran itu bukan merupakan pelanggaran biasa melainkan suatu pelanggaran yang sifatnya mengurangi eksistensi keberadaan manusia yang memiliki harkat dan martabat.

Dengan kata lain “pelanggaran hukum yang sifatnya struktural” adalah perbuatan yang secara sistemik dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara yang sifatnya mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM dan dengan adanya tindakan tersebut seseorang atau kelompok orang menjadi insan yang telah kehilangan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME.

Dalam UU No. 39 tahun 1999 tidak membedakan secara tegas antara pengertian pelanggaran dan kejahatan terhadap HAM. Setiap bentuk perbuatan seorang atau sekelompok orang maupun aparat negara yang menafikan HAM dimasukkan dalam kategori pelanggaran terhadap HAM. Berkaitan dengan sifat istimewa ini maka UU ini juga memberikan upaya hukum yang istimewa yaitu dengan cara class action.

Pasal 90 ayat (1) menyatakan bahwa “setiap orang dan/atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM”.

Lebih lanjut pasal 101 menyatakan:

“Setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran HAM kepada Komnas HAM atau lembaga lain yang berwenang dalam rangka perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM”.

Ketentuan Pasal 90 ayat (1) dan Pasal 101 mengandung makna bahwa class action yang dimaksudkan tidak diarahkan kepada mekanisme penyelidikan, penyidikan dan penuntutan melainkan hanya diarahkan kepada aspek pelaporannya. Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 104 menegaskan:

  1. Untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dibentuk Pengadilan HAM di lingkungan peradilan umum.
  2. Pengadilan tersebut dibentuk dengan UU dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun.
  3. Sebelum terbentuk Pengadilan HAM maka kasus-kasus pelanggaran HAM diadili oleh pengadilan yang berwenang.

Berdasar Pasal 104 itulah, dikeluarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal 1 angka 3 menyebutkan bahwa Pengadilan HAM yang selanjutnya disebut Pengadilan HAM adalah pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM yang berat. Ketentuan semacam ini menunjukkan bahwa pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran yang bersifat khusus bahkan sebagai pelanggaran yang sifatnya struktural.

Pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang dilakukan oleh aparat, negara maupun masyarakat, secara kuantitas terus meningkat. Hal ini disebabkan belum adanya penyelesaian secara tuntas mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM, meskipun kita memiliki UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Padahal apabila ditelaah, UU tentang pengadilan HAM telah memberikan kewenangan penuh, antara lain berikut ini.

  1. Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat.
  2. Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara RI oleh WNI.
  3. Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan.
  4. Pelanggaran HAM yang berat meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan.

Menurut Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, kelompok agama dengan cara:

  1. membunuh anggota kelompok;
  2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
  3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian;
  4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
  5. memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Menurut Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa:

  1. Pembunuhan.
  2.  Pemusnahan.
  3. Perbudakan.
  4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
  5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum internasional.
  6. Penyiksaan.
  7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
  8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

Memperhatikan pelanggaran-pelanggaran tersebut, dapat disimpulkan bahwa sifat struktural dari pelanggaran HAM juga dapat dilihat dari pelaku pelanggaran HAM. Secara logika sosiologis, pelaku pelanggaran tidak mungkin dilakukan oleh orang per orang. Pelanggaran tersebut tentunya hanya bisa dilakukan oleh sekelompok orang yang terorganisir termasuk di dalamnya aparat negara.

Dalam UU Pengadilan HAM, perlindungan terhadap korban dan saksi juga mendapat perhatian di mana korban dan saksi berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror dan kekerasan. Perlindungan tersebut wajib dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma. Sebagai konsekuensi dari pelanggaran HAM maka para korban dan ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi dan rehabilitasi yang diatur dengan menggunakan peraturan pemerintah. Ketentuan pidana yang dijatuhkan terhadap pelanggaran HAM, di mana meliputi genosida dan kejahatan kemanusiaan adalah pidana mati, pidana seumur hidup dan penjara antara 10 sampai 25 tahun.

Oleh karena itu, pelanggaran HAM dapat terjadi dalam dua cara, yaitu sebagai berikut.

  1. Pelanggaran yang dilakukan oleh negara secara aktif dengan tindakan yang bersifat langsung sehingga menimbulkan pelanggaran HAM.
  2. Pelanggaran yang timbul akibat kelalaian negara.

B. PENEGAKAN HUKUM

Implementasi demokrasi dan HAM tidak akan bermakna dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat apabila tidak ditunjang dengan penegakan hukum dalam bidangnya. Oleh karena itu, harus diciptakan “budaya hukum”. Tanpa budaya hukum mudah terjadi pelanggaran hukum dalam masyarakat. Langkah awal yang harus diciptakan untuk menuju budaya hukum adalah membangun kesadaran hukum dalam masyarakat, artinya individu dan masyarakat mematuhi hukum karena suara batinnya yang menghendaki dan bukan karena paksaan dari luar. Suara batin menghendaki demikian karena hukum itu sendiri dapat menjamin hak-hak yang sangat diperlukan bagi kelanjutan hidupnya. Kesadaran hukum tidak lahir dengan sendirinya, tetapi dapat tumbuh dari perasaan hukum yang dimiliki setiap orang atau masyarakat.

Adanya perasaan hukum yang tumbuh ditandai dengan adanya keinginan dari masyarakat itu sendiri untuk senantiasa berbuat yang benar, menegakkan hak dan melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat untuk masyarakat. Setiap anggota masyarakat hendaknya memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang sama tentang apa yang patut atau tidak patut dilakukan atau dikerjakan atau meninggalkan hal-hal tercela. Perasaan ini harus tumbuh dan berkembang serta terpelihara sampai meningkat menjadi kesadaran hukum.

Faktor moral sangat berperan karena dengan moral orang, akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang positif dan pantas. Apabila kondisi ini ditumbuhkan dalam masyarakat, akan tercipta kedaulatan hukum yang dapat melahirkan negara hukum. Kedaulatan hukum atau negara hukum dimaksud bukan dalam arti formal saja, tetapi sekaligus dalam arti materiil yaitu masyarakat sendiri dengan suara batinnya atau dengan kesadaran mematuhi hukum dalam realitas hidup sehari-hari.

Menurut Hugo Krabbe, tumbuhnya perasaan hukum akan menjelma menjadi kesadaran hukum yang akan menimbulkan kewajiban bagi setiap orang atau masyarakat untuk mematuhi hukum bukan karena tekanan dari pihak luar (penguasa).

Contoh: Presiden Kennedy sebagai presiden AS, pada saat melakukan perjalanan secara kebetulan anjingnya ikut serta. Ia menolak kebijakan perusahaan penerbangan yang tidak memungut harga tiket untuk anjingnya. Sang presiden tetap membelikan tiket untuk anjingnya karena anjingnya memiliki berat badan dan memerlukan tempat di pesawat walaupun hanya tinggal di lantai pesawat. Sikap presiden demikian tidak lain karena kepatuhan terhadap hukum di AS yang sudah membudaya sehingga setiap orang termasuk presiden merasa tidak tepat diperlakukan istimewa.

Bagaimana dengan di Indonesia? Jika kita tidak mengembangkan budaya hukum dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat sekarang , rasanya tidak akan banyak manfaat yang dihasilkan oleh reformasi termasuk reformasi hukum. Bila kita tidak mereformasi tingkah laku melalui peningkatan budaya hukum yang dapat menjamin dilaksanakan hasil-hasil reformasi menjadi kenyataan , tampaknya akan sia-sia pengorbanan yang telah dilakukan pada masa orde baru, di mana yang kuat leluasa melakukan pelanggaran dan HAM sehingga rakyat kecil banyak yang jadi korban.

Semakin banyaknya instrumen HAM baik pada tingkat internasional maupun dalam negeri Indonesia dan Keppres No. 129 Tahun 1998 sebagai bagian dari rencana aksi HAM tahun 1998–2003 menunjukkan kemampuan politik pemerintah untuk memajukan HAM di Indonesia. Pada tatanan operasional dibuat Komisi Nasional HAM berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993, namun demikian pelaksanaan HAM di Indonesia masih memerlukan perbaikan karena masih sering terjadi pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan secara hukum. Pemerintah berupaya lebih meningkatkan penghormatan terhadap HAM. Salah satu upaya yang harus ditempuh adalah penegakan hukum secara konsisten dan tidak pandang bulu. Dengan demikian, supremasi hukum harus sungguh-sungguh diwujudkan demi perlindungan dan jaminan terhadap HAM.

Berdasar Pasal 28I ayat (5) Amandemen UUD 1945, pelaksanaan penegakan HAM akan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Berpijak dari ketentuan tersebut, dikeluarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 1 angka 1 UU tersebut antara lain menyatakan:

”HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan YME dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan dan martabat manusia”.

Lebih lanjut, dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan:

”Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

Perdebatan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam penegakan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM menjadi wacana dan diskursus yang tidak berkesudahan. Ada dua pandangan, yaitu sebagai berikut.

  1. Menyatakan bahwa yang harus bertanggung jawab memajukan HAM adalah negara karena negara dibentuk sebagai wadah untuk kepentingan kesejahteraan rakyatnya. Rakyat yang cerdas sadar sehingga mampu menghargai dan menghormati HAM. Perlu diberikan pendidikan terutama masalah yang berkaitan dengan HAM. Negara yang tidak memfasilitasi rakyat melalui pendidikan HAM berarti telah mengabaikan amanat rakyat.
  2. Menyatakan bahwa tanggung jawab pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM tidak saja dibebankan kepada negara, melainkan juga kepada individu warga negara, artinya negara dan individu sama-sama memiliki tanggung jawab terhadap pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM. Karena itu pelanggaran HAM sebenarnya tidak saja dilakukan oleh negara kepada rakyatnya melainkan juga oleh rakyat kepada rakyat yang disebut dengan pelanggaran HAM secara horizontal. Bentuk pelanggaran HAM jenis ini antara lain adanya penembakan rakyat oleh sipil bersenjata seperti dalam kasus penembakan Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan beberapa tokoh lainnya, penganiayaan buruh atau budak oleh majikan seperti kasus Marsinah.

Pelaksanaan HAM seperti halnya pelaksanaan demokrasi, dibedakan antara pelaksanaan demokrasi (HAM dalam arti ideal dan pragmatis). Pelaksanaan demokrasi/HAM, dalam pengertian pragmatis senantiasa banyak dipengaruhi oleh muatan lokal atau kepentingan demi pembangunan penguasa dengan begitu mudahnya mengabaikan prinsip-prinsip HAM. Secara ideal, negara tidak dibenarkan mencampuri HAM setiap warga negara, apalagi menindasnya atau menghilangkannya.

Sejalan dengan amanat konstitusi, Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan kepada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya dan hak pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan maupun dalam pelaksanaan. Sesuai dengan Pasal 1 (3), Pasal 55, dan Pasal 56 Piagam PBB, upaya pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan melalui suatu kerja sama internasional yang berdasarkan pada prinsip saling menghormati, kesedarajatan dan hubungan antar negara serta hukum internasional yang berlaku.

Program penegakan hukum dan HAM (PP Nomor 7 Tahun 2005) yaitu yang meliputi pemberantasan korupsi, anti terorisme dan pembasmian penyalahgunaan narkotika dan obat berbahaya. Oleh sebab itu, penegakan hukum dan HAM harus dilakukan secara tegas, tidak diskriminatif dan konsisten.