Mengapa sejarawan sering menggunakan sumber tertulis dalam mengungkap suatu peristiwa sejarah

A.   Pendahuluan

Dalam melakukan suatu penelitian kita pasti membutuhkan sumber-sumber yang valid, sehingga penelitian tersebut dapat dibuktikan dan dipertanggungjawabkan kebenarannya. Karena suatu penelitian yang tidak menggunakan sumber-sumber yang valid maka penelitian tersebut masih meragukan dan masih belum diakui kebenarannya.

Ada beberapa sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan dalam melakukan penelitian sejarah. Adapun sumber-sumber tersebut adalah studi pustaka dalam hal ini menggunakan dokumen-dokumen, buku, arsip dan sebagainya yang berbentuk tertulis. Selain itu juga terdapat hermeneutika dan yang terakhir adalah sumber lisan yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Sejarah lisan sendiri merupakan usaha untuk merekam seluruh kenangan dari si pelaku sejarah, agar semua aktivitas yang dilakukannya, yang dilihatnya dan dirasakannya dapat terungkap melalui proses wawancara dengan segala nuansa yang muncul dari aspek peristiwa sejarah. Wawancara sejarah lisan agak berbeda dengan wawancara jurnalistik, sebab ada persiapan metodologis yang secara kritis dilakukan, pemilihan topik-topik tertentu, kajian pustaka dan dokumen-dokumen yang terkait serta pedoman wawancara.

Sumber lisan sebagai salah satu sumber sejarah dalam prakteknya seringkali terpinggirkan, terutama manakala sumber tertulis tersedia cukup memadai ketika rekonstruksi sejarah akan dilakukan. Sumber lisan, khususnya dalam bentuk sejarah lisan, biasanya baru dilirik oleh rekonstruktor sejarah manakala sumber tertulis dianggap kurang memadai atau tidak ada sama sekali.

Terpinggirkannya sumber lisan sebagai sumber sejarah bisa jadi dikarenakan rekonstruksi sejarah seakan selalu memerlukan bukti yang dapat dilihat dan diraba. Kenyataan ini tidak pelak lagi merupakan salah satu kelemahan sumber lisan. Sumber lisan baru akan bernilai manakala sumber tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk lain, seperti rekaman suara atau tulisan. Tanpa perubahan wujud, sulit rasanya sumber lisan dapat digunakan sebagai sumber sejarah.

Bila sejarah secara umum dipahami sebagai peristiwa yang terjadi di masa lampau yang menempatkan manusia sebagai aktor sejarahnya, maka sejarah lisan secara sederhana dapat dipahami sebagai peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan (memori) hampir setiap individu manusia. Di luar pengertian itu, sejarah lisan merupakan usaha untuk merekam seluruh kenangan dari si pelaku sejarah, agar semua aktivitas yang dilakukannya, yang dilihatnya dan dirasakannya dapat terungkap melalui proses wawancara dengan segala nuansa yang muncul dari aspek peristiwa sejarah.

Menurut Purwanto, (2006:76) sejarah lisan merupakan alat yang sangat berguna untuk menemukan, mengeksplorasi, dan mengevaluasi ciri-ciri dari proses ingatan sejarah. Sartono Kartodirdjo (1991) merumuskan sejarah lisan sebagai cerita-cerita tentang pengalaman kolektif yang disampaikan secara lisan. Salah satu metode dalam penelitian sejarah dapat menggunakan metode penelitian sejarah lisan, yang mana metode ini biasanya digunakan dalam historiografi kontemporer.

Menurut Mona Lohanda (dalam Thompson, 2012) Banyak ahli mengatakan sejarah lisan itu humanizing history memberi tempat kepada emosi, sentimen dan hal-hal yang pribadi yang patut diketahui sebagai bagian dari sejarah umat manusia. Menurut (Thompson, 2012: 25) pada kenyataannya, sejarah lisan setua sejarah itu sendiri, ia adalah jenis pertama sejarah.

Adanya sejarah lisan disebabkan karena, pada masa itu masyarakat yang belum mengenal baca tulis mereka menggunakan lisan untuk mengenalkan dan melestarikan sejarah, dan bahkan sejarah lisan sendiri menjadi tradisi dalam masyarakat yang belum mengenal baca tulis. Namun dalam sejarah lisan sendiri terdapat kekurangan, yaitu sulit adanya bukti kebenaran tentang suatu peristiwa yang terjadi. Sejarah lisan telah memberikan sumbangsih untuk rekontruksi masa lalu yang lebih realistis, dengan adanya sejarah lisan kita dapat memunculkan sosok-sosok pahlawan dari rakyat biasa yang tidak dikenali sebelumnya.

Pada dekade 1970-an, ada sebuah usaha untuk menyelenggarakan suatu program sejarah lisan yang dikelola oleh Arsip Nasional bekerjasama dengan para sejarawan dan perguruan tinggi. Menurut Kuntowijoyo (2003:25), Jika dibandingkan dengan sejarah kuantitatif, sejarah lisan dapat dipastikan akan mendapat pasaran yang lebih luas. Karena dalam proses wawancara tidaklah memerlukan banyak kenjlimetan berpikir.

Antara sejarah dengan sejarah lisan mempunyai suatu hubungan yang saling mengisi dan melengkapi. Maksudnya bahwa suatu dokumen yang tertulis tidak akan dapat menceritakan semua peristiwa yang pernah terjadi. Untuk memperoleh kelengkapan dari informasi dokumen tersebut, perlu dilakukan wawancara sejarah lisan. Oleh karena wawancara sejarah lisan itu bertujuan untuk mengisi gap atau kekosongan informasi pada dokumen.

Wawancara hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa itu, apabila masih hidup. Namun, apabila orang tersebut sudah meninggal, kemungkinan wawancara dilakukan terhadap orang-orang yang pernah dekat dengannya sewaktu masih hidup sehingga dengan menggunakan dua pendekatan itu dapatlah seseorang untuk menelusuri suatu peristiwa secara terperinci dan mendetail.

Lisan adalah alat komunikasi utama yang digunakan untuk mewarisi pengetahuan masa lalu kepada generasi selanjutnya. Fungsi lisan ini tergantikan oleh tulisan setelah umat manusia menuliskan pengetahuan masa lalunya pada tulang, batu, kulit binatang, pelepah pohon, kertas dan media lainnya. Di dalam ilmu sejarah, muncul penilaian bahwa sumber tertulis lebih objektif, lebih akurat, lebih otentik, dan lebih dapat dipercaya kebenarannya daripada sumber lisan. Alasannya, karena sumber tulisan bersifat tetap dari mulai ditulis hingga ditemukan dan dipergunakan oleh para sejarawan untuk melakukan rekonstruksi masa lalu.

Sebaliknya sumber lisan bersifat tidak tetap akibat adanya penambahan atau pengurangan informasi sehingga justeru dapat menyesatkan kerja para sejarawan. Paradigma ini menimbulkan kepercayaan yang berlebihan terhadap sumber tertulis. Tanpa disadari pekerjaan sejarawan identik dengan mengumpulkan, menyeleksi, dan menafsirkan sumber-sumber tertulis menjadi sebuah rekonstruksi masa lalu. Menurut Henk Schulte-Nordholt:

……
Sejarah lisan sangat penting bagi historiografi Indonesia, bukan saja karena birokrasi pemerintah pada era Soeharto tidak banyak meninggalkan arsip yang terbuka untuk umum, tetapi juga karena sejarah lisan membuka peluang bagi sejarawan untuk mengalihkan perhatiannya dari negara dan menyoroti pengalaman-pengalaman pribadi yang berada di luar kerangka kaku yang ditetapkan lembaga-lembaga negara (2004: 18).

.

Sebagai metode pelengkap bahan dokumenter,  dengan bekerjasamanya sejarah lisan dan bahan dokumenter. Sebagai metode tunggal sejarah lisan tidak kurang pentinggnya jika dilakukan dengan cermat. Banyak sekali permasalahan sejarah, bahkan pada jaman moderen ini yang tidak terakomodasikan dalam dokumen-dokumen.

Dokumen hanya menjadi saksi dari kejadian-kejadian penting menurut kepentingan pembuat dokumen dan zamannya, dan nyaris tidak melestarikan kejadian-kejadian individual dan yang unik yang dialami oleh seseorang atau segolongan (Kuntowijoyo, 2003: 26-27). Jadi diharapkan para sejarawan yang memiliki kesempatan tersebut dapat menghasilkan sebuah karya biografi dengan corak lain, dikarenakan perspektif kesejerahannya akan dapat menampilkan pelaku-pelaku sejarah di tengah-tengah masyarakat.

Selain sebagai metode, sejarah lisan juga dapat digunakan sebagai sumber sejarah. Dalam kegiatan penyediaan sumber ini berbeda dengan sejarah lisan sebagai metode. Yang pertama kegiatan dilakukan secara terpisah dari penuisan, dan kegiatan yang kedua pemakai sejarah lisan ialah para pewawancara sendiri. Adapun teknik-teknik dalam pengumpulan sejarah lisan menurut Kuntowijiyo (2003:29) pengumpulan sejarah lisan ialah wawancara, menyalin, dan menyunting.

Sejarah lisan juga mempunyai sumbangan yang besar dalam kepenulisan sejarah. Dengan sifatnya yang kontemporer, pertama sejarah lisan memberikan kemungkinan yang hampir tak terbatas untuk menggali sejarah dari pelaku-pelakunya, kedua sejarah lisan dapat menemukan pelaku-pelaku sejarah yang tidak disebutkan di dalam dokumen, dan yang ketiga sejarah lisan memungkinkan adanya perluasan permasalahan sejarah, karena sejarah tidak dibatasi lagi dengan adanya dokumen tertulis.

Dengan kerja sejarah lisan, wawancara yang dilakukan dapat didokumentasikan aspek-aspek tertentu dari pengalaman sejarah yang cenderung hilang dalam sumber lainnya. Ingatan merupakan fakta sosial, dan adanya subjektivitas di dalam ingatan itu, untuk upaya mengatasi berbagai kesulitan subjektif itu, maka adanya penganalisaan teks lisan dan menghubungkannya, dengan yang lain dalam bentuk dokumen tertulis atau informasi.

Adapun cara untuk melakukan sejarah lisan, di butuhkan beberapa langkah yang harus di lakukan oleh para sejarawan, karena menurut Davis (1977:9) … but with oral history there is ordinarily only one opportunity. Adapun langlah-langkah yang harus dilakukan oleh sejarawan tidaklah berbeda dengan seorang wartawan, diawali dengan memilih subjek, memilih orang yang akan menjadi narasumber, setalah langkah-langkah tersebut terpenuhi, maka segeralah dilakukan wawancara.

Setelah wawancara selesai menurut Davis (1977:22) review the interview notes and word list with the narrator., kemudian setelah semua langkah terselesaikan, itu berarti proses pengambilan data pada sejarah lisan pun telah selesai, sama yang seperti dikatakan Davis (1977:23) with the interviewing and associated step completed, one has finished the oral historian’s job of collection.

Sebagian besar sejarawan sempat bersepakat dengan pemikiran Charles-Victor Langois dan Charles Seignobos bahwa tidak ada yang bisa menggantikan fungsi sumber tertulis untuk melakukan rekontsruksi masa lalu. Secara demonstratif kedua sejarawan ini mempopulerkan adagium no documents, no history (tidak ada sumber tertulis, tidak ada sejarah) (Thompson, 1978: 47).

Pemikiran dan adagium tersebut digugat oleh para sejarawan Amerika. Mereka menyadari bahwa sebagian besar masa lampuanya tidak ada dalam catatan-catatan tertulis, sehingga timbul usaha untuk merekam pengalaman para orang tua dalam membangun wilayah Amerika (Lapian, 1985:1-2). Dari sinilah cikal bakal kelahiran kembali sejarah lisan yang dimulai tahun 1930 dan tahun 1948 berdirilah pusat sejarah lisan di Universitas Columbia, New York. Selanjutnya menyusul pendirian pusat sejarah lisan di beberapa negara seperti Kanada, Inggris, dan Italia (Burguiere, 1986).

Tulisan ini merupakan penjelajahan berbagai dilema yang dihadapi sejarawan lisan. Kami tidak bermaksud mempermudah praktek sejarah lisan. Sebaliknya, kami berniat menjelaskan beberapa dari kesulitan-kesulitan yang muncul dalam penelitian yang sepintas lalu tampak sangat mudah, yang konon sesuai bagi sejarawan amatir, menurut pandangan sejumlah sejarawan profesional Indonesia.

Sejarah lisan menuntut perimbangan antara berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari prioritas ini berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi antar manusia. Sisi afektif dan emosi dalam penelitian sejarah paling menonjol dalam sejarah lisan, karena dalam sejarah lisan kita berdialog dengan orang-orang yang hidup. Di luar beberapa masalah teknis, seperti misalnya dimana sebaiknya meletakkan mikrofon dan bagaimana menyusun katalog hasil rekaman, buku penuntun tidak akan banyak membantu.

.

B.   Sejarah Lisan

1.    Pengertian Sejarah Lisan

Sejarah lisan dalam pengertian umum adalah suatu usaha pengumpulan data informasi dan keterangan tentang masa lampau dari seorang tokoh atau pelaku sejarah yang diperoleh melalui wawancara. Namun, ada beberapa pengertian lain yang mungkin harus dipahami walaupun sebenarnya esensi antara pengertian yang satu dengan lainnya tidaklah jauh berbeda. William Moss menyatakan sejarah lisan adalah perekaman dari kenang-kenangan yang dikemukakan oleh informan berdasarkan pengetahuan langsung.

Menguatkan pendapat tersebut, Willa K Baum menyatakan sejarah lisan merupakan usaha merekam kenangan yang dapat disampaikan oleh pembicara sebagai pengetahuan tangan pertama. Sedangkan Oral History Society mengemukakan sejarah lisan adalah perekaman kenangan seseorang, dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun, seperti yang sudah dikemukakan di atas, yang penting adalah esensi dari sejarah lisan, bukan cara menghafal antara pengertian yang satu dengan lainnya.

Namun, perlu diketahui bahwa ada hal-hal tertentu yang perlu diketahui dan dipahami bahwa peristiwa yang telah terjadi pada masa lampau, belum tentu dapat dikatakan peristiwa sejarah. Ada tiga alasan yang mendasari hal itu.

a.  Sebagian dari peristiwa yang terjadi pada masa lampau bukanlah sejarah, melainkan prasejarah, yang dalam pembagian akademis termasuk dalam kajian arkeologi dan antropologi.

b. Tidak semua peristiwa yang terjadi pada masa lampau meninggalkan bukti-bukti tertulis sehingga dapat dikatakan semakin tua zaman sejarah yang diselidiki, semakin sedikit kemungkinan peninggalan bukti-bukti tertulis yang dapat ditemukan. Sebaliknya, semakin muda atau dekat zaman sejarah, semakin banyak kemungkinan sumber-sumber sejarah yang diketemukan.

c. Tidak semua peristiwa yang terjadi pada masa lampau dapat dikatakan sejarah. Banyak peristiwa yang mengalir begitu tanpa ada kesan yang menonjol atau berpengaruh dalam diri. Oleh karena sejarah adalah suatu studi yang ilmiah, tidak lebih dan tidak kurang dan diceritakan terbuka serta apa adanya, berdasarkan fakta dan data yang ada

.

Wawancara sejarah lisan bukan dialog walaupun dalam perjalanan wawancara tersebut pasti ada tanya jawab. Seorang pewawancara akan bertanya seringkas mungkin kepada pengisah dan diharapkan pengisah akan menjawab secara detail dan terperinci. Bahkan kadang-kadang dari jawaban tersebut ke luar kenangan yang mungkin belum pernah disampaikannya kepada orang lain. Akan tetapi, kalau dialog atau pertanyaannya mungkin akan panjang dan jawaban yang diterima sangat pendek. Kadang-kadang dialog tersebut akan bersahutan antara penanya dan penjawab. Jawaban yang disampaikannya pun akan berkisar antara ya atau tidak.

Di sinilah perlu dibedakan antara wawancara sejarah lisan dengan dialog, jurnalistik, folklore, gosip atau rumor. Hasil wawancara sejarah lisan diharapkan dapat dipergunakan oleh pada masa yang akan datang oleh para peneliti. Oleh karena itu, ruang lingkup wawancara sejarah lisan harus lebih luas daripada yang dibutuhkan untuk pemakaian langsung. Sebaliknya, jurnalistik akan dipakai pada saat ini dan jawaban yang disampaikan oleh narasumber penuh dengan analisis dan pengamatan, sedangkan sejarah lisan bercerita apa adanya sesuai dengan peristiwa yang pernah dialaminya pada masa lampau.

Wawancara sejarah lisan dapat dilakukan lebih dari satu orang pengisah yang disebut wawancara sejarah lisan secara simultan. Pertanyaan dapat diajukan pewawancara kepada dua, tiga atau lebih sekaligus dalam satu ruangan. Hal ini biasanya dilakukan apabila antara pengisah yang satu dengan lainnya pernah mengalami suatu peristiwa yang sama, misalnya dalam suatu perjuangan, rumah tangga, satu kantor atau lainnya. Wawancara, seperti dilakukan dengan maksud agar jawaban yang disampaikan oleh pengisah yang satu apabila kurang lengkap atau terlupa, dapat ditambahkan oleh pengisah yang lain sehingga kumpulan jawaban itu akan membuka keseluruhan peristiwa yang pernah dialaminya secara lengkap dan detail.

Sebenarnya tujuan dilakukannya wawancara sejarah lisan adalah untuk mengisi gap atau kekosongan sumber-sumber tertulis. Bahkan mungkin sama sekali sumber tertulisnya tidak ada. Di samping itu, untuk menyelamatkan informasi dari para pelaku atau pengisah yang mempunyai pengalaman yang unik dan menarik dalam cakupan nasional sebelum lupa atau meninggal dunia.

Penyelamatan informasi ini biasanya dilakukan terhadap para tokoh atau pelaku sejarah yang kurang berminat untuk menulis, padahal dia mempunyai setumpuk pengalaman yang unik dan menarik, yang harus diselamatkan dan agar orang lainnya dapat mengetahuinya. Hanya saja perlu Anda ketahui bahwa tidak setiap orang dapat diwawancarai. Para pelaku atau pengisah yang mungkin akan diwawancarai adalah mereka yang pernah mengalami sendiri peristiwa yang dianggap punya cakupan nasional dan bukan yang menyaksikan.

Perlu dibedakan antara orang yang mengalami sendiri suatu peristiwa dengan orang yang menyaksikan. Pasti akan diketemukan jawaban yang banyak menyimpang bila pertanyaan disampaikan kepada orang yang menyaksikan, dibanding yang mengalaminya sendiri. Wawancara tidak dapat dilakukan terhadap sebarang orang, hanya para pelaku atau pengisah yang mempunyai pengalaman hidup yang unit dan menarik dalam cakupan nasional. Para pelaku atau pengisah itulah yang dapat diwawancarai dan hasil wawancaranya dapat dijadikan sebagai tambahan dari sumber tertulis.

Salah satu tindakan yang mungkin dapat dilacak kembali tentang terjadinya peristiwa tersebut adalah dengan cara mewawancarai para pelaku sejarah yang pernah merasakan dan mengalaminya sendiri peristiwa itu, bukan cerita dari nenek moyang atau turun temurun. Dengan dilakukannya wawancara tersebut, kemungkinan besar dapat terungkap seluruh kejadian yang pernah menimpa bangsa Indonesia pada masa tersebut.

.

2.   Perbedaan Wawancara dengan Dialog

Wawancara sejarah lisan tidak sama dengan dialog. Sebab wawancara sejarah lisan bukanlah percakapan dua orang, tetapi yang diutamakan adalah mendapatkan kisah pengalaman dari orang yang sedang diwawancarainya. Oleh karena itu, komentar dari pewawancara hanya terbatas pada pertanyaan-pertanyaan singkat untuk mengarahkan jalannya wawancara, sedangkan dialog lebih menekankan pada percakapan antara dua orang yang kadangkala tidak memerlukan untuk mendapatkan kisah pengalaman dari orang lain. Dialog tidak terbatas pada satu topik saja. Namun, berbagai topik dapat dibicarakan dalam dialog itu.

Pewawancara harus membuat pertanyaan yang pelakunya akan menjawab dengan banyak informasi yang diketahui berdasarkan pengalaman yang dimilikinya. Pelaku harus mengisahkan dan banyak bicara sehingga tidak hanya mengangguk atau menggelengkan kepala saja, sedangkan dialog seperti yang pernah disiarkan oleh beberapa stasiun televisi, informasi yang disampaikan oleh narasumber kepada publik bukan pengalaman pribadinya, tetapi lebih banyak kepada hasil pengamatan suatu peristiwa yang pernah disaksikannya. Pembicaraan-pembicaraan yang disampaikan dalam dialog terkesan lebih banyak saling berargumentasi untuk menunjukkan kemampuannya berbicara terhadap lawan bicaranya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan wawancara dengan dialog adalah sebagai berikut.

a. Pewawancara dan pelaku biasanya belum saling mengenal, Sedangkan dialog narasumbernya sudah dikenal sebelumnya.

b. Pewawancara adalah pihak yang terus-menerus bertanya, sedangkan pelaku adalah pihak yang selalu menjawab pertanyaan tersebut.

c. Urutan pertanyaan yang diajukan sudah ditentukan atau dirumuskan sebelum wawancara berlangsung, sedangkan dialog pembicaraan yang ke luar mengalir begitu saja sesuai dengan tema yang dibicarakannya.

.

Sekali lagi, wawancara sejarah lisan dengan dialog sangatlah berbeda. Wawancara lebih menekankan pada pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan untuk mendapatkan kisah pengalaman dari orang yang sedang diwawancarainya. Sementara itu, dialog lebih menekankan pada percakapan antara dua orang yang tidak memerlukan untuk mendapatkan kisah pengalaman dari orang lain dan kadangkala banyak topik yang dibicarakannya.

.

3.    Perlunya Sejarah Lisan

Pada dasarnya sejarah lisan dapat digunakan pula untuk melestarikan sejarah lokal maupun nasional. Sejarah lokal yang dimaksudkan di sini adalah peristiwa yang pernah terjadi pada suatu daerah tertentu, dan kadangkala belum semuanya terungkap dan diketahui oleh masyarakat umum. Misalnya tentang banyaknya kuburan di sekitar jalan pantura Cirebon yang tidak diketahui asal-usulnya, pertempuran di Kedongdong, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Sejarah lisan mempunyai banyak kegunaan. Guna pertama sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat berguna sebagai sumber pelengkap di antara sumber-sumber sejarah lainnya. Guna sejarah lisan sebagai sumber pelengkap ini biasanya terjadi manakala sumber tertulis tersedia cukup memadai untuk melakukan suatu rekonstruksi sejarah. Menurut Taufik Abdullah (1982), bila dikerjakan dengan baik, sejarah lisan tidak saja akan mampu mengisi kekurangan dari sumber-sumber tertulis dalam usaha merekonstruksi suatu peristiwa tetapi juga akan mampu memberi suasana (sphere) dari periode yang diteliti. Dengan cara itu, humanisasi studi sejarah dapat dilanjutkan

Guna kedua sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya. Guna ini dapat dimainkan sejarah lisan tidak hanya manakala sumber tertulis kurang memadai tetapi juga manakala sumber tertulis tidak tersedia sama sekali. Sebagai metode tunggal sejarah lisan juga penting jika dilakukan dengan cermat. Sebab masih banyak permasalahan sejarah yang tidak tertangkap oleh dokumen-dokumen. Sejarah lisan jika di lakukan dengan menggunakan teknik wawancara yang benar, keabsahan keterangan-keterangan lisan pun dapat dipertanggungjawabkan.

Namun dalam perkembangannya, sejarah lisan selalu dibayangi oleh perdebatan yang tidak kunjung selesai, yang memperdebatkan masalah keabsahan dan kebenaran faktual yang di analisis dari data-data yang tidak tertulis itu, seperti yang dikatakan Purwanto (2006:70) tidak seperti dokumen tertulis yang dianggap bebas dari subjektivitas sumber-sumber lisan dianggap penuh dengan intervensi dan manipulasi, baik yang dilakukan informan maupun sejarawan di dalam proses pengumpulannya.

Harus diakui bahwa dalam sejarah lokal dapat terjadi hubungan timbal balik antara para pelaku sejarah dengan peristiwanya itu sendiri. Karena dari para pelaku itulah, akan didapatkan informasi yang mungkin belum diungkapkan sebelumnya. Sejarah lokal dapat juga dikategorikan menjadi peristiwa nasional, seperti palagan Ambarawa, perang lima hari di Semarang, pertempuran 10 November di Surabaya dan lain sebagainya. Mungkin kita pernah membaca berbagai peristiwa itu melalui buku-buku sejarah atau informasi yang disampaikan lewat teman atau cerita yang disampaikan lewat kakek dan nenek.

Mencermati keterangan di atas, dapat kemukakan bahwa seluruh peristiwa yang terjadi secara lokal maupun nasional setidaknya perlu dilestarikan agar masyarakat umum dapat segera mengetahuinya. Langkah pertama yang perlu diambil adalah menelusuri kembali jejak dan bukti peninggalan yang dapat menginformasikan tentang terjadinya peristiwa itu dengan jalan penelitian. Kedua, melakukan wawancara sejarah lisan dengan para pelaku atau pengisah yang pernah mengalami peristiwa itu.

Dengan wawancara, peristiwa yang terjadi dapat digali informasinya sampai ke akar rumput. Di samping itu, wawancara dapat menampilkan dan menyediakan akses layanan yang penting dalam folklore serta dapat mengungkapkan informasi yang hilang. Dalam kaitan itu, dapat dikemukakan bahwa kegunaan wawancara sejarah lisan adalah sebagai berikut.

a.  Dapat mengungkapkan kembali peristiwa yang terjadi.

b.  Dapat melestarikan sejarah lokal masyarakat dan nasional.

c.  Efektif dalam mengungkap data sejarah perseorangan.

d.  Dapat mengembangkan interpretasi si pewawancara.

e. Metodologi sejarah lisan dapat digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan informasi.

f.   Dapat membawa dimensi lokal baru dan sejarah keluarga.

g.  Sangat penting sebagai sumber untuk program-program di radio dan televisi.

h. Dapat memperoleh tambahan informasi bagi penelitian dan dapat berperan sebagai mata rantai masa yang lalu dan masa kini.

.

Jika seorang peneliti sedang meneliti tentang pertempuran yang terjadi di suatu daerah yang masuk wilayah Cirebon misalnya, penelitian tidak bisa hanya mengandalkan kepada sumber tertulis saja. Peneliti harus melakukan wawancara kepada para pelaku yang mengalami peristiwa itu secara berurut atau acak tergantung kebutuhan peneliti. Dengan jalan itu, kemungkinan peneliti akan memperoleh informasi yang lengkap sesuai dengan yang diinginkan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan wawancara sejarah lisan yang dilakukan itu sangat berguna sekali untuk mengungkapkan informasi seputar peristiwa itu yang belum pernah diketahui oleh masyarakat.

.

4.   Sejarah Lisan di Indonesia

Dalam bahan penulisan sejarah, adanya beberapa sumber sejarah yang harus diidentifikasikan dan diklasifikasikan, sumber sejarah dapat di bedakan menjadi: 1) sumber material atau kebendaan, 2) sumber immaterial atau non kebendaan, 3) sumber lisan, 4) sumber pertama dan kedua, 5) depo sumber. Menurut Pranoto, (2014:32), sumber lisan dapat diperoleh melalui sejarah lisan dan tradisi lisan.

Untuk sejarah lisan dan tradisi lisan merupakan dua penjelasan yang berbeda. Tradisi lisan itu terbatas di dalam kebudayaan lisan dari masyarakat yang belum mengenal tulisan. Tradisi lisan sering juga disebut dengan oral tradition sebagai pengiriman pesan secara lisan, dari generasi satu kegenerasi selanjutnya. Tradisi lisan merupakan sumber penulisan bagi para antropolog dan sejarawan. Menurut Kuntowijoyo (2003:25) Dalam ilmu antropologi tradisi lisan sebagai sumber data bagi penelitian, sudah dipergunakan sejak awal timbulnya ilmu itu, tetapi dalam ilmu sejarah penggunaan tradisi lisan masih merupakan hal yang baru.

Telah dijelaskan bahwa sejarah lisan dan tradisi lisan adalah berbeda. Untuk sejarah lisan sendiri tidaklah didapatkan tetapi dicari dengan kesengajaan. Dengan penggalian sumber sejarah melalui teknik wawancara. Namun menurut Pranoto, (2014:32) sejarah lisan merupakan ingatan tangan pertama yang dituturkan secara lisan oleh orang-orang yang diwawancarai sejarawan, sedangkan untuk tradisi lisan adalah narasi tentang peristiwa masa lalu yang disampaikan dari mulut ke mulut selama beberapa generasi.

Sebagai salah satu bentuk sumber lisan, sejarah lisan haruslah digali secara sengaja, terencana, dan tersistematisasikan. Tanpa upaya penggalian yang disengaja dan direncanakan dengan baik bisa jadi sejarah lisan tidak akan pernah bisa digunakan sebagai sumber sejarah dan akan terbawa mati oleh pemiliknya. Oleh karena itu, sejarah lisan harus benar-benar digali dengan penuh kesadaran dan penuh perencanaan. Hal ini tentu berbeda dengan salah satu bentuk sumber lisan lainnya, yakni rekaman suara (ceramah dan pidato), yang seringkali proses penggaliannya tidak disengaja atau tanpa suatu proses yang direncanakan ataupun tradisi lisan, yang proses penggaliannya bisa kapan saja serta tidak tergantung oleh usia pengkisah atau pemberi informasi tradisi lisan.

……
Permasalahan keterbatasan sejarah lisan sebagai sumber lisan baru muncul ke permukaan manakala dihadapkan pada pilihan peristiwa terpilih yang akan direkonstruksi. Semakin besar dan luas daya jangkau dan daya pengaruh suatu peristiwa maka pada umumnya akan semakin banyak pula pemilik sejarah lisan yang bisa dijadikan pengkisah. Sebaliknya, semakin kecil dan sempit daya jangkau serta daya pengaruh suatu peristiwa bisa jadi akan semakin terbatas pula pemilik sejarah lisan yang bisa dijadikan pengkisah. Dengan demikian, banyak tidaknya sejarah lisan untuk suatu peristiwa sejarah yang akan direkonstruksi pada dasarnya akan sangat ditentukan oleh sosok atau kebesaran peristiwanya itu sendiri. Berdaya jangkau luas atau tidak, berpengaruh besar atau tidak (Dienaputra, 2007: 13)

.

Wawancara sejarah lisan agak berbeda dengan wawancara jurnalistik, sebab ada persiapan metodologis yang secara kritis dilakukan, pemilihan topik-topik tertentu, kajian pustaka dan dokumen-dokumen yang terkait serta pedoman wawancara. Termasuk juga seleksi yang ketat terhadap orang yang akan diwawancarai (pengkisah) dan terhadap apa-apa yang diceritakannya. Karena itu ruang lingkup mereka harus lebih luas dari pada yang dibutuhkan untuk pemakaian langsung atau khusus. Sejarah lisan merupakan salah satu dari sumber-sumber sejarah, karena ada sumber tertulis dan ada sumber lisan.

Sejarah lisan berbeda dengan tradisi lisan. Sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang dilisankan, penulisan berdasarkan cerita yang diungkapkan oleh pengkisah yang mengalami, menjadi saksi, mengikuti berbagai peristiwa sejarah pada jamannya dan hanya satu generasi saja. Jadi lebih banyak pengalaman tokoh yang bersangkutan dalam peristiwa sejarah. Tradisi lisan ruang lingkupnya lebih luas daripada sejarah lisan. Dalam hal ini tradisi lisan merupakan pengalaman-pengalaman kolektif suatu masyarakat/bangsa yang menunjuk pada kejadian-kejadian/peristiwa-peristiwa di masa itu, sehingga dipengaruhi oleh jiwa jaman.

Tradisi lisan lebih mengarah pada hal-hal yang statis dan bersifat mitos dan lebih banyak pada hal-hal yang bersifat budaya. Tradisi lisan merupakan suatu cerita rakyat yang diungkapkan secara lisan dan berlangsung secara turun temurun, ada pewarisan dari satu generasi ke generasi lainnya. Pengkisah tidak terikat dengan peristiwa itu sendiri dan bukan pelaku atau penyaksi dari peristiwa yang di ceritakan. Sebagai ilustrasi mungkin kita dapat lihat dari cerita tentang Djoko Tingkir atau Pangeran Samber Nyawa di daerah Jawa.

Pengakuan kembali terhadap sejarah lisan juga bergaung ke Indonesia, meskipun terlambat 34 tahun, yakni dimulai pada tahun 1964 oleh sejarawan dari Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto dengan proyek Monumen Nasionalnya yang mengumpulkan data-data sejarah Revolusi Indonesia 1945-1950. Kerja sejarah lisannya lalu dipusatkan pada keberhasilan para perwira TNI Angkatan Darat menggagalkan kudeta Gerakan 30 September 1965 sebagaimana terlihat dalam karyanya, 40 Hari Kegagalan G-30-S. Sejak tahun itu Notosusanto memfokuskan kerja sejarah lisannya pada upaya menulis riwayat hidup para tokoh militer atau tentang sejarah militer Indonesia.

Sejarah lisan telah berubah, bahkan telah mengalami kemajuan, sejak pertengahan tahun 1940-an. Sekarang sudah ada pengakuan terbuka bahwa wawancara adalah sebuah oral dialogue, dialog lisan, bukan rekaman solilokui, pembicaraan dengan diri sendiri, yang sudah tersusun rapi. Tetapi prinsip ini, yang demikian mendasar sehingga terdengar klise, diabaikan bukan saja oleh paradigma ilmu yang mengharuskan pengamat bersikap netral tetapi juga oleh lawannya: paradigma identifikasi empatik total peneliti dengan orang yang diwawancarai.

Paradigma ini dapat dilihat pada aktivis yang menggunakan sejarah lisan sebagai cara untuk memperjuangkan kepentingan orang yang diwawancarai. Misalnya, sejumlah aktivis dari organisasi-organisasi yang didirikan para korban di Indonesia percaya bahwa korban kekerasan negara adalah sejenis makhluk suci, kata-katanya otomatis mengandung kebenaran. Peneliti kemudian berperan sebagai penyampai kebenaran korban dari balik layar, penghubung tidak kentara antara korban dan masyarakat luas. Peneliti dituntut melayani korban dan mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan penderitaan korban sehingga penderitaan korban menjadi penderitaannya sendiri. Di sini, lagi-lagi, prinsip dialog diabaikan.

Sejarah lisan semakin kokoh di Indonesia terutama setelah ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) melaksanakan proyek sejarah lisan. Penanggung jawabnya adalah Soemartini, Kepala ANRI periode 1971-1991. Ia dibantu tim Panitia Pengarah Sejarah Lisan dengan ketua Harsja W. Bachtiar, seorang guru besar sosiologi dan sejarah perkembangan masyarakat pada Universitas Indonesia. Panitia Pengarah beranggotakan empat sejarawan, yaitu Sartono Kartodirdjo, Taufik Abdullah, Abdurrachman Surjomihardjo, dan A.B. Lapian. Pada saat itu Kartodirdjo sudah berpredikat sebagai guru besar sejarah pada Universitas Gajah Mada, Jogjakarta (Soemartini, 1982:11).

Meski Notosusanto merupakan perintis sejarah lisan di Indonesia, namun yang paling berjasa menyebarluaskan perkembangan sejarah lisan di Indonesia adalah Soemartini dan Harsja Bachtiar.Ini terjadi karena keduanya banyak melibatkan sejarawan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dengan memberikan pelatihan dan membentuk pusat sejarah lisan di beberapa daerah antara bulan Juni hingga Desember 1981.

.

5.   Ciri-ciri Sejarah Lisan

Ciri-ciri sejarah lisan tidak dapat dilepaskan dari esensinya, yaitu bersumber pada lisan bukan pada sumber tertulis. Segala yang diucapkan oleh pelaku menjadi dasar dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan. Memang informasi yang disampaikan oleh pelaku sangat subjektif sekali. Oleh karena yang disampaikannya lebih banyak berkenaan dengan peranan dirinya. Sementara peranan orang lain yang sama-sama mengalami peristiwa itu, seakan-akan terlupakan bahkan tidak disinggung sama sekali. Namun yang pasti bahwa sumber lisan itulah yang dibutuhkan oleh peneliti dalam memperoleh informasi.

Di samping sifat lisannya itu, ciri-ciri sejarah lisan lainnya adalah penyampaiannya lebih banyak bersifat naratif, hanya cerita pengalamannya saja yang disampaikan oleh pelaku. Kadangkala lebih banyak membicarakan tentang tingkah laku atau peran yang dianggap baik oleh pelaku. Sementara peran yang buruk atau sangat bersifat pribadi masih ditutup-tutupinya. Hal ini sangat manusiawi dan wajar.

Yang terpenting adalah masing-masing pelaku dalam satu peristiwa yang pernah dialaminya mempunyai karakter yang berbeda-beda sehingga penyampaiannya pun dapat berbeda-beda walaupun esensinya sama. Ingatan yang disampaikan oleh pelaku memiliki kredibilitas yang berbeda karena masing-masing pelaku mempunyai daya tampung ingatan yang berbeda-beda pula. Hanya saja perlu diketahui bahwa kedekatan dan keunikan antara pelaku dan pewawancara dapat berlangsung karena adanya kegiatan wawancara itu.

 .

6.   Posisi Sejarah Lisan dalam Metodologi Sejarah

Dalam kajian sejarah, sejarah lisan sebenarnya merupakan salah satu teknik atau metode pengumpulan data sejarah, namun bersumber pada informasi lisan, bukan sumber tertulis. Pendekatan/teknik pengumplan data sejarah dengan lisan tergolong baru untuk kajian-kajian sejarah modern, namun sesungguhnya historiografi tradisional bersumber dari tradisi lisan. Pada dasarnya teknik/metode sejarah lisan tidak berbeda dengan teknik/metode sejarah yang menggali sumber-sumber sejarah tertulis dengan kritik intern dan ekstern.

Rekonstrusi sejarah diperoleh melalui proses penyusunan kembali fakta-fakta sejarah sebagai aktualitas yang sebenarnya menjadi sejarah yang ditulis atau disusun secara tertulis, yang selama ini kita kenal dengan Historiogarafi. Jika teknik konvesional mengungkapkan aktualitas sejarah melalui sumber-sumber tertulis maka dalam sejarah lisan aktualitas sejarah diperoleh dari sumber lisan dengan membangkitkan kembali ingatan pelaku-pelaku sejarah.

Proses penggarapan sejarah lisan seperti yang berlaku dalam penggarapan sejarah untuk kajian sejarah modern, yakni menggunakan kerangka teoritis metodologis dan metode sejarah kritis dengan dua tahap. Pertama, tahap analisis evidensi, mencari bukti-bukti dari sumber lisan untuik menyusun fakta-fakta. Kedua, tahap sintesis fakta dalam rekonstruksi sejarah dalam bentuk penulisan sejarah tertulis.

Teknik/metode sejarah lisan merupakan suatu pengembangan dan penyempurnaan dari penelitian sumber-sumber sejarah tertulis, seperti dokumen dan catatan-catatan resmi peristiwa sejarah yang dapat melengkapi penulisan sejarah dengan nuansa-nuansa peristiwa sejarah yang tidak bisa secara lengkap ditampilkan oleh data tertulis. Sejarah lisan lisan disatu sisi sebagai metode (proses) namun disisi yang lain juga sebagai produk (hasil) yang berupa data tertulis, karena telah ditranskripkan atau penulisan-penulisan sejarah yang bersifat monolog seperti biografi.

Sejarah lisan diperlukan bukan hanya untuk masyarakat yang tidak mempunyai kebiasaan merekam sumber tertulis, namun juga sangat dibutuhkan bagi penyusunan sejarah kontemporer seperti yang sudah dikatakan diatas terutama sesudah Perang Dunia II dan masa revolusi. Khususnya bagi rekonstruksi sejarah Indonesia kontemporer, penggunaan teknik sejarah lisan sangat penting. Sebab para pelaku sejarah tersebut masih hidup, sehingga dapat melengkapi khasanah sumber-sumber sejarah bagi penulisan sejarah.

Di samping itu sejarah lisan juga dapat digunakan untuk berbagai jenis penulisan sejarah seperti sejarah politik, sejarah ekonomi, sejarah kebudayaan, sejarah sosial termasuk penulisan sejarah lokal dan sejarah nasional. Secara metodologi ada keterbatasan dari metode sejarah lisan yaitu tidak dapat menggali sumber sejarah dalam rentang waktu yang lama. Oleh sebab itu yang paling tepat penggunaan sejarah lisan pada rentangan waktu yang dekat dengan kita, karena pelaku sejarahnya masih hidup, dan sejarah lisan hanya mampu mengungkapkan pengalaman-pengalaman seseorang yang sifatnya sangat individual.

Di samping keterbatasan itu, sejarah lisan mempunyai kelebihan yang tidak dapat diperoleh dari dokumen tertulis. Sejarah lisan dapat menangkap tema-tema tertentu yang muncul dari sejarah yang tidak dapat diungkapkan oleh dokumen-dokumen tertulis. Sejarah lisan lebih bersifat populis, sehingga dapat mencapai kehidupan sosiokultural pada masyarakat kelas bawah dalam kondisi masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa dengan budaya tertulis, sementara itu sumber tertulis juga masih langka, maka penggunaan sejarah lisan bagi rekonstruksi sejarah sosial menjadi sangat penting. Apalagi dengan makin berkurangnya para pelaku sejarah sebab umur manusia terbatas dan belum lengkapnya rekonstruksi sejarah Indonesia secara nasional ataupun lokal.

.

7.   Perangkat Teknis Dalam Penelitian Sejarah Lisan

Dalam mengungkapkan sumber sejarah lisan tetap digunakan prosedur dan kerangka teoritis/metodologis dari penelitian sejarah dengan proses evidensi dan sintesis termasuk kritik sumber. Dengan demikian terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses penelitian dengan menggunakan metode sejarah lisan.

a. Terhadap sumber sejarah lisan diperlukan seleksi kritis agar memperoleh informasi yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Untuk itu perlu diteliti lebih dahulu kondisi pribadi dan mentalitas sumber, mungkin lemah ingatan atau pribadi pembual, sekaligus memperhatikan usia pengkisah yang disesuaikan dengan kurun waktu dari topik yang dipermasalahkan.

b. Persiapan peneliti terhadap topik yang akan diteliti, dengan mengadakan kajian pustaka yang lengkap dan komprehensif, membuat kerangka permasalahan yang akan dikerjakan. Setelah itu buat pedoman wawancara yang disesuaikan dengan masalah yang akan diteliti.

c. Teknis peralatan wawancara meliputi perankat yang dibutuhkan untuk wawancara sejarah lisan antara lain ; tape recorder, kaset, peralatan tulis, buku catatan dan juga peralatan lainnya seperti kamera, film, baterai dan lain-lain.

d. Persiapan lapangan perlu diperhatikan dengan seksama, karena harus disiapkan observasi awal untuk mengetahui kondisi lokasi agar sesuai dengan topik wawancara. Kemudian menghubungi sumber (pengkisah) untuk menentukan waktu wawancara dan tempat wawancara, termasuk juga persiapan izin dari yang berwenang jika diperlukan.

.

Hal-hal lain yang diperlukan antara lain fokus wawancara, pengetahuan bahan-bahan tertulis dan penggunaan bahasa, sikap pewawancara dan suasana lingkungan yang penuh keakraban, simpati serta penuh perhatian terhadap apa saja yang diceritakan. Dalam proses sejarah lisan lebih banyak memberikan kesempatan kepada pengkisah untuk berbicara dan jangan sekali-sekali memotong pembicaraan.

.

D.   Penutup

Betapapun menggiurkannya janji sejarah lisan, dalam prakteknya ternyata metode ini tidak dapat diwujudkan begitu saja. Sejarah lisan ternyata jauh lebih sulit daripada yang dibayangkan para pengagumnya. Sejumlah kegiatan penelitian sejarah lisan yang telah dicoba di Indonesia banyak yang gagal, beberapa berhenti di tengah jalan, beberapa lagi menghasilkan rekaman wawancara yang kemudian berselimut debu karena tidak disimpan dalam sistem pengarsipan yang baik dan tidak dikemas agar dapat digunakan masyarakat luas, beberapa lagi berakhir dengan sang peneliti yang terlalu kebingungan untuk mampu menuliskan apapun tentang hasil wawancara mereka, dan beberapa lagi diterbitkan dengan mutu yang meragukan.

Masalah-masalah lain yang dihadapi peneliti sejarah lisan lebih banyak terkait dengan ciri-ciri khas sejarah lisan itu sendiri. Bahkan meski seorang peneliti memiliki latar belakang pengetahuan sejarah yang cukup kuat pun, ia mungkin masih sama bingungnya, jika tidak lebih bingung, dibandingkan dengan peneliti lain, begitu berhadapan dengan sejarah lisan. Beberapa dari buku-buku sejarah Indonesia yang cukup terkenal dan didasarkan pada hasil wawancara lisan (seperti buku Benedict Anderson yang berjudul Java in a Time of Revolution menggunakan wawancara lisan dengan cara yang persis sama dengan cara buku-buku itu menggunakan dokumen-dokumen tertulis, yakni sebagai sumber lain informasi faktual.

Analisa Freud mengenai seseorang yang terlalu dekat dengan kejadian pada masa lampau, bahwa kejadian pada masa lalu itu bagi dia tetap ada pada masa kini, dapat diterapkan kepada siapa saja, tidak hanya kepada pasien psikiatri, dan juga dapat diterapkan pada ingatan sosial kelompok, bukan hanya pada ingatan pribadi individu. Konsep Freud tentang working through digunakan di Jerman, setelah pemusnahan kaum Yahudi (Holocaust), oleh salah seorang filsuf terkemuka di negeri itu, yakni Theodor Adorno.

Kecenderungan di Indonesia untuk memraktekkan sejarah lisan dengan mengikuti praktek penelitian yang sudah ada sebenarnya tidak mengherankan. Sebelum sejarah lisan berkembang menjadi bidang tersendiri di Amerika Serikat, pelaku-pelakunya yang masih sangat jarang memahami wawancara dalam kerangka disiplin ilmu mereka masing-masing. David Boder, seorang ahli psikologi dan pengajar di sebuah universitas di Illinois , mengadakan penelitian sejarah lisan pertama tentang orang-orang yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi di Eropa pada tahun 1946. Ia mengadakan wawancara sebagaimana seorang psikolog melakukan eksperimen di laboratorium. Untuk menjaga agar reaksi fisiknya, sengaja atau tidak sengaja, tidak mempengaruhi orang yang diwawancarai.

Boder berbicara dari balik tirai sehingga bahasa tubuhnya tidak terlihat oleh orang yang diwawancarai. Tujuan kegiatan Boder ialah memperoleh kisah otentik yang berasal seluruhnya dari orang yang diwawancarai itu sendiri, tanpa dicemari dialog dengan pewawancara yang pasti memiliki prasangka. Ia melihat wawancara sebagai spoken literature, sastra lisan, sebagai semacam penuturan dari apa yang akan ditulis seseorang jika ia dibiarkan sendiri menyusun karangan dalam diam. Namun, transkrip dari rekaman wawancara itu menunjukkan bahwa orang yang diwawancarainya jarang melontarkan monolog dan cenderung memberikan jawaban-jawaban singkat seadanya terhadap pertanyaan-pertanyaannya, bahkan saat ia terus berusaha mendorong mereka untuk menceritakan apa yang disebutnya the whole story.

.

.

Daftar Pustaka

.

Abdullah, Taufik. 1982. Di Sekitar Pencarian dan Penggunaan Sejarah Lisan. Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 9. Jakarta : Arsip Nasional Republik Indonesia.

Adorno, Theodore W. 2003. Can One Live After Auschwitz ? A Philosophical Reader. Stanford: Stanford University Press.

Arsip Nasional Republik Indonesia. 1980. Arsip dan Sejarah. Jakarta.

Barzum, Jacques and Henry F Graff. 1977. The Modern Researcher. New York: Harcourt Brace Jovanovich Inc.

Baum, Willa K. 1982. Sejarah Lisan Untuk Masyarakat Sejarawan Setempat. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Boder, David.1949. I Did Not Interview the Dead. Urbana : University of Illinois Press.

Burguiere, Andre. 1986. Dictionaire des Sciences historiques, Paris: Presse Universitaire de Franco.

Butler, Judith. 2005. Giving an Account of Oneself. New York : Fordham University Press.

Davis, C. Kathryn, B. Kay, M. 1997. Oral History From Tape to Type. Chicago : American Library Association.

Dienaputra, R.D. 2007. Sejarah Lisan Metode dan Praktek. Bandung: Balatin Pratama.

Freud, Sigmund 1958 Remembering, Repeating and Working-through, The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, terj. dan ed. James Strachey, Vol. XII. London : Hogarth.

Hacking, Ian. 1995. Rewriting the Soul: Multiple Personality and the Sciences of Memory. Princeton: Princeton University Press.

Huen, P. Lim Pui, dkk. 2000. Sejarah Lisan di Asia Tenggara: Teori dan Metode. Jakarta: LP3ES.

Kartodirdjo, Sartono. 1991. Pengalaman Kolektif Sebagai Objek Sejarah Lisan, Lembaran Berita Sejarah Lisan, Nomor 13. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia.

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana.

LaCapra, Dominick. 2001. Writing History, Writing Trauma. Baltimore : Johns Hopkins University Press.

LaCapra, Dominick. 2004. History in Transit. Ithaca : Cornell University Press.

Lapian, A.B. 1985. Catatan Permulaan Bagi Pewawancara dalam Berita Lembaran Sejarah Lisan no 11 bulan Maret 1985.

Nordholt, Henk Schulte. 2004. De-colonizing Historiography, Centre for East and South-East Asian Studies, Lund University , Working Paper no. 6.

Philips, Adam. 2004. Close-Ups, History Workshop Journal, no. 57, hal.142-149

Portelli, Alessandro.1991. The Death of Luigi Trastulli and Other Stories. Albany : State University of New York Press.

Pranoto, S, W. 2014. Teori  Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Purwanto, B. 2006. Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?!. Yogyakarta : Ombak.

Riley, Denise. 2000. The Words of Selves: Identification, Solidarity, Irony. Stanford: Stanford University Press.

Sarumpaet, Ratna. 2004. Anak-Anak Kegelapan: Naskah Drama. Jakarta : Satu Merah Panggung.

Sasongko, Haryo H.D dan Melani Budianta. 2003. Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965. Jakarta : Lontar.

Seldon, Anthony and Joanna Pappworth. 1983. By Word of Mouth: Elite Oral History. London and New York: Methuen.

Sen, Krishna. 1992. Politics of Melodrama in Indonesian Cinema, dalam Melodrama and Asian Cinema, edited by Wimal Dissanayake. Cambridge : Cambridge University Press.

Setiawan, Hersri. 2004. Memoar Pulau Buru Magelang, Indonesia Tera

Soemartini. 1982. dalam Kata Pembukaan Kepala Arsip Nasional RI untuk acara Lokakarya Sejarah Lisan Arsip Nasional RI tanggal 14-17 Juni 1982 di Jakarta. Naskah dimuat secara utuh dalam Lembaran Berita Sejarah Lisan no. 9 bulan Oktober 1982

Suryawan, I Ngurah. 2005 Narasi Dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan di Bali. Yogyakarta : Ombak.

Thompson, Paul. 1978. The Voice of the Past Oral History. New York: Oxford University Press.

Thompson, Paul. 2012. Suara Dari Masa Silam: Teori Dan Metodologi Sejarah Lisan. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

.

.

Mengapa sejarawan sering menggunakan sumber tertulis dalam mengungkap suatu peristiwa sejarah