Menurut UUD NRI tahun 1945 yang meratifikasi perjanjian internasional adalah

Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Bentuk dan nama perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain : treaty, convention, agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, declaration, final act, arrangement, exchange of notes, agreed minutes, sumary records, proces verbal, modus vivendi, dan letter of intent. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut.

Ratifikasi Perjanjian Internasional

Ratifikasi adalah salah satu cara pengesahan, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian Internasional.[1]

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah hanya dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut dan dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.[2]

Pasal 10 UU 24/2000 menerangkan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

  1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

  2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

  3. kedaulatan atau hak berdaulat negara;

  4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

  5. pembentukan kaidah hukum baru;

  6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Ketentuan pasal di atas telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [“UUD 1945”] dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada Pasal 10 huruf a sampai dengan huruf f UU 24/2000 itulah yang mempersyaratkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang [hal. 266].

Maka, perjanjian internasional selain dari jenis perjanjian internasional yang diterangkan dalam Pasal 10 UU 24/2000 pun dapat disahkan melalui undang-undang.

Wewenang Mahkamah Konstitusi [MK] Menguji Undang-Undang

Pasal 24C ayat [1] UUD 1945 menguraikan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:

  1. menguji undang-undang terhadap UUD 1945;

  2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;

  3. memutus pembubaran partai politik; dan

  4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Pada dasarnya, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, namun apakah termasuk pula undang-undang ratifikasi perjanjian internasional?

Dalam artikel MK Tak Berwenang Uji UU Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional yang kami akses dari laman Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, MK tidak berwenang menguji hukum internasional yang disahkan menjadi undang-undang, meski salah satu wewenang MK menguji hukum di bawah UUD 1945.

Hal tersebut disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada, Fajrul Falaakh.

Contoh Pengujian Undang-Undang Pengesahan

Dalam amar putusannya, MK menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya [hal. 197].

Yang patut diperhatikan adalah dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.

Menurut Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, memang benar secara formil, pengesahan tersebut berbentuk undang-undang, namun secara materiil, bukan. Undang-undang demikian hanya salah satu bentuk atau model pengikatan diri Indonesia dalam suatu perjanjian internasional [hal. 200].

Terdapat perbedaan mendasar antara undang-undang secara umum dengan undang-undang pengesahan [hal. 201]:

  1. Tidak seperti undang-undang pada umumnya yang terbuka untuk dibahas dan direvisi, rancangan undang-undang ratifikasi hanya mengadopsi norma yang telah disepakati dalam sebuah perjanjian internasional yang tidak ada peluang untuk direvisi, kecuali perjanjian internasional itu sendiri memberi kemungkinan untuk itu;

  2. Materi muatan undang-undang pada umumnya langsung berlaku bagi setiap orang yang ada di Indonesia, sedangkan perjanjian internasional hanya mengikat negara yang membuat atau negara pihak perjanjian internasional;

  3. Pelaksanaan dari hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian internasional tidak serta merta berlaku bagi setiap warga negara sebagaimana halnya ketentuan undang-undang pada umumnya, tetapi harus diimplementasikan lebih lanjut dalam undang-undang atau bentuk kebijakan lainya.

Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva pada akhirnya menegaskan bahwa UU 38/2008 tidak dapat dijadikan objek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang MK [hal. 202].

Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati kemudian mengutarakan dalam dissenting opinion bahwa secara perundang-undangan, undang-undang pengesahan letaknya berbeda dengan undang-undang pada umumnya [hal. 202].

Hal ini dikarenakan, secara format atau bentuk luar keduanya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar terutama dalam pembahasan dan penulisan batang tubuh. Undang-undang pada umumnya memiliki banyak norma yang dapat dikelompokkan. Sementara, dalam undang-undang pengesahan, hanya terdapat dua pasal, pasal pertama mengenai pengesahan dan pasal kedua mengenai saat mulai berlakunya undang-undang [hal. 203].

Dalam pembentukan undang-undang pun terdapat pembahasan menyeluruh terhadap rancangan undang-undang, sementara dalam undang-undang pengesahan, Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden fokus pada pengesahannya, karena tidak dapat mengubah substansi [hal. 203].

Selain itu, norma undang-undang pun substansinya secara langsung ditujukan kepada setiap orang, sementara undang-undang pengesahan, substansinya ditujukan kepada pihak yang membuatnya saja [hal. 204].

Secara normatif, berdasarkan UUD 1945, MK memang berwenang menguji undang-undang pengesahan perjanjian internasional, akan tetapi jika permohonan pengujian tersebut terhadap substansi dalam undang-undang pengesahan perjanjian internasional, hal tersebut tak mungkin dapat terjadi, karena tidak terdapat materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut yang dapat dipertentangan dengan UUD 1945 [hal. 204]

Kesimpulan

Secara normatif, UUD 1945 memang memberikan kewenangan terhadap MK untuk menguji undang-undang, sehingga pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang pun menjadi cakupan kewenangan itu.

Namun, sebagaimana diterangkan oleh para hakim konstitusi dalam dissenting opinion mereka, status ‘undang-undang’ dari undang-undang pengesahan hanyalah secara formil, sementara secara materiil, undang-undang pengesahan tidak bisa disamakan dengan undang-undang pada umumnya, sehingga MK tidak dapat menguji undang-undang pengesahan perjanjian internasional.

Konsekuensinya, undang-undang pengesahan juga tunduk pada hierarki peraturan perundang-undangan bahwa bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi [hal. 132].

Namun, meski MK dapat melakukan judicial review terhadap suatu undang-undang ratifikasi bukan berarti secara otomatis hal ini juga mengubah perjanjian internasionalnya. MK hanya mengubah pemberlakuan perjanjian internasional tersebut khusus di Indonesia, sedangkan statuta asli perjanjian internasional tersebut masih tetap sama [hal 132].

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum [lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya]. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Referensi:

Ratifikasi Perjanjian Internasional

Perlu tidaknya perubahan terhadap undang-undang ratifikasi yang konvensi aslinya diubah adalah tergantung dari materi yang terdapat dalam perubahan konvensi tersebut.

Ratifikasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia berarti:

pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya pengesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum internasional.

Ratifikasi [pengesahan] sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional [“UUPI”], dalam Pasal 1 Angka 2 UUPI dijelaskan bahwa:

Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk pengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional dalam bentuk ratifikasi [ratification], aksesi [accession], penerimaan [acceptance] dan penyetujuan [approval].

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.[1]

Terdapat dua bentuk ratifikasi yakni pengesahan menggunakan undang-undang dan pengesahan menggunakan keputusan presiden. Jika menggunakan pengertian ini maka semua perjanjian internasional memerlukan ratifikasi/pengesahan ke dalam hukum nasional. Ratifikasi dalam Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional [“KW 1969”] adalah persetujuan atau konfirmasi kesediaan untuk diikat oleh perjanjian internasional.

Dalam hukum internasional, menurut Sefriani dalam bukunya Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer [hal.102] ratifikasi bukan merupakan pengesahan tetapi persetujuan, konfirmasi, kesediaan Negara untuk tunduk [consent to be bound] dan diikat oleh suatu perjanjian internasional.[2]

Jadi dengan meratifikasi sebuah perjanjian internasional berarti Indonesia bersedia terikat dan menerima hak dan kewajiban yang timbul akibat perjanjian tersebut. Pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang dilakukan apabila menyangkut hal-hal yang fundamental. Hal ini sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 [“UUD 1945”] yang menyebutkan bahwa:

  1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

  2. Persiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

  3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Pasal tersebut memang tidak menjelaskan proses pengesahan secara eksplisit, namun yang dijelaskan lebih pada prasyarat ratifikasi melalui undang-undang dalam hal menimbulkan akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat. jika prasyarat ini terpenuhi maka Presiden memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat [“DPR”] untuk meratifikasi.

Selanjutnya dijelaskan lebih terperinci dalam Pasal 10 UUPI bahwa:

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:

  1. masalah politik, perdamaian, pertahanan dan keamanan Negara;

  2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia.;

  3. kedaulatan atau hak berdaulat Negara;

  4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

  5. pembentukan kaidah hukum baru;

  6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Namun, terhadap perjanjian internasional yang tidak mengatur hal-hal pada pasal tersebut, maka tidak diperlukan ratifikasi menggunakan undang-undang terhadapnya, ratifikasi cukup dilakukan melalui Keputusasn Presiden sebagaimana tertuang dalam Pasal 11 UUPI, yakni:

  1. Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden.

  2. Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi.

Pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018, kriteria perjanjian internasional yang pengesahannya perlu mendapat persetujuan DPR diperluas dengan ditambahkan area perjanjian internasional lain yang menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan Negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang. Lalu putusan ini dapat juga dikatakan mempersempit lingkup ratifikasi dalam bentuk undang-undang karena tidak semua jenis perjanjian harus memperoleh persetujuan DPR.

Meskipun masuk dalam kategori sebagaimana dimaksud Pasal 10 UUPI, masih perlu dilihat apakah perjanjian tersebut menimbulkan akibat luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara atau tidak. Dalam pertimbangannya, Mahkamah mendasarkan pada semangat pembukaan UUD 1945, hakikat kekuasaan eksekutif, dan memperhatikan praktik negara-negara berdaulat, keterlibatan parlemen atau lembaga perwakilan rakyat dalam proses pemberian persetujuan pembuatan perjanjian internasional umumnya tidak diberlakukan pada semua perjanjian internasional, melainkan hanya terhadap perjanjian internasional yang dianggap penting saja.

Perlukah Undang-Undang Ratifikasi Diubah Jika Perjanjian Internasional Berubah?

Maka dari itu menjawab pertanyaan Anda, perlu diperhatikan terlebih dahulu perihal materi apa yang diatur dalam perubahan konvensi internasional tersebut. Apakah perubahan konvensi tersebut mengatur perihal hal-hal yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UUPI dan Putusan a quo Mahkamah Konstitusi. Jika terhadap perubahan konvensi internasional bertentangan dengan berbagai aspek yang fundamental sebagaimana prasyarat dalam UUPI dan putusan MK maka perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang ratifikasinya.

Sebaliknya, jika perubahan tersebut masih sejalan dengan dasar-dasar dan ideologi bangsa dan memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud UUPI dan Putusan MK maka undang-undang ratifikasinya tidak perlu diubah. Hal ini disebabkan karena perubahan terhadap undang-undang memerlukan tahapan yang tidak sederhana dan cenderung memakan waktu yang lama. Terhadap perjanjian internasional yang tidak termasuk dalam kategori berdampak luas maka dalam pengesahannya hanya diperlukan keputusan presiden saja.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermafaat.

Dasar Hukum:

Putusan:

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018.

Referensi:

  1. Sefriani. 2016. Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer . Jakarta : Rajawali Pers.

[2] Sefriani, Peran Hukum Internasional dalam Hubungan Internasional Kontemporer [ Rajawali Pers: Jakarta, 2016] hlm. 102

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề