Mustafa wafat ahli waris terdiri dari istri ibu, bapak 1 anak laki-laki dan 3 anak perempuan
You're Reading a Free Preview
Oleh: Drs. H. Nur Mujib, MH. Hakim pada Pengadilan Agama Jakarta Timur Hukum Kewarisan sebagai salah satu bagian dari hukum kekeluargaan (al-ahwalus syahsiyah) sangat penting dipelajari agar supaya dalam pelaksanaan pembagian harta warisan tidak terjadi kesalahan dan dapat dilaksanakan dengan seadil-adilnya, sebab dengan mempelajari hukum kewarisan Islam, maka bagi ummat Islam, akan dapat menunaikan hak-hak yang berkenaan dengan harta warisan setelah ditinggalkan oleh muwarris (pewaris) dan disampaikan kepada ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Dengan demikian seseorang dapat terhindar dari dosa yakni tidak memakan harta orang yang bukan haknya, karena tidak ditunaikannya hukum Islam mengenai kewarisan. Hal ini lebih jauh ditegaskan oleh rasulullah saw. yang artinya: “Belajarlah Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi akan ada dua orang berselisih, tetapi tak akan mereka bertemu seorang yang akan mengabarkannya (HR. Ahmad Turmudzi dan an-Nasa’i”). Berdasarkan hadits tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu kewarisan adalah sangat penting, apalagi bagi para penegak hukum Islam menguasai ilmu faroid adalah mutlak adanya, sehingga bisa memenuhi harapan yang tersurat dalam hadits rasulullah di atas. Hukum kewarisan bagi umat Islam Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), yaitu dalam Buku II KHI yang terdiri dari pasal 171 sampai dengan pasal 214. Dalam pasal 171 KHI, ada beberapa ketentuan umum mengenai kewarisan ini, yaitu:
Seorang ahli waris mendapatkan bagian warisan adakalanya dengan jalan mengambil bagian sebagai ahli waris dzawil furudl dan adakalanya dengan jalan mengambil bagian sebagai ahli waris ashabah. KHI menyebut kata ahli waris dzawil furudl sebanyak 2 kali dalam bab IV ketika menjelaskan aul dan rad, yaitu dalam pasal 192 dan 193 dan menyebut kata ashabah sebanyak sekali saja, yaitu dalam pasal 193, ketika menjelaskan tentang rad. Pasal 192 KHI mengatur tentang aul yaitu, apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furudl menunjukkan bahwa angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang dan baru sesudah itu harta warisannya dibagi secara aul menurut angka pembilang. KHI hanya menyebut istilah dzawil furudl dan istilah ashabah, akan tetapi KHI tidak memberikan penjelasan lebih lanjut tentang apa dan siapa yang dimaksud dengan ahli waris dzawil furudl dan apa dan siapa yang dimaksud dengan ahli waris ashabah itu. Untuk itu kita kembali kepada pengertian fikih klasik bahwa yang dimaksud dengan ahli waris dzawil furudl ialah ahli waris yang memperoleh bagian tertentu (al-furudl al-muqaddarah) dari harta warisan, seperti 2/3, 1/2, 1/3, 1/4, 1/6 dan 1/8. Ahli waris ashabah ialah ahli waris yang menerima harta peninggalan tidak berdasarkan jumlah tertentu (al-furudl al-muqaddarah), akan tetapi menerima sisa harta peninggalan setelah dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris dzawil furudl. Pasal 193 KHI mengatur tentang rad yaitu, apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris Dzawil Furudl menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris sedang sisanya dibagi berimbang di antara mereka. Selanjutnya KHI mengatur kewarisan ayah dan ibu dalam pasal-pasal 174, 177 dan 178. Pasal 174 KHI menjelaskan tentang siapa-siapa ahli waris itu, terdiri 2 ayat.
- golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. - golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek.
Dari ketentuan pasal ini dapat disimpulkan bahwa ayah dan ibu (dan anak, janda atau duda), dalam kondisi apapun, selain karena halangan memperoleh warisan menurut pasal 173 KHI, selalu mendapatkan bagian warisan. Dengan demikian tidak ada ahli waris yang bisa menghalangi “menghijab” kewarisan ayah dan ibu (orangtua). Halangan memperoleh waris menurut pasal 173 KHI adalah : Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena :
Pasal 177 menjelaskan tentang besarnya bagian ayah yaitu bahwa ayah mendapat 1/3 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat 1/6 bagian. Pasal 178 menjelaskan tentang besarnya bagian ibu :
Pasal 177 dan 178 ayat (1) KHI mengatur kewarisan ayah dan ibu secara umum (lex generalis), sedang pasal 178 ayat (2) KHI mengatur kewarisan ayah dan ibu secara khusus (lex specialis), yaitu bila ahli waris hanya terdiri dari ayah, ibu dan salah satu dari duda atau janda. Dari ketentuan pasal 177 dan 178 ayat (1) dapat dijelaskan bahwa pasal-pasal tersebut mengatur kewarisan ayah dan ibu secara umum (lex generalis) dalam tiga kondisi, yaitu : 1. Bila tidak ada anak, 2. Bila bersama dengan anak dan 3. Bila bersama beberapa orang saudara.
Kalau secara fikih klasik, maka yang 1/3 itu menjadi bagian ayah sebagai ahli waris ashabah, sehingga dalam kondisi ini ibu mendapat 1/3 bagian dan ayah mendapat 2/3 bagian.
Sistem rad dalam hukum kewarisan KHI diatur secara imperatif dalam pasal 193, sebagai cara untuk membagikan sisa harta warisan yang tidak habis dibagi. Sedang dalam fikih klasik, sistem rad tidak ditunjuk secara imperatif oleh nas, baik al-Qur’an maupun al-Hadits, tetapi diperoleh melalui metode ijtihad. Pasal 178 ayat (2) mengatur secara khusus (lex specialis) kewarisan ayah dan ibu (orangtua) bila bersama dengan ahli waris salah satu dari janda atau duda. Bila salah satu dari orang tua tidak ada, hanya ayah atau ibu saja misalnya, atau disamping janda atau duda ada ahli waris lain, maka ketentuan pasal 178 ayat (2) ini tidak bisa diberlakukan dan kewarisan orang tua kembali menggunakan ketentuan kewarisan orang tua secara umum (lex generalis) menurut ketentuan pasal 177 dan 178 ayat (1). Ada dua kondisi kewarisan ayah dan ibu yang digambarkan oleh pasal 178 ayat (2) ini, yaitu 1. Ketika ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan janda dan 2. Ketika ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan duda. Dalam kondisi pertama, ahli waris terdiri ayah, ibu dan janda, maka janda mendapat 1/4 bagian (sesuai ketentuan pasal 180 KHI), ibu mendapat 1/3 bagian dari sisa, yaitu 1/3 dari 3/4 bagian harta warisan setelah janda mengambil bagiannya, yaitu ibu mendapat 1/4 bagian. Ayah mendapat 2/4 bagian dengan jalan mengambil sisa setelah ibu mengambil bagiannya atau sebagai ahli waris ashabah khusus dalam kasus ini. Dalam kondisi kedua, ahli waris terdiri ayah, ibu dan duda, maka duda mendapat 1/2 bagian (sesuai ketentuan pasal 179 KHI). Ibu mendapat 1/3 bagian dari sisa, yaitu 1/3 dari 1/2 bagian harta warisan setelah duda mengambil bagiannya, yaitu ibu mendapat 1/6 bagian. Ayah mendapat 2/6 atau 1/3 bagian dengan jalan mengambil sisa setelah ibu mengambil bagiannya atau sebagai ahli waris ashabah khusus dalam kasus ini. Dua kasus kewarisan ayah, ibu dan salah satu dari janda atau duda dalam pasal 178 ayat (2) ini, pernah terjadi pada masa khalifah Umar Bin Khattab ra, oleh karena itu dua kasus itu dalam sejarah ilmu waris “ilmu faraidl” dikenal dengan sebutan “masalah Umariah”, karena sahabat Umar Bin Khattab ra yang memutuskan kedua masalah tersebut dan didukung oleh jumhur sahabat. Kedua masalah tersebut juga dinamakan dengan “masalah ghorrowain”, sebagai bentuk tasniah dari lafal “ghorro”, yang artinya cemerlang. Dinamakan demikian karena kemasyhuran dua masalah tersebut laksana dua cahaya bintang yang cemerlang. Di dalam masalah tersebut ibu mendapat 1/3 dari sisa, setelah diambil bagian duda atau janda, bukan 1/3 dari seluruh harta warisan. Kedua kasus ini timbul di kalangan sahabat pada masa kekhalifahan Umar Bin Khattab ra dan dalam masalah tersebut terdapat dua pendapat. Pendapat pertama yaitu pendapat Zaid Bin Tsabit ra yang didukung oleh jumhur sahabat (umumnya sahabat) dan Umar Bin Khattab ra melaksanakan hukum dengan pendapat tersebut, yaitu ibu mendapat 1/3 bagian dari sisa. Pendapat kedua adalah pendapat Ibnu Abbas ra, ia menetapkan bahwa ibu mendapat 1/3 bagian dari seluruh harta warisan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa KHI menempatkan ayah dan ibu secara umum ke dalam kelompok ahli waris dzawil furudl yaitu dalam ketentuan pasal 177 dan 178 ayat (1). Tidak ada petunjuk yang jelas bahwa KHI menempatkan ayah kedalam kelompok ahli waris ashabah, kecuali dalam masalah ghorrowain atau umariyah, seperti tersebut dalam pasal 178 ayat (2), yaitu ketika ahli waris hanya terdiri dari ayah, ibu dan salah satu dari janda atau duda. Dalam ketentuan pasal ini dapat dipahami bahwa apabila ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan salah satu dari janda atau duda, maka ayah mengambil sisa harta (sebagai ashabah) setelah janda atau duda dan ibu mengambil bagiannya masing-masing. Wallahu a’lam bisshawab. |