Orang yang meminta kembali barang yang sudah diberikan kepada orang lain seperti brainly

BOLEHKAH JUAL HARTA WAKAF ?

Rabu, 31 Oktober 2018

Orang yang meminta kembali barang yang sudah diberikan kepada orang lain seperti brainly

Penulis : Isnawati, Lc. MA
Hukum Dasar Menjual Harta Wakaf ”Dari Ibnu Umar ra berkata bahwa Umar bin al- Khattâb mendapat sebidang tanah di khaibar. Beliau mendatangi Rasulullah SAW meminta pendapat beliau,"Ya Rasulallah, aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar yang belum pernah aku dapat harta lebih berharga dari itu sebelumnya. Lalu apa yang anda perintahkan untukku dalam masalah harta ini?". Maka Rasulullah SAW berkata,"Bila kamu mau, bisa kamu tahan pokoknya dan kamu bersedekah dengan hasil panennya. Namun dengan syarat jangan dijual pokoknya (tanahnya), jangan dihibahkan, jangan diwariskan". Maka Umar ra bersedekah dengan hasilnya kepada fuqara, dzawil qurba, para budak, ibnu sabil juga para tetamu. Tidak mengapa bila orang yang mengurusnya untuk memakan  hasilnya atau memberi kepada temannya secara makruf, namun tidak boleh dibisniskan.” (Al-Bukhari, Shahîh Al-Bukhârî, (Ttp, Darel Thuq An-Najah, 1422H), cet. 1, jilid 3, h. 198, no. 2737)  
1.     Jumhur Berdasarkan hadis di atas, maka jumhur ulama bersepakat harta wakaf tidak boleh dijual. Ketika seseorang berwakaf menurut jumhur ulama, telah lepaslah kepemilikan harta tersebut dari si wakif untuk selama-lamanya, dan berpindah kepemilikannya sepenuhnya kepada Allah.
2.     Abu Hanifah Beliau dalam hal ini membolehkan jika seorang wakif menarik kembali harta wakafnya atau menjualnya jika hal tersebut atas keinginan wakif sendiri semasa hidupnya. Karena bagi beliau akad wakaf sifatnya tidak lazim, dia seperti akad ’ariyah (Pinjam), dimana dalam akad pinjam seseorang meminjamkan hartanya kepada orang lain, pada saat itu subtansinya dia memberikan manfaat pada orang lain, tapi dari segi kepemilikan harta tersebut tetap menjadi milik dia, suatu saat jika dia ingin menarik atau meminta kembali, maka sah dan boleh saja. Begitu pula dalam wakaf menurut Abu Hanifah, kepemilikan harta wakaf ketika diwakafkan masih sepenuhnya hak wakif, hanya manfaatnya yang dia sedekahkan kepada orang lain. Yang artinya wakif masih punya kewenangan sepenuhnya terhadap harta wakafnya. Baik dia ingin menjualnya, atau hanya mewakafkannya untuk batasan waktu tertentu, silahkan saja dengan syarat itu dilakukan oleh wakif sendiri semasa hidupnya.  

B.    
Tukar Guling (Istibdal/Ruislag)

1.     Pengertian Tukar Guling Istilah tukar guling dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah istibdâl. Secara bahasa adalah meminta ganti atau badal. Fahruroji menjelaskan secara lebih luas, bahwa tukar guling di dalam fikih adalah menjual harta benda wakaf untuk dibelikan harta benda lain sebagai penggantinya, baik harta benda pengganti itu sama dengan harta benda wakaf yang dijual atau berbeda. Adapula yang mengartikan mengeluarkan suatu harta benda dari status wakaf dan menggantikannya dengan harta benda lainnya. Adapun ibdâl adalah penggantian harta benda wakaf dengan harta benda wakaf lainnya. (Fahruroji, Tukar Guling Tanah Wakaf Menurut Fikih dan Peraturan Perundang-undangan, (Tangerang: Pustaka Mandiri, 2016), Cet. Ke-1, h. 7) Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa istibdal adalah perbuatan menukar harta benda wakaf dengan harta benda lainnya. Seperti menjual tanah wakaf kemudian hasil penjualannya dibelikan kembali tanah sebagai pengganti tanah wakaf yang dijual.  

2.    
Macam-macam Istibdâl (Tukar Guling)
Dalam pelaksanaannya istibdal bisa terjadi dengan beberapa model:
a.       Pengganti Sejenis Istibdâl wakaf dengan harta benda pengganti yang sejenis. Contoh tanah wakaf ditukar dengan tanah wakaf, tanah wakaf yang di atasnya ada bangunan masjid harus ditukar dengan tanah wakaf yang di atasnya ada masjid.
b.      Pengganti Tidak Sejenis Istibdâl wakaf dengan harta tidak sejenis. Contoh menukar tanah wakaf dengan bangunan. Seperti yang pernah terjadi di Aceh. Tanah seluas 4.831 M² yang terletak di Desa Kute Lintang kecamatan Bukit Kabupaten Bener Meriah Provinsi D. I. Aceh. Nazhir menjual tanah wakaf tersebut seharga Rp. 45.000.000,00 dan uang hasil penjualan dipergunakan untuk membangun mushola di tiga desa.
c.       Parsial Istibdâl wakaf parsial, yaitu menjual sebagian tanah wakaf, dan uang hasil penjualannya digunakan untuk membiayai pengembangan sisa dari tanah wakaf yang tidak dijual.
d.      Kolektif Istibdâl wakaf kolektif yaitu menjual aset wakaf yang sudah tidak produktif, dengan satu aset wakaf yang produktif. Contoh yang terjadi di Singapura, MUIS Menggunakan instrument istibdal dalam mengembangkan tanah wakaf, yaitu dengan menukar 20 tanah wakaf yang nilainya rendah, dan hasilnya sedikit menjadi tanah wakaf yang bernilai tinggi dan hasilnya banyak.  

C.     Tukar Guling Harta Wakaf Dalam Fiqih


1.     Madzhab Hanafi
Al-Kasâni menyebutkan di dalam madzhab Hanafi menukar harta wakaf dibolehkan apabila wakif mensyaratkan di dalam ikrar wakaf, dan ini merupakan pendapat dari Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad. Dari Abû      Yûsuf,   apabila seorang wakif mensyaratkan bagi dirinya untuk menjual harta wakaf dan menggantinya dari hasil tersebut harta wakaf yang lebih baik maka hukumnya boleh. Sesungguhnya menetapkan syarat dalam wakaf, tidak membatalkan wakaf. Karena menjual pintu masjid ketika dia rusak, atau menjual pohon wakaf yang telah kering, kemudian menggantinya dengan yang lain sesungguhnya itu tidak memutus wakaf. Namun apabila di dalam ikrar wakaf tidak mensyaratkan, maka menurut Abû Hanîfah dan Muhammad tidak boleh, sedangkan menurut AbûYusuf tetap boleh.
2.     Madzhab Maliki
“Menurut ulama kami, tidka diperbolehkan menjual harta wakaf, kecuali berupa rumah yang berada disamping masjid, kemudian diperlukan untuk perluasan masjid. Maka mereka membolehkan melakukan penukaran dengan syarat hasil dari penjualan rumah tersebut dipergunakan untuk membeli harta wakaf pengganti.” (al-Ghârnâthî, Al-at-Tâj wal Iklîl li Mukhtashar Khalîl, (tt.p:, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1416 H/1994 H), Cet. ke-1, jilid. 7, h. 663
3.     Madzhab Asy-Syafi’i
“sehingga tidak bisa dipakai untuk shalat, maka hal tersebut tidak dapat mengembalikan kepemilikan  kepadanya, dan tidak boleh menjual atau menukarnya, karena kepemilikan atas masjid tersebut telah dan selamanya milik Allah. Tidak akan kembali meski telah terjadi sirna. Sama seperti seorang budak yang telah dimerdekakan, maka akan selamanya dia merdeka setelah itu. Adapun jika seseorang mewakafkan kebun kurma, kemudian kurma tersebut kering, atau mewakafkan hewan ternaknya, kemudian hewan tersebut  sakit- sakitan, atau mewakafkan batang kurma kemudian batang tersebut lapuk, maka dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan  haram  melakukan  penukaran, seperti halnya wakaf masjid. Pendapat kedua mengatakan boleh, karena harta wakaf tersebut sudah  tidak  dapat  diharapkan   memberi manfaat, maka menjualnya itu lebih baik daripada membiarkannya rusak  tanpa  ada  gunanya,  hal itu berbeda dengan masjid yang masih dapat digunakan melakukan shalat disitu meskipun dalam keadaan rusak. Apabila barang- barang wakaf tersebut ditukar, nilai barang penukar harus senilai barang wakaf…” (Asy-Syairâzi, al-Muhadzdzab, (tt. p, Darel kutub al-‘Ilmiyah, tt), Vol. 2, h. 331.)
“Pendapat yang paling kuat adalah boleh menjual menjual harta benda wakaf berupa puing-puing masjid jika telah rusak, atau ada ganti yang lebih dari baik dari yang ada tersebut, supaya harta wakaf tersebut tidak hilang dan sirna begitu saja tanpa memberi manfaat. Hasil penjualannya dibelikan kembali gantinya, maka disini tidak masuk dalam kaidah menjual, karena harta wakaf tersebut tergantikan, yang baru menggantikan yang telah tiada. (Asy-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, (tt. p, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1415H/1994M), Cet. ke-1, Vol. 3, h. 550)
4.     Madzhab Hambali
“Sesungguhnya Imam Ahmad bin Hambal membolehkan mengganti masjid dengan masjid yang lain karena untuk kemashlahatan, begitu juga mengubahnya. Pendapat ini berdasarkan hadis Umar, bahwasanya Umar RA menukar masjid kufah yang lama dengan masjid yang lain. Sehingga bekas masjid yang lama kemudian menjadi pasar kurma. Dan Imam Ahmad juga membolehkan seandainya ditimpa  musibah seperti tsunami, maka boleh memindahkan masjid yang  ada  disana  ke  tempat  yang  lain.  Bahkan boleh menukar masjid, misalkan warganya disana sudah tidak butuh lagi terhadap masjid tersebut, kemudian masjid itu dijual dan hasilnya dibangunkan kembali masjid di tempat  yang lain. (Ibnu  Taimiyah,  Majmu’  al-Fatâwa, (Suadi Arabia: Majma’ Malik Fahd, 1416 H/1995M), Vol. ke-31, h. 266)
5.     Madzhab Azh-zhahiri
Apabila seseorang mewakafkan hartanya, kemudian mengatakan akan menjualnya jika dia membutuhkan, dari segi hukum wakafnya sah, tapi syarat  dalam  ikrar  wakaf  merujuk  kembali  harta wakaf adalah syarat yang bâthil. (Ibnu Hazm, al-Muhalla, jilid 8, h. 161)  

Di antara empat madzhab tersebut, disamping ada perbedaan-perbedaannya, juga ada persamaan- persamaannya, antara lain :

  1. Secara umum para ulama melarang tukar guling tanah wakaf terhadap harta wakaf. Terutama kalau harta wakafnya berupa masjid kalau tanpa alasan yang dibenarkan secara syariah.
  2. Mereka sepakat untuk sebisa mungkin barang wakaf harus dijaga kelestariannya dan dilindungi keberadaannya.
  3. Menurut mayoritas ulama penukaran atau merubahharta wakaf hanya dibolehkan apabila ada kemashlahatan, atau dalam kondisi darurat atau untuk mempertahankan manfaatnya. Dengan syarat hasil penukaran maupun penjualan barang wakaf harus diwujudkan menjadi barang wakaf penggantinya.
  4. Dan pelaksanaan tukar guling dengan seizing atau melibatkan qadhi (hakim) atau pemerintah dalam pelaksanaaannya menurut sebagian mereka.  

D.    Tukar Guling Wakaf dalam Hukum Positif
1.     PP Nomor 28 Tahun 1977 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun1977 terdiri dari 7 Bab dan 18 Pasal.36 Pada Bab IV dan Bab IV, Pasal 11 sampai Pasal 14 telah diatur ketentuan mengenai istibdal tanah wakaf, sebab dan akibatnya. Pada Pasal 11 ayat (1) berbunyi, bahwa pada dasarnya tanah milik yang telah di wakafkan tidak dapat dilakukan perubahan peruntukkan atau penggunaan lainnya dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Isi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dibuat semuanya bertujuan supaya tanah yang diwakafkan tidak disalah gunakan pemanfaatannya sesuai dengan tujuan diwakafkannya.

2.    
Kompilasi Hukum Islam
Perubahan status atau tukar menukar tanah wakaf dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur dalam buku III, Bab IV Pasal 225 ayat (1) dan ayat (2), Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf.

3.    
UU No.41 Tahun 2004
Undang-Undang Wakaf No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, merupakan penyempurna dari Peraturan Pemerintah sebelumnya, yang berkaitan dengan perwakafan di Indonesia, yaitu instruksi Prisiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Buku III Hukum Perwakafan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Hukum dan aturan istibdal dalam Undang- Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf ini, dimasukkan dalam“hukum pengecualian“. Seperti disebut dalam BAB IV Pasal 40 dan 41 ayat (1).Dalam Pasal 40 dinyatakan secara tegas, bahwa Harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang , dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.

4.    
PP No. 42 Tahun 2006
Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah tukar guling terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 . PadaBab VI dan Bab V menjelaskan tentang penukaran tanah wakaf dan mekanisme pelaksanaannya. Dalam Bab IV Pasal 49 berbunyi: “Perubahan status harta benda wakaf dalam bentuk penukaran dilarang kecuali dengan izin tertulis dari Menteri berdasarkan pertimbangan BWI.”   Izin tertulis dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat(1) hanya dapat diberikan dengan pertimbangan sebagaiberikut: Perubahan harta benda wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana tataruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundangan dan tidak bertentangan dengan prinsip Syariah.   Kemudian Pasal 51 mengatur mekanisme pelaksanaan penukaran tanah wakaf. Penukaran terhadap tanah wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut;
Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar menukartersebut;

  1. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama kabupaten/kota;
  2. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kotamadya setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat(3), dan selanjutnya Bupati / Walikota setempat membuat Surat Keputusan;
  3. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten / Kota. meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penilaian dari tim kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri; dan
  4. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri,maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.

Sumber : www.rumahfiqih.com