Orang yang merugi adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan

Yang namanya manusia pasti selalu ingin untung, tidak mau rugi. Sayangnya… ada 2 hal yang sering disia-siakan oleh manusia sehingga ia menjadi seorang yang rugi bahkan bangkrut di dunia maupun akhirat.

“Ada dua kenikmatan yang banyak dilupakan oleh manusia, yaitu nikmat sehat dan waktu luang.” (Muttafaqun ‘alaih)

Ibnul Jauzi dalam kitab yang sama mengatakan, ”Terkadang manusia berada dalam kondisi sehat, namun dia tidak memiliki waktu luang karena sibuk dalam aktivitas dunia. Dan terkadang pula seseorang memiliki waktu luang, namun dia dalam keadaan sakit. Apabila tergabung kedua nikmat ini, maka akan datang rasa malas untuk melakukan ketaatan. Itulah manusia yang telah tertipu (terperdaya).

Lalu bagaimana agar tidak merugi?

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr. :1-3)

1. Beriman pada Allah dengan sebenar-benarnya

Orang beriman takkan merugi. Mengapa? Karena keimanan akan membuatnya senantiasa mengingat Allah di sepanjang waktu hidupnya. Orang yang senantiasa mengingat Allah biasanya akan berfikir ulang sebelum melakukan sesuatu yang buruk.

Abdullah bin Busr dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Beruntunglah bagi orang yang mendapatkan di dalam catatan amalnya istighfar yang banyak.” (HR Ibnu Majah No 3808

Memang bukan amal shalih yang dapat membawa seseorang memperoleh surga, melainkan karena kasih sayang Allah semata. Namun dengan beramal shalih secara ikhlas karena Allah juga dapat menjadi cara agar Allah melimpakan kasih-sayangnya kepada umat-Nya. Dan setiap perbuatan memang tidak akan pernah sia-sia.

“Dan orang yang beriman dan mengerjakan amal kebajikan, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan janji Allah itu benar. Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (QS. An-Nisa’ 4: Ayat 122)

  1. Saling menasihati sesama saudara seiman

Setiap umat muslim harus saling menasihati saudara seimannya. Bahkan jika ada muslim yang shalih namun seumur hidupnya tidak pernah mengingatkan saudaranya yang berbuat salah, ia juga tidak dapat memasuki surga. Ini menunjukkan betapa pentingnya mengingatkan sesama muslim.

Manfaatkan waktu sebaik-baiknya agar kita tidak menjadi hamba-Nya yang merugi. (SH/RI)

Orang yang merugi adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan

Orang yang merugi adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan

BincanSyariah.Com – Salah satu nikmat tertinggi yang diberikan Allah kepada manusia adalah waktu, oleh karena itu agar tidak menjadi manusia merugi karena waktu seharusnya kita harus mampu memanfaatkannya dengan efektif dan efisien untuk menjalankan tugas sebagai hamba Allah di muka bumi.

Pentingnya waktu ini terlihat dari adanya sumpah Allah SWT dalam beberapa permulaan surat dalam al-Qur’an dengan berbagai macam bagian dari waktu. Dalam Majmu Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin dijelaskan bahwa ketika Allah bersumpah terhadap sesuatu, maka ini menandakan dan mengingatkan hamba-Nya bahwa hal tersebut penting dan harus diperhatikan.  Firman Allah dalam Qur’an surat Al-Ashr (103) ayat 1-3 :

Orang yang merugi adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan

(3)وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-Ashr; 1-3)

Ayat ini menegaskan bahwa betapa meruginya manusia yang tidak mampu memanfaatkan waktu yang diberikan oleh Allah dengan baik. Bahkan mampu menghargai dan menggunakan waktu dengan optimal merupakan salah satu ciri-ciri seorang pribadi muslim yang ideal.

Sadarkah kita bahwa Allah memberikan waktu kepada setiap manusia dengan durasi yang sama dalam satu harinya yakni 24 jam, namun mengapa hasilnya berbeda? Apa yang menyebabkan hal itu?

Risa Arisanti dalam bukunya Smart Mom Secret dalam sub tema yang membahas mengenai manajemen waktu menjelaskan bahwa pada umumnya kita sebagai manusia telah berikhtiar untuk mengatur dan me-manage waktu yang ada sebaik mungkin. Namun ternyata dibalik semua itu ada faktor lain di luar kuasa manusia.

Kita perlu menyadari bahwa ada rahasia penting yang agak sulit untuk dihitung secara matematis dan dipahami oleh akal manusia, bahkan penjelasannya akan terasa abstrak dan hanya mampu dirasakan dan dinikmati, hal itu adalah keberkahan waktu.

Menurut Dr. Nashir Ibn ‘Abdirrahman Al-Juda’i dalam At-Tabarruk Anwa’uhu wa Ahkumuhu berkah berarti tetap dan terus melekat. Selanjutnya dalam Mu’jam Maqayisil Lughah yang dikutip olehnya berkah berarti tetapnya sesuatu, selanjutnya lafadz ini berkembang dan memiliki beberapa turunan kata dan bisa juga dimaknai sebagai bertambah atau berkembangnya sesuatu. Lebih lanjut, dalam al-Qur’an dan As-Sunnah, berkah diartikan sebagai langgeng dan atau bertambahnya kebaikan.

Apabila waktu yang diberikan oleh Allah kita habiskan untuk melakukan kegiatan yang diridhai-Nya, maka tanpa kita sadari waktu yang tersisa bukannya berkurang tapi justru tepat guna dan sasaran.  Risa Arisanti menjelaskan pula bahwa salah satu cara untuk menjaga keberkahan waktu adalah dengan membaca Al-Qur’an.

Apabila kita gunakan waktu kita untuk membaca Al-Qur’an, maka Allah akan banyak memberikan kemudahan dan keberkahan atas waktu yang tersisa. Keberkahan waktu yang diperoleh oleh masing-masing manusia memang sulit diukur mengingat waktu yang diberikan Allah kepada manusia sama. Keberkahan dari waktu tersebutlah yang membuat hasilnya berbeda.

Banyak para ulama yang mampu menghasilkan karya-karya yang agung yang hingga saat ini masih kita kaji, bahkan ada yang jumlahnya melebihi bilangan umur mereka, misalnya Ahli Tafsir, Imam Al-Thabari berhasil menulis kurang lebih 350 ribu halam dalam kitab tafsirnya. Padahal saat itu belum ada mesin ketik atau komputer yang canggih seperti saat ini. Mereka menggunakan tangan dan peralatan yang sangat sederhana dan tentunya dihadapkan dengan berbagai macam keterbatasan lainnya.

Mengapa mereka bisa? Jawabannya, karena keberkahan waktu yang mereka miliki. Dari mana kita dapat memperoleh keberkahan waktu ? dari membaca Al-Qur’an.

Risa Arisanti di akhir penjabarannya mengatakan bahwa “jangan membaca Al-Qur’an di waktu luangmu, tapi luangkanlah waktumu untuk membaca Al-Qur’an”.

Terlebih saat ini kita sedang menyambut datangnya bulan suci ramadhan, bulan yang penuh dengan berkahnya. Dalam Ma’alim Fi Thariq Thalabil ‘Ilmi dikatakan bahwa Imam Syafi’i menghabiskan waktunya selama bulan ramadhan untuk membaca Al-Qur’an, sehingga dia mampu mengkhatamkan Al-Qur’an dalam dua kali sholatnya. Artinya, Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an sebanyak kurang lebih 60 kali selama bulan ramadhan.

Mari teladani Imam Syafi’i, ulama yang sangat berpengaruh tersebut, mari kita atur waktu kita sebaik mungkin untuk menyambut bulan suci ramadhan dan mulai membiasakan diri untuk meluangkan waktu membaca Al-Qur’an. Mari kita habiskan anugerah luar biasa yang diberikan Allah untuk melakukan hal-hal produktif yang dapat mendatangkan keberkahan dalam hidup kita. Semoga Allah SWT selalu melimpahkan keberkahannya kepada kita semua, Aamiin. Wallahu ‘Alam…

Nikmat yang tiada bandingannya ialah ridha Allah.

Izzuddin memulai pembahasan dalam kitabnya dengan mengungkapkan sebuah fakta bahwa kebanyakan umat manusia sebenarnya masuk dalam kategori merugi. Hanya sedikit saja yang beruntung. Ia berpendapat tolak ukurnya cukup sederhana. Untuk mengukur merugi atau tidaknya seseorang cukup dilakukan dengan merefleksikan secara jujur tingkah lakunya dengan Alquran dan sunah. Bila ternyata telah sesuai, maka ia beruntung. Lain halnya, kalau ia tak jujur saat proses refleksi itu. 

Sebagaimana disebutkan dalam surah al ‘Ashr, bahwa sesungguhnya semua orang merugi kecuali mereka yang memiliki empat kriteria, yaitu iman, amal saleh, saling berwasiat kepada kebenaran, dan terakhir ialah berwasiat agar tetap bersabar. Tetapi, jarang sekali keempat sifat ini terkumpul dalam diri seseorang. Sangat nadir di zaman dengan ting kat kompleksitas hidup seperti ini. 

Ada orang bergelimang maksiat, tetapi ia mengira penuh ketaatan. Ia telah jauh, tapi berpikir sangat de kat dengan-Nya. Ada yang bangga paling pintar, padahal sebenarnya ia bodoh. Banyak yang beramal, tetapi hanyalah pepesan ko song. Hanya dengan takaran syariatlah (Alquran dan sunah), kesemuanya itu bisa diukur. Dengan ukuran itu pula lah kerugian dan keberuntungan seseorang dapat dinilai dengan gamblang. “Jika beruntung, sungguh, dia adalah wali Allah,” tulisnya. 

Karena itu, Izzuddin yang merupakan guru ulama terkenal, Ibnu Daqiq Al ‘Id, tersebut menegaskan, hendaknya tidak mudah percaya jika melihat manusia bisa terbang, jalan kaki di permukaan air, atau bisa melihat dunia gaib, tetapi di saat yang sama perilakunya menyimpang dari ajaran agama dengan cara melanggar perkara haram tan pa sebab yang diperbolehkan agama.

Atau, misalnya, ia meninggalkan kewajiban tanpa alasan syar’i maka ketahuilah bahwasanya orang yang demikian ialah setan berwujud manusia yang di peruntukkan Allah sebagai ujian bagi orang-orang bo doh. Layaknya Dajjal, ia bisa meng hidupkan dan mematikan makhluk. 

Orang yang merugi adalah orang yang tidak bisa memanfaatkan