Pemikiran Muhammad Abduh tentang kekuasaan negara

PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH

A. Sejarah lahirnya Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di Mesir tahun 1849 M. Ayahnya, Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki, sedangkan ibunya seorang Arab yang silsilahnya sampai kepada suku Umar bin Khattab.

B. Pendidikan Muhammad Abduh 1849 Lahir di sebuah desa dekat delta Sungai Nil Mesir. 1862 Ke Tanta untuk belajar agama kepada syaikh Ahmad 1866 Ke Kairo untuk belajar di al- Azhar 1871 Bertemu dengan al-Afgani. 1877 Meraih gelar sarjana dan mengajar di al-Azhar. 1878 Mengajar di Darul Ulum. 1882 Ditangkap, dipenjarakan lalu dibuang ke luar negeri. 1884 Bersama al-Afgani mendirikan dan menertibkan Urwatul Wusqa 1885 Tinggal di Beirut dan mengajar di sana. 1888 Kembali ke Mesir 1894 Menjadi Anggota Majelis A’la (dewan administratif) al-Azhar 1899 Menjadi mufti dan anggota Majelis Syura. “(dewan legilatif) Mesir

1905 Meninggal dunia

C. Pemikiran Muhammad Abduh Diantara ide-ide pembaruan yang dicanangkan Muhammad Abduh antara lain : a. Penghapusan paham jumud yang berkembang di dunia Islam saat itu; b. Pembukaan pintu ijtihad sebagai dasar yang penting dalam menginterpretasikan kembali ajaran Islam; c. Kekuasaan negara harus dibatasi konstitusi yang telah dibuat negara bersangkutan; d. Memodernisasikan system pendidikan Islam al-Azhar. Dalam pandangan Abduh, untuk melaksanakan konsep di atas, hal pertama yang harus dilakukan dunia Islam adalah menyadarkan kembali pada kemampuan dan kebebasan pemikiran rasional manusia di kalangan masyarakat Islam. Caranya dengan menyadarkan dan membangkitkan semangat berpikir masyarakat Islam melalui pendidikan dengan mengobarkan semangat ijtihad. Lebih jauh Muhammad Abduh berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang konsisten menganjurkan penggunaan kemampuan manusia yang paling mapan dan objektif, yaitu kemampuan berpikir logis dan rasional. Konsepsi metodologis untuk mengembangkan pemikiran dan kemampuan manusia yang demikian itu baginya adalah filsafat. Menurut pandangan dan pemikiran Muhammad Abduh, Islam dan Iman sebagai petunjuk Allah tidak mungkin bertentangan. Iman merupakan prinsip dasar eksistensi Islam. Sejalan dengan metodologis filosofisnya, ia mengatakan bahwa eksistensi Islam secara sosiologis semata-mata menjadi tanggung jawab manusia. Pernyataan Muhammad Abduh bahwa al-Islam Mahjubun bil-Muslimin, dimana realitas umat Islam tidak identik dengan kecemerlangan namanya. Hal itu merupakan konsep filosofisnya tentang perlunya peningkatan kemampuan pemikiran rasional manusia dalam suasana merdeka dan bebas aktif. Tujuannya untuk memperoleh hidayah dan memahami nilai ajaran Islam. Dengan ijtihad dan melalui penerapan metodologis filosofis, kecemerlangan dan ketinggian Islam akan dapat dipahami dan dimengerti manusia. Dengan metodologis tersebut misteri ajaran Islam dapat diurai dalam dunia kemanusiaan secara sosiologis. Muhammad Abduh menghendaki adanya pembaruan dalam sikap dan pandangan di kalangan umat Islam. Sikap dan pandangan baru itu menyangkut cara memahami dan menafsirkan ajaran Islam. Perubahan sikap dan pandangan demikian tidak bisa lain kecuali harus melalui proses kependidikan.

Muhammad Abduh dalam kegiatan mengajar menekankan pada metode yang berprinsip atas kemampuan rasio dalam memahami ajaran Islam dari sumbernya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits, sebagai ganti metode verbalisme (menghapal). Sering pula mengajarkan bahasa Arab dengan metode demonstrasi tentang cara-cara menulis huruf Arab dengan jelas dan sederhana.

A. Kesimpulan
Muhammad Abduh untuk melaksanakan konsep pembaruan pemikirannya; hal pertama yang harus dilakukan dunia Islam adalah menyadarkan kembali pada kemampuan dan kebebasan pemikiran rasional manusia di kalangan masyarakat Islam. Caranya dengan menyadarkan dan membangkitkan semangat berpikir masyarakat Islam melalui pendidikan dengan mengobarkan semangat ijtihad dan Muhammad Abduh berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang konsisten menganjurkan penggunaan kemampuan manusia yang paling mapan dan objektif yaitu kemampuan berpikir logis dan rasional dengan berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin Muzayyin M.Ed. H. Prof., Filsafat Pendidikan Islam, Bumi Aksara

Nata Abuddin MA. Dr. Prof., Filsafat Pendidikan Islam, Gaya Media Pratama

Wahid Abbas N. S.Ag., Suratno MS. S.Ag., Sejarah Kebudayaan Islam, Tiga Serangkai, Solo

MU’TAZILAHISME DALAM

PEMIKIRAN TEOLOGI ABDUH

Miftahul Huda

Abstract: Muhammad Abduh merupakan salah satu di antara

para pemimpin reformasi Islam yang memiliki pemikiran yang

kompleks. Keinginan yang kuat untuk mengimplementasikan

reformasi dan menempatkan Islam dalam situasi yang harmonis

berhadapan dengan tuntutan jaman untuk kembali kepada Islam

yang sesungguhnya membuatnya memikirkan ulang

permasalahan Islam dan menuliskannya dengan sebuah

pemahaman baru. Ide Abduh terinspirasi oleh pemikiran

pembaharuan ijtihadnya Ibn Taimiyah, yang bercorak Wahabi,

tentang puritanisme, paham Mu’tazilah, paham para filosof

muslim tentang rasionalisme dan ilmu sosial. Pemikiran

pembaharuannya yang dinamis dan jangkauannya yang luas,

meliputi: bidang agama, bahasa Arab dan seni perang, tafsir,

pendidikan, dan politik, tidak dapat dipisahkan, meskipun

berkaitan erat dengan karakter teologi rasionalnya. Untuk itu,

dapat dikatakan bahwa Abduh adalah seorang pemikir

independen di dunia Islam yang menghidupkan kembali paham

Mu’tazilah.

Mohammed Abduh is one of the leaders in the Islamic reformer

complexthinking. Strong willingness to implement reform and

the position of Islam in harmony with the demands of the times

way back to true Islam, urging him to review the problem of

Islamic and write it with a new interpretation. Abdu’s ideas were

inspired by therewal of ijtihad Ibnu Taymiyya, the Wahhabi

about Puritanism, understand Mu’tazila, understand the Islamic

philosophers on Islamic rationalism and social scientists. The

idea of a dynamic renewal and very wide-ranging, among others:

the field of religion, Arabic language and martial arts,

interpretation, education and politics, can not be separated, even

Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan, Jl. Kusumabangsa, No. 9 Pekalongan

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

170

closely related to the character of rational theology. So it can be

said that Abduh is an independent thinker in Islam who revived

Mu’tazilahisme.

Kata kunci: Pembaharuan, taklid, al-Afghani

PENDAHULUAN

Cara para ahli dalam menetapkan orang yang berpengaruh di

berbagai tahap historis suau bangsa berbeda-beda. Namun siapapun

yang menulis tentang Mesir dan dunia Islam pada abad XIX dan

awal abad XX tidak akan meragukan banyaknya sumbangsih

Muhammad Abduh (selanjutnya disebut Abduh) kepada

pembaharuan dalam Islam. Pemikirannya meninggalkan banyak

pengaruh bukan hanya di Mesir dan di dunia Arab lainnya, tetapi

juga di seluruh dunia Islam, termasuk Indonesia.

Kondisi umat Islam, menurut analisis Abduh, sangat

memprihatinkan dan jauh tertinggal dari masyarakat Barat.

Penyebabnya adalah realitas internal umat Islam dan adanya

intervensi Barat. Hal ini antara lain diakibatkan oleh maraknya sikap

jumud, fanatisme mazhab yang berlebihan, pemahaman yang keliru

tentang Islam, pengakuan tertutupnya pintu ijtihad, perpecahan

intern umat Islam dan didukung oleh kebijakan penguasa (Rahmena

(ed),1995: 177). Sehingga ketika pemikiran rasional, filosofis dan

ilmiah dibawa kembali oleh Barat ke dunia Islam, ditolaknya karena

dianggap non-Islami.

Kemunduran Umat Islam sebenarnya mulai terasa, ketika

dinasti-dinasti Islam di luar Arab, seperti Usmani di Turki, Syafawi

di Persia dan Mughal di India mencapai puncak kejayaan pada saat

dunia Arab tidak lagi mampu menunjukkan kreatifitas. Bahkan

bahasa Arab sebagai bahasa keilmuan mengalami penyempitan

penggunaan, tergeser oleh bahasa lain. Akibatnya karya ilmiah Arab

klasik tidak mampu dijangkau masyarakat Arab, termasuk para

ulama’nya. Kondisi ini menimbulkan berkembangnya sikap jumud

dan taqlid yang berlebihan.

Menyaksikan kenyataan tersebut, Abduh berusaha

memperbaiki keadaan umat Islam sehingga bisa mengejar

ketertinggalan melalui berbagai ide dan aktifitasnya. Pokok-pokok

pemikirannya tidak bisa terlepas, bahkan banyak berkaitan dengan

corak teologinya. Apa saja ide-ide pembaharuannya? Bagaimana

Mu’tazilahisme dalam Pemikiran Teologi Abduh (Miftahul Huda)

171

corak teologinya, rasional atau tradisional? Dan bagaimana

hubungan Abduh dengan Mu’tazilah? Dalam tulisan yang sederhana

ini hendak dikemukakan jawabannya.

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Kehidupan Muhammad Abduh

Muhammad Abduh dilahirkan pada tahun 1849 M. di

Mahalat Nashr yang terletak sekitar 15 kilo meter dari Damanhawar

Mesir. Ayahnya, Abduh bin Hasan Khairullah, seorang petani

keturunan Turki dan telah lama tinggal di Mesir. Ibunya, Yunainah,

berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya sampai kepada Umar Ibn

Khattab. Keluarga Abduh tidak tergolong kaya dan bukan keturunan

Bangsawan (Syahatah, 1963: 3).

Pada usia 10 tahun, Abduh diserahkan kepada seorang guru

untuk membimbingnya menghafal al-Qur’an, dan dalam masa dua

tahun ia telah mampu menghafalnya. Setahun kemudian (1862 M) ia

dikirim ke Tanta untuk belajar bahasa Arab dan ilmu agama di

masjid al-Ahmadi. Selama dua tahun belajar, ia merasa tidak

mengerti apa-apa dan ternyata metode al-taqlidiyat yang digunakan

tidak memuaskan dirinya, sehingga ia memutuskan untuk pulang

dan berniat menjadi petani. Waktu kembali ke desa inilah ia

menikah dalam usia 16 tahun (1865 M) (Al-‘Aqqad, tt.: 85).

Walaupun sudah menikah, ia tetap dipaksa orang tuanya agar

kembali belajar ke Tanta, sistem hafalan yang diterapkan di Tanta

menyebabkab trauma baginya, sehingga ia lari ke desa Syibra Khit

dan bertemu dengan Syekh Darwisy Kahdr yang memberi saran dan

bimbingan secara tekun kepadanya untuk menumbuhkan semangat

belajar pada dirinya. Ia mengajar Abduh dengan sistem text reading,

setiap kalimat yang dibaca diberi arti dan penjelasan yang luas.

Dengan motivasi dan pandangan belajar yang telah jauh berbeda, ia

meneruskan studi di Tanta. Setelah tamat, pada tahun 1866 M. Ia

belajar di al-Azhar, namun sistem pengajaran ketika itu tidak

berkenan di hatinya. Abduh lebih suka membaca buku yang tidak

diajarkan di kampus, dan semangat belajarnya semakin kuat saat ia

bersama mahasiswa lainnya bertemu dengan Jamaludin al-Afghani

(1839-1897) yang datang ke Mesir dalam perjalanan ke Istambul

pada tahun 1869. Pertemuan itu dipergunakan untuk mendiskusikan

masalah ilmu tasawuf dan tafsir yang cukup berkesan baik di hati

Abduh. Sehingga ketika al-Afghani datang dan menetap di Mesir

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

172

pada tahun 1871 M. Abduh menjadi muridnya yang paling setia dan

paling dekat. (Al-‘Aqqad, tt: 92) Sekelompok pelajar muda al-

Azhar juga bergabung dengannya, termasuk Sa’ad Zaglul. Al-

Afghani membuat mereka berdiskusi tentang teologi, hukum, fisafat

dan tasawuf, serta memberikan motivasi kepada mereka untuk

menghadapi intervensi Eropa dan menekankan pentingnya persatuan

umat Islam (Hourani, 1983: 23).

Pada tahun 1877, Abduh menyelesaikan kuliahnya di al-

Azhar dengan mencapai tingkat tertinggi. Setelah menamatkan

kuliahnya di al-Azhar ia diangkat sebagai dosen di Universitas Dar

al-Ulum dan al-Azhar, serta mengajar di rumahnya.

Pemerintahan Mesir yang dipimpin Khedewi Ismail, pada

tahun 1879 M. digantikan oleh Khedewi Taufiq. Penguasa baru ini

mengusir al-Afghani dari Mesir, dengan tuduhan mengadakan

gerakan anti pemerintah. Abduh juga dianggap terlibat dalam

gerakan tersebut, ia dipecat dari jabatannya dan diasingkan ke luar

Kairo. Namun dengan terjadinya perubahan kabinet pada tahun

1880, Abduh dibebaskan dan boleh kembali ke Ibu kota, lalu

dipercaya sebagai redaktur surat kabar resmi pemerintah, al-waqa’i

al-Mishriyah (Donohue, 1995: 30).

Di samping menyiarkan berita resmi, surat kabar ini dijadikan media

oleh Abduh dan kawan-kawannya, murid al-Afghani, untuk

mengkritik pemerintah dan aparatnya yang bertindak sewenang-

wenang.

Pada tahun 1882, Abduh dituduh ikut berperan dalam

gerakan pemberontakan Revolusi Urabi Pasya, ia ditangkap dan

diasingkan selama tiga tahun dengan diberi hak untuk memilih

tempat pengasingan. Ia memilih Beirut, sambil mengajar di

perguruan tinggi Sulthaniyah (Nasution,1996: 61).

Atas panggilan al-Afghani, pada tahun 1884 M. Abduh pergi

ke Paris, yang selanjutnya bersama-sama membentuk gerakan yang

bernama al-Urwat al-Wustqa, yang merupakan gerakan kesadaran

umat Islam sedunia dan menerbitkan majalah dengan nama gerakan

tersebut. Majalah ini sangat berpengaruh di dunia Islam dan setelah

terbit sebanyak 18 nomor, akhirnya dilarang terbit oleh pemerintah

Perancis.

Dengan peristiwa itu (tahun 1886 M), Abduh kembali ke

Beirut lewat Tunis dan mengajar di sana hingga tahun 1888, baru

Mu’tazilahisme dalam Pemikiran Teologi Abduh (Miftahul Huda)

173

diijinkan kembali ke Mesir tetapi ia tidak boleh mengajar, karena

pemerintah khawatir terhadap pengaruhnya kepada mahasiswa,

Abduh harus memilih profesi lain. Pada tahun 1889, ia diserahi

tugas sebagai hakim di pengadilan daerah Banha. Beberapa kali

dipindahkan dari satu daerah ke daerah lain dalam kedudukan yang

sama, akhirnya ia ditugaskan di pengadilan Abidin, Kairo. Meski

demikian, Al Azhar sebenarnya masih membutuhkan dirinya,

sehingga pada tahun 1894 ia diangkat sebagai anggota majelis tinggi

al-Azhar.

Kedudukan sebagai anggota majelis tinggi al-Azhar

dipergunakan untuk mengadakan pembaharuan, baik di bidang

administrasi, pengajaran maupun perpustakaan. Lima tahun

berikutnya, pada tangal 3 juni 1899 ia diangkat sebagai mufti besar

sampai akhir hayatnya, tanggal 11 Juli 1905 M (Al-‘Aqqad, tt: 222).

Adapun yang sangat berjasa dalam membentuk

perkembangan pemikiran Abduh adalah: Pertama, Syekh Darwisy,

seorang sufi yang aktif di masyarakat sebagai pengajar tasawuf.

Kedua, Syekh Hasan al-Thawil, yang punya pengetahuan tentang

ilmu pasti, membenarkan para siswa Daral-Ulum mempelajarinya

dan mengajar ilmu mantiq dan filsafat di al-Azhar. Ketiga,

Muhammad al-Basyuni, ahli bahasa dan satra Arab. Keempat,

Jamaluddin al-Afghani, yang memberikan motivasi kepadanya baik

dalam bidang politik maupun sosial (Lubis, 1992: 51).

B. Karya-karya Muhammad Abduh

Abduh merupakan orang yang kreatif dan produktif dalam

menghasilkan karya tulis, sehingga cukup banyak karyanya,

terutama artikel-artikelnya di majalah al-Waqa’i al-Mishriyah dan

al-Urwat al-Wustqa serta naskah-naskah ketika memberi kuliah.

Tulisan-tulisannya mencakup berbagai bidang antara lain sastra

Arab, politik dan agama.

Adapun buku-buku Abduh yang terkenal, antara lain:

Risalat al-Tauhid (dalam bidang teologi), al-Islam Wa al-

Nashraniyat Ma’a al-ilmi Wa al-Madaniyat (sanggahan Abduh

terhadap Farah Anton), Syarh Nahj al-Balaghah (komentar terhadap

kumpulan pidato dan ucapan Ali Ibn Abi Thalib), Tafsir al-Manar

(yang diteruskan oleh muridnya, Rasyid Ridha), Syarah Maqamat

Badi’ al-Zaman al-Hamazani (tentang bahasa dan sastra Arab),

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

174

Risalat al-‘Aridat, Hasyiah al-Syarah al-Jalal al-Dawwani Li al-

A’qaid al-Adhudiyah, dan al-Radd ‘Ala al-Dahriyyin (bantahan

terhadap orang yang tidak mempercayai wujud Tuhan), terjemahan

karya al-Afghani dari bahasa Persi.

C. Ide-ide Pembaharuan Muhammad Abduh

Menurut Nurcholish Madjid (1995: 174), gagasan

pembaharuan Abduh diilhami oleh Ibn Taimiyah tentang ijtihad,

kaum wahabi tentang puritanisme, paham Mu’tazilah, paham para

filosof Islam tentang rasionalisme Islam dan ilmuwan sosial seperti

Ibn Khaldun tentang kajian empirik.

Ide-ide Pembaharuan Abduh, menurut H.A.R Gibb (1995:

58), dapat dirangkum menjadi empat:

1) Pemurnian Islam dari berbagai ajaran yang tidak benar.

2) Pembaharuan pendidikan Islam.

3) Perumusan kembali ajaran Islam sejalan dengan pemikiran

modern.

4) Pembelaan Islam dari pengaruh Eropa dan serangan Kristen.

Ide-ide pembaharuan Abduh menurut Harun Nasution (1996:

62-65) secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Bidang Agama

Abduh melihat bahwa berkembangnya sikap jumud

merupakan penyebab utama kemunduran umat Islam. Kata jumud

mengandung makna statis, beku dan tidak ada perubahan. Hal ini

disebabkan mereka tidak menggunakan akalnya sebagai anugerah

Tuhan. Abduh sangat menentang sikap jumud yang membuat umat

berhenti berpikir, tidak menghendaki perubahan dan tidak mau

menerima perubahan, mereka harus dinamis.

Sikap jumud dibawa dalam tubuh Islam oleh orang-orang

non-Arab yang kemudian menjadi penguasa politik di Dunia Islam.

Dengan masuknya mereka dalam Islam, adat istiadat dan paham-

paham animistis mereka turut mempengaruhi rakyat. Selain itu,

mereka bukan bangsa yang berperadaban tinggi, bahkan mereka

memusuhi ilmu pengetahuan. Mereka membawa ajaran pemujaan

atau ketaatan yang berlebihan kepada syekh, taqlid buta kepada

ulama, fanatisme mazhab yang berlebihan dan penyerahan bulat

Mu’tazilahisme dalam Pemikiran Teologi Abduh (Miftahul Huda)

175

kepada qadha dan qadar. Dengan demikian membekulah akal dan

berhentilah pemikiran dalam Islam. Lama kelamaan paham jumud

ini meluas dalam masyarakat di seluruh dunia Islam.

Sebagaimana pembaharu lain, Abduh menyebut sikap jumud

sebagai bid’ah, dalam arti penyelewengan ajaran Islam dari yang

sebenarnya. Karena itu, upaya yang harus dilakukan adalah

mengeluarkan paham tersebut dari tubuh Islam dan

mengembalikannya kepada ajaran Islam yang semula, sebagaimana

terdapat pada masa sahabat dan ulama-ulama besar.

Dalam pengembaraan pemikirannya, Abduh melihat

pentingnya memanfaatkan peradaban Barat tanpa mengabaikan ide-

ide Islam yang fundamental dan mengupayakan sintesa antara

keduanya. Hal ini dikarenakan tidak cukup hanya dengan kembali

kepada ajaran-ajaran asli, karena situasi dan kondisi sudah jauh

berubah. Ajaran-ajaran asli tersebut perlu penyesuaian dengan

keadaan modern. Penyesuaian ini menurut Abduh dapat dijalankan

(Hourani, 1983: 148)

Menyesuaikan ajaran Islam dengan perubahan zaman dapat

diwujudkan dalam masalah yang menyangkut kemasyarakatan.

Untuk melakukan hal ini, diperlukan upaya interpretasi baru dan

oleh karena itu pintu ijtihad harus terbuka. Ijtihad merupakan

keharusan bagi umat Islam untuk mengejar ketertinggalannya,

namun tidak setiap orang mampu melakukannya, hanya orang-orang

yang mempunyai kelayakanlah yang dituntut melakukannya.Yang

tidak memenuhi syarat-syaratnya harus mengikuti pendapat

mujtahid yang ia setujui.

Dalam hal ini, Abduh mengkritik ulama yang menimbulkan

paham taqlid, sehingga umat Islam berhenti berpiikir. Sikap mereka

yang berpegang teguh pada pendapat ulama klasik, dipandang

Abduh sangat berlainan dengan sikap umat Islam dahulu dan

bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits (Nasution, 1996: 65).

Pendapat Abduh tentang pembukaan pintu Ijtihad dan

pemberantasan taqlid, berdasar atas kepercayaannya pada kekuatan

akal. Menurutnya, sumber utama ajaran Islam berbicara bukan

semata kepada hati, tetapi juga kepada akal manusia. Islam

memandang akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Karena itu,

Islam baginya adalah agama yang rasional. Mempergunakan akal

adalah salah satu dasar Islam, dan iman seseorang tidak sempurna

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

176

jika tidak didasarkan akal. Dalam Islamlah, agama dan akal buat

pertama kali bisa berdampingan (Abduh, 1366 H: 7).

Sejalan dengan itu, jika secara lahiriah terjadi pertentangan

antara wahyu dan akal, maka harus dicari interpretasi yang sesuai

dengan pendapat akal. Potensi akal harus dimanfaatkan untuk

mencapai kemajuan umat Islam yang terwujud dalam perkembangan

ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern yang berdasar kepada

sunnatullah tidak bertentangan dengan Islam yang sebenarnya,

kedua-duanya bersumber dari Allah. Islam mesti sesuai dengan ilmu

pengetahuan, demikian juga sebaliknya.

2. Bidang Bahasa Arab

Sewaktu mengajar di al-Azhar, Dar al-Ulum dan madrasah

al-Aslun Khedewi, Abduh memilih mengajar bahasa Arab dengan

tujuan memperbaiki metode pengajaran bahasa. Ketika ia menjadi

pemimpin redaksi al-Waqa’i al-Mishriyah ia memperluas bidang

tugasnya, dengan mengusulkan kepada pemerintah agar dibuat

peraturan yang memungkinkannya mengawasi semua penerbitan,

agar bisa melakukan upaya-upaya pelurusan kesalahan tata bahasa

yang terjadi selama ini. Dalam artikelnya di al-Waqa’i al-Mishriyah,

Abduh memberikan sugesti bahwa perbaikan bahasa merupakan

salah satu jalan memperbaiki akidah. Kebodohan dalam berbahasa

bisa menghambat pemahaman terhadap buku-buku agama

(Hammadah, 1962: 114).

Usaha memperbaiki uslub bahasa Arab, yang dilakukan

Abduh setelah ia kembali dari pengasingan, mencakup perbaikan

dalam tulisan dan pembicaraan resmi di pemerintahan. Pada waktu

itu uslub yang dipakai di Mesir terbagi menjadi dua: pertama,

untuk kepentingan pemerintah, yaitu bentuk susunan kata yang

lemah, jelek, tidak dapat dipahami maksudnya dan tidak dapat

dikembalikan kepada bahasa manapun. Kedua, Uslub yang berlaku

di al-Azhar,yaitu gaya bahasa yang terputus-putus, penuh dengan

fawasil dan berbagai ainas (C. Adams, 1961: 45)

3. Bidang Tafsir

Karya Abduh di bidang tafsir sangat terbatas, namun

kajiannya luas. Karyanya yaitu:

Mu’tazilahisme dalam Pemikiran Teologi Abduh (Miftahul Huda)

177

1) Tafsir Juz ‘Amma, dikarang pada tahun 1321 H sebagai

pegangan guru mengaji di Maroko.

2) Tafsir surat Al-Ashr, berasal dari kuliahnya di hadapan ulama

dan pemuka masyarakat al-Jazair.

3) Tafsir QS. Al-Nisa’:77, 87; al-Hajj:52-54 dan al-Ahzab:37,

untuk membantah tanggapan negatif terhadap Islam dan

Nabinya.

4) Tafsir al-Qur’an dari surat al-Fatihah hingga QS. al-Nisa’ 129

yang disampaikannya di masjid al-Azhar sejak awal Muharram

1317 H sampai pertengahan Muharam 1323 H (Ridha, 1954: 14)

& (Syihab, 1994: 20).

Abduh menjadikan tafsir al-Qur’an sebagai pijakan bagi

kecenderungan reformasinya. Ia berusaha menafsirkan al-Qur’an

sesuai dengan dinamika masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan

(Al-Salam, 1997: 111). Kitab suci al-Qur’an, menurut Abduh,

berbeda dengan kitab wahyu lainnya. Al-Qur’an bersifat universal,

tidak terbatas oleh waktu dan bukan untuk umat tertentu.

Dalam menafsirkan al-Qur’an, Abduh berpegang pada

sembilan asas (Syahatah, 1963: 34), yaitu:

a. Memandang setiap surat sebagai satu kesatuan ayat yang serasi

b. Keuniversalan ayat al-Qur’an

c. Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pembentukan hukum.

d. Menentang dan memberantas taqlid.

e. Menggunakan analisis, pemikiran dan metode ilmiah.

f. Penggunaan akal secara luas dalam memahami al-Qur’an.

g. Tidak merinci persoalan yang disinggung secara mubham atau

sepintas lalu oleh al-Qur’an

h. Sangat kritis dalam menerima hadist Nabi dan pendapat sahabat

serta menolak Israiliyat.

i. Mengkaitkan penafsiran al-Qur’an dengan kehidupan sosial.

Metode yang dipergunakan Abduh dalam menafsirkan al-

Qur’an adalah metode Tahlili (analisis) dengan corak adabi ijtima’i

(budaya kemasyarakatan), dan sekaligus sebagai peletak dasarnya

(Al- Farmawi, 1977: 42). Sedangkan langkah-langkah yang yang

ditempuh Abduh dalam kajian tafsirnya adalah:

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

178

a) Memperluas hal-hal yang dilupakan atau sengaja diabaikan para

mufasir terdahulu, dan merangkum hal-hal yang mereka

tonjolkan.

b) Dalam pembahasan tentang lafaz, i’rab dan uraian balaghahnya,

ia bersandar kepada kitab Tafsir al-Jalalain.

c) Tidak merujuk kepada kitab tafsir sebelum menyampaikan

kajiannya, sehingga tidak terpengaruh oleh pemahaman lain.

d) Jika ia mengemukakan bentuk i’rab atau kata yang janggal

dalam bahasa, ia merujuk kepada beberapa kitab tafsir untuk

mengecek yang ia tulis dalam masalah tersebut (Ridha, 1954:

14).

Mengenai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa

sebelumnya, Abduh menilai bahwa kitab-kitab tersebut hanya

berupa pemaparan berbagai pendapat ulama, penjelasannya berbelit-

belit dan banyak dikotori riwayat yang tidak perlu, yang pada

akhirnya jauh dari tujuan diturunkannya al-Qur’an. Dalam hal ini, ia

mengecualikan Tafsir al-Zamakhsari, al-Thabari, al-Ashfahani dan

al-Qurthubi. (Syihab, 1994: 22).

4. Bidang Politik

Kaum cerdik pandai di Mesir seakan telah sepakat bahwa

kondisi pemerintahan pada masa awal Khedewi Taufiq (1879-1892),

berada dalam keadaan sakit dan memerlukan upaya penyembuhan.

Namun mereka tidak mencapai kesepakatan dalam mengatasi

masalah tersebut. Kaum politisi melihat penyelesaiannya dilakukan

melalui gerakan revolusi, sedang kaum pembaharu melihat perlunya

upaya perbaikan pendidikan untuk menciptakan kesadaran

berbangsa, menyadari hak dan kewajibannya sebagai rakyat dan atau

pemerintah (Lubis, 1992: 53). Abduh, menurut Ahmad Amin (1979:

320), termasuk kelompok kedua, dan memandang bahwa upaya

penyembuhan itu bisa dilakukan melalui pendidikan dan

penggunaan surat kabar untuk menumbuhkan kesadaran rakyat dan

berusaha agar penguasa bersikap adil, bertanggungjawab dan

melaksanakan perbaikan yang dituntut, serta mewujudkan

pemerintahan parlementer secara berangsur-angsur.

Adapun golongan lain berpendapat bahwa perbaikan

ditempuh melalui terbentuknya dengan segera parlemen yang

Mu’tazilahisme dalam Pemikiran Teologi Abduh (Miftahul Huda)

179

mengawasi jalannya pemerintahan. Kelompok yang terdiri dari para

pelajar yang pernah belajar di Eropa ini menghendaki pemerintahan

parlementer ala Inggris atau Perancis, pemerintahan yang

bertanggung jawab kepada parlemen.

Kekuasaan negara, menurut Abduh, harus dibatasi, dan harus

diberlakukan sistem permusyawaratan antara pemerintah dan rakyat.

Pemerintah harus bersikap adil terhadap rakyat,dan rakyat harus

patuh dan setia kepada pemerintah yang adil dengan berpegang

teguh pada al-Qur’an dan hadits. Jika ternyata ia menyimpang dari

kebenaran, kaum muslimin berhak mengoreksi dan menuntut

tanggung jawabnya. Pemimpin diangkat oleh umat, sehingga umat

punya otoritas atas dirinya dan berhak menggantinya demi kebaikan

umat (Haddad, 1996: 61).

Abduh cenderung memandang bahwa pemerintahan otoriter

di dunia Islam sebagai akibat kebodohan faqih dan penguasa. Faqih

dianggap bersalah karena tidak memahami politik dan banyak

bergantung kepada penguasa. Di lain pihak, penguasa tidak tahu

bagaimana memerintah yang adil dan memanfaatkan faqih untuk

kepentingan pribadi dengan cara mendesak mereka agar

mengeluarkan fatwa yang mempertahankan kekuasaannya.

Abduh bukanlah aktivis politik, ia tidak pernah terlibat

langsung di dalamnya, namun ia lebih tepat dikatakan sebagai

pemikir politik. Sikap ini, menurut al-Nadwi (tt: 327), disebabkan

trauma terhadap revolusi Urabi Pasya. Terlebih lagi setelah beberapa

waktu ia terlibat dalam penyebaan ide-ide politik di al-Urwat al-

Wustqa bersama al-Afghani. Meskipun banyak tidak setuju dengan

keijakan dan tindakan penguasa, ia cenderung menghindari

perbenturan dengan pemerintah dan lebih memilih berafiliasi.

5. Bidang Pendidikan

Pembaharuan Abduh di bidang pendidikan merupakan

konsekuensi dari pendapatnya bahwa umat Islam harus mempelajari

dan mementingkan ilmu pengetahuan. Dalam salah satu artikelnya di

surat kabar al-Ahram pada tahun 1876, Abduh menyatakan bahwa

kewajiban belajar tidak hanya mengenai buku-buku klasik berbahasa

Arab, dalam rangka membela agama, tetapi juga berbagai sains

modern, sejarah dan agama Eropa agar dapat mengetahui sebab-

sebab kemajuan Barat (Adams, 1961: 38). Dalam pendidikan,

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

180

Abduh selalu menekankan pentingnya melawan taqlid dan

menyerukan ijtihad, serta mengkritik buku-buku yang tendensius

kepada mazhab tertentu untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan

pemikiran rasional dan historis.

Pembaharuan bidang pendidikan terutama diarahkan kepada

universitas al-Azhar sebagai jantung intelektual umat Islam

(khususnya Mesir), karena ulama-ulama dari berbagai penjuru dunia

Islam yang dihasilkan dari universitas ini akan membawa ide-ide

pembaharuan untuk kemajuan umat Islam di negara masing-masing

(Nasution, 1992: 67).

Program yang diajukannya adalah memahami dan

menggunakan Islam dengan benar untuk mewujudkan kebangkitan

masyarakat, dengan cara menghidupkan kembali ilmu-ilmu Islam

klasik dan orisinil, termasuk karya teologis dari aliran rasionalis. Hal

ini untuk mengenali inelektualitas Islam yang ada dalam sejarah

umatnya dan mengikuti pendapat yang benar untuk disesuaikan

dengan kondisi sekarang. Di samping itu juga dimasukkan bidang

studi filsafat dan ilmu pengetahuan modern, yang selama ini

disingkirkan ulama’ al-Azhar (Hammadah, 1962: 50). Usaha

pembaharuan di bidang pendidikan ini mendapat tantangan dari

ulama konservatif dan pihak penguasa saat itu.

Abduh sangat menentang sistem dualisme pendidikan.

Menurutnya, di sekolah umum harus diajarkan agama dan di sekolah

agama harus diajarkan ilmu pengetahuan modern. Ia mengkritik

sekolah missionaris, madrasah dan sekolah pemerintah, katanya

siswa di sekolah missionaris dipaksa mempelajari agama kristen, di

madrasah hanya diajarkan fiqh dan aqidah yang sempit dengan

metode hafalan dan di sekolah pemerintah, siswa tidak diajari agama

sama sekali. Sistem dualisme pendidikan ini, menurut Abduh

berdampak negatif. Sistem madrasah menghasilkan ulama yang

tidak berpengetahuan modern, sebaliknya output dari sekolah

pemerintah sangat minim pengetahuan agamanya. Untuk

memperkecil jurang pemisah antara golongan ulama dan scientist

modern, ilmu pengetahuan modern perlu dimasukkan di madrasah,

termasuk al-Azhar, dan pendidikan agama di sekolah pemerintah

semakin diperkuat.

Dalam bidang administrasi pendidikan, Abduh membangun

gedung tersendiri untuk keperluan administrasi, menentukan insentif

Mu’tazilahisme dalam Pemikiran Teologi Abduh (Miftahul Huda)

181

yang layak bagi ulama al-Azhar dan meningkatkan besarnya

beasiswa. Untuk membantu rektor, ia mengangkat pegawai-pegawai

yang semula tidak ada. Fasilitas asrama mahasiswa juga diperbaiki

dan ditingkatkan. Sebagai ulama yang meneliti, Abduh mengerti

betul pentingnya perpustakaan, maka buku-buku al-Azhar yang

bertebaran di berbagai tempat penyimpanan, dikumpulkan dan ditata

dalam satu perpustakaan secara teratur (Nasution, 1987: 20).

D. Corak Teologi Muhammad Abduh

Mengkaji corak pemikiran Abduh dalam bidang teologi

sangat penting untuk mengetahui relevansinya dengan pemikiran

pembaharuannya. Jika teologinya adalah Asy’ariyah atau

Maturidiyah Bukhara, pemikiran pembaharuannya akan banyak

dipengaruhi kecenderungan kedua aliran ini untuk mengambil

makna harfiah dari al-Qur’an dan hadits, dan oleh paham kasb

Asy’ari serta paham fi’li al-Bazdawi yang dekat menyerupai paham

Jabariyah. Dengan demikian teologinya bercorak tradisional. Jika

teologinya mu’tazilah, pemikiran pembaharuannya mempunyai

gerak yang luas di bawah sikap rasional dan paham kebebasan

dalam batas-batas tertentu. Pemikiran pembaharuannya akan

bercorak dinamis dan berarti bagi kemajuan umat Islam. Dan jika

teologinya adalah Maturidiyah Samarkand, dinamika

pembaharuannya akan sejalan dengan kedudukan menengah aliran

ini, yakni antara As’ariyah serta al-Bazdawi dan Mu’tazilah

(Nasution, 1987: 4).

Untuk mengetahui corak teologi Abduh, berikut ini akan

disampaikan beberapa pemikiran Abduh dalam bidang teologi,

antara lain:

1. Kekuatan Akal

Bagi Abduh sebagaimana, dijelaskan oleh Harun Nasution

(1987: 45), Islam adalah agama yang rasional, agama yang sejalan

dengan akal, bahkan agama yang didasarkan atas akal. Pemikiran

rasional adalah jalan untuk memperoleh iman sejati. Iman, tidaklah

sempurna kalau tidak didasarkan atas akal. Iman harus berdasarkan

pada keyakinan, bukan pada pendapat, dan akallah yang menjadi

sumber keyakinan pada Tuhan, ilmu serta kemahakuasaan-Nya dan

pada Rasul. Akal mempunyai kedudukan yang tinggi, bahkan

kekuatan akal dalam pendapat Abduh lebih tinggi daripada kekuatan

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

182

akal dalam pemikiran Mu’tazilah. Menurut Abduh, akal memiliki

kemampuan sebagai berikut:

a. Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatnya;

b. Mengetahui adanya kehidupan akhirat;

c. Mengetahui bahwa kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung

pada mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedang

kesengsaraannya bergantung pada tidak mengenal Tuhan dan

berbuat jahat;

d. Mengetahui kewajiban manusia mengenal Tuhan;

e. Mengetahui kewajiban manusia berbuat baik dan menjauhi

perbuatan jahat untuk kebahagiaannya di akhirat;

f. Membuat hukum-hukum tentang sesuatu yang diketahui akal

dan mengajak manusia untuk mematuhi hukum tersebut

(Abduh, 1366 H: 72-73)

2. Fungsi Wahyu

Wahyu mempunyai kedudukan yang tinggi lagi penting di

samping akal. Akal bukanlah tidak terbatas kemampuannya, ia juga

membutuhkan wahyu yang mempunyai dua fungsi pokok, yaitu:

a. Menolongnya untuk mengetahui alam akhirat dan kehidupan di

sana, mengetahui sifat kesenangan, kesengsaraan dan bentuk

perhitungan yang akan dihadapinya di hidup kedua nanti, serta

untuk mengetahui bahwa di sana ada malaikat dan sebagainya.

Fungsi pokok pertama ini timbul dari keyakinan bahwa jiwa

manusia akan terus ada dan kekal setelah tubuh mati (Abduh,

1366 H: 89).

b. Menolong akal dalam mengatur masyarakat atas dasar prinsip-

prinsip umum yang dibawanya dalam mendidik manusia untuk

hidup damai dengan sesamanya dan dalam membukakan

rahasia cinta yang menjadi dasar ketentraman dalam hidup.

Wahyu selanjutnya membawa syari’at yang mendorong

manusia untuk melaksanakan kewajiban seperti kejujuran,

berkata benar, menepati janji dan sebagainya (Abduh, 1366 H:

120).

Selain kedua fungsi tersebut, wahyu juga menolong akal

dalam menyempurnakan pengetahuannya tentang Tuhan, sifat-

sifatNya, kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan dan

Mu’tazilahisme dalam Pemikiran Teologi Abduh (Miftahul Huda)

183

kebaikan serta kejahatan. Fungsi lain dari wahyu, dalam pendapat

Abduh, adalah menguatkan pendapat akal melalui sifat sakral dan

absolut yang terdapat dalam wahyu.

3. Kebebasan Manusia

Selain mempunyai daya pikir, manusia juga memiliki

kemampuan memilih dan mempunyai daya untuk mewujudkan

kemauan tersebut. Karena kemauan dan daya adalah berasal dari

manusia, maka perbuatan pun adalah perbuatan manusia.

Kemampuan memilih untuk berkehendak dan berbuat merupakan

sifat dasar alami yang mesti ada dalam dirinya. Dengan akal,

manusia bisa mempertimbangkan akibat perbuatan yang akan

dilakukannya, lalu ia bisa mengambil keputusan dengan

kemauannya sendiri dan bisa mewujudkannya dengan daya yang ada

dalam dirinya.

Kebebasan yang dimiliki oleh manusia tidak absolut, tetapi

ada batasnya. Abduh (1366 H: 61) menyebut orang yang

mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan mutlak sebagai

orang yang angkuh dan takabur. Dalam Tafsir al-Manar (Ridha,

1365 H: 195), Abduh menjelaskan bahwa sungguhpun manusia

berbuat atas kemauan dan pilihannya sendiri akan tetapi daya,

kemauan dan pengetahuannya tidaklah sempurna. Kebebasan

manusia dibatasi oleh kejadian-kejadian alami atau sunnatullah,

hukum alam yang diciptakan oleh Allah sesuai dengan pengetahuan

dan kehendak-Nya.

4. Sifat-Sifat Tuhan

Dalam pembahasan mengenai sifat-sifat Tuhan, menurut

Harun Nasution (1987: 94) Muhammad Abduh lebih cenderung

kepada pendapat bahwa sifat adalah esensi. Dengan kata lain, ia

menganut paham peniadaan sifat Tuhan. Bahkan ia mengkritik

pendapat yang menegaskan adanya sifat bagi Tuhan, karena paham

itu akan membawa orang mempribadikan salah satu sifat Tuhan.

Kemudian lambang sifat itulah yang ia sembah. Apakah ini bukan

syirik?”, tanya Abduh selanjutnya. Masalah ini dibahas dalam

kitabnya yang berjudul Hasyiah ‘ala Syarh al-Dawwani li al-‘Aqaid

al-‘Adudiah. Meskipun di dalam kitab Risalat al-Tauhid, Abduh

(1366: 52) menyebut sifat-sifat Tuhan tetapi ia tidak membahas

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

184

mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan ataukah

lain dari esensi Tuhan, dan juga tidak membicarakan apakah sifat

kekal atau tidak kekal karena hal itu terletak di luar kemampuan

manusia untuk mengetahuinya.

5. Kehendak Mutlak Tuhan

Karena Abduh (1366 H: 59) meyakini akan kebebasan dan

kemampuan manusia maka kehendak Tuhan, dalam pemikirannya,

tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya

dengan memberi manusia secara alami kebebasan dan kesanggupan,

yang secara bebas dapat dipergunakannya dalam mewujudkan

perbuatan-perbuatannya. Memberi manusia kemauan dan daya untuk

berbuat adalah salah satu sunnatullah. Kehendak mutlak Tuhan

bukan hanya dibatasi oleh sunnah tersebut, akan tetapi oleh sunnah

Allah secara umum. Bagi Abduh, sunnah Allah adalah hukum alam

yang mengatur perjalanan alam, hukum alam dengan sebab dan

akibatnya.

6. Keadilan Tuhan

Mengenai keadilan Tuhan, Abduh memandangnya bukan

hanya dari segi kemahasempurnaan Tuhan, tetapi juga dari

pemikiran rasional manusia Tuhan mesti dan wajib bersifat adil.

Sifat ketidakadilan tidak bisa diberikan kepada Tuhan, karena tidak

sejalan dengan kemahabijaksanaan Tuhan, tidak sejalan dengan

kesempurnaan hukum-hukum-Nya dan juga tidak sesuai dengan

kesempurnaan peraturan alam semesta (Abduh, 1322 H: 56).

Keadilan Tuhan berkaitan erat dengan hukuman dan balasan baik.

Tuhan memberi balasan baik kepada orang yang berbuat kebaikan

sesuai dengan yang dilakukannya, bahkan dengan sifat pemurah-

Nya Tuhan dapat mengubah derajat balasan baik terhadap perbuatan

baik dan melipat gandakannya. Sedangkan pembuat kejahatan akan

diberi hukuman sesuai dengan perbuatannya dengan perbandingan

satu lawan satu. Keadilan, menurut Abduh sebagaimana dijelaskan

Harun Nasution (1987: 79), tidak bisa mencakup pemberian sesuatu

kepada orang yang tidak berhak menerimanya dan menahan sesuatu

dari orang yang berhak memilikinya.

Mu’tazilahisme dalam Pemikiran Teologi Abduh (Miftahul Huda)

185

7. Perbuatan Tuhan

Tuhan memiliki kewajiban terhadap manusia untuk berbuat

yang terbaik bagi manusia. Tetapi wajib di sini, menurut Abduh,

bukan berarti wajib dalam sitilah ulama fiqih, yaitu yang ada

kaitannya dengan upah dan hukuman. Kewajiban Tuhan bersumber

pada sifat kesempurnaan-Nya; kewajiban ini Ia letakkan sendiri pada

diri-Nya dengan kemauan dan dan pilihan-Nya sendiri (Nasution,

1987: 79). Pemikiran mengenai kewajiban Tuhan berbuat baik

membawa kepada beberapa masalah, yaitu:

ﺎﻣ ﻒﻴﻠﻜﺗﻕﺎﻃﻮﻳﻻa) Beban di luar kemampuan manusia ( )

Sudah menjadi sunnatullah bahwa Allah tidak membebani

manusia dengan kewajiban-kewajiban yang terletak di luar

kemampuannya. Pemberian beban yang demikian tidaklah sesuai

dengan kepentingan manusia dan tidak sejalan dengan pendapat

Abduh tentang perbuatan manusia yang berpaham qadariyah.

b) Pengiriman Rasul

Tuhan wajib mengirim rasul untuk menolong manusia

menyempurnakan pengetahuannya tentang kebaikan dan

kejahatan. Tidak dapat dibayangkan jika Tuhan meletakkan

beban-beban pada diri manusia tanpa memberitahukannya

kepada mereka melalui pengiriman para rasul. Tuhan mesti

mengirimkan rasul-rasul untuk menyampaikan kepada manusia

bahwa Tuhan meletakkan kewajiban-kewajiban bagi mereka.

Karena kewajiban pada dasarnya adalah wajib, manusia wajib

mengetahui kewajiban-kewajiban itu dan pengiriman rasul-rasul

dengan demikian juga wajib.

ﺪﻴﻋﻮﻟﺍﻭ ﺪﻋﻮﻟﺍc) Janji dan Ancaman ( )

Janji dan ancaman Tuhan mesti terjadi. Tuhan wajib menepati

janji dan ancaman-Nya. Tidak melaksanakan janji dan ancaman

berarti ketidaksempurnaan dalam pengetahuan dan kemauan

Tuhan.

Dari pemikiran teologi Muhammad Abduh yang dipaparkan

di atas terlihat bahwa corak pemikiran teologi Abduh bukanlah

tradisional, akan tetapi cenderung kepada aliran Mu’tazilah yang

bercorak rasional. Dalam beberapa hal, sistem dan pemikiran

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

186

teologinya banyak mempunyai persamaan dengan teologi

Mu’tazilah, antara lain dalam hal: perbuatan Tuhan, peniadaan sifat

Tuhan, kebebasan manusia, soal-soal beban di luar kemampuan

manusia, pengiriman Rasul, janji dan ancaman Tuhan dan lainnya.

Di sini timbul pertanyaan, Apakah Abduh dapat dikatakan seorang

Mu’tazilah? Jawabnya tergantung pada batasan Mu’tazilah. Ada

pendapat yang menyatakan bahwa Mu’tazilah adalah orang yang

berpaham Qadariyah. Pendapat lain, Mu’tazilah adalah orang yang

berpaham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dalam kedua pengertian ini,

Abduh termasuk Mu’tazilah.

Definisi tersebut diberikan oleh orang non-Mu’tazilah. Dari

kalangan Mu’tazilah sendiri, sebagaimana dijelaskan oleh al-

Khayyath, disebutkan bahwa yang berhak menjadi Mu’tazilah

adalah orang yang percaya kepada lima dasar Mu’tazilah (al-ushul

al-Khamsah), yaitu al-tauhid, al-adl (keadilan Tuhan), al-wa’d wa

al-Wa’id (kepastian terlaksananya janji dan ancaman Tuhan), al-

Manzilat Bain al-Manzilatain (posisi antara dua posisi) dan amar

ma’ruf nahi munkar (Nasution, 1987: 95). Dengan melihat

pengertian tersebut, Abduh tidak termasuk Mu’azilah, karena ia

tidak menganut ajaran dasar al-manzilat Bain al-Manzilatain.

Baginya orang Islam yang berbuat dosa besar tetap muslim dan

mukmin. Berbeda dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa

pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi

muslim.

Dengan demikian Abduh bukan seorang Mu’tazilah dan

bukan pula penganut aliran teologi lain, seperti Asy’ariyah,

Maturidiyah Bukhara atau Samarkand. Ia adalah pemikir

independent yang menghidupkan kembali Mu’tazilahisme, dalam

arti paham yang menekankan pemikiran rasional dan kebebasan

manusia dalam batas-batas tertentu.

KESIMPULAN

Muhammad Abduh merupakan tokoh pembaharu Islam yang

berupaya keras memposisikan Islam secara harmonis dengan

tuntutan zaman dengan cara mengkaji kembali masalah keIslaman

dan menuliskannya dengan interpretasi baru. Gagasan

pembaharuannya tidak bisa terlepas, bahkan berkaitan erat dengan

Mu’tazilahisme dalam Pemikiran Teologi Abduh (Miftahul Huda)

187

teologinya yang bercorak rasional dan dapat dikatakan Abduh

adalah pemikir independent yang menghidupkan kembali

Mu’tazilahisme, dalam arti paham yang menekankan pemikiran

rasional dan kebebasan manusia dalam batas-batas tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Salam, Abd al-Majid, Ittijahat al-Tafsir Fi ‘Ashr al-Rahin,

Terj. Maghfur Wachid, Visi dan Paradigma Tafsir

Kontemporer, Bangil: al-Izzah, 1997

Abduh, Muhammad, Risalah Tauhid, Kairo: Dar al-Manar, 1366 H

-------------, Tafsir al-Qur’an al-Karim. Kairo: al-Jam’iyyah al-

Khairiah al-Islamiah, 1322 H.

Adams, Charles C, Islam And Modenism In Egypt, Newyork:

Russel & Russel, 1961

Al-‘Aqqad, Abbas Mahmud, Abqary al-Islah Wa al-Ta’lim al-Imam

Muhammad Abduh, Mesir: al-Muassasat al-Mishriyat, t.t.

Al-Nadwi, Ibrahim Ahmad, Rasyid Ridha al-Imam al-Mujahid,

Mesir: Muassasat al-Mishriyat, t.t.

Amin, Ahmad, Zu’ama al-Islah, Kairo: Maktabat al-Nahdhat al-

Mishriyat, 1979.

Donohue, John J. & Esposito, John L, Islam In Trnasition: Muslim

Perspectives, Terj. Machnun Husein, Jakarta: Rajawali

Pres, 1995.

Gibb, H.A.R. Modern trend In Islam, Terj. Machnun Husein,

Aliran-aliran Modern Dalam Islam. Jakarta : Rajawali Press,

1995.

Hammadah, Abdul Mun’im, Lamhat Min Hayat al-Imam

Muhammad Abduh, Kairo: al-Majlis al-A’la, 1962.

Hourani, Albert, Arabic Thought in Liberal Age 1798-1939,

London: Cambridge University Press, 1983.

Lubis, M. Ridlwan, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Telaah

Terhadap Berbagai Konfigurasi, Medan: IAIN-SU, 1992.

Madjid, Nur Cholish, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta:

Paramadina, 1995.

Nasution, Harun, Muhammad Abduh Dan Teologi Rasional

Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press, 1987.

RELIGIA Vol. 14 No. 2, Oktober 2011. Hlm. 169-188

188

---------------, Islam Rasional Gagasan Dan Pemikiran. Bandung:

Mizan, 1995.

---------------, Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang,

1996.

Rahmena, Ali (Ed.), Pioneers of Islamic Revival, Terj. Ilyas hasan,

Para Perintis Zaman baru Islam, Bandung: Mizan, 1996.

Ridha, Rasyid, Tafsir al-Manar, Juz I. Mesir: Dar al-Manar, 1954.

Syahatah, Abdullah Mahmud, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh

Fi Tafsir al-Qur-an al-Karim, Kairo: Nasyr Rasail al-Jami’at,

1963.

Syihab, M. Quraisy, Studi Kritis Tafsir al-Manar, Bandung:

Pustaka Hidayah, 1994.