Perilaku sunan kalijaga yang dapat di teladani dalam menyebarkan agama islam adalah *

Sunan Kalijaga. ©istimewa

JATENG | 15 Desember 2021 08:15 Reporter : Shani Rasyid

Merdeka.com - Sunan Kalijaga adalah salah satu anggota Wali Songo yang sangat disegani. Namanya cukup terkenal di banyak tempat yang tersebar di wilayah Pulau Jawa bagian tengah.

Melansir dari Uny.ac.id, di antara para anggota Wali Songo, Sunan Kalijaga ditugaskan untuk melakukan dakwah kepada para penganut kepercayaan lama. Dalam menyebarkan ajaran Islam, dia selalu menggunakan pakaian adat Jawa setiap hari dengan menggabungkan unsur Islam. Hal ini dilakukan agar masyarakat mampu menerima kehadirannya di tengah-tengah mereka.

Selain itu, Sunan Kalijaga juga menggunakan media dakwah dalam menyebarkan ajarannya. Apa saja media dakwah itu? Berikut selengkapnya:

2 dari 4 halaman

©Shutterstock

Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu media dakwahnya. Waktu itu, kesenian wayang memang digemari masyarakat. Dia pun berkeliling di wilayah Padjajaran dan Majapahit untuk menjadi dalang.

Apabila masyarakat ingin Sunan Kalijaga mengadakan pertunjukan wayang, dia tidak meminta masyarakat untuk memungut biaya apapun, selain mengucapkan dua kalimat syahadat.

Di dalam kesenian wayang inilah, Sunan Kalijaga mengajarkan nilai-nilai tasawuf. Dia juga memunculkan ajaran Islam lewat tokoh-tokoh Yudistira dan Bima.

3 dari 4 halaman

©2021 KBRI Tokyo

Melansir dari Uny.ac.id, gamelan digunakan sebagai media dakwah oleh Sunan Kalijaga ketika pertunjukan dan acara lainnya.

Dalam pertunjukan, ketukan gamelan ia ciptakan sendiri agar diterima masyarakat. Selain itu gamelan dimanfaatkan untuk mengundang masyarakat datang ke masjid. Alat musik tradisional itu juga digunakan saat acara Grobeg dan Sekaten untuk bertujuan demi mendapatkan perhatian masyarakat.

Tembang

©YouTube/Solite Kids

Selain menggunakan gamelan, Sunan Kalijaga juga menggunakan tembang sebagai sarana menyebarkan dakwah Islamnya. Tembang yang diciptakan Sunan Kalijaga antara lain Tembang Rumekso Ing Wengi dan Ilir-Ilir.

Tembang Rumekso Ing Wengi berisi tentang doa saat malam hari setelah melakukan salat tahajjud. Tembang ini disusun Sunan Kalijaga karena waktu itu masyarakat Jawa masih kesulitan dalam menghafal doa berbahasa Arab. Selain itu, terdapat pula Tembang Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul yang berisi tentang nasihat-nasihat kehidupan.

4 dari 4 halaman

©2015 Merdeka.com/arie sunaryo

Dalam menyebarkan ajaran Islam, Sunan Kalijaga juga menggelar semacam perayaan yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah “grebeg”. Di dalamnya terdapat tradisi Sekaten yang berasal dari kata “sekati” yang berarti “nama dua alat gamelan”.

Ide untuk menggabungkan kebudayaan grebeg dengan sekaten muncul saat Sunan Kalijaga mencoba mengajak masyarakat ke masjid yang saat itu bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Selain menggelar musik gamelan dan tari-tarian, waktu itu Sunan Kalijaga juga mengajak masyarakat menghiasi kompleks masjid. Awalnya masyarakat malu untuk datang, tapi perlahan-lahan mereka berdatangan melewati gapura dan dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat.

[mdk/shr]

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

H. Abd.Adzim Lc. M.Pd

a. Dakwah Era Klasik

Di dalam ilmu pewayangan [Wayang Kulit], ada seorang Publik Figure [Uswatun Hasanah] yang bernama Prabu Puntodewo. Ia seorang tokoh religius, sekaligus menjadi figur central dikalangan [kerajaan] Ngastino. Tutur katanyanya sangat santun dan lembut, wajahnya selalu merunduk manakala berjalan. Ia senantiasa memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi busana kepada orang telanjang, memberi payung pada orang yan kepanasan dan kehujanan. Begitu sempurna sifat yang dimiliki oleh ‘'Puntodewo'', sehingga sang dalang sering menyebut dengan istilah'' Kun Ta Da'iyan'' yang artinya jadilah kalian orang yang selalu mengajak kebaikan [dakwah].

Pekerjaanya selalu mengajak kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Ia juga menjadi sosok pemimpin yang patut diteladani oleh masyarakat, sekaligus menjadi contoh bagi adik-adiknya yang terhimpun dalam ‘' Pendowo Lima''. Mereka ialah, Puntodewo, Warkudoro, Arjuno [Janoko], Nakulo dan Sadewo. Sosok Puntadewo ini tidak lepas dari Figur sang Wali [Raden Mas Said], kanjeng Sunan Kalijogo sang perintis wayang kulit. Jadi, sosok pemimpin itu mesti memiliki sifat-sfat mulia sebagaimana Puntodewo yang senantiasa berdakwah, turun gunung memberikan penyuluhan agama kepada rakyatnya.

Kanjeng Sunan Kalijogo sosok ulama' yang sangat cerdas di dalam menganalisis sebuah masalah dakwah. Ketika beliau melihat masyarakat Jawa masih menyukai budaya wayang. Beliau tidak lantas melarang, atau membiarkan begitu saja. Justru kesukaan itu menjadi inspirasi dakwahnya. Tanpa menyakiti, atau menyinggung perasan orang lain beliau mencoba menawarkan budaya wayang, dengan kemasan atau alur yang memberikan pencerahan moral. Tujuannya ialah, aagar supaya pesan-pesan agama, seperi ;Sahadatain di kemas dengan " Jamus Kalimu Sodo'' yang artinya dua kalimah Sahadat.

Jadi, upaya Kanjeng Sunan tidak sia-sia. Pendekatan budaya itu membuahkan hasil signifikan terhadap perkembangan islam, hingga kemudian islam berkembang pesat hingga kepelosok nusantara. Islam bukan lagi agama orang kampung, tetapi islam mampu merambah kepada para elit kerjaan. Kesantunan islam menjadi salah satu daya tarik setiap orang.

Sebuah kewajaran jika Kanjeng Sunan menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya Wayang Kulit. Karena pada waktu itu masyarakat mengandrungi budaya. Karena obyek dakwahnya orang-orang Jawa, maka beliau tidak menggunakan bahasa Arab, walaupun bliau tahu dan mampu menggunakan bahasa Arab. Di dalam literatur sejarah, tidak pernah ditemukan pesan-pesan [ceramah], dawuh Kanjeng sunan menggunakan bahasa Arab. Sebagaimana da'i-dai sekarang yang sering mengutip al-Qur'an dan Sunnah Nabi secara fasih.

Kanjeng Sunan lebih suka menggunakan bahasa Jawa, bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab, atau bahasa Melayu. Beliau lebih sreg dengan menggunakan bahasa Jawa. Pesan-pesan beliau yang tertulis juga menggunakan bahasa Jawa, di dalam realitasnya, beliau mampu memberikan teladan kepada masyarakat sekitarnya. Beliau pernah menyampaikan sebuah pesan terkait dengan dakwahnya yang berbunyi:''

"Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh [hidayah] saka gisti Allah" Yang artinya kurang lebih sebagai berikut: "Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya [banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya], pasar hilang gaungnya [pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita hilang malunya [tidak menutup aurat dan sebagainya] maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa [dari kampung ke kampung], dari pintu ke pintu [dari rumah ke rumah untuk dakwah], janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah Swt.

Tidak hanya kanjeng Sunan Kalijogo yang menyampaikan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Sunan Drajat juga menggunakan pendekatan budaya. Sudan Drajat lebih suka menyampaiak pesan al-Qur'an dan hadis dengan menggunakan bahasa Jawa'' sebagaimana dicatat oleh sejarah:'' Menehono teken wong kang wuto [buta], Menehono pangan marang wong kang luwe [kelaparan], menehono busono marang wong kang wudo [telanjang], menehono ngiyup marang wong kang kaudanan [kehujajan][1].

Filsafat dakwah para ulama' terdahulu mendahulukan moral [Haliyah], sehingga lebih mengena terhadap sasaran atau tujuan. Para ulama' itu juga sangat cerdas di dalam melakukan pendekatan, sebagaimana Nabi melakukan dakwahnya ketika di Makkah. Para ilmuan, seperti Fahruddin al-Rozi,[2] Ibnu Kholdun, al-Ghozali,[3] al-Nawawi senantiasa mengunakan pola yang sedang berkembang kala itu. Semua fikiran [ilmu]nya dituangkan dalam sebuah karya ilmiyah, yang selanjutnya dapat dinikmati hingga saat ini.

Page 2

H. Abd.Adzim Lc. M.Pd

a. Dakwah Era Klasik

Di dalam ilmu pewayangan [Wayang Kulit], ada seorang Publik Figure [Uswatun Hasanah] yang bernama Prabu Puntodewo. Ia seorang tokoh religius, sekaligus menjadi figur central dikalangan [kerajaan] Ngastino. Tutur katanyanya sangat santun dan lembut, wajahnya selalu merunduk manakala berjalan. Ia senantiasa memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi busana kepada orang telanjang, memberi payung pada orang yan kepanasan dan kehujanan. Begitu sempurna sifat yang dimiliki oleh ‘'Puntodewo'', sehingga sang dalang sering menyebut dengan istilah'' Kun Ta Da'iyan'' yang artinya jadilah kalian orang yang selalu mengajak kebaikan [dakwah].

Pekerjaanya selalu mengajak kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Ia juga menjadi sosok pemimpin yang patut diteladani oleh masyarakat, sekaligus menjadi contoh bagi adik-adiknya yang terhimpun dalam ‘' Pendowo Lima''. Mereka ialah, Puntodewo, Warkudoro, Arjuno [Janoko], Nakulo dan Sadewo. Sosok Puntadewo ini tidak lepas dari Figur sang Wali [Raden Mas Said], kanjeng Sunan Kalijogo sang perintis wayang kulit. Jadi, sosok pemimpin itu mesti memiliki sifat-sfat mulia sebagaimana Puntodewo yang senantiasa berdakwah, turun gunung memberikan penyuluhan agama kepada rakyatnya.

Kanjeng Sunan Kalijogo sosok ulama' yang sangat cerdas di dalam menganalisis sebuah masalah dakwah. Ketika beliau melihat masyarakat Jawa masih menyukai budaya wayang. Beliau tidak lantas melarang, atau membiarkan begitu saja. Justru kesukaan itu menjadi inspirasi dakwahnya. Tanpa menyakiti, atau menyinggung perasan orang lain beliau mencoba menawarkan budaya wayang, dengan kemasan atau alur yang memberikan pencerahan moral. Tujuannya ialah, aagar supaya pesan-pesan agama, seperi ;Sahadatain di kemas dengan " Jamus Kalimu Sodo'' yang artinya dua kalimah Sahadat.

Jadi, upaya Kanjeng Sunan tidak sia-sia. Pendekatan budaya itu membuahkan hasil signifikan terhadap perkembangan islam, hingga kemudian islam berkembang pesat hingga kepelosok nusantara. Islam bukan lagi agama orang kampung, tetapi islam mampu merambah kepada para elit kerjaan. Kesantunan islam menjadi salah satu daya tarik setiap orang.

Sebuah kewajaran jika Kanjeng Sunan menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya Wayang Kulit. Karena pada waktu itu masyarakat mengandrungi budaya. Karena obyek dakwahnya orang-orang Jawa, maka beliau tidak menggunakan bahasa Arab, walaupun bliau tahu dan mampu menggunakan bahasa Arab. Di dalam literatur sejarah, tidak pernah ditemukan pesan-pesan [ceramah], dawuh Kanjeng sunan menggunakan bahasa Arab. Sebagaimana da'i-dai sekarang yang sering mengutip al-Qur'an dan Sunnah Nabi secara fasih.

Kanjeng Sunan lebih suka menggunakan bahasa Jawa, bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab, atau bahasa Melayu. Beliau lebih sreg dengan menggunakan bahasa Jawa. Pesan-pesan beliau yang tertulis juga menggunakan bahasa Jawa, di dalam realitasnya, beliau mampu memberikan teladan kepada masyarakat sekitarnya. Beliau pernah menyampaikan sebuah pesan terkait dengan dakwahnya yang berbunyi:''

"Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh [hidayah] saka gisti Allah" Yang artinya kurang lebih sebagai berikut: "Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya [banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya], pasar hilang gaungnya [pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita hilang malunya [tidak menutup aurat dan sebagainya] maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa [dari kampung ke kampung], dari pintu ke pintu [dari rumah ke rumah untuk dakwah], janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah Swt.

Tidak hanya kanjeng Sunan Kalijogo yang menyampaikan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Sunan Drajat juga menggunakan pendekatan budaya. Sudan Drajat lebih suka menyampaiak pesan al-Qur'an dan hadis dengan menggunakan bahasa Jawa'' sebagaimana dicatat oleh sejarah:'' Menehono teken wong kang wuto [buta], Menehono pangan marang wong kang luwe [kelaparan], menehono busono marang wong kang wudo [telanjang], menehono ngiyup marang wong kang kaudanan [kehujajan][1].

Filsafat dakwah para ulama' terdahulu mendahulukan moral [Haliyah], sehingga lebih mengena terhadap sasaran atau tujuan. Para ulama' itu juga sangat cerdas di dalam melakukan pendekatan, sebagaimana Nabi melakukan dakwahnya ketika di Makkah. Para ilmuan, seperti Fahruddin al-Rozi,[2] Ibnu Kholdun, al-Ghozali,[3] al-Nawawi senantiasa mengunakan pola yang sedang berkembang kala itu. Semua fikiran [ilmu]nya dituangkan dalam sebuah karya ilmiyah, yang selanjutnya dapat dinikmati hingga saat ini.


Lihat Filsafat Selengkapnya

Page 3

H. Abd.Adzim Lc. M.Pd

a. Dakwah Era Klasik

Di dalam ilmu pewayangan [Wayang Kulit], ada seorang Publik Figure [Uswatun Hasanah] yang bernama Prabu Puntodewo. Ia seorang tokoh religius, sekaligus menjadi figur central dikalangan [kerajaan] Ngastino. Tutur katanyanya sangat santun dan lembut, wajahnya selalu merunduk manakala berjalan. Ia senantiasa memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi busana kepada orang telanjang, memberi payung pada orang yan kepanasan dan kehujanan. Begitu sempurna sifat yang dimiliki oleh ‘'Puntodewo'', sehingga sang dalang sering menyebut dengan istilah'' Kun Ta Da'iyan'' yang artinya jadilah kalian orang yang selalu mengajak kebaikan [dakwah].

Pekerjaanya selalu mengajak kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Ia juga menjadi sosok pemimpin yang patut diteladani oleh masyarakat, sekaligus menjadi contoh bagi adik-adiknya yang terhimpun dalam ‘' Pendowo Lima''. Mereka ialah, Puntodewo, Warkudoro, Arjuno [Janoko], Nakulo dan Sadewo. Sosok Puntadewo ini tidak lepas dari Figur sang Wali [Raden Mas Said], kanjeng Sunan Kalijogo sang perintis wayang kulit. Jadi, sosok pemimpin itu mesti memiliki sifat-sfat mulia sebagaimana Puntodewo yang senantiasa berdakwah, turun gunung memberikan penyuluhan agama kepada rakyatnya.

Kanjeng Sunan Kalijogo sosok ulama' yang sangat cerdas di dalam menganalisis sebuah masalah dakwah. Ketika beliau melihat masyarakat Jawa masih menyukai budaya wayang. Beliau tidak lantas melarang, atau membiarkan begitu saja. Justru kesukaan itu menjadi inspirasi dakwahnya. Tanpa menyakiti, atau menyinggung perasan orang lain beliau mencoba menawarkan budaya wayang, dengan kemasan atau alur yang memberikan pencerahan moral. Tujuannya ialah, aagar supaya pesan-pesan agama, seperi ;Sahadatain di kemas dengan " Jamus Kalimu Sodo'' yang artinya dua kalimah Sahadat.

Jadi, upaya Kanjeng Sunan tidak sia-sia. Pendekatan budaya itu membuahkan hasil signifikan terhadap perkembangan islam, hingga kemudian islam berkembang pesat hingga kepelosok nusantara. Islam bukan lagi agama orang kampung, tetapi islam mampu merambah kepada para elit kerjaan. Kesantunan islam menjadi salah satu daya tarik setiap orang.

Sebuah kewajaran jika Kanjeng Sunan menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya Wayang Kulit. Karena pada waktu itu masyarakat mengandrungi budaya. Karena obyek dakwahnya orang-orang Jawa, maka beliau tidak menggunakan bahasa Arab, walaupun bliau tahu dan mampu menggunakan bahasa Arab. Di dalam literatur sejarah, tidak pernah ditemukan pesan-pesan [ceramah], dawuh Kanjeng sunan menggunakan bahasa Arab. Sebagaimana da'i-dai sekarang yang sering mengutip al-Qur'an dan Sunnah Nabi secara fasih.

Kanjeng Sunan lebih suka menggunakan bahasa Jawa, bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab, atau bahasa Melayu. Beliau lebih sreg dengan menggunakan bahasa Jawa. Pesan-pesan beliau yang tertulis juga menggunakan bahasa Jawa, di dalam realitasnya, beliau mampu memberikan teladan kepada masyarakat sekitarnya. Beliau pernah menyampaikan sebuah pesan terkait dengan dakwahnya yang berbunyi:''

"Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh [hidayah] saka gisti Allah" Yang artinya kurang lebih sebagai berikut: "Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya [banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya], pasar hilang gaungnya [pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita hilang malunya [tidak menutup aurat dan sebagainya] maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa [dari kampung ke kampung], dari pintu ke pintu [dari rumah ke rumah untuk dakwah], janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah Swt.

Tidak hanya kanjeng Sunan Kalijogo yang menyampaikan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Sunan Drajat juga menggunakan pendekatan budaya. Sudan Drajat lebih suka menyampaiak pesan al-Qur'an dan hadis dengan menggunakan bahasa Jawa'' sebagaimana dicatat oleh sejarah:'' Menehono teken wong kang wuto [buta], Menehono pangan marang wong kang luwe [kelaparan], menehono busono marang wong kang wudo [telanjang], menehono ngiyup marang wong kang kaudanan [kehujajan][1].

Filsafat dakwah para ulama' terdahulu mendahulukan moral [Haliyah], sehingga lebih mengena terhadap sasaran atau tujuan. Para ulama' itu juga sangat cerdas di dalam melakukan pendekatan, sebagaimana Nabi melakukan dakwahnya ketika di Makkah. Para ilmuan, seperti Fahruddin al-Rozi,[2] Ibnu Kholdun, al-Ghozali,[3] al-Nawawi senantiasa mengunakan pola yang sedang berkembang kala itu. Semua fikiran [ilmu]nya dituangkan dalam sebuah karya ilmiyah, yang selanjutnya dapat dinikmati hingga saat ini.


Lihat Filsafat Selengkapnya

Page 4

H. Abd.Adzim Lc. M.Pd

a. Dakwah Era Klasik

Di dalam ilmu pewayangan [Wayang Kulit], ada seorang Publik Figure [Uswatun Hasanah] yang bernama Prabu Puntodewo. Ia seorang tokoh religius, sekaligus menjadi figur central dikalangan [kerajaan] Ngastino. Tutur katanyanya sangat santun dan lembut, wajahnya selalu merunduk manakala berjalan. Ia senantiasa memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi busana kepada orang telanjang, memberi payung pada orang yan kepanasan dan kehujanan. Begitu sempurna sifat yang dimiliki oleh ‘'Puntodewo'', sehingga sang dalang sering menyebut dengan istilah'' Kun Ta Da'iyan'' yang artinya jadilah kalian orang yang selalu mengajak kebaikan [dakwah].

Pekerjaanya selalu mengajak kebaikan, dan mencegah kemungkaran. Ia juga menjadi sosok pemimpin yang patut diteladani oleh masyarakat, sekaligus menjadi contoh bagi adik-adiknya yang terhimpun dalam ‘' Pendowo Lima''. Mereka ialah, Puntodewo, Warkudoro, Arjuno [Janoko], Nakulo dan Sadewo. Sosok Puntadewo ini tidak lepas dari Figur sang Wali [Raden Mas Said], kanjeng Sunan Kalijogo sang perintis wayang kulit. Jadi, sosok pemimpin itu mesti memiliki sifat-sfat mulia sebagaimana Puntodewo yang senantiasa berdakwah, turun gunung memberikan penyuluhan agama kepada rakyatnya.

Kanjeng Sunan Kalijogo sosok ulama' yang sangat cerdas di dalam menganalisis sebuah masalah dakwah. Ketika beliau melihat masyarakat Jawa masih menyukai budaya wayang. Beliau tidak lantas melarang, atau membiarkan begitu saja. Justru kesukaan itu menjadi inspirasi dakwahnya. Tanpa menyakiti, atau menyinggung perasan orang lain beliau mencoba menawarkan budaya wayang, dengan kemasan atau alur yang memberikan pencerahan moral. Tujuannya ialah, aagar supaya pesan-pesan agama, seperi ;Sahadatain di kemas dengan " Jamus Kalimu Sodo'' yang artinya dua kalimah Sahadat.

Jadi, upaya Kanjeng Sunan tidak sia-sia. Pendekatan budaya itu membuahkan hasil signifikan terhadap perkembangan islam, hingga kemudian islam berkembang pesat hingga kepelosok nusantara. Islam bukan lagi agama orang kampung, tetapi islam mampu merambah kepada para elit kerjaan. Kesantunan islam menjadi salah satu daya tarik setiap orang.

Sebuah kewajaran jika Kanjeng Sunan menyampaikan pesan-pesan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya Wayang Kulit. Karena pada waktu itu masyarakat mengandrungi budaya. Karena obyek dakwahnya orang-orang Jawa, maka beliau tidak menggunakan bahasa Arab, walaupun bliau tahu dan mampu menggunakan bahasa Arab. Di dalam literatur sejarah, tidak pernah ditemukan pesan-pesan [ceramah], dawuh Kanjeng sunan menggunakan bahasa Arab. Sebagaimana da'i-dai sekarang yang sering mengutip al-Qur'an dan Sunnah Nabi secara fasih.

Kanjeng Sunan lebih suka menggunakan bahasa Jawa, bukan berarti beliau tidak suka dengan bahasa Arab, atau bahasa Melayu. Beliau lebih sreg dengan menggunakan bahasa Jawa. Pesan-pesan beliau yang tertulis juga menggunakan bahasa Jawa, di dalam realitasnya, beliau mampu memberikan teladan kepada masyarakat sekitarnya. Beliau pernah menyampaikan sebuah pesan terkait dengan dakwahnya yang berbunyi:''

"Yen wis tibo titiwancine kali-kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange, wong wadon ilang wirange mangka enggal - enggala tapa lelana njlajah desa milang kori patang sasi aja ngasik balik yen during olih pituduh [hidayah] saka gisti Allah" Yang artinya kurang lebih sebagai berikut: "Jika sudah tiba jamannya di mana sungai-sungai hilang kedalamannya [banyak orang yang berilmu yang tidak amalkan ilmunya], pasar hilang gaungnya [pasar orang beriman adalah masjid, jika masjid-masjid tiada azan, wanita-wanita hilang malunya [tidak menutup aurat dan sebagainya] maka cepat-cepatlah kalian keluar 4 bulan dari desa ke desa [dari kampung ke kampung], dari pintu ke pintu [dari rumah ke rumah untuk dakwah], janganlah pulang sebelum mendapat hidayah dari Allah Swt.

Tidak hanya kanjeng Sunan Kalijogo yang menyampaikan dakwahnya menggunakan pendekatan budaya. Sunan Drajat juga menggunakan pendekatan budaya. Sudan Drajat lebih suka menyampaiak pesan al-Qur'an dan hadis dengan menggunakan bahasa Jawa'' sebagaimana dicatat oleh sejarah:'' Menehono teken wong kang wuto [buta], Menehono pangan marang wong kang luwe [kelaparan], menehono busono marang wong kang wudo [telanjang], menehono ngiyup marang wong kang kaudanan [kehujajan][1].

Filsafat dakwah para ulama' terdahulu mendahulukan moral [Haliyah], sehingga lebih mengena terhadap sasaran atau tujuan. Para ulama' itu juga sangat cerdas di dalam melakukan pendekatan, sebagaimana Nabi melakukan dakwahnya ketika di Makkah. Para ilmuan, seperti Fahruddin al-Rozi,[2] Ibnu Kholdun, al-Ghozali,[3] al-Nawawi senantiasa mengunakan pola yang sedang berkembang kala itu. Semua fikiran [ilmu]nya dituangkan dalam sebuah karya ilmiyah, yang selanjutnya dapat dinikmati hingga saat ini.


Lihat Filsafat Selengkapnya

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề