Peristiwa mengorbankan salah satu bagian tubuh untuk bisa lari dari ancaman disebut

Sumber foto: kompas.com

Jakarta – Kasus kriminalisasi atas pembelaan diri yang berujung pada hilangnya nyawa seseorang kembali terjadi. ZA (17) seorang pelajar Malang divonis bersalah melakukan penganiayaan yang menyebabkan kematian (Pasal 351 ayat 3 KUHP) dan dihukum pidana pembinaan selama 1 tahun oleh Pengadilan Negeri Kepanjen sesuai UU Peradilan Anak. ZA menurut hakim terbukti menusuk sehingga menghilangkan nyawa seorang begal, Misnan (35).

Penusukan ini bermula saat Misnan dan komplotannya menghadang ZA yang sedang berboncengan dengan teman perempuannya (8/9/2019). Komplotan ini kemudian meminta paksa barang-barang berharga dan mengancam memperkosa teman ZA. Demi membela diri dan temannya itu, ZA mengambil pisau di jok motornya dan terlibat berkelahian, hingga akhirnya ZA menusuk Misnan di bagian dada. Anggota komplotan begal lainnya kemudian kabur dan esoknya Misnan ditemukan tewas.

Pembelaan dengan kasus serupa sebenarnya pernah terjadi di Bekasi pada 2018 silam. Pada kasus ini, Muhammad Irfan Bahri (19) juga terlibat duel dengan dua pembegal (AS, IY), yang berupaya merebut telepon genggam miliknya dan temannya serta membacok Irfan dengan celurit. Namun, duel itu dimenangkan Irfan, hingga akhirnya satu pembegal terluka parah dan meninggal dunia.

Beda dengan kasus ZA, kasus Irfan tidak sampai diadili di pengadilan. Dirinya hanya sempat ditetapkan sebagai tersangka yang kemudian diklarifikasi oleh kepolisian hanya sebagai saksi. Tidak hanya itu, Irfan bahkan memperoleh penghargaan dari Kapolretabes Bekasi karena tindakan bela dirinya yang menginsipirasi. Dua kasus serupa ini sama-sama memiliki dalil pembelaan diri, tetapi berakhir dengan penegakan hukum yang berbeda.

Sebenarnya tidak hanya dua kasus ini yang wujud penegakan hukumnya berbeda. Beberapa kasus pencurian, perampokan, atau duel yang menyebabkan kematian seseorang juga menggunakan dalil pembelaan diri, tetapi kasus-kasus tersebut justru berakhir hukuman pidana penjara bagi pelakunya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Apakah hukum pidana memang memiliki standar berbeda-beda atau tiap kasus memang tidak boleh dipandang sama?

Untuk menghindari prasangka dan merangkai pemahaman atas persoalan ini, maka konsep pembelaan diri dalam hukum pidana harus dipahami secara utuh.

Parameter

Pada prinsipnya, seseorang dijatuhi hukuman pidana (penjara, denda, dan sebagainya) apabila dua persyaratan dipenuhi, yakni; pertama, perbuatannya merupakan perbuatan pidana; dan kedua, pelaku bersalah atas perbuatan pidana tersebut. Rumus sederhananya adalah perbuatan pidana + kesalahan pelaku = hukuman pidana.

Pada pembuktian perbuatan pidana dan kesalahan pelaku tersebut terdapat keadaan atau peristiwa tertentu yang dapat menghapus atau meniadakan masing-masing persyaratan tersebut. Jika keadaan atau peristiwa ini ada, terjadi, dan dapat dibuktikan, maka tentu pidana tidak dapat dijatuhkan. Keadaan atau peristiwa yang demikian disebut dengan alasan penghapus pidana. Konsep pembelaan diri berhubungan dengan alasan penghapus pidana ini.

Pembelaan diri menjadi keadaan atau peristiwa yang dapat menghapus pidana, baik menghapus sifat melawan hukum sebagai alasan pembenar ataupun menghapus kesalahan pelaku sebagai alasan pemaaf. Pertanyaan selanjutnya, bagaimana parameter pembelaan diri agar dapat memenuhi alasan penghapus pidana? Titik tolak parameter pembelaan diri ada pada Pasal 49 KUHP. Pasal ini bahkan tidak hanya menyangkut pembelaan terhadap diri sendiri saja, tetapi juga orang lain.

Menurut konsep hukum pidana, pembelaan pada pasal tersebut terdiri atas dua bentuk, yakni pembelaan darurat (noodweer) pada Pasal 49 ayat (1) dan pembelaan darurat yang melampau batas (noodweer exces) pada Pasal 49 ayat (2). Kedua ketentuan ini berbeda dalam hal penghapusan pidana; jika pembelaan darurat adalah alasan pembenar, maka pembelaan pembelaan darurat yang melampau batas termasuk alasan pemaaf, sebab jenis pembelaan ini memiliki faktor keguncangan jiwa yang hebat.

Kesalahan pelaku dalam hal ini yang dimaafkan, bukan perbuatannya yang dibenarkan. Menilai keguncangan jiwa dalam suatu peristiwa tertentu membutuhkan penilaian psikolog atau dokter ahli kejiwaan. Lain halnya dalam menilai pembelaan darurat biasa.

Terkait pembelaan darurat, parameternya terletak pada dua unsur utama, yakni unsur serangan dan unsur pembelaan. Pertama, unsur serangan atau ancaman serangan. Serangan atau ancaman itu secara tempo harus terjadi seketika (saat itu juga), tidak boleh untuk serangan yang diperkirakan pada waktu mendatang, serta tidak boleh pada waktu serangan telah berakhir.

Contohnya jebakan pistol yang dipasang bagi pencuri. Jebakan ini tidak bisa diartikan sebagai pembelaan darurat, karena bukan serangan yang seketika datang. Selain itu, jika serangan atau situasi terancam sudah tidak ada, maka dalil pembelaan darurat juga tidak bisa digunakan. Contohnya pelaku penyerangan sudah tidak berdaya akibat pembelaan, tetapi tetap dipukul atau ditusuk. Maka pemukulan dan penusukan yang dilakukan setelah pelaku tidak berdaya tidak bisa disebut pembelaan darurat.

Serangan atau ancaman ini juga melawan hukum atau dengan kata lain mengarah pada tindak pidana. Jika ruang lingkup yang dilindungi adalah diri sendiri/orang lain (badan atau nyawa), kesusilaan, dan harta, maka perbuatan serangan itu mengarah pada tindak pidana yang konkretnya terdiri dari penganiayaan, pembunuhan pencabulan, pemerkosaan, dan pencurian (perampokan).

Kedua, unsur pembelaan. Pembelaan hanya dikhususkan untuk kepentingan diri dan orang lain (badan dan nyawa), menyangkut kehormatan kesusilaan serta harta benda. Pembelaan yang terjadi bersifat terpaksa, artinya tidak ada cara lain untuk menghalau serangan atau ancaman serangan tersebut. Untuk menilai sifat pembelaan ini, maka digunakan asas proporsionalitas atau asas subsidiaritas sesuai pemahaman doktrin para ahli (Van Hatum, Andi Hamzah, Satochid Kartanegara).

Asas ini menentukan adanya keseimbangan antara kepentingan hukum yang dilindungi dari serangan dengan kepentingan hukum dilanggar dengan pembelaan atau keseimbangan antara cara pembelaan yang dilakukan dengan cara serangan yang diterima. Apabila terdapat cara perlindungan lain untuk menghalau serangan/ancaman, maka pembelaan tidak boleh dilakukan dengan memilih cara paling berat yang mengorbankan kerugian lebih besar bagi penyerang.

Sebagai contoh, menembak atau menusuk pencuri jemuran di bagian vital dan menyebabkan kematian bukan suatu yang proporsional. Penembakan atau penusukan tersebut jelas bukan termasuk sebagai pembelaan darurat.

Aparat penegak hukum mestinya dapat menerapkan asas proporsionalitas/subsidiaritas pada kasus-kasus pembelaan seperti ZA dan Irfan sebagai parameter pembuktian, tidak hanya berdasarkan unsur pasal yang dipersangkakan atau didakwakan saja. Pembuktian berdasarkan asas ini secara terbuka dapat menjaga objektivitas dan independensi aparat penegak hukum, serta mencegah perspektif sempit masyarakat yang hanya membaca ulasan heroisme dari media, tanpa memahami fakta kasus secara jernih.

Penggalian fakta dengan menerapkan asas proporsioanalitas/subsidiaritas tentu lebih adil dibanding sebatas penetapan tersangka/terdakwa dan pembuktian sekadarnya berdasarkan pengenaan pasal-pasal pembunuhan atau penganiayaan. Fakta-fakta pembelaan dan fakta-fakta penyerangan masing-masing harus dibuktikan, ditimbang, dan dinilai sedemikian rupa secara proporsional, sehingga tidak mencederai keadilan serta menimbulkan polemik di masyarakat.

Jika didasarkan pada asas tersebut, maka kasus ZA dan Irfan tentu tidak bisa dipersamakan. Sekalipun cara pembelaan keduanya sama-sama berakhir dengan hilangnya nyawa pembegal, namun apakah kepentingan hukum yang dilindungi dan serangan atau ancaman yang terjadi juga memiliki kualitas yang sama? Pertanyaan ini menjadi bagian penting jika hendak melakukan uji proporsionalitas; menguji apakah perbuatan yang dilakukan benar merupakan pembelaan darurat atau justru tindakan main hakim sendiri (persekusi)?

Peter Jeremiah Setiawan, S.H., M.H., Dosen Laboratorium Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya

Tulisan dimuat di www.detik.com, 30 Januari 2020.