Pijakan Dasar perjuangan NU dalam pendidikan ialah misi

Nahdlatul Ulama (bahasa Arab: نَهْضَةُ الْعُلَمَاءْ‎; (terj. har. Kebangkitan Ulama) atau disingkat NU adalah organisasi Islam yang pernah menjadi partai politik di Indonesia.

Show
Pijakan Dasar perjuangan NU dalam pendidikan ialah misi
Nahdlatul UlamaSingkatanNUTanggal pendirian31 Januari 1926 M / 16 Rajab 1344 HDidirikan diKota SurabayaTipeOrganisasiTujuanBerlakunya ajaran Islam yang menganut faham Ahlusunnah wal Jama'ah Asy'ariyah untuk terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan, kesejahteraan umat, dan demi terciptanya rahmat bagi semesta.Kantor pusatJl. Kramat Raya, No. 164, Jakarta Pusat

Jumlah anggota

108 juta (2019)

Rais 'Aam

K.H. Miftachul Akhyar

Katib 'Aam

K.H. Ahmad Said Asrori

Ketua Umum

K.H. Yahya Cholil Staquf

Sekretaris Jenderal

Drs. H. Saifullah YusufSitus webwww.nu.or.id

Pijakan Dasar perjuangan NU dalam pendidikan ialah misi

Masjid Jombang, tempat lahirnya Nahdlatul Ulama

NU memiliki anggota berkisar dari 40 juta (2013)[1] hingga lebih dari 108 juta (2019) yang menjadikannya sebagai organisasi Islam terbesar di dunia.[2][3] NU juga merupakan badan amal yang mengelola pondok pesantren, sekolah, perguruan tinggi, dan rumah sakit serta mengorganisir masyarakat untuk membantu peningkatan kualitas hidup umat Islam.

NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Kota Surabaya oleh seorang ulama dan para pedagang untuk membela praktik Islam tradisionalis (sesuai dengan akidah Asy'ariyyah dan fiqih mazhab Syafi'i) dan kepentingan ekonomi anggotanya.[2] Pandangan keagamaan NU dianggap "tradisionalis" karena menoleransi budaya lokal selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dan banyak menyusupi ajaran Islam ke dalam adat masyarakat[4] Hal ini membedakannya dengan organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah, yang dianggap "reformis" karena membutuhkan interpretasi yang lebih literal terhadap Al-Qur'an dan Sunnah.[4]

Beberapa tokoh NU adalah pendukung konsep Islam Nusantara, sebuah ciri khas Islam yang telah mengalami interaksi, kontekstualisasi, pribumisasi, interpretasi, dan vernakularisasi sesuai dengan kondisi sosial budaya di Indonesia.[5] Islam Nusantara mempromosikan moderasi, anti-fundamentalisme, pluralisme dan pada titik tertentu, sinkretisme.[6] Namun, banyak sesepuh, pemimpin, dan ulama NU telah menolak Islam Nusantara dan memilih pendekatan yang lebih konservatif.[7]

Nahdlatul Ulama mengikuti mazhab Asy'ariyah, mengambil jalan tengah antara kecenderungan aqli (rasionalis) dan naqli (skripturalis). Organisasi tersebut mengidentifikasi Al-Qur'an, Sunnah, dan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiris sebagai sumber pemikirannya. NU mengaitkan pendekatan ini dengan para pemikir sebelumnya, seperti Abu al-Hasan al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi di bidang teologi.[8]

Di bidang fikih, NU mengakui empat mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hambali (berbeda dengan PERTI yang hanya bermazhab Syafi'i) tetapi dalam praktiknya jama'ah NU mayoritas dan cenderung bermazhab Syafi'i. Dalam hal tasawuf, NU mengikuti jalan Al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.[8] NU telah digambarkan oleh media barat sebagai gerakan Islam yang progresif, liberal dan pluralistik,[9][10] tetapi merupakan organisasi yang beragam dengan faksi konservatif yang besar juga.[7]

Nahdlatul Ulama telah menyatakan bahwa mereka tidak terikat pada organisasi politik manapun.[11]

Asal usul

NU didirikan pada tahun 1926 sebagai organisasi ulama Muslim Asy'ari ortodoks,[12] yang bertentangan dengan kebijakan modernis Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis), dan munculnya gerakan Salafi dari organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Indonesia yang sama sekali menolak adat istiadat setempat yang dipengaruhi oleh tradisi Hindu dan Buddha Jawa pra-Islam. Organisasi ini didirikan setelah Komite Hijaz telah memenuhi tugasnya dan akan dibubarkan. Organisasi ini didirikan oleh Hasyim Asy'ari, kepala pesantren di Jawa Timur. Organisasi NU berkembang, tetapi basis dukungannya tetap di Jawa Timur. Pada tahun 1928, NU menggunakan bahasa Jawa dalam khotbahnya, di samping bahasa Arab.[13]:169[14]:168[15]:233–236

Pada tahun 1937, meskipun hubungan NU dengan organisasi-organisasi Islam Sunni lainnya di Indonesia buruk, organisasi-organisasi tersebut membentuk Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) sebagai forum diskusi. Mereka bergabung dengan sebagian besar organisasi Islam lainnya yang ada pada saat itu. Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia dan pada bulan September diadakan konferensi para pemimpin Islam di Jakarta.[13]:191,194[15]:233–236

Jepang ingin menggantikan MIAI, tetapi konferensi tidak hanya memutuskan untuk mempertahankan organisasi, tetapi juga memilih tokoh-tokoh politik yang tergabung dalam Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) untuk kepemimpinan, daripada anggota non-politik NU atau Muhammadiyah seperti yang diinginkan penjajah. Lebih dari setahun kemudian, MIAI dibubarkan dan digantikan oleh Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) yang disponsori Jepang. Hasjim Asjari adalah ketua nasional, tetapi dalam praktiknya organisasi baru itu dipimpin oleh putranya, Wahid Hasyim. Tokoh NU dan Muhammadiyah lainnya memegang posisi kepemimpinan.[13]:191,194[15]:233–236

Pada tahun 1945, Soekarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Selama perang kemerdekaan Indonesia, NU menyatakan bahwa perang melawan pasukan kolonial Belanda adalah jihad/perang suci, wajib bagi semua umat Islam. Di antara kelompok gerilya yang memperjuangkan kemerdekaan adalah Hizbullah dan Sabililah yang dipimpin oleh NU.[15]:233–236

Nahdlatul Ulama menganut paham Ahlussunah wal Jama'ah, yaitu sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara Nash (Al Qur'an dan Hadits) dengan Akal (Ijma' dan Qiyas). Oleh sebab itu sumber hukum Islam bagi warga NU tidak hanya Al Qur'an, dan As Sunnah saja, melainkan juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empiris.[butuh rujukan]

Maka, di dalam persoalan aqidah, NU merujuk kepada Imam Abul Hasan Al Asy'ari, sedangkan dalam persoalan fiqih, NU merujuk kepada Imam Syafi'i, dan dalam bidang tashawwuf, NU merujuk kepada Imam Al Ghazali. Namun NU tetap mengakui dan bersikap tasamuh kepada para mujtahid lainnya, seperti dalam bidang aqidah dikenal seorang mujtahid bernama Abu Mansur Al Maturidi, kemudian dalam bidang fiqih terdapat tiga mujtahid besar selain Imam Syafi'i, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Hanbali, serta dalam bidang tashawwuf dikenal pula Imam Junaid al-Baghdadi.[butuh rujukan]

Adapun gagasan "Kembali ke Khittah NU" pada tahun 1984 merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fiqih maupun sosial, serta merumuskan kembali hubungan NU dengan Negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.[16]

Muktamar

ke

Lokasi Tahun Rais 'Aam Ketua Umum
1 Surabaya 1926 K.H. M. Hasyim Asy'ari (Rais Akbar) K.H. Hasan Gipo
2 Surabaya 1927
3 Surabaya 1928
4 Semarang 1929 K.H. Ahmad Noor
5 Pekalongan 1930
6 Cirebon 1931
7 Bandung 1932
8 Jakarta 1933
9 Banyuwangi 1934
10 Surakarta 1935
11 Banjarmasin 1936
12 Malang 1937 K.H. Mahfudz Siddiq
13 Banten 1938
14 Magelang 1939
15 Surabaya 1940
16 Banyumas 1946 K.H. Nahrawi Thohir
17 Madiun 1947 K.H. A. Wahhab Hasbullah
18 Jakarta 1948
19 Palembang 1951 K.H. A. Wahid Hasyim
20 Surabaya 1954 K.H. Muhammad Dahlan
21 Medan 1956 Dr. K.H. Idham Chalid
22 Jakarta 1959
23 Surakarta 1962
24 Bandung 1967
25 Surabaya 1971 K.H. Bisri Syansuri
26 Semarang 1979
27 Situbondo 1984 K.H. Ahmad Shidiq Dr. K.H. Abdurrahman Wahid
28 Yogyakarta 1989
29 Tasikmalaya 1994
30 Kediri 1999 Dr. K.H. M. A. Sahal Mahfuz K.H. Ahmad Hasyim Muzadi
31 Surakarta 2004
32 Makassar 2010 Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, M.A.
33 Jombang 2015 Prof. Dr. K.H. Ma'ruf Amin
34 Lampung 2021 K.H. Miftachul Akhyar K.H.Yahya Cholil Staquf
  1. Pengurus Besar (PBNU), untuk kepengurusan pusat tingkat nasional di Jakarta.
  2. Pengurus Wilayah (PWNU), untuk kepengurusan di tingkat provinsi.
  3. Pengurus Cabang (PCNU), untuk kepengurusan di tingkat kabupaten/kota.
  4. Majelis Wakil Cabang (MWCNU), untuk kepengurusan di tingkat kecamatan.
  5. Pengurus Ranting (PRNU), untuk kepengurusan di tingkat desa/kelurahan.
  6. Pengurus Anak Ranting (PARNU), untuk kepengurusan di tingkat dusun/masjid/kelompok.
  7. Pengurus Cabang Istimewa (PCINU), untuk kepengurusan di negara luar Indonesia.

Lembaga adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan Nahdlatul Ulama sesuai dan berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan yang memerlukan penanganan khusus.[17] Lembaga Nahdlatul Ulama meliputi:

  1. Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
  2. Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU)
  3. Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul Ulama (LPMNU)
  4. Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (RMINU)
  5. Lembaga Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
  6. Lembaga Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU)
  7. Lembaga Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama (LPKNU)
  8. Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
  9. Lembaga Kajian & Pengembangan SDM Nahdlatul Ulama (LAKPESDAM-NU)
  10. Lembaga Penyuluhan & Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama (LPBHNU)
  11. Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama (LESBUMI)
  12. Lembaga Zakat, Infaq, & Shadaqah Nahdlatul Ulama (LAZISNU)
  13. Lembaga Waqaf & Pertanahan Nahdlatul Ulama (LWPNU)
  14. Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU)
  15. Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU)
  16. Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)
  17. Lembaga Penanggulangan Bencana & Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBPINU)
  18. Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama (LTNNU)
  19. Lembaga Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU)

Badan Otonom NU adalah perangkat organisasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu dan beranggotakan perorangan. Badan Otonom dikelompokkan dalam katagori Badan Otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu, dan Badan Otonom berbasis profesi dan kekhususan lainnya.[18] Jenis badan otonom berbasis usia dan kelompok masyarakat tertentu adalah :

  1. Gerakan Pemuda Ansor
  2. Muslimat
  3. Fatayat
  4. Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU)
  5. Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
  6. Jam'iyatul Qurra' wal Huffazh (JQH)
  7. Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu)
  8. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
  9. Pencak Silat Pagar Nusa
  10. Jam'iyah Ahlit Thariqah Al Mu'tabarah an Nahdliyah (Jatman)
  11. Ikatan Seni Hadrah Indonesia Nahdlatul Ulama (Ishari)
  12. Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
  13. Serikat Buruh Muslimin Indonesia (Sarbumusi)
  14. Serikat Nelayan Nahdlatul Ulama (SNNU)

Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Soekarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Nasionalis diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI), Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), dll. Agama diwakili Partai Nahdhatul Ulama, Masyumi, Partai Katolik, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dll. Dan Komunis diwakili oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)[19].

NU kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa orde baru Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk 'Kembali ke Khittah 1926' yaitu untuk tidak berpolitik praktis lagi.

Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

Pemilu Total kursi Total pemilihan % Hasil
1955

45 / 257

6.955.141 18,41% Partai baru
1971

58 / 360

10.213.650 18,68%  13 kursi

Partai penerus

  • Partai Kebangkitan Bangsa
  • Partai Persatuan Pembangunan
  • Partai Kebangkitan Nasional Ulama
  • Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia
  • Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
  • Persatuan Islam Tionghoa Indonesia
  • Majelis Ulama Indonesia
  • Islam di Indonesia
  • Indonesia
  • Pesantren
  1. ^ Ranjan Ghosh (4 January 2013). Making Sense of the Secular: Critical Perspectives from Europe to Asia. Routledge. hlm. 202–. ISBN 978-1-136-27721-4. 
  2. ^ a b Esposito, John (2013). Oxford Handbook of Islam and Politics. OUP USA. hlm. 570. ISBN 9780195395891. Diakses tanggal 17 November 2015. 
  3. ^ Patrick Winn (March 8, 2019). "The world's largest Islamic group wants Muslims to stop saying 'infidel'". PRI. 
  4. ^ a b Pieternella, Doron-Harder (2006). Women Shaping Islam. University of Illinois Press. hlm. 198. ISBN 9780252030772. Diakses tanggal 17 November 2015. 
  5. ^ "Apa yang Dimaksud dengan Islam Nusantara?". Nahdlatul Ulama. 22 April 2015. 
  6. ^ F Muqoddam (2019). "Syncretism of Slametan Tradition As a Pillar of Islam Nusantara'". E Journal IAIN Madura. 
  7. ^ a b Arifianto, Alexander R. (23 January 2017). "Islam Nusantara & Its Critics: The Rise of NU's Young Clerics" (PDF). RSIS Commentary. 18. 
  8. ^ a b http://www.nu.or.id/a,public-m,static-s,detail-lang,en-ids,1-id,7-t,religious+ideology-.phpx
  9. ^ "From Indonesia, a challenge to the ideology of the Islamic State". The New York Times. Jakarta. 4 December 2015. Diakses tanggal 4 December 2015. 
  10. ^ Varagur, Krithika (2 December 2015). "World's Largest Islamic Organization Tells ISIS To Get Lost". The Huffington Post. Diakses tanggal 4 December 2015. 
  11. ^ Robin Bush, Robin Bush Rickard. Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power Within Islam and Politics in Indonesia. Institute of Southeast Asian Studies. hlm. 78. 
  12. ^ University of Cumbria, Division of Religion and Philosophy. "Nahdatul Ulama". www.philtar.ac.uk. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-03-03. Diakses tanggal 2021-03-09.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  13. ^ a b c Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford: Stanford University Press. ISBN 0-8047-4480-7. 
  14. ^ Schwartz, Adam (1994). A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s . Allen & Unwin. ISBN 1-86373-635-2. 
  15. ^ a b c d Feith, Herbert (2007). The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Equinox Publishing (Asia) Pte Ltd. ISBN 978-9-79378-045-0. 
  16. ^ tim. "Sejarah Berdirinya NU Sejak Masa Penjajahan". nasional. Diakses tanggal 2021-12-03. 
  17. ^ "Daftar Lembaga-lembaga di Bawah Naungan NU". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  18. ^ "Badan-badan Otonom (Banom) di Bawah Naungan NU". nu.or.id. Diakses tanggal 2022-01-30. 
  19. ^ https://rasindonews.wordpress.com/2022/06/06/perkembangan-politik-partai-komunis-indonesia-1948-1965/
  • (Indonesia) Situs Resmi Nahdlatul Ulama

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nahdlatul_Ulama&oldid=21521567"