Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh

Rakyat merupakan sumber legitimasi kekuasaan negara dan pemerintah. Melalui mekanisme pemilihan langsung, rakyat yang sudah berhak memilih berdasarkan konstitusi UUD 1945 memberikan mandat kekuasaan kepada pemimpin pilihannya di Indonesia untuk menjalankan pemerintahan.

Presiden terpilih adalah penerima mandat kekuasaan rakyat secara langsung, menciptakan hubungan yang kokoh antara rakyat dengan presiden. Dengan mandat dari rakyat tersebut, maka presiden bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat.

Konstitusi UUD 1945 Pasal 6A menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Inilah prinsip dasar mandat kekuasaan rakyat yang diperjuangkan melalui Reformasi 1998. Berdasarkan prinsip dasar tersebut, pemilihan presiden tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat, dan bukan melalui mekanisme perwakilan, sebagaimana yang pernah dijalankan oleh Indonesia di masa lalu.

Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa pemilihan presiden langsung merupakan bagian dari proses memperoleh pemimpin yang berkualitas.

“Saya ini produk pilihan langsung dari rakyat. Masa saya mendukung pemilihan presiden oleh MPR?”

Penegasan Presiden Joko Widodo menjelaskan sikap politik pemerintah terkait adanya gagasan pemilihan presiden secara tidak langsung melalui perwakilan di MPR. Pemilihan presiden secara langsung merupakan konsensus dan cara terbaik untuk memilih pemimpin bangsa Indonesia.

Panca Kerja yang mendorong pembangunan sumber daya manusia, melanjutkan pembangunan infrastruktur, menyederhanakan birokrasi dan regulasi, dan mentransformasikan ekonomi Indonesia dari industri berbasis sumber daya alam menjadi manufaktur dan jasa modern, memerlukan sosok pemimpin bangsa terbaik yang dipilih melalui mekanisme pemilihan langsung.

Keberhasilan bangsa menuju Indonesia Maju sebagaimana dicita-citakan dalam Mukadimah UUD 1945 sangat ditentukan oleh keberhasilan bangsa Indonesia menentukan dan memilih pemimpin nasional. Hanya ada satu jalan: pemilihan presiden secara langsung.

Kamis, 01 Juli 2021 18:06 WIB


JAKARTA -- Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menegaskan bahwa pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) pada Pemilu tahun 2024 mendatang tetap dipilih langsung oleh rakyat. Pernyataan tersebut disampaikan Ahmad Basarah dalam acara Ngaji Kebangsaan Forum Cendekiawan Muslim Muda Sumatera Utara bertajuk ‘’Membaca Aspirasi Warga Nahdiyyin dan Nasionalis Pada Pilpres 2024’’, Kamis (1/7/2021)

Ketua DPP PDI Perjuangan tersebut merasa penting untuk menegaskan kembali bahwa pasangan capres-cawapres pada Pemilu Presiden 2024 mendatang tetap langsung dipilih rakyat, untuk menjawab rumor yang santer beredar bahwa pemilihan presiden kembali dilakukan oleh MPR RI. Terhadap rumor tersebut, Ahmad Basarah menegaskan bahwa UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum dasar tertulis tertinggi bangsa Indonesia dalam Pasal 6A ayat (1) menegaskan Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.

Ia juga menyebut Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.  

"Inilah aturan main bernegara yang wajib kita taati. Capres-Cawapres tetap dipilih langsung oleh rakyat dan hanya bisa diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Mabes TNI tidak bisa mengajukan pasangan capres-cawapres. Mabes Polri tidak bisa mengajukan pasangan capres-cawapres. Begitu juga ormas-ormas besar semisal NU, Muhammadiyah, PGI, KWI, Walubi, PHDI dan lain-lain juga tidak bisa mengusulkan pasangan capres-cawapres," tegas Doktor Hukum Lulusan Universitas Diponegoro Semarang tersebut.

Sementara itu, terkait aspirasi warga Nahdliyin dalam Pilpres 2024, Ahmad Basarah memaparkan bahwa dalam lanskap politik nasional, kaum Nahdliyin selalu bergandengan tangan dengan kaum nasionalis-Soekarnois. Jejaknya terlihat jelas dari proses perumusan Pancasila sebagai dasar Negara, terbitnya Fatwa Resolusi Jihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, munculnya tradisi Halal Bihalal karena dialog Bung Karno dan KH Wahab Chasbullah, hingga sikap politik Hj. Megawati Soekarnoputri yang menggandeng KH Ahmad Hasyim Muzadi dalam Pemilu Presiden tahun 2004 silam.

"Tradisi tersebut kemudian diteruskan oleh pak Joko Widodo dengan menggandeng KH Ma'ruf Amin dalam Pilpres tahun 2019 lalu. Inilah potret kerjasama kaum kebangsaan dan religius," tegas Basarah.

Sementara itu, sebagai narasumber di forum yang sama, Wakil Ketua MPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Dr. Jazilul Fawaid menjelaskan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk maju mencalonkan diri sebagai calon presiden dan calon wakil presiden, sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan yang diatur oleh UUD NRI Tahun 1945 dan aturan di bawahnya.

"Aturannya jelas. Dalam Pasal 6 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dijelaskan bahwa Capres-Cawapres adalah Warga Negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain, tidak pernah mengkhianati negara serta mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden," katanya dalam webinar tersebut.

Pada bagian lain Jazilul Fawaid juga mengakui bahwa terkait calon presiden-calon wakil Presiden dalam Pemilu Presiden tahun 2024 sosoknya masih kabur dan samar-samar. Ia juga mengaku belum mengetahui siapa saja figur-figur yang akan maju dalam Pemilu Presiden tahun 2024 mendatang. "Capres-cawapres masih kabur, tapi kita boleh dong salurkan aspirasi," tegas Jazilul.  

Sementara itu Pimpinan Majelis Zikir Pengasuh Rumah Sufi, Dr. Ahmad Sabban Rajagukguk, menilai bahwa ada tiga hal yang harus diantisipasi dalam pelaksanaan Pemilu Presiden 2024 mendatang, yakni: Politik identitas, Politik Transaksional dan Politik Primordialisme.

"Bagi saya hal yang paling penting adalah bagaimana NU dan Kaum kebangsaan berupaya kuat untuk mengurangi gesekan di level akar rumput sebagai dampak dari pelaksanaan Pemilu. Inilah yang paling penting. Peran NU dan Muhammadiyah sebagai ormas penopang dan penyangga Indonesia juga harus berupaya meminimalisasi potensi terjadinya gesekan di level gras root sebagai dampak pelaksanaan demokrasi elektoral," katanya menegaskan.


Dr. AHMAD BASARAH, S.H., M.H.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemilu Presiden (Pilpres) digelar secara langsung untuk pertama kalinya pada tahun 2004.

Artinya, melalui pemilu tersebut, presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Pada Pilpres periode-periode sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melalui sidang umum.

Baca juga: Pengertian Pemilu, Asas, Prinsip, dan Tujuannya

Sejarah pemilihan presiden dan wakil presiden langsung dimulai dari amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga pada tahun 2001.

Pasal 6A Ayat (1) UUD menyebutkan, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.

"Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat," demikian bunyi pasal tersebut.

Selanjutnya, 31 Juli 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR.

Baca juga: Sejarah Pemilu 2004, Partai Politik Peserta hingga Pemenang

Kemudian, pasangan calon presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara melebihi 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 66 Ayat (2) UU Pemilu.

Apabila tidak ada pasangan calon terpilih sesuai dengan ketentuan tersebut, maka diadakan putaran kedua, yakni dua pasangan calon yang mendapat suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali oleh rakyat secara langsung melalui pilpres.

Pemilu presiden langsung pertama digelar pada 5 Juli 2004. Pilpres itu mempertemukan lima pasangan calon presiden dan wakil presiden yakni Wiranto dan Salahuddin Wahid, lalu Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi.

Kemudian, paslon Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, serta Hamzah Haz dan Agum Gumelar.

Jumlah pemilih pada pilpres putaran pertama sebesar 153.320.544 orang. Dari angka itu, yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 79,76 persen atau 122.293.844 orang.

Dari total suara yang masuk, yang dinyatakan sah sebanyak 97,84 persen atau 119.656.868 suara.

Dari lima kandidat capres dan cawapres, pasangan SBY-Jusuf Kalla mendapat suara terbanyak, disusul oleh pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Rinciannya yakni:

  • Wiranto dan Salahuddin Wahid: 26.286.788 suara atau 22,15 persen;
  • Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi: 31.569.104 suara atau 26,61 persen;
  • Amien Rais dan Siswono Yudo Husodo: 17.392.931 suara atau 14,66 persen;
  • Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla: 39.838.184 suara atau 33,57 persen;
  • Hamzah Haz dan Agum Gumelar: 3.569.861 suara atau 3,01 persen.

Dari perolehan angka tersebut, tidak ada satu pun pasangan calon yang mendapat perolehan suara lebih dari 50 persen. Oleh karenanya, harus digelar pilpres putaran kedua yang mempertemukan dua paslon dengan perolehan suara terbanyak yakni Megawati-Hasyim Muzadi dan SBY-Jusuf Kalla.

Baca juga: Sejarah Pemilu 1955, Pemilu Perdana Setelah Indonesia Merdeka

Pasangan Megawati-Hasyim Muzadi kala itu didukung oleh 7 partai yakni PDI Perjuangan, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), dan Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM).

Sementara, SBY-Jusuf Kalla didukung enam partai meliputi Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Pilpres putaran kedua digelar pada 20 September 2004. Saat itu, jumlah pemilih yang terdaftar sebanyak 150.644.184 orang.

Dari angka tersebut, yang menggunakan hak pilihnya sebesar 77,44 persen atau 116.662.705 orang.

Lalu, dari total jumlah suara, yang dinyatakan sah sebesar 97,94 persen atau 114.257.054 suara.

Pilpres putaran kedua menetapkan SBY-Jusuf Kalla sebagai pemenang, mengungguli Megawati-Hasyim Muzadi. Rincian perolehan suaranya yakni:

  • Megawati Soekarnoputri dan Hasyim Muzadi: 44.990.704 suara atau 39,38 persen;
  • Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla: 69.266.350 suara atau 60,62 persen.

SBY dan Jusuf Kalla pun dilantik sebagai presiden dan wakil presiden RI pada 20 Oktober 2004.

Sejak saat itu, Pilpres selalu digelar secara langsung. Rakyat dapat menggunakan hak pilihnya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.