Raden Rahmat adalah salah satu dan Walisongo yang akrab dipanggil

Riwayat Sunan Ampel – Wali Songo (1)

Surabaya

Tempat Hijrah Sunan Ampel

Raden Rahmat adalah salah satu dan Walisongo yang akrab dipanggil

Oleh:

H.M.YOUSRI NUR RAJA AGAM  *)

SURABAYA juga disebut sebagai “Kota Sunan Ampel”.  Lebih tepatnya, Surabaya adalah tempat hijrah Sunan Ampel, satu di antara sembilan wali (Walisongo).

Nah, siapakah sebenarnya Sunan Ampel itu? Seperti telah diungkap sebelumnya, umumnya penduduk Kota Surabaya adalah para pendatang dan perantau dari daerah lain di Nusantara ini. Bahkan, tidak sedikit pula yang berasal dari manacanegara. Selain dari Eropa, juga banyak yang berasal dari Timur Tengah, khususnya Arab, India dan Cina. Sunan Ampel, juga pendatang. Ia merantau atau hijrah ke Surabaya, menetap dan kemudian wafat sebagai “bunga bangsa” di Kota Pahlawan ini..

Nama Sunan Ampel abadi di Surabaya. Karya dan buah tangannya sebagai warga Surabaya masih ada sampai sekarang. Sunan Ampel adalah waliullah, ulama besar yang menumbuhkembangkan ilmu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat. Jadi, Surabaya patut berbangga, sebab sunan yang dituakan di antara Walisongo adalah Sunan Ampel.

Apabila ditelusuri jejak Walisongo di Surabaya cukup banyak, namun yang menonjol ada di tiga tempat. Pertama: kawasan Ampel, kedua: Masjid Rahmat dan ketiga: komplek Makam Mbah Bungkul.

Kawasan Ampel, sebuah kawasan permukiman di sekitar Masjid Agung Ampel di daerah Pegirian, Surabaya Utara. Di sini selain berdiri masjid peninggalan Sunan Ampel, di sekitarnya terdapat makam Sunan Ampel bersama para pengikutnya. Kawasan Ampel ini sudah sejak lama dijadikan obyek “wisata suci” atau ziarah oleh masyarakat dari berbagai daerah di Nusantara, juga dari luar negeri.

Masjid Ampel ini juga biasa dijadikan tempat start untuk kegiatan ziarah Walisongo. Setelah mengunjungi masjid dan makam Sunan Ampel, perjalanan dilanjut ke delapan walisongo lainnya. Makam Maulana Malik Ibrahim dan makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajat di Lamongan, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Kudus di Kudus, makam Sunan Muria di lereng Gunung Muria, makam Sunan Kalijaga di Demak dan makam Sunan Gunung Jati di Cirebon.

Siapa Sunan Ampel

Pendapat umum mengatakan, bahwa Sunan Ampel bukan orang Jawa, tetapi orang Campa dan ayahnya berasal dari Arab. Ini memang bukan sekedar “tutur tinular”, melainkan ada beberapa sumber tertulis yang mendukung. Pendapat umum itu juga dikuatkan oleh keterangan G.W.J.Drewes di depan rektor dan para dosen IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta bulan November 1971.

Ada beberapa versi tentang siapa dan dari mana asal Sunan Ampel. Dalam penelitian sejarah yang dilakukan para ahli, diakui bahwa informasi tertulis dan prasasti yang digoris di atas batu atau lempengan logam tentang Sunan Ampel sama sekali tidak ada.

Saat dilangsungkan Festival Walisongo I di Surabaya, Juni 1999 lalu, Yayasan Festival Walisongo menerbitkan buku Jejak Kanjeng Sunan – Perjuangan Walisongo. Pada buku itu, juga dijelaskan, para ahli tidak pernah menemukan naskah atau manuskrip yang ditulis pada masa hidupnya atau waktu yang agak dekat sesuadah wafatnya sampai sekarang.

Manuskrip yang mengisahkan serba sedikit tentang Sunan Ampel, baru ada pada zaman Kerajaan Mataram, seperti: “Babad Tanah Jawi”. Naskah yang lain umumnya ditulis pada abad ke 18 dan 19. Padahal kalau kita telusuri, Sunan Ampel hidup pada abad 14 atau sekitar tahun 1331 M – 1400 M. Pada “Babad Ngampeldenta” yang naskah aslinya disimpan di Yayasan Panti Budaya di Jogjakarta baru selesai diturun-tulis (titi tamat noeroen soengging) pada Hari Rabu Legi, tanggal 16 Jumadil Akhir 1830, bertepatan dengan 2 Oktober 1901.

Drs.H.Sjamsudduha yang menjadi narasumber tentang Sunan Ampel dalam buku Jejak Kanjeng Sunan – Perjuangan Walisongo, menyebutkan manuskrip yang bercerita tentang Sunan Ampel yang agak rinci, ada dua naskah tulisan “pegon” yang ditemukan di Dusun Badu, Desa Wanar, Kecamatan Pucuk dan Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Selanjutnya naskah itu disebut: naskah Badu Wanar dan naskah Drajat.

Kecuali itu, juga ada Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan yang disimpan di Perpustakaan Reksopustoko Surakarta, Jawa Tengah.

Para ahli sepakat menyebut nama lain Sunan Ampel adalah Raden Rahmat. Saat berusia 20 tahun, waktu itu sekitar tahun 751 H atau 1351 M, pria ini datang ke pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit. Tempat Raden Rahmat ini, ada tiga versi. Ada yang menyatakan ia kelahiran Cempa (Jeumpa), Aceh, ada yang menyebut Campa, sebuah kota di Kamboja, Indocina. Bahkan ada yang cukup ekstrim, Sunan Ampel diakui keturunan Cina dengan nama Bong Swie Ho. Dalam kronik Sam Po Kong di bawah angka tahun 1445, dinyatakan Bong Swie Ho adalah cucu Haji Bong Tek Keng dari Campa.

Babad Para Wali

Berdasarkan naskah Badu Wanar dan naskah Drajat, dikisahkan, Raden Rahmat datang ke Majapahit bersama kakaknya, bernama Raja Pandhita dan Raden Burerah anak Raja Kamboja. Raden Rahmat dan Raja Pandhita adalah anak kandung seorang guru agama Islam bernama Maulana Ibrahim Asmara dengan isterinya Candrawulan, dari Tulin, Campa.

Kedatangan Raden Rahmat dan Raja Pandhita yang diantar Raden Burerah ke pusat Majalapahit adalah untuk menemui bibinya Dewi Murtiningrum yang menjadi permaisuri raja Brawijaya. Setelah sampai dan menetap di Majapahit, mereka diperlakukan sebagai putera raja Brawijaya. Saat berada di sini, mereka ditertawakan karena melaksanakan shalat, sebab waktu itu Majapahit belum mengenal Islam. Raja Brawijaya tidak melarang mereka menunaikan ibadah secara Islam. Merekapun diminta menetap di Majapahit dan diberi jabatan sebagai tumenggung.

Raden Rahmat menikah dengan Raden Ayu Candrawati anak dari Arya Teja, Mantri di Tuban. Sedangkan Raja Pandhita kawin dengan Raden Ayu Maduretna anak Arya Babirin dari Arosbaya, Madura.

Raden Rahmat yang kemudian menetap di kampung Ampeldenta, mempunyai lima orang anak, yakni: Siti Syari’ah, Siti Muthmainnah, Siti Hasyfah, Ibrahim dan Raden Qasim. Raden Rahmat, juga menikah dengan puteri Ki Bang Kuning, bernama Mas Karimah dan mempunyai dua orang anak perempuan, Mas Murtabiyah dan Mas Murtasimah.

Babad Tanah Jawi I

Versi Babad Tanah Jawi (Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 – W.L.Olthof), disebutkan, raja Cempa kedatangan orang seberang bernama Makdum Ibrahim Asmara. Ia memohon agar raja masuk Islam. Permintaan itu dikabulkan raja dan juga diikuti seluruh rakyatnya.

Raja Cempa menikahkan anak perempuannya dengan dengan Makdum Ibrahim dan mempunyai dua orang putera, Raden Rahmad dan Raden Santri. Sedangkan Raja Cempa ini juga punya anak laki-laki bernama Raden Burerah.

Raden Rahmat bersama adiknya minta izin kepada raja yang juga kakeknya itu untuk pergi ke Majapahit menemui bibinya. Raja Cempa mengizinkan asal ditemani oleh Raden Burerah. Mereka bertiga sampai di Majapahit dan bertemu dengan Raja Brawijaya. Raden Rahmat kemudian menikah dengan puteri Tumenggung Wilatikta, bernama Gede Manila dan bertempat tinggal di Ampeldenda.

Raden Burerah dan Raden Santri menikah dengan puteri Arya Teja. Yang tua dengan Raden Santri dan adiknya dengan Raden Burerah. Mereka berdua bertempat tinggal di Gresik.

Babad Tanah Jawi II

Babad Tanah Jawi (BTJ) versi ke dua ini disebut BTJ Galuh Mataram – Suwito Santoso, bercerita seperti berikut. Ada seorang sultan di negeri Arab yang masih keturunan Nabi Muhammad SAW, mempunyai anak laki-laki bernama Syekh Ibrahim. Suatu hari Ibrahim diperintah kakaknya pergi ke Tanah Jawa untuk mengislamkan penduduknya. Setelah berlayar, sampai di negeri Cempa dan bertemu raja Cempa. Dia menetap di sini dan diberi gelar Syekh Wali Lanang dan ia berhasil mengajak raja Cempa masuk Islam. Syekh Wali Lanang kemudian dikawinkan dengan puterinya yang muda, adik Ratu Darawati yang kawin dengan raja Brawijaya V di Majapahit.

Kebetulan datang seorang kemenakan Ratu Darawati dari Cempa, bernama Raden Rahmat putera Syekh Ibrahim alias Wali Lanang. Prabu Brawijaya, mengangkat Raden Rahmat sebagai Sunan di Ngampel, sehingga ia dikenal sebagai Sunan Ampel. Waktu itu Prabu Brawijaya mengizinkan rakyat Majapahit memasuki agama Islam, asal tidak ada paksaan, tetapi baginda sendiri tidak mau memeluk agama Islam.

Babad Ngampeldenta

Manuskrip yang disimpan di Panti Budaya, Jogjakarta dengan nomor PB A.200, sekarang disimpan di Perpustakaan Museum Negeri Sonobudoyo Jogjakarta. Alih hurufnya dilakukan Dr.Th.Pigeaud tahun 1939. Di sini diungkapkan, Sang Pandhita, yakni Maulana Ibrahim Asmara menikah dengan Retna Sujinah dari Cempa, juga beristeri dari Aceh. Dengan Ratna Sujinah ia punya dua putera laki-laki diberi nama Raden Rahmat. Adiknya yang lahir kemudian diambil anak oleh isteri yang dari Aceh dan diberi nama Raden Atmaja.

Raden Rahmat dengan dua pengiringnya, berbekal dua surat menghadap raja Majapahit. Surat pertama menyatakan bahwa yang datang adalah kemenakan sang prameswari, dan surat yang satu lagi berisi ajakan Syekh Maulana Ibrahim Asmara beserta isteri dan raja Cempa, serta ibundanya, agar raja Majapahit berkenan memeluk Islam. Apabila raja belum berkenan, ayunda saja yang masuk Islam. Surat itu juga memberitahu, bahwa Raden Rahmat telah paham dan menguasai segala ilmu, sehingga patut menjadi ulama.

Raden Rahmat diberi tempat tinggal di Ngampel dengan pengikut yang banyak. Delapan ratus keluarga atau somah beralih masuk Islam. Raja tidak melarang rakyatnya pindah agama, terserah kesukaannya sendiri.

Ada satu lagi versi tentang siapa Raden Rahmat atau Sunan Ampel, diungkapkan dalam Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan. Cerita seperti di bawah ini.

Madum Ibrahim di Cempa berputera dua orang laki-laki, yang tua bernama Raden Rahmat, yang muda bernama Raden Santri, putera raja Cempa bernama Raden Burerah. Raden Rahmat bersama adiknya pergi ke Pulau Jawa untuk menjenguk bibinya di Majapahit. Sesampai di Majapahit menghadap raja dan mereka diterima dengan sangat senang. Mereka di Majapahit sudah setahun.

Raden Rahmat menikah dengan puteri Arya Teja. Puteri Arya teja yang kedua menikah dengan Raden santri, yang tengah menikah dengan Raden Burerah. Putera Arya teja yang bungsu Tumenggung Wilatikta.

Raden Rahmat ditempatkan di dusun Ngampeldernta, dan diberi gelar Sunan Ngampeldenta. Raden Santri dan Raden Burerah diberi sebidang tanah di Gresik sebagai dusun tempat tinggal.

Raden Rahmat memohon kepada raja agar memeluk agama Islam. Raja Brawijaya belum ingin masuk agama Islam, tetapi semua orang Jawa yang ingin masuk agamaq Islam tidak dibatasi, terserah mereka yang menyenanginya.

Adipati Bintara terus datang di Ngampel, menghadap Sunan Ngampelgadhing. Tatkala itu di negeri Surabaya sudah Islam semua. Adipati Bintara memohon izin untuk menyerbu negara Majapahit, karena sekalipun yang memerintah negara itu orangtuanya sendiri, tetapi diua kafir, tidak mau mengikuti Islam. Sunan Ampel melarang, karena ayahandanya tidak pernah mencegah orang masuk Islam. Beliau memberi kebebasan dan memberi sejumlah orang untuk ikut pindah dan menjadi muslim dan mukmin. Di Surabaya mereka membangun agama.

Apa jeleknya paduka raja. Adapun beliau belum mau masuk agama Islam, karena Allah belum menghendakinya. Jangan mendahului takdir, hendaklah menerima kehendak Allah. Adipati Bintara mendengar dengan takzim. Adipati Bintara hanya dua hari di Surabaya, terus pulang ke Demak.

Tatkala Sunan Ngampeldenta wafat, para wali semuanya datang. Mereka memandikan dan mensalatkannya. Para wali sama menangis. Sesuadah dimakamkan di Ngampelgadhing, Sunan Giri hadir dan ditetapkan menjadi imam (pemimpin) para wali. Sunan Bonang juga hadir. Trah (kerabat keturunan) Ngampelghading banyak yang menjadi waliyullah, seperti Murya dan Ngudung. Begitulah negara Demak makin ramai dan para wali sepakat untuk mendirikan kerajaan.

Manuskrip asli dari babad di atas disimpan di Reksopustoko, Solo; alih huruf Martodarmono pada tahun 1988, halaman 8-9, 40 dan 57. ****

BACA LANJUTANNYA

Riwayat Sunan Ampel (2)

*) Yousri Nur Raja Agam M.H  — Pemerhati sejarah, bermukim di Surabaya

**********************************************************************