Salah satu bentuk peranan indonesia dalam melaksanakan politik luar negeri bebas aktif adalah

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 37 TAHUN 1999

I.

UMUM

Dalam memperjuangkan dan mempertahankan kepentingan nasional, termasuk perlindungan kepada warga negara Indonesia di luar negeri, diperlukan upaya yang mencakup kegiatan politik dan hubungan luar negeri yang berlandaskan ketentuan-ketentuan yang merupakan penjabaran lebih lanjut dari falsafah Pancasila, Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 serta Garis-garis Besar Haluan Negara.

Dasar pemikiran yang melandasi Undang-undang, tentang Hubungan Luar Negeri adalah bahwa penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri memerlukan ketentuan-ketentuan yang secara jelas mengatur segala aspek yang menyangkut sarana dan mekanisme pelaksanaan kegiatan tersebut.

Dalam dunia yang makin lama makin maju sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara global, serta meningkatnya interaksi dan interdependensi antar negara dan antar bangsa, maka makin meningkat pula hubungan internasional yang diwarnai dengan kerjasama dalam berbagai bidang. Kemajuan dalam pembangunan yang dicapai Indonesia di berbagai bidang telah menyebabkan makin meningkatnya kegiatan Indonesia di dunia internasional, baik dari pemerintah maupun swasta/perseorangan, membawa akibat perlu ditingkatkannya perlindungan terhadap kepentingan negara dan warga negara.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri yang ada sebelum dibentuknya undang-undang ini baru mengatur beberapa aspek saja dari penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri serta belum secara menyeluruh dan terpadu. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu produk hukum yang kuat yang dapat menjamin terciptanya kepastian hukum bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk koordinasi antarinstansi pemerintah dan antarunit yang ada di Departemen Luar Negeri.

Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, Indonesia terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum dan kebiasaan internasional, yang merupakan dasar bagi pergaulan dan hubungan antar negara. Oleh karena itu Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri ini sangat penting artinya, mengingat Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan Konvensi tentang Misi Khusus, New York 1969.

Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri merupakan pelaksanaan dari ketentuan dasar yang tercantum di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan hubungan luar negeri. Undang-undang ini mengatur segala aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk sarana dan mekanisme pelaksanaannya, perlindungan kepada warga negara Indonesia di luar negeri dan aparatur hubungan luar negeri.

 

Pokok-pokok materi yang diatur dalam Undang-undang ini adalah :

a.

Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk sarana dan mekanisme pelaksanaannya, koordinasi di pusat dan perwakilan, wewenang dan pelimpahan wewenang dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.

b.

Ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, yang pengaturannya secara lebih rinci, termasuk kriteria perjanjian internasional yang pengesahannya memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.

c.

Perlindungan kepada warga negara Indonesia, termasuk pemberian bantuan dan penyuluhan hukum, serta pelayanan konsuler.

d.

Aparatur hubungan luar negeri.

Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri melibatkan berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah beserta perangkatnya. Agar tercapai hasil yang maksimal, diperlukan adanya koordinasi antara lembaga-lembaga yang bersangkutan dengan Departemen Luar Negeri. Untuk tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas serta menjamin kepastian hukum penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, yang diatur dalam Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri.

Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, serta merupakan penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai beberapa aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.

II

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia haruslah merupakan pencerminan ideologi bangsa. Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia merupakan landasan idiil yang mempengaruhi dan menjiwai politik luar negeri Republik Indonesia.

Pelaksanaan politik luar negeri yang bebas aktif berdasar atas hukum dasar, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang tidak lepas dari tujuan nasional bangsa Indonesia sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat.

Garis-garis Besar Haluan Negara adalah landasan operasional politik luar negeri Republik Indonesia, yakni suatu landasan pelaksanaan yang menegaskan dasar, sifat, dan pedoman perjuangan untuk mencapai tujuan nasional bangsa Indonesia.

Pelaksanaan politik luar negeri Republik Indonesia tidak dapat dipisahkan dari konsepsi Ketahanan Nasional. Ketahanan Nasional adalah kondisi kehidupan bangsa Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara dalam rangka mewujudkan daya tangkal dan daya tahan untuk dapat mengadakan interaksi dengan lingkungan pada suatu waktu sedemikian rupa, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup dan perkembangan kehidupan bangsa Indonesia untuk mencapai tujuan nasional, yakni suatu masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila.

Pasal 3

Yang dimaksud dengan "bebas aktif" adalah politik luar negeri yang pada hakikatnya bukan merupakan politik netral, melainkan politik luar negeri yang bebas menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap permasalahan internasional dan tidak mengikatkan diri secara a priori pada satu kekuatan dunia serta secara aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Yang dimaksud dengan diabdikan untuk "kepentingan nasional" adalah politik luar negeri yang dilakukan guna mendukung terwujudnya tujuan nasional sebagaimana tersebut di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

 

Pasal 4

Diplomasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini menggambarkan jati diri diplomasi Indonesia. Diplomasi yang tidak sekedar bersifat "rutin", dapat menempuh cara-cara "nonkonvensional", cara-cara yang tidak terlalu terikat pada kelaziman protokoler ataupun tugas rutin belaka, tanpa mengabaikan norma-norma dasar dalam tata krama diplomasi internasional.

Diplomasi yang dibekali keteguhan dalam prinsip dan pendirian, ketegasan dalam sikap, kegigihan dalam upaya namun luwes dan rasional dalam pendekatan, yang bersumber pada kepercayaan diri sendiri.

Diplomasi yang mencari keharmonisan, keadilan dan keserasian dalam hubungan antar negara, menjauhi sikap konfrontasi atau pun politik kekerasan/kekuasaan (power politics), menyumbang penyelesaian berbagai konflik dan permasalahan di dunia, dengan memperbanyak kawan dan mengurangi lawan.

   

Diplomasi yang ditopang oleh profesionalisme yang tangguh dan tanggap, tidak sekedar bersikap reaktif tetapi mampu secara aktif, kreatif, dan antisipatif berperan dan berprakarsa.

 

Pasal 5

   

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Kalangan nonpemerintah yang dimaksud dalam ayat ini mencakup perseorangan dan organisasi yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lazim disebut dan dikategorikan sebagai non gevernmental organization (NGO), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 6

Ayat (1)

Kewenangan Presiden sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, sepanjang yang menyangkut pernyataan perang, pembuatan perdamaian, dan perjanjian dilaksanakan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sesuai dengan Pasal 11 Undang-Undang Dasar 1945.

Ayat (2)

Agar Menteri dapat membantu Presiden, kepada Menteri perlu dilimpahkan kewenangan penyelenggaraan hubungan luar negeri dan politik luar negeri oleh Presiden.

Ketentuan ini sesuai dengan fungsi Menteri sebagai pembantu Presiden yang bertanggung jawab di bidang penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.

Ayat (3)

Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri mungkin terjadi tindakan-tindakan atau terdapat keadaan-keadaan yang bertentangan atau tidak sesuai dengan politik luar negeri, perundang-undangan nasional, serta hukum dan kebiasaan internasional. Tindakan dan keadaan demikian harus dihindarkan. Oleh karena itu Menteri perlu mempunyai wewenang untuk menanggulangi terjadinya tindakan-tindakan atau terdapatnya keadaan-keadaan tersebut dengan mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu.

Langkah-langkah yang dapat diambil oleh Menteri Luar Negeri yang dimaksudkan dalam ayat ini dapat bersifat preventif, seperti pemberian informasi tentang pokok-pokok kebijakan Pemerintah di bidang luar negeri, permintaan untuk tidak berkunjung ke suatu negara tertentu, dan sebagainya. Langkah-langkah itu dapat juga bersifat represif, seperti peringatan kepada pelaku hubungan luar negeri yang tindakannya bertentangan atau tidak sesuai dengan kebijakan politik luar negeri dan peraturan perundang-undangan nasional dalam penyelenggaraan hubungan luar negerinya, mencegah tindak lanjut suatu kesepakatan yang mungkin dicapai oleh pelaku hubungan luar negeri di Indonesia dengan mitra asingnya, mengusulkan kepada lembaga negara atau lembaga pemerintah yang berwenang untuk melakukan tindakan administratif kepada yang bersangkutan, dan sebagainya.

Pasal 7

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Konsultasi dan koordinasi dengan Menteri diperlukan untuk mencegah terjadinya implikasi yang bertentangan atau tidak sesuai dengan politik luar negeri Republik Indonesia dan kebijakan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu yang menyangkut hubungan luar negeri.

Pasal 8

Ayat (1)

Kemungkinan penempatan pejabat sebagaimana disebut dalam Pasal ini adalah sesuai dengan Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, 1961.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 9

Ayat (1)

Pembukaan hubungan diplomatik atau konsuler sebagaimana dimaksud dalam ayat ini mencakup pembukaan kembali hubungan diplomatik atau konsuler.

Pemutusan hubungan diplomatik atau konsuler sebagaimana dimaksud dalam ayat ini mencakup penghentian untuk sementara kegiatan diplomatik atau konsuler dengan atau di negara yang bersangkutan.

Pembukaan atau pembukaan kembali hubungan diplomatik atau konsuler dilakukan menurut tata cara yang lazim dianut dalam praktek internasional.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 10

Sebagai sumbangan pada upaya pemeliharaan perdamaian internasional, sejak 1956 Indonesia telah berkali-kali mengirimkan pasukan atau misi pemeliharaan perdamaian, terutama dalam rangka Perserikatan Bangsa-Bangsa. Peran serta Indonesia dalam kegiatan internasional itu sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menyatakan antara lain bahwa salah satu tujuan Pemerintah Negara Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Karena pengiriman pasukan atau misi pemeliharaan perdamaian merupakan pelaksanaan politik luar negeri, dalam mengambil keputusan, Presiden memperhatikan pertimbangan Menteri. Disamping itu karena pelaksanaan pengiriman pasukan atau misi perdamaian itu melibatkan berbagai Lembaga pemerintah, maka pengiriman pasukan atau misi perdamaian demikian ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 11

Ayat (1)

"Lembaga" yang dimaksud dalam ayat ini adalah organisasi yang lazim menggunakan nama "Lembaga" dan yang bertujuan meningkatkan saling pengertian dan mempererat hubungan antar bangsa, misalnya "Lembaga Persahabatan" dan "Lembaga Kebudayaan".

"Bangsa Indonesia" yang dimaksud dalam ayat ini adalah badan, dengan nama apa pun, baik yang dibentuk oleh Pemerintah maupun swasta, yang bertujuan meningkatkan perhatian masyarakat internasional pada berbagai potensi yang dimiliki Indonesia, misalnya di bidang investasi dan pariwisata.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Surat Kuasa (Full Powers) adalah Surat yang dikeluarkan oleh Menteri atas nama Pemerintah Republik Indonesia yang memberi kuasa kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah atau Negara Republik Indonesia untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian yang menyatakan persetujuan Pemerintah Negara Republik Indonesia untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Kekebalan, hak istimewa, dan pembebasan kewajiban tertentu hanya dapat diberikan kepada pihak-pihak yang ditentukan oleh perjanjian-perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Indonesia atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.

Pasal 17

Ayat (1)

Pembebasan dari kewajiban tertentu kepada pihak-pihak yang tidak disebutkan dalam Pasal 16 hanya dapat diberikan oleh Pemerintah atas dasar kasus demi kasus, demi kepentingan nasional, dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan nasional.

Yang dimaksud dengan "kewajiban tertentu" dalam Pasal ini antara lain pajak, bea masuk, dan asuransi nasional.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 18

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "perwakilan negara asing" adalah perwakilan diplomatik dan konsuler asing beserta anggota-anggotanya.

Perlindungan kepentingan warga negara Indonesia, seperti yang bekerja pada perwakilan asing atau badan hukum Indonesia, seperti perusahaan swasta, dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah hukum dan kebiasaan internasional, antara lain dengan penggunaan sarana-sarana diplomatik.

Dalam hal sengketa, warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia yang bersangkutan, pada instansi pertama, akan berhubungan dengan Departemen Luar Negeri untuk mendapatkan perlindungan. Dalam hal ini Departemen Luar Negeri berkewajiban untuk memberikan penyuluhan atau nasihat hukum kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang bersangkutan, khususnya yang berkenaan dengan aspek hukum dan kebiasaan internasional.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 19

"Perlindungan dan bantuan hukum" sebagaimana disebut dalam Pasal ini termasuk pembelaan terhadap warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan, termasuk perkara di Pengadilan.

Pasal 20

Salah satu fungsi Perwakilan Republik Indonesia adalah melindungi kepentingan negara dan warganegara Republik Indonesia yang berada di negara akreditasi. Namun pemberian perlindungan itu hanya dapat diberikan oleh perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh hukum dan kebiasaan internasional. Dalam pemberian perlindungan itu, Perwakilan Republik Indonesia mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum negara setempat. Bantuan hukum dapat diberikan dalam masalah-masalah hukum, baik yang berkaitan dengan hukum perdata maupun hukum pidana. Bantuan hukum dapat diberikan dalam bentuk pemberian pertimbangan dan nasihat hukum kepada yang bersangkutan dalam upaya penyelesaian sengketa secara kekeluargaan.

Pasal 21

Yang dimaksud dengan "budaya nyata" dapat berupa antara lain bencana alam, invasi, perang saudara, terorisme maupun bencana yang sedemikian rupa sehingga dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap keselamatan umum.

Usaha pemulangan warga negara Indonesia di negara yang dilanda bahaya nyata tersebut dilakukan secara terkoordinasi.

Upaya-upaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini akan dilakukan oleh Perwakilan Republik Indonesia yang bersangkutan sepanjang kondisi-kondisi untuk dapat melaksanakannya memungkinkan, seperti keamanan, keselamatan akses ke tempat terjadinya bahaya nyata, terbukanya wilayah yang aman, tersedianya saran yang diperlukan termasuk dana, dan sebagainya.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)

Surat-surat yang dapat dikeluarkan tersebut antara lain akta kelahiran, buku nikah yang memuat pula di dalamnya kutipan akta perkawinan, keterangan tentang perceraian, kematian, dan hal-hal lain yang menyangkut masalah konsuler, misalnya legalisasi dokumen-dokumen, clearance, dan sebagainya.

Ayat (2)

Dalam hal perkawinan dan perceraian, pencatatan dan pemberian surat keterangan hanya dapat dilakukan bilamana perkawinan dan perceraian itu telah dilakukan menurut hukum di negara tempat perkawinan dan perceraian itu dilangsungkan dan sepanjang hukum dan ketentuan-ketentuan asing tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Indonesia yang mengatur hal ini.

 

Pasal 25

   

Ayat (1)

     

Cukup jelas.

   

Ayat (2)

     

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Pada dasarnya masalah yang dihadapi oleh pengungsi adalah masalah kemanusiaan, sehingga penanganannya dilakukan dengan sejauh mungkin menghindarkan terganggunya hubungan baik antara Indonesia dan negara asal pengungsi itu.

Indonesia memberikan kerjasamanya kepada badan yang berwenang dalam upaya mencari penyelesaian masalah pengungsi itu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 28

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Koordinasi yang pelaksanaannya menjadi tugas Departemen Dalam Negeri merupakan sarana untuk menjamin kesatuan sikap dan tindak dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

"Hak keuangan dan administratif yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah hak pensiun sebagai Pejabat negara bagi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh yang telah menyelesaikan tugasnya, termasuk janda, duda, dan anaknya.

Pasal 30

Ayat (1)

Merupakan praktek yang dianut oleh banyak negara untuk mengangkat seseorang dengan gelar Duta Besar guna menangani masalah tertentu dalam hubungan luar negeri.

Pengangkatan pejabat setingkat Duta Besar yang antara lain Duta Besar Keliling dilakukan karena sangat pentingnya masalah yang bersangkutan.

Gelar Duta Besar itu diberikan untuk memudahkan hubungan yang bersangkutan dengan pihak-pihak di negara lain atau di organisasi internasional pada tingkat yang setinggi mungkin.

"Bidang khusus" sebagaimana dimaksud dalam ayat ini menyangkut antara lain bidang kelautan, Gerakan Non Blok (GNB), dan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC).

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 32

Ayat (1)

Pejabat Dinas Luar Negeri diberi status "Pejabat Fungsional" dan disebut "Pejabat Fungsional Diplomat" sebagai pengakuan atas pengetahuan dan kemampuan khusus yang mereka miliki di bidang diplomasi. Diplomasi sebagai cabang profesi mempunyai sifat khusus yang memerlukan pengetahuan dan pengalaman khusus pula, terutama yang menyangkut hubungan luar negeri.

Ayat (2)

Jika diperlukan, maka Pejabat Fungsional Diplomat dapat memegang jabatan struktural, baik di Pusat maupun di Perwakilan Republik Indonesia, tanpa menanggalkan status dan hak-haknya sebagai Pejabat Fungsional Diplomat.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 33

Sesuai ketentuan Kongres Wina, 1815, Kongres Aken, 1818, Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik, 1961, dan praktek internasional, jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik tersebut adalah sebagai berikut :

1.

Duta Besar;

2.

Minister;

3.

Minister Counsellor;

4.

Counsellor;

5.

Sekretaris Pertama;

6.

Sekretaris Kedua;

7.

Sekretaris Ketiga;

8.

Atase.

Jenjang kepangkatan dan gelar diplomatik, termasuk penggunaan gelar Duta Besar diatur dengan Keputusan Menteri.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 36

Ayat (1)

Surat Kepercayaan (credentials) untuk menghadiri peristiwa tertentu di luar negeri seperti upacara-upacara kenegaraan, pelantikan Kepala Negara, upacara pemakaman, dan lain-lain ditandatangani oleh Presiden.

Ayat (2)

Ketentuan ayat ini sesuai dengan praktek internasional dimana Surat Kepercayaan ditandatangani oleh Menteri.

Pasal 37

Ayat (1)

Surat Tauliah, yang dalam bahasa asing disebut letter of commission, adalah Surat yang menetapkan gelar dan wilayah kerja seorang konsul, yang dikeluarkan oleh pemerintah negara yang mengangkatnya dan disampaikan kepada pemerintah negara, tempat konsul itu bertugas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 38

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 39

   

Cukup jelas.

 

Pasal 40

   

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3882