Salah satu negara di asean yang sering mengalami risiko angin topan adalah

Salah satu negara di asean yang paling sering mengalami resiko angin topan adalah …

Secara umum kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang rawan terhadap semua jenis bencana alam, termasuk angin topan. Negara-negara yang paling sering mengalami resiko angin topan diantaranya adalah Filipina, Indonesia, dan Myanmar. Hal ini disebabkan oleh 2 faktor, yaitu: 1. Letak kawasan Asia Tenggara yang berada di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia, sehingga risiko terjadinya bencana angin topan lebih tinggi. 2. Perubahan iklim akibat pemanasan global menyebabkan naiknya suhu perairan bagian tengah Samudra Pasifik , sehingga memicu terbentuknya angin topan dan siklon. Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut salah satu negara di ASEAN yang paling sering mengalami resiko angin topan adalah Indonesia

AKURAT.CO, Pada Sabtu (12/10) Jepang ditejang salah satu topan terdahsyat, yaitu topan Hagibis. Bencana alam ini pun mengundang perhatian dunia.

Badai yang menyebabkan hujan lebat dan banjir memang kerap melanda sejumlah kawasan di dunia. Ada yang disebut badai, ada yang disebut topan, dan ada yang disebut siklon. Badai yang menerjang kawasan barat Samudra Pasifik disebut topan (Typhoon), sedangkan yang melanda timur Pasifik disebut badai (hurricane), dan yang lahir di Samudra Pasifik Selatan dan Hindia disebut siklon (cyclone).

Namun, tak semua negara kerap dilanda badai. Ada beberapa negara tertentu yang jadi langganan disapu badai.

Menurut Badan Kelautan dan Atmosfer Amerika Serikat, ini 5 negara yang paling sering diterjang badai.

1. China

Wikimedia

Negeri Tirai Bambu ini bisa diterjang topan kapan pun, tak mengenal musim tertentu. Menurut Badan Meteorologi China, topan terkuat yang pernah melandanya adalah Topan Saomai di tahun 2006. Topan ini juga menerjang Kepulauan Mariana, Filipina, Taiwan, dan menyebabkan jatuhnya 458 korban jiwa. Pada bulan Agustus lalu, negara Xi Jinping ini juga diamuk Topan Lekima yang menewaskan 56 orang.

2. Filipina

Ibtimes

Negara tetangga Indonesia ini bisa diterjang topan sepanjang tahun, tetapi puncaknya terjadi pada Mei sampai November. Topan terkuatnya adalah topan Haiyan (Yolanda) di tahun 2013. Bahkan, korban jiwanya mencapai 6.300 orang.

3. Jepang

CNN

Topan juga kerap melanda Negeri Sakura. Bahkan, pada Sabtu (12/10) lalu, Jepang dilanda topan terganas sejak 60 tahun lalu, yaitu topan Hagibis. Meski sudah dilakukan mitigasi bencana sebaik mungkin, 66 nyawa tak bisa diselamatkan.

4. Meksiko

LA Times

Musim badai di Meksiko terjadi pada Mei-November (Pasifik Timur) atau Juni-November (Atlantik/Karibia). Badai Patricia di tahun 2015 pun menjadi yang terkuat menerjangnya. Meski korban jiwa yang jatuh tak terlalu banyak, kerugian yang ditimbulkannya mencapai USD 462,8 juta (Rp6,5 triliun).

5. Amerika Serikat (AS)

National Geographic

Total ada 298 badai tropis Atlantik yang menyapu setiap negara bagian AS di tepi Samudera Atlantik dan Teluk Meksiko, termasuk Pennsylvania. Florida pun menjadi negara bagian yang paling sering diterjang badai.

Tahun 1990an menjadi dekade paling sering badai melanda dengan total 31 badai. Meski begitu badai paling dahsyatnya justru terjadi di tahun 1935. Pada saat itu, korban jiwanya pun mencapai 423 orang.

Itulah 5 negara yang paling sering diterjang badai. []

Negara memiliki tanggung jawab dalam keselamatan dan keamanan rakyatnya. Hal ini tidak hanya berkaitan dengan keamanan dari segi pertahanan nasional namun juga dari kejadian luar biasa yang tidak terduga seperti bencana alam. Negara wajib memiliki lembaga maupun organisasi untuk menangani hal tersebut karena seringkali kerugian yang ditimbulkan sangat banyak baik material maupun non material.

Wilayah Asia Tenggara termasuk ke dalam wilayah yang rawan akan bencana alam sehingga penanggulangan bencana alam sudah seharusnya menjadi prioritas bagi setiap negara yang ada di dalam wilayah tersebut. Asia Tenggara merupakan suatu kawasan yang paling rawan bencana di dunia dan berpotensi terkena hampir semua jenis bencana alam. Hal tersebut disebabkan karena secara geografis Asia Tenggara terbentang diantara beberapa lapisan tektonik yang paling sering menimbulkan gempa bumi, letusan gunung berapi dan bahkan tsunami. Kawasan ini juga terletak diantara dua samudera, yaitu samudera Hindia dan Pasifik yang dapat menyebabkan munculnya angin topan [Zakiah, 2016].

Salah satu bencana alam yang menelan banyak korban jiwa yaitu Tsunami Aceh yang terjadi pada Desember 2004  yang disebabkan aktivitas seismik di Samudera Hindia. Bencana ini menyebabkan hilangnya lebih dari 200.000 jiwa. Selain itu juga terdapat bencana alam badai topan yang terjadi di Myanmar pada tahun 2008 dimana menyebabkan hilangnya nyawa 130.000 jiwa [Syaban, 2014].

Bencana alam yang terjadi di Asia Tenggara tidak hanya menyebabkan korban jiwa namun juga menyebabkan kerugian material. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB] Willem Rampangilei pada pembukaan 29th ASEAN Committee on Disaster Management [ACDM] pada November 2016 dalam Feybe [2016], negara-negara ASEAN menghadapi risiko bencana yang sangat tinggi dan berpotensi menderita kerugian akibat bencana sebesar US$ 4,6 miliar atau sekitar 0,2 persen dari pendapatan domestik bruto [PDB] kawasan setiap tahunnya. Berdasarkan data Bank Dunia 2011, sejak tahun 2000, lebih dari 100 juta jiwa terkena dampak bencana alam dan hampir semua jenis bencana berpotensi terjadi di kawasan ASEAN seperti gempa bumi, erupsi gunung api, tsunami, banjir, siklon, longsor, dan kekeringan [Feybe, 2016].

Dengan adanya keadaan tersebut, ASEAN sebagai lembaga kerjasama antar negara-negara di Asia Tenggara perlu melakukan kerjasama agar risiko yang ditimbulkan dapat ditekan serendah mungkin. Komunitas ASEAN sebenarnya sudah memiliki perangkat untuk mengukuhkan kerjasama dan kebersamaannya dalam menangani bencana alam, tinggal efektivitas dari penerapannya di lapangan. Melalui ASEAN Ministerial Meeting on Disaster Management [AMMDM], pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response [AADMER] dengan ASEAN Committee on Disaster Management [ACDM] sebagai pusat koordinasi. AADMER merupakan kerangka regional yang bersifat proaktif untuk kerjasama, koordinasi, bantuan teknis, dan mobilisasi sumber daya dalam semua aspek manajemen kebencanaan.

Komunitas ASEAN juga memfokuskan kebijakan disaster management melalui ASEAN Regional Forum [ARF] dan ASEAN Defense Ministerial Meeting Plus [ADMM Plus], dimana anggota dari organisasi tersebut melibatkan negara mitra wicara ASEAN. Fokus dari lembaga-lembaga tersebut adalah untuk kerjasama bantuan terhadap kemanusiaan dan pertolongan bencana sebagai bagian dari disaster management kawasan Asia Tenggara.  [Syaban, 2014].

Salah satu komponen penting dalam perjanjian AADMER adalah pembentukan ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster Management [AHA Centre] pada tahun 2011. Dikutip dari laman AHACentre.org, AHA Centre adalah organisasi antar pemerintah yang didirikan oleh sepuluh Negara Anggota ASEAN dengan tujuan untuk memfasilitasi kerja sama dan koordinasi manajemen bencana di antara Negara-negara Anggota ASEAN. Dalam menjalankan mandatnya, AHA Centre terutama bekerja dengan Organisasi Nasional Penanggulangan Bencana negara-negara Anggota ASEAN. Terdapat dua komitmen tingkat tinggi yang menegaskan kembali peran AHA Centre sebagai agen koordinasi regional utama ASEAN dalam manajemen bencana dan tanggap darurat, yaitu deklarasi ASEAN mengenai menanggapi Bencana sebagai Satu di Kawasan dan Di Luar Kawasan dan visi ASEAN 2025 tentang Manajemen Bencana. AHA Centre sendiri memiliki kantor pusat di Indonesia. Dalam upaya membangun partnership building, telah ada beberapa negara yang menjadi parner kita di AHA Center ini diantaranya yaitu Australia, Jepang, New Zealand, Amerika Serikat dan Uni Eropa [BPPT, 2011].

Badan mitigasi bencana ASEAN ini didanai oleh iuran wajib ke-10 negara anggota sehingga siapa pun yang memerlukan bantuan dapat meminta AHA Centre untuk turun tangan. Bantuan kemanusiaan sendiri disimpan di gudang di Malaysia [BBC, 2017]. Berbagai macam barang yang disimpan, seperti tenda, generator, perahu kecil, kemah keluarga, peralatan untuk keluarga, bahkan alat penjernih air juga masuk dalam daftar barang yang diberikan ke kemah-kemah pengungsian warga yang terkena bencana. AHA Centre juga mengirimkan Emergency Response and Assesment Team [ERAT] yang merupaka tim koordinasi cepat. Tim ini nantinya akan membantu mengatasi bencana dan juga memberikan kajian analisa, assesment maupun koordinasi [Ariesta, 2018].

Lalu sejauh mana peran nyata AHA Centre sejak didirikannya lembaga tersebut pada tahun 2011 hingga sekarang? Selama enam tahun, badan ini sudah melaksanakan 19 misi darurat dan 21 kali memobilisasi tim penilai ke tujuh negara [BBC, 2017]. Namun dalam praktiknya untuk di Indonesia saja, badan ini baru tiga kali turut membantu yaitu pada gempa dan tsunami Mentawai pada 2010, gempa Aceh pada tahun yang sama, dan banjir Jakarta pada 2013. Hal ini menyebabkan sejumlah kritik yaitu harus adanya inisiatif pendekatan dan perluasan jaringan dari AHA Center kepada masyarakat tidak hanya pendekatan dari pemerintah ke pemerintah [G2G]. Hal ini dikarenakan hampir semua negara dalam penanganan bencananya tidak mau diintervensi. Sedangkan apabila pendekatannya kepada masyarakat maka bantuan dari AHA Centre dapat menmbus birokrasi.

Peran Indonesia

Indonesia sendiri turut berperan serius dalam penanggulangan bencana di ASEAN lewat beberapa langkah diluar AHA Centre. Pada tahun 2008 Indonesia membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB]. Dalam perannya, BNPB merupakan komponen organisasi yang bekerja sama dengan AHA Centre, namun dalam pembentukannya sudah lebih dulu didirikan di Indonesia sehingga dapat dikatakan Indonesia lebih maju selangkah dalam penanganan bencana secara serius tanpa menunggu ‘pemantik’ dari organisasi regional.  Menurut Wibowo [2014], Keseriusan pemerintah Indonesia dalam penanggulangan bencana juga ditunjukkan dalam anggaran. Pada tahun 2008 anggaran nasional dalam penanggulangan bencana sebesar Rp. 147.652.346.000. Pada tahun 2001 anggaran melonjak mencapai Rp. 5.206.880.402.000.

ASEAN Regional Program on Disaster Management [ARPDM] yang merupakan kerangka kerjasama penanggulangan bencana di ASEAN juga tak dapat dilepaskan dari peran strategis Indonesia. Program tersebut merupakan tindaklanjut ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response [AADMER] yang ditandatangani pada 26 Juli 2007 [Wibowo, 2014]. Peran aktif Indonesia ini bahkan sebelum terbentuknya AHA Centre sebagai organisasi utama yang memfasilitasi koordinasi manajemen bencana di ASEAN. Indonesia juga menjadi salah satu ketua [co-chair] dalam APEC Task Force on Emergency Preparedness [TFEP] untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana alam yang juga mempengaruhi kerangka kerjasama ASEAN dalam penanggulangan bencana.

Daftar Pustaka

Ariesta, M. [2018, 23 Januari]. AHA Centre, Garda Depan Penanganan Bencana ASEAN. Medcom.id. Diakses dari //www.medcom.id/internasional/asia/MkMMLpwk-aha-centre-garda-depan-penanganan-bencana-asean

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. [2011]. AHA Centre: Tanggap Bencana ASEAN. Diakses 11 Juli 2020, dari //www.bppt.go.id/index.php/profil/organisasi/931-aha-center-tanggap-bencana-asean

BBC. [2017, 5 Desember]. Sejauh apa peran badan mitigasi bencana ASEAN, AHA Centre?. BBC. Diakses dari //www.bbc.com/indonesia/indonesia-42237888

Feybe, M. [2016]. BNPB: Negara ASEAN Berisiko Bencana yang Sangat Tinggi. Berita Satu. Diakses dari //www.beritasatu.com/nasional/392135-bnpb-negara-asean-berisiko-bencana-yang-sangat-tinggi

Syaban, M. [2014]. Kepemerintahan Bencana [Disaster Governance] Asia Tenggara. Andalas Journal of International Studies. 3. 51-73. DOI: //doi.org/10.25077/ajis.3.1.51-73.2014

Wibowo, AS. [2014]. Program Penanggulangan Bencana ASEAN: Analisis Kepentingan dan Kemampuan Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015. Jurnal Diplomasi. 6. 47-64. Diakses dari www.pusdiklatkemlu.com

Zakiah, S. [2016]. Peran Asean Coordinating Centre For Humanitarian Assistance On Disaster Management [AHA Centre] Dalam Menanggulangi Bencana Alam Di Filipina. Tersedia dari Repository Universitas Jenderal Achmad Yani [010816111600007]

Artikel ini ditulis oleh Natasya Qorri A, mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang sedang menjalankan magang di Pusat Studi Asia Tenggara.

Video yang berhubungan