Salah satu pengolahan limbah yang memanfaatkan mikroorganisme seperti bakteri aerob adalah

Biofilter Komunal dengan Media Bakteri di dalamnya

Media Bakteri merupakan salah satu elemen penting proses pengolahan air limbah menjadi air bersih secara Biofilter dalam proyek IPAL [Instalasi pengolahan air limbah]. Seperti namanya, media ini berfungsi sebagai rumah mikroba pengurai.

Menilik dari sistem kerja Biofilter pada proses pengolahan Instalasi pengolahan air limbah, proses penjernihan dilakukan secara bertahap. Yakni dengan cara mengalirkan air limbah dengan Pipa Limbah, menuju Bioreaktor.

Baca : Mengenal Fungsi dan Jenis Pipa Limbah

Dikutip dari Wikipedia, Bioreaktor adalah sebuah sistem yang menyediakan lingkungan biologis. Fungsinya untuk menjalankan fungsi reaksi biokimia, dalam hal pengolahan air limbah. Mekanisme ini dalam proses penjernihan dilakukan oleh bakteri dalam mengurai kotoran dalam air.

Proses ini juga biasa dikenal dengan cara biofilter yang memanfaatkan bakteri pengurai jenis Aerob dan bakteri Anaerob. Nah untuk memungkinkan hal tersebut terjadi maka dibutuhkan media yang biasa dikenal dengan istilah rumah atau Media Bakteri.

Dalam pemanfaatannya, media bakteri biasa didapat secara alami. Namun untuk kebutuhan modern, hal ini dilakukan dengan produk yang didesain sedemikian rupa sehingga dapat menjadi habitat ideal bakteri pengurai guna mendukung sistem pengolahan air biofilter.

Produk media bakteri biasa digunakan menggunakan dua jenis bahan baku. Yakni bahan baku organik dan bahan anorganik. Bahan Organik yang biasa dimanfaatkan misalnya serpihan batu, tembikar, batu bata, batu bara, Marmer, batu hingga pecahan kaca.

Sementara bahan anorganik yang biasa digunakan sebagai media bakteri diantaranya tali dari plastik, jaring, bola-bola dari bahan thermoplastik dan sebagainya. Semua material tersebut biasa digunakan sebagai habitat bakteri dengan dukungan Bioreaktor yang didesain khusus.

Sekilas Tentang Bakteri Aerob dan Anaerob

Baik bakteri Anaerob dan Aerob, keduanya memiliki kemampuan pengurai yang baik satu dengan yang lain. Keduanya dibedakan berdasarkan cara hidup mereka terhadap suplai oksigen. Bakteri Aerob merupakan microba yang tak bisa hidup tanpa Oksigen atau O2.

Bagi bakteri Aerob, kelangsungan hidup mereka tergantung pada oksigen. Dimana O2 sering dimanfaatkan sebagai proses berkembang biak, pertumbuhan dan kelangsungan hidup salah satu jenis bakteri pengurai ini. Untuk mendapat suplai oksigen cukup, jenis bakteri ini ideal hidup di lingkungan dengan air.

Sementara bakteri Anaerob merupakan mikroba yang dapat hidup meski di lingkungan sekitar tidak terkandung oksigen. Dengan kata lain, jenis bakteri ini pada dasarnya bisa hidup tanpa udara di sekitar.

Proses Pengolahan Air Limbah Media Bakteri Biofilter IPAL

Air limbah mula-mula dialirkan ke dalam bak kontrol yang dilengkapi dengan saringan. Media ini berfungsi menyaring kotoran padat berukuran besar yang tidak dapat diurai. Seperti sampah plastik, daun, kertas dan sebagainya yang biasa ikut terbuang dengan kotoran.

Air yang mengalir kemudian disimpan di bak endapan awal, yang selanjutnya mengalir ke ruangan biofilter anaerob. Media bakteri ini biasanya memanfaatkan bahan plastik khusus atau “sarang tawon” [Honey Comb] sebagai media tumbuh kembang bakteri pengurai.

Melalui proses penguraian organik, polutan organik diurai dan selanjutnya menghasilkan Gas Metana [CH4] dan Gas Karbon Dioksisa [CO2]. Pekerjaan ini dilakukan oleh gumpalan mikro-organisme bakteri anaerob.

Setelah proses penguraian pertama polutan organik, selanjutnya proses penguraian kedua dilakukan oleh bakteri aerob. Jenis bakteri ini biasanya dapat tumbuh dan hidup melalui media bakteri sarang tawon [Honey Comb] atau bioball.

Ruangan bakteri aerob biasanya didesain dengan berudara, karena jenis bakteri ini sangat membutuhkan oksigen. Fungsi bakteri ini adalah mengurai kembali polutan organik yang tidak sempat terurai dari proses pertama [Oleh bakteri Anaerob].

Melalui proses ini juga terjadi nitrifikasi senyawa amonia [NH4+] yang membuat air limbah sangat berbahaya jika digunakan. Proses ini biasa dikenal dengan istilah aerasi kontak.

Setelah proses ini, air kemudian diendapkan di ruangan terakhir. Sebelum akhirnya air dapat dilepas [dibuang] ke saluran air seperti got, sungai dan sebagainya sebagai air bersih [tidak lagi tercemar]. 

Mengenal Jenis-jenis Media Bakteri

Secara umum, media bakteri bisa dibuat dari bahan alami, seperti batu kayu dan sejenisnya. Namun dalam proses produksi modern, alat ini biasa diproduksi dengan beberapa bahan khusus seperti PVC, PE dan sebagainya.

Dalam produksi media bakteri modern, terdapat dua jenis karakter yang biasa digunakan. Yakni jenis sarang tawon atau Honey Comb dan bioball. Keduanya bekerja dan dapat digunakan untuk perkembangbiakan baik bakteri aerob maupun anaerob dalam proses pengolahan air limbah.

Jenis Honey Comb

Media Bakteri Honey Comb

Honey Comb, atau sarang tawon merupakan satu diantara beberapa media bakteri yang diproduksi untuk media tumbuh kembang bakteri pengurai.Seperti namanya, media ini memiliki beberapa rongga dengan ukuran sama satu dengan yang lain. Media padat ini yang kemudian digunakan sebagai tempat menempelnya bakteri.

Rongga yang ada membuat aliran air tidak terganggu pada saat proses penjernihan atau penguraian kotoran yang terkandung dalam air. Proses ini biasanya dilakukan untuk proses penguraian secara organik, polutan biologis oleh jenis bakteri Aerob maupun Anaerob.

Jenis media bakter ini biasanya diproduksi dari bahan PVC khusus, dengan karakter tahan terhadap bakteri, bersifat resisten terhadap zat asam dan basa. Dan biasanya memiliki ukuran yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan.

Media ini berbentuk pipih bergelombang. Umumnya mirip dengan atap rumah dan dapat digunakan secara bersamaan. Saat digunakan bersamaan, celah yang terjadi mirip dengan sarang tawon, sehingga sering juga dikenal dengan nama Honey Comb.

Aplikasi Penggunaan

  • Dapat digunakan sebagai media pengganti bahan konvensional, seperti batu, kayu dan sejenisnya.
  • Meningkatkan retensi kontak antara air dengan media kontak.
  • dapat digunakan untuk jenis bakteri aerob dan anaerob.

Jenis BioBall

Media Filter Bioball

 Seperti namanya, jenis media bakteri ini memiliki struktur bulat kecil, sebesar bola pimpong. Hanya saja ada rongga di dalamnya sebagai tempat menempel bakteri. Jenis bakteri ini sangat sering digunakan sebagai proses penjernihan air, salah satunya digunakan untuk membersihkan air di akuarium.

Sebagai proses pengolahan air limbah IPAL, jenis bioball juga sering digunakan sebagai media tumbuh kembang bakteri. Biasanya dalam satu tangki pengolahan terdapat ratusan bioball, yang biasanya diproduksi dengan dominasi warna hitam.

Meski ampuh sebagai media tumbuh kembang bakteri, jenis media ini kerap mengalami permasalahan tersendiri. Diantaranya seringnya media keluar melalui pipa pembuangan yang berdampak pada berkurangnya jumlah media bakteri ini di dalam tangki pengolahan.

Sebagai solusi, tersedia media bioball dalam ukuran besar yang di dalamnya berisi puluhan produk dalam ukuran kecil. Cara ini dapat meminimalisir bahkan mengurangi risiko terbuangnya media bakteri ini pada pipa limbah pembuangan.

Untuk info lebih lanjut silahkan hubungi 082122251337 [Phone / WA]

Details Category: Tulisan Ilmiah Populer Created on Friday, 03 March 2017 14:44 Hits: 37147

 PROSES ANAEROBIK SEBAGAI ALTERNATIF UNTUK
MENGOLAH LIMBAH CAIR RUMAH POTONG HEWAN RUMINANSIA
Oleh:
Drh. Anis Trisna Fitrianti, MSi - Medik Veteriner Muda

Rumah Potong Hewan Ruminansia [RPH-R] selain menghasilkan daging tentunya juga menghasilkan limbah. Limbah RPH-R terdiri atas limbah cair dan limbah padat. Limbah RPH-R sebagian besar berupa limbah organik yang mengandung protein, lemak, dan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai pencemar lingkungan [Manendar 2010]. Limbah RPH-R yang tergolong limbah organik yaitu feses, isi rumen dan usus, urine, darah, dan lemak yang apabila tidak ditangani dengan baik akan berpotensi mencemari karkas atau daging dan bahkan lingkungan sekitar. Limbah padat seperti feses, isi rumen, dan sisa pakan umumnya dimanfaatkan kembali sebagai pupuk kandang. Limbah cair yang dihasilkan dari RPH-R sebagian besar dihasilkan dari air pembersihan ruang pemotongan, air pembersihan rumen dan usus, air pembersihanan kandang ternak, dan darah. Jumlah limbah cair yang dihasilkan dari proses pemotongan sapi berkisar 300 – 400 m3 per ekor sapi [Padmono 2005]. Jumlah ini akan sangat tinggi apabila suatu RPH-R melakukan pemotongan hewan dengan jumlah yang cukup besar per harinya sehingga sistem pengolahan limbah yang benar harus diterapkan. Limbah cair RPH-R merupakan salah satu sumber pencemaran yang berpotensi dapat mencemari lingkungan karena memiliki tingkat COD, kandungan zat organik, dan BOD yang sangat tinggi sehingga pengelolaan limbah dapat menjadi tolok ukur baik buruknya pengelolaan suatu RPH-R. Oleh karena itu pengolahan limbah cair harus dilakukan dengan sangat baik agar pada saat dibuang ke lingkungan akuatik tidak akan menimbulkan masalah lingkungan yaitu pencemaran air yang dapat membahayakan kehidupan biotik, dimana manusia termasuk didalamnya. Pengolahan limbah cair secara anaerobik merupakan salah satu metode alternatif pengolahan limbah di RPH-R.
Limbah RPH-R mengandung senyawa organik yang dapat dirombak oleh mikroba dan dapat dikendalikan secara biologis. Pengendalian secara biologis dapat dilakukan dengan proses aerobik dan anaerobik. Proses aerobik biasanya digunakan untuk pengolahan limbah dengan beban organik yang tidak terlalu tinggi, sedangkan proses anaerobik digunakan umumnya untuk limbah dengan beban organik yang sangat tinggi. Limbah cair RPH-R merupakan limbah organik dengan perkiraan karakteristik nilai COD, zat organik, dan BOD yang sangat tinggi sehingga dalam pengolahannya dibutuhkan keterlibatan mikroorganisme sebagai faktor dominan dalam pengolahan limbah dengan beban bahan organik yang tinggi. Proses anaerobik umumnya digunakan untuk limbah cair dengan beban bahan organik yang tinggi, pengolahan lumpur, dan penyisihan NH3 pada proses denitrifikasi [Said & Firly 2005]. Proses pengolahan limbah cair secara anaerobik adalah suatu metabolisme tanpa menggunakan oksigen dan dilakukan oleh bakteri anaerobik. Ciri khas dari proses secara anaerobik adalah terbentuknya gas metan [CH4]. Selain itu proses anaerobik ini memiliki banyak keuntungan dan kelebihan dibandingkan proses aerobik.
Menurut Vegantara [2009], salah satu cara pengolahan limbah cair adalah dengan menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah [IPAL] dengan sistem pencerna anaerob atau anaerob digester. Sistem pengolahan ini tidak memerlukan tempat yang luas serta memiliki biaya investasi yang lebih rendah, selain itu gas metan yang terbentuk selama proses fermentasi dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi baik sebagai bahan bakar ataupun dikonversi ke energi listrik. Kelebihan proses anaerobik adalah derajat stabilitas yang tinggi, produk lumpur buatan biologis rendah, kebutuhan nutrien rendah, dan dihasilkan gas metan yang dapat digunakan sebagai sumber energi.
Pengolahan limbah cair secara anaerobik dalam aplikasinya menggunakan media biofilter dalam reaktor anaerob. Media biofilter yang digunakan bertujuan untuk tempat melekatnya mikroorganisme sehingga berguna untuk perkembangbiakan mikroorganisme tersebut. Contoh proses pengolahan anaerobik yaitu sistem anaerobik filter atau dikenal juga dengan sebutan Fixed Bed Reactor atau Fixed Film Reactor. Fixed Bed Reactor adalah salah satu cara pengolahan limbah yang menerapkan proses biologis secara anaerob dengan menggunakan sistem pertumbuhan mikroorganisme melekat. Mikroorganisme tumbuh dan berkembang dengan menempel pada suatu media. Didalam reaktor dipilih sistem pertumbuhan mikroorganisme melekat pada media tumbuh dengan harapan distribusi mikroorganisme tersebar merata diseluruh reaktor tanpa bantuan energi [Padmono 2003].
Media yang digunakan bermacam-macam tetapi media yang baik adalah yang luas permukaannya [surface area] kira-kira 100 sampai 300 m2 per m3 volume yang ditempatinya. Pengolahan dengan sistem Fixed Bed Reactor ini lebih baik memilih media yang mempunyai luas permukaan yang besar dengan harapan hasilnya akan maksimal. Contoh media yang dapat digunakan misalnya tepung arang dan pasir, namun demikian biasanya media dengan butiran terlampau kecil akan memberikan tampilan yang baik selama beberapa hari saja. Selanjutnya dapat terjadi blocking atau penyumbatan yang diakibatkan oleh lapisan bakteri yang menempel dipermukaannya. Setelah terjadi penyumbatan, daya kerjanya akan menjadi kurang maksimal sehingga harus dilakukan pembongkaran untuk membersihkan biofilter ini yang tentunya merepotkan. Oleh karena itu, media harus diusahakan sedemikian rupa agar luas permukaannya cukup luas tetapi tidak sampai tersumbat atau terhambat.
Media tempat tumbuh mikroorganisme dapat berupa batu apung, plastik, glass ring, expanded clay, porselin bahkan bambu atau bahan lain yang inert kedalam reaktor sebagai bahan penunjang pertumbuhan mikroorganisme yang memiliki porositas sebesar mungkin dan luas permukaan spesifik seluas mungkin [Padmono 2003]. Secara teknis media yang diperlukan adalah media yang mempunyai SSA [specific surface area] yang luas dan VR [void ratio] yang tinggi [Esaunggul 2012]. Saat ini media ini telah dikembangkan oleh para ahli teknis dengan mencari bahan serta bentuk yang memberikan luas permukaana luas tetapi memiliki VR tinggi. Contoh media yang dimaksud misalnya biofilter dari bahan plastik PVC tipe sarang tawon. Beban COD yang dapat diolah oleh Fixed Bed Reactor dapat berkisar antara [4 – 16] kg/m3 per hari.

 

Gambar 1 Media plastik sarang tawon untuk pembiakan mikroorganisme dalam menguraikan zat organik

Proses anaerobik yang terjadi secara umum dibagi menjadi 3 tahap, yaitu tahap hidrolasi dan fermentasi; tahap pembentukan asam asetat; dan tahap pembentukan metana seperti ditunjukan dalam Gambar 2.

 

Gambar 2 Tiga tahap proses anaerobik [Padmono 2003]


Hidrolisis dan fermentasi adalah pengubahan senyawa organik yang bersifat kompleks menjadi bentuk sederhana dan bersifat organik terlarut. Perubahan senyawa ini dilakukan oleh bakteri fermentatif dengan menggunakan enzim yang diproduksinya. Tahap selanjutnya adalah asetogenik atau pembentukan asam asetat. Pada proses hidrolisis dan asidogenik selain dihasilkan asam lemak juga terbentuk senyawa-senyawa lain seperti senyawa alkohol, asam organik rantai panjang lain, senyawa unikarbon [HCOOH], dan senyawa multikarbon. Senyawa-senyawa dalam tahapan ini diubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik sebelum memasuki tahap pembentukan metana [Padmono 2003]. Tahapan pembentukan asetat diatas juga menghasilkan hidrogen. Kedua macam senyawa tersebut merupakan bahan utama pembentuk gas metana. Pembentukan gas metana ini dilakukan oleh bakteri metanogen. Penguraian senyawa organik seperti karbohidrat, lemak dan protein yang terdapat dalam limbah cair dengan proses anaerobik akan menghasilkan biogas yang mengandung metana [50 – 70%], CO2 [25 – 45%], dan sejumlah kecil hidrogen, nitrogen, dan air.
Lingkungan memberikan pengaruh besar pada laju pertumbuhan mikroorganisme baik pada proses aerobik maupun anaerobik. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses anaerobik menurut Manurung [2004], antara lain temperatur, pH, konsentrasi substrat, dan zat beracun. Gas dapat dihasilkan jika suhu antara 4 – 60 °C dan suhu dijaga konstan. Bakteri akan menghasilkan enzim yang lebih banyak pada temperatur optimum. Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 - 7,4. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil metana. Penambahan kapur dapat dilakukan untuk meningkatkan pH. Sel mikroorganisme mengandung Karbon, Nitrogen, Phosfor, dan Sulfur dengan perbandingan 100:10:1:1. Pertumbuhan mikroorganisme membutuhkan unsur-unsur tersebut pada sumber makanannya atau substrat. Konsentrasi substrat dapat mempengaruhi proses kerja mikroorganisme. Kondisi yang optimum dicapai jika jumlah mikroorganisme sebanding dengan konsentrasi substrat. Zat organik maupun anorganik baik yang terlarut maupun tersuspensi dapat menjadi penghambat ataupun racun bagi pertumbuhan mikroorganisme jika terdapat pada konsentrasi yang tinggi. Bakteri penghasil metana lebih sensitif terhadap racun daripada bakteri penghasil asam.
Menurut Padmono [2003], pada pengolahan limbah cair RPH-R dapat dilakukan pengukuran atau pengamatan terhadap parameter yang meliputi COD, biogas, dan kandungan metana dalam biogas. Pengukuran COD yang dilakukan dalam pengamatan ini adalah solubel COD. COD solubel hanya ditinjau bahan yang bersifat terlarut dan merupakan bahan yang mudah didegradasi secara biologis. Pengukuran COD ini digunakan dalam menentukan kinerja reaktor dalam bentuk efisiensinya.
Pengukuran biogas yang dihasilkan oleh anaerobik Fixed Bed Reactor dilakukan dengan pembacaan langsung pada alat pengukur jumlah produksi gas pada pipa aliran gas dari reaktor menuju penampung gas. Data yang diperoleh dikonversikan kedalam bentuk normal pada suhu kamar. Pengukuran kandungan metana dilakukan dengan alat ukur gas metana. Biogas yang terbentuk ditampung dalam suatu penampung gas aluminium dengan volume 10 liter. Gas dialirkan dalam metana test-meter dan langsung dapat terbaca berapa prosentase kandungan metana dalam biogas.
Berdasarkan penelitian Indriyati [2004], debit air limbah yang masuk kedalam sistem reaktor adalah rata-rata berkisar antara 59 – 140 m3/hari dengan kandungan COD terlarut rata-rata setelah beberapa tahap penyaringan dan pengendapan sebesar 1967 mg/l. Setelah proses degradasi dicapai COD terlarut efluent sebesar 583 mg/l. Efisiensi yang dicapai adalah 70% dengan kandungan metan 80% dan jumlah produksi gas rata-rata antara 220 – 250 m3/hari. Biogas yang dihasilkan dari Fixed Bed digester digunakan untuk memproduksi listrik dengan menggunakan generator. Mesin tersebut berjalan bersamaan dengan jaringan listrik PLN.
Proses penurunan kadar COD ini menurut Said dan Firly [2005] disebabkan adanya proses adaptasi dari mikroorganisme yang tumbuh melekat pada media biofilter dalam reaktor kemudian terjadi proses degradasi senyawa-senyawa organik sehingga kadar COD turun. Proses anaerobik akan memberikan kontribusi yang besar pada pengolahan limbah untuk menurunkan kadar COD. Selain itu, proses anaerobik juga mampu mendegradasi dan menurunkan kadar zat-zat organik yang terkandung dalam limbah seperti KMnO4, lebih besar daripada proses aerobik serta menurunkan Total Suspensed Solids [TSS]. Kadar BOD dapat diturunkan pada waktu tinggal hidrolik 24 jam dan 48 jam dengan kisaran 78 – 84% pada proses anaerobik ini.
Setiap penurunan kadar COD, BOD, TSS, maupun zat organik pada proses pengolahan limbah cair maka proses anaerobik memberikan kontribusi terbesar dibandingkan pada proses aerobik. Hal ini dikarenakan proses anaerobik adalah proses multi tahap yang melibatkan bakteri anaerobik. Beban pengolahan pada limbah pada proses anaerobik sangat besar dan senyawa-senyawa organik yang terkandung didalam limbah didegradasi secara mikrobiologis menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dengan melalui tahapan hidrolisis, asetogenesis, dan metanogenesis. Hasil akhir dari proses ini adalah gas metan dan karbondioksida. Berbeda dengan proses anaerobik, proses aerobik lebih sederhana dengan beban pengolahan limbah yang jauh lebih ringan dan merupakan upaya lanjutan untuk mendegradasi senyawa-senyawa organik. Hasil pengolahan limbah pada proses anaerobik masih mengandung zat organik dan nutrisi yang dapat diubah menjadi sel-sel baru, hidrogen, karbondioksida, dan produk-produk akhir lainnya. Menurut Said [2002], hasil pengolahan dengan proses anaerobik masih menimbulkan sedikit bau dan efluen agak keruh serta berwarna kuning muda. Oleh karena itu, untuk selanjutnya diperlukan adanya penambahan proses secara aerobik agar kualitas efluen menjadi lebih baik lagi dengan tidak ada lagi bau dan lebih bening.

                                            

     

Sumber: //www.expo-net.dk/English/News/Latest%20News.aspx?M=News&PID=4559&NewsID=104

DAFTAR PUSTAKA

  1. Esaunggul. 2012. Pengolahan limbah cair. [terhubung berkala]. //ikk357.blog.esaunggul.ac.id/files/2012/11/Limbah-Cair-Industri1.pdf [31 Oktober 2016].
  2. Indriyati. 2004. Penerapan teknologi produksi bersih di Rumah Potong Hewan Cakung. [terhubung berkala]. //produksibersih.wordpress.com/2011/07/27/penerapan-teknologi-produksi-bersih-di-RPH-R-cakung/ [31 Oktober 2016].
  3. Manendar R. 2010. Pengolahan limbah cair Rumah Potong Hewan [RPH-R] dengan metode fotokatalitik TiO2 : pengaruh waktu kontak terhadap kualitas BOD5, COD, dan pH efluen. [tesis]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
  4. Manurung R. 2004. Proses anaerobik sebagai alternatif untuk mengolah limbah sawit. Jurnal e-USU Repository Universitas Sumatera Utara: 1-9.
  5. Padmono D. 2003. Pengaruh beban organik terhadap efisiensi Anaerobic Fixed Bed Reactor dengan sistem aliran catu up-flow. Jurnal Teknologi Lingkungan P3TL-BPPT. Volume 4, Nomor 3 : 148 – 154.
  6. Padmono D. 2005. Alternatif pengolahan limbah Rumah Potong Hewan-Cakung [suatu studi kasus]. Jurnal Teknologi Lingkungan P3TL-BPPT. Volume 6, Nomor 1 : 303 – 310.
  7. Said NI. 2002. Aplikasi teknologi biofilter untuk pengolahan air limbah industri kecil tekstil. Jurnal JAI. Volume 3, Nomor 1 : 135 – 143.
  8. Said NI, Firly. 2005. Uji performance biofilter anaerobik unggun tetap menggunakan media biofilter sarang tawon untuk pengolahan air limbah Rumah Potong Ayam. Jurnal JAI. Volume 1, Nomor 3 : 289 – 303.
  9. Vegantara DA. 2009. Pengolahan limbah cair tapioka menggunakan kotoran sapi perah dengan sistem anaerobik. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

работа в одессе

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề