Sebagian besar kabinet pada masa demokrasi liberal berakhir karena adanya mosi tidak percaya apa yang dimaksud dengan mosi tidak percaya?

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Mosi adalah keputusan rapat, misalnua parlemen, yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat.

Oleh karena itu dikenal dengan istilah mosi kepercayaan dan mosi tidak percaya.

Mosi kepercayaan merupakan mosi yang menyatakan bahwa wakil rakyat percaya pada kebijakan pemerintah.

Sedangkan mosi tidak percaya adalah bentuk pernyataan tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah.

Kendati demikian, tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang secara eksplisit mengatur soal mosi tidak percaya.

Namun, DPR memiliki sejumlah hak seperti hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat. [1]

Baca: Undang-Undang Cipta Kerja

Selain itu mosi tidak percaya juga dapat menjadi instrumen kontrol politik yang paling ketat.

Anggota Dewan Nasional bisa menarik kepercayaan dari Pemerintah Federal atau beberapa anggotanya dengan resolusi [putusan] yang berlaku.

Dalam hal ini, Pemerintah Federal atau Menteri akan dibebastugaskan dari jabatannya.

Mosi tidak percaya bisa diputuskan setidaknya oleh mayoritas atau satu setengah dari jumlah Anggota Dewan Nasional.

Jika seperlima dari Anggota Dewan meminta dilakukan secara tertulis, pemungutan suara atas mosi tidak percaya harus ditunda keesokan harinya kecuali satu hari kerja.

Meskipun sebagian besar mosi harus disertai dengan daftar alasan yang terperinci, Dewan Nasional mungkin hanya ingin menyatakan bahwa mayoritas Anggota tidak lagi percaya pada kemampuan pemerintah dalam menjalankan tugasnya untuk mewakili rakyat.

Namun, sistem pemerintahan parlementer justru melahirkan bentuk baru dalam pemisahan kekuasaan.

Hal ini turut menjelaskan mengapa mosi tidak percaya tidak akan pernah mendapat suara mayoritas selama kondisi politik yang stabil berlaku, meskipun oposisi akan berulang kali mencoba melakukan mosi tidak percaya.

Seperti dilansir BBC, mosi tidak percaya adalah pemungutan suara yang di mana semua anggota parlemen dari semua partai memutuskan apakah mereka ingin melanjutkan pemerintah saat ini atau tidak.

Mosi tidak percaya juga memiliki kekuatan untuk memicu pemilihan umum dan menggangkat perdana menteri baru.
Kendati demikian, meskipun anggota parlemen mana pun dapat mengajukan mosi tidak percaya, namun tidak ada jaminan bahwa permintaan mereka akan dikabulkan.

Di Indonesia Mosi tidak percaya beberapa kali sempat digunakan. Misalnya pada demokrasi liberal pada tahun 1951.

Saat itu, Perdana Menteri Natsir pernah dijatuhi mosi tanda tidak percaya oleh beberapa kalangan.

Dua tahun setelahnya, giliran kabinet Wilopo yang mendapatkan mosi serupa. [2]

Selain itu mosi tidak percaya juga sering diserukan ketika terjadinya ketidakpercayaan rakyat terhadap keputusan yang diambil oleh pemerintah.

Salah satunya terkait Revisi UU KPK yang disahkan oleh DPR RI pada 16 September 2019.

Massa aksi yang terdiri atas elemen mahasiswa menyatakan mosi tidak percaya kepada Dewan Perwakilan Rakyat [DPR].

Elemen mahasiwa dari berbagai universitas menyatakan mosi tidak percaya kepada Dewan Perwakilan Rakyat [DPR], Kamis [19/9/2019]. [KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO]

Kamis [19/9/2019], mosi tidak percaya itu disampaikan ketika sejumlah perwakilan mahasiswa melakukan audiensi dengan Seketaris Jenderal DPR, Indra Iskandar di Ruang KK 1 Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.

Elemen mahasiswa itu menilai banyak kinerja DPR yang tidak optimal, sehingga perlu diberikan mosi tidak percaya.

"Mosi tidak percaya sudah dilayangkan kepada DPR karena banyaknya kinerja yang tidak optimal," ujar perwakilan dari Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM] Universitas Indonesia [UI], Manik Marganamahendra saat audiensi.

Mereka menyampaikan mosi tidak percaya karena DPR bersama pemerintah sepakat mengesahkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [UU KPK].

Mereka juga menuntut DPR untuk membatalkan pengesahan revisi UU KPK di tengah polemik dan penolakan dari berbagai kalangan masyarakat sipil.

Di sisi lain, mahasiwa juga menyoroti proses pembahasan RUU KPK yang tertutup dan tidak melibatkan aspirasi publik.

Baca: Kelompok Anarko

"Kami sangat menyesalkan revisi UU KPK justru disahkan dengan berbagai polemik yang ada dan berbagai tuntutan menolak revisi tersebut, tapi masih juga disahkan," kata Manik.

Mereka juga meminta DPR menunda pengesahan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [RKUHP] yang dianggap sejumlah pasalnya dapat mengancam demokrasi, ranah privat warga negara, dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi.

Dengan lahirnya kedua regulasi tersebut, menurut mereka, DPR justru mengancam pemberantasan korupsi dan demokrasi.

"Persoalan korupsi dan ancaman demokrasi yang bergulir dalam DPR itu sendiri. Itu yang kami permasalahkan," ucap Manik. [3]

Tahun 2020, masyarakat kembali menyerukan tagar #mositidakpercaya di sosial media terkait pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan masyarakat dan menguntungkan pebisnis serta investor.

[TribunnewsWiki.com/Niken Aninsi]

Pada masa Demokrasi Liberal politik luar negeri Indonesia berkaitan erat dengan kabinet-kabinet yang menjalankan pemerintahan. Setiap kabinet yang berkuasa membawa politik luar negeri Indonesia ke arah yang berbeda. Perbedaan arah tersebut sering menimbulkan pertentangan dalam parlemen yang berujung pada jatuhnya kabinet itu sendiri. Jatuhnya kabinet pada masa Demokrasi Liberal terjadi karena tidak ada batas "kanan" dan "kiri" yang jelas bagi pelaksanaan politik luar negeri Indonesia. Kondisi ini terlihat saat jatuhnya Kabinet Sukiman yang dianggap melanggar batas politik luar negeri Indonesia. Ahmad Soebardjo yang pada saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri melakukan kesepakatan dengan Duta Besar Amerika Serikat, Merle Cochran yang dikenal dengan Mutual Security Act. Parlemen kemudian mengajukan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman karena dianggap telah melanggar politik luar negeri bebas aktif Indonesia.  

Oleh sebab itu, jawaban yang tepat adalah D.

RUANGGURU HQ

Jl. Dr. Saharjo No.161, Manggarai Selatan, Tebet, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12860

MOJOK.CO – Kebijakan RUU dari DPR kelewat koplak sampai-sampai mosi tidak percaya jadi jurus pamungkas masyarakat.

Mahasiswa dan masyarakat menyerukan mosi tidak percaya di aksi damai #GejayanMemanggil. Aliansi Rakyat Bergerak di Yogyakarta ini menggugat RUU yang dianggap ngawur dan mengebiri demokrasi.

Bukan cuma Aliansi Rakyat Bergerak, mosi serupa juga dilontarkan di banyak kota. Seperti yang dikutip dari CNN Indonesia, misalnya: setelah melalui debat alot [dan, tentu saja, a lot], gerakan mahasiswa dari banyak universitas di Jakarta melayangkan mosi tidak percaya kepada DPR dan menegaskan akan kembali melaksanakan aksi hari ini, Selasa [24/9].

Kebijakan pihak pemerintah akhir-akhir ini memang disoroti dengan tajam. Sejumlah pasal dianggap bermasalah dalam rencana pengesahan RUU dan revisi UU. Berbagai aksi massa hingga turun ke jalan digelar di banyak kota, bahkan hingga hari ini, untuk menegaskan hal yang sama, yaitu—lagi-lagi—mosi tanda tidak percaya.

Pertanyaannya, apa dan bagaimana sesungguhnya mosi ini?

Sebelum menjawab pertanyaan tadi, mari lihat sejarah penggunaan istilah ini. Umumnya, mosi ketidakpercayaan ini erat hubungannya dengan sistem pemerintahan parlementer. Tradisi ini diawali sejak bulan Maret tahun 1782, tepatnya setelah kekalahan pasukan Britania dalam Pertempuran Yorktown.

Menindaklanjuti kekalahan, pihak parlemen menegaskan sikapnya untuk tidak lagi percaya kepada menteri yang menjabat. Perdana Menteri saat itu, Lord North, menanggapi dengan sikap yang tak kalah tegas: meminta Raja George III menerima surat pengunduran dirinya.

Pada masa demokrasi liberal Indonesia, misalnya, mosi tanda tidak percaya pernah menjatuhkan Perdana Menteri Natsir. Kala itu, pemberontakan terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dan mengancam keamanan dalam negeri, termasuk dengan adanya Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, hingga RMS. Puncaknya, 22 Januari 1951, parlemen menyuarakan mosi tidak percaya hingga mencapai kemenangan. Apa akibatnya?

Per tanggal 21 Maret 1951, Perdana Menteri Natsir mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Dua tahun kemudian, mosi yang sama juga mengakibatkan jatuhnya kabinet Wilopo, yaitu pada tanggal 2 Juni 1953.

Definisi dan Prosedur Mosi Tidak Percaya

Dalam KBBI, kata “mosi” diartikan sebagai “keputusan rapat, misalnya parlemen, yang menyatakan pendapat atau keinginan para anggota rapat”, sementara istilah lengkapnya dijelaskan sebagai “pernyataan tidak percaya dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah”. Dari Wikipedia, definisinya adalah “sebuah prosedur parlemen yang digunakan kepada parlemen oleh parlemen oposisi dengan harapan mengalahkan atau mempermalukan sebuah pemerintahan.”

Secara umum, ketika parlemen memutuskan untuk mengeluarkan mosi tanda tidak percaya, sebuah pemerintahan haruslah segera mengundurkan diri atau membubarkan parlemen untuk kemudian mengadakan pemilihan umum. Hal ini seperti yang berlaku pula di Jerman, di mana kanselirnya bisa diberhentikan melalui suara mayoritas parlemen melalui mosi tanda tidak percaya.

Mosi tanda tidak percaya, dengan demikian, merupakan prosedur parlemen dalam sistem pemerintahan parlementer. Lalu, bagaimana hal ini berlaku dalam sistem pemerintahan presidensial, seperti di Indonesia?

Dilansir dari Hukum Online, hak-hak DPR diatur dalam pasal 77 ayat [1], UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Perwakilan Rakyat Daerah, yaitu hak:

1] interpelasi,

2] angket, dan

3] menyatakan pendapat.

Secara sederhana, hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan pemerintah mengenai kebijakan yang penting, sedangkan hak angket adalah hak DPR untul mengadakan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu kebijakan. Sementara itu, hak menyatakan pendapat adalah hak DPR berpendapat atas kebijakan pemerintah, tindak lanjut hak interpelasi dan hak angket, atau pada dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan Wakil Presiden.

Dari keseluruhan hak di atas, tidak ada yang secara tegas menyebutkan perihal mosi ketidakpercayaan. Namun, hak DPR untuk “menyatakan pendapat” tadi sering kali dihubungkan dengan kemungkinan pengajuan mosi, meski dianggap sebatas istilah politik semata.

Tapi sesungguhnya, ada yang jauh lebih lucu di sini. Kalau di negara lain mosi ini dilahirkan dari parlemen kepada pemerintah, di Indonesia justru berasal dari mahasiswa dan masyarakat ke DPR-nya sendiri!

BACA JUGA Demonstrasi Itu Biasa Saja atau tulisan Aprilia Kumala lainnya.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề