Sebutkan 5 hasil kesepakatan yang dicapai dalam perundingan Renville



KONTAN.CO.ID -  Berbagai perundingan diadakan yang bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena setelah Proklamasi Kemerdekaan, bangsa Indonesia masih menghadapi berbagai permasalahan.  Banyak pertempuran dan perundingan terjadi setelah Proklamasi karena Belanda ingin menguasai kembali wilayah Indonesia. Pertempuran seperti Pertempuran Surabaya, Pertempuran Ambarawa, dan Bandung Lautan Api, terjadi akibat Belanda bersikeras ingin menduduki Indonesia. Karena permasalahan inilah, perundingan dan konferensi antara Indonesia dan Belanda dilaksanakan.  Bersumber dari Direktorat SMP Kemendikbud Ristek, ada 5 perundingan yang digelar dalam rangka mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia [NKRI] pasca Proklamasi.  Mari simak perundingan yang dilaksanakan dalam rangka mempertahankan kedaulatan Indonesia di bawah ini: Baca Juga: 5 Pertempuran yang terjadi setelah kemerdekaan Indonesia

Perundingan Linggarjati

Belanda masih belum mengakui kedaulatan NKRI secara de facto, meski Indonesia sudah menyatakan proklamasi kemerdekaannya.  Karenanya, perundingan diadakan untuk membahas hal tersebut yang dikenal dengan Perjanjian Linggarjati. Perundingan Linggarjati dilakukan di Subang Jawa Barat pada 10-15 November 1946 dan disahkan pada 25 Maret 1947.  Pada perundingan tersebut, wakil dari Indonesia adalah Sutan Sjahrir dan wakil dari Belanda adalah Prof. Schermerhorn. Beberapa persetujuan yang dicapai di Perundingan Linggarjati adalah:
  • Belanda mengakui RI secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatra. 
  • Dibentuknya negara negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat, dimana RI menjadi salah satu negara bagiannya. 
  • Pembentukan Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai kepala uni.


Lihat Foto

Wikimedia Commons

Delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville. Dari kiri ke kanan: Johannes Latuharhary, Ali Sastroamidjojo, Agus Salim, Johannes Leimena, Setiadjit Soegondo, Amir Syarifuddin

KOMPAS.com - Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kemerdekaan tak langsung dirasakan rakyat.

Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia setelah Jepang kalah di Perang Dunia II.

Sejumlah perlawanan senjata dan diplomasi dilakukan Indonesia agar bisa merdeka. Salah satunya lewat Perjanjian Renville.

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica [2015], Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Republik Indonesia dengan Belanda akibat sengketa kedaulatan Indonesia.

Baca juga: Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya

Perjanjian Renville terjadi pada 17 Januari 1948. Namanya diambil dari lokasi tempat perjanjian ditandatangani yakni Kapal Amerika Serikat Renville yang sedang bersandar di Pelabuhan Jakarta.

Perjanjian Renville dibuat karena Belanda dan Indonesia terus bersengketa. Sebelumnya sudah ada Perjanjian Linggarjati yang menyepakati wilayah de facto Republik Indonesia Serikat [RIS].

Namun Perjanjian Linggarjati tak menyelesaikan konflik Indonesia dengan Belanda. Indonesia menuduh Belanda mengingkari perjanjian, begitu pula sebaliknya.

Lihat Foto

C.J. [Cees] Taillie

Iring-iringan tentara saat Agresi Militer Belanda I pada 1947.

Belanda meneruskan operasi militernya, bahkan bergerak ke Jawa dan Madura yang merupakan wilayah RIS. Langkah Belanda ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda I.

Baca juga: 15 November 1946, Indonesia Hanya Meliputi Jawa, Sumatera, dan Madura

Indonesia berusaha menanganinya dengan meminta pertolongan internasional. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa [PBB] berusaha menengahi.

Negara yang terlibat tergabung dalam Good Offices Committee [GOC] atau Komisi Tiga Negara [KTN]. Indonesia menunjuk Australia, Belanda menunjuk Belgia, dan Amerika Serikat ditunjuk berdasarkan keinginan Indonesia dan Belanda.

Artikel ini membutuhkan rujukan tambahan agar kualitasnya dapat dipastikan. Mohon bantu kami mengembangkan artikel ini dengan cara menambahkan rujukan ke sumber tepercaya. Pernyataan tak bersumber bisa saja dipertentangkan dan dihapus.
Cari sumber: "Perjanjian Renville" – berita · surat kabar · buku · cendekiawan · JSTOR
[Pelajari cara dan kapan saatnya untuk menghapus pesan templat ini]

Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di Jakarta.[1] Perundingan dimulai pada tanggal 8 Desember 1947 dan ditengahi oleh Komisi Tiga Negara, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Perjanjian ini diadakan untuk menyelesaikan perselisihan atas Perjanjian Linggarjati tahun 1946. Perjanjian ini berisi batas antara wilayah Indonesia dengan Belanda yang disebut Garis Van Mook.

Perjanjian Renville

Para delegasi dalam rapat pleno pertama di kapal Amerika Serikat USS Renville

KonteksRevolusi Nasional IndonesiaDitandatangani17 Januari 1948LokasiUSS Renville di Teluk JakartaPenengah
  • Amerika Serikat
  • Australia
  • Belgia
Pihak
  • Indonesia
  • Belanda
BahasaInggris

Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Gubernur Jendral Van Mook dari Belanda memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus. Pada 25 Agustus, Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi yang diusulkan Amerika Serikat bahwa Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik Indonesia-Belanda secara damai dengan membentuk Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia yang dipilih oleh Belanda, Australia yang dipilih oleh Indonesia, dan Amerika Serikat yang disetujui kedua belah pihak.

Pada 29 Agustus 1947, Belanda memproklamirkan garis Van Mook yang membatasi wilayah Indonesia dan Belanda. Republik Indonesia menjadi tinggal sepertiga Pulau Jawa dan kebanyakan pulau di Sumatra, tetapi Indonesia tidak mendapatwilayah utama penghasil makanan. Blokade oleh Belanda juga mencegah masuknya persenjataan, makanan dan pakaian menuju ke wilayah Indonesia.

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tetapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.

Setelah disepakati pada 17 Januari 1948 perjanjian Renville memuat beberapa persetujuan, yaitu:[2]

  1. Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatra sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.
  2. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
  3. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

 

Wilayah Indonesia di Pulau Jawa [warna merah] pasca perjanjian Renville.

Berakhirnya agresi militer Belanda I dan disetujuinya perjanjian Renville mengubah arah perpolitikan Indonesia. Golongan kiri yang selama awal kemerdekaan ditempatkan dalam struktur pemerintahan mulai tersingkir. Tersingkirnya golongan kiri merupakan cikal bakal terjadinya pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948 ditengah konflik yang masih terjadi antara pihak Belanda dan Republik. Perjanjian Renville mengurangi wilayah kekuasaan Indonesia yang telah diakui secara de facto sangat merugikan pihak Indonesia. Wilayah-wilayah penghasil kebutuhan pokok telah dikuasai oleh pihak Belanda menyebabkan perekonomian Indonesia memburuk terlebih ketika Belanda melakukan blokade-blokade ekonomi. Pemblokadean ekonomi merupakan salah satu taktik pihak Belanda untuk melemahkan Indonesia.[3]

Perjanjian ini juga mengakibatkan TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantong di wilayah pendudukan Belanda di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kondisi ini melahirkan peristiwa Long March Siliwangi, sebuah perjalanan panjang para tentara Divisi Siliwangi dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dampak dari peristiwa ini melahirkan sebuah pemberontakan oleh Kartosuwiryo dan pasukannya yang tidak ingin keluar dari Jawa Barat yang saat itu berada di kekuasaan Belanda untuk mendirikan Negara Islam Indonesia.[4]

  1. ^ H.Kuswandi [2015]. "Pengaruh Perang Kemerdekaan II Terhadap Pengakuan Kedaulatan RI Tanggal 27 Desember 1949". Jurnal Artefak [2]: 208. ISSN 2355-5726.  Parameter |voulme= yang tidak diketahui akan diabaikan [bantuan]
  2. ^ Nibras Nada Nailufar [2020]. "Perjanjian Renville: Latar Belakang, Isi, dan Kerugian bagi Indonesia". Kompas.com. Diakses tanggal 2 Januari 2021. 
  3. ^ Irvan Tasnur, Muhammad Rijal Fadli [2019]. "Republik Indonesia Serikat:Tinjauan Historis Hubungan Kausalitas Peristiwa-Peristiwa Pasca Kemerdekaan Terhadap Pembentukan Negara RIS [1945-1949]". Candrasangkala. 5 [2]: 63-64. ISSN 2477-2771. Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis [link]
  4. ^ Akhmad Muawal Hasan [2018]. "Manuver AS Merugikan Indonesia di Perjanjian Renville". Tirto.id. Diakses tanggal 3 Januari 2021. 

  • Ide Anak Agung Gde Agung [1973] Twenty Years Indonesian Foreign Policy: 1945-1965 Mouton & Co ISBN 979-8139-06-2
  • Kahin, George McTurnan [1952] Nationalism and Revolution in Indonesia Cornell University Press, ISBN 0-8014-9108-8
  • Reid, Anthony [1974]. The Indonesian National Revolution 1945-1950. Melbourne: Longman Pty Ltd. ISBN 0-582-71046-4. 
  • Mertowijoyo, G, Indra [2015] Letkol Moch Sroedji, Jember Masa Perang Kemerdekaan.ISBN: 978-602-14969-2-3

 

Artikel bertopik sejarah Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Perjanjian_Renville&oldid=20964923"

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề