Sebutkan dua sikap dari orang yang meyakini allah subhanahu wa taala maha mendengar

Oleh  :  Muqarramah Sulaiman Kurdi*

Bismillahirrahmanniirrahiim

Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang

Setiap muslim familiar dan mengerti maksud penggalan bacaan di atas karena sering diucapkan, baik ketika sholat, ketika mau memulai aktivitas, ketika mau memulai segala sesuatu yang disukai Allah, dan lain sebagainya. Aktifitas mengucapkan kalimat itu di awal kegiatan bukanlah komat-kamit semacam mantra ataupun ucapan tanpa makna. Sebagai seorang yang berserah diri kepada Rabb, Allah Swt. seorang muslim meyakini bahwa mereka menyembah dan meminta pertolongan hanya kepada Allah Swt sang zat Maha Pengasih Penyayang. Imam Nawawi menyebutkan bahwa setiap perkara baik yang tidak didahului dengan ucapan basmallah maka berkurang berkahnya. Aktivitas diawali dengan “Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”  merupakan bentuk pengejawantahan memadukan jiwa kepada Allah Swt. Ketika mengucap basmalah, makhluk dan Khaliq diafirmasi berada dalam dimensi ruang dan waktu yang sama, sehingga menjadi harapan aktivitas yang dilakukan mendapat berkat dan memberi manfaat yang kekal hingga ke akhirat. Sifat-sifat dan asma Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang merupakan oase kehidupan dunia dan akhirat.

Sebagian mufasir menyebutkan bahwa Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan dua asma Allah yang diambil dari kata bahasa Arab yang memiliki konsep yang sama, yaitu “Rahm” atau “Rahmat” dengan menekankan pada sifat belas kasih Allah. Rahm sendiri adalah wadah janin yang melekat pada diri seorang ibu. Dengan kasih sayang seorang Ibu, bayi yang ada dalam perutnya tidak perlu bersusah payah untuk makan, karena sang ibu akan berusaha dengan tulus dan penuh kasih mengupayakan supaya buah hatinya memiliki asupan gizi yang terbaik. Imaji sosok ibu adalah sosok pengasih dan penyayang pada anak-anaknya. Analogi ini menyiratkan bahwa rahmat kasih sayang Allah melebihi kasih sayang sang ibu tersebut.  Menurut Al-Qasimi, makna Ar-Rahman adalah Pemberi nikmat secara umum, sedangkan Ar-Rahim bermakna pemberi nikmat secara khusus, Ar-Rahman menunjukkan curahan cinta yang Allah berikan kepada semua makhluk di alam semesta, dan Ar-Rahim adalah belas kasih yang dianugerahkan Allah kepada mereka yang beriman. Namun, menurut Asy-Sya’rawi dua lafadz ini memiliki makna dominan dalam sifat, yakni Allah Maha Pengasih di dunia dan Allah Maha Pengasih di akhirat.  Adapun jumlah kata Ar-Rahman di  dalam Alquran muncul sebanyak 57 kali, dan kata Ar-Rahim berjumlah 114 kali. Keduanya dalam makna yang hampir sama tetapi memiliki konteks esensi yang beragam. Ar-Rahman secara esensi diarahkan hanya untuk Allah Swt. Sedangkan Ar-Rahim bisa dikiaskan juga diperuntukkan kepada makhluk. Hal ini didukung juga sebagaimana Rasulullah Saw menyebut “Wa kaana bil mu’minina rahimaa”, sebagai bentuk kasih seorang Rasul kepada umatnya.

Lebih dalam lagi dalam interpretasi lain, sebagaimana Ibn ‘Abbas menyebutkan bahwa Ar-Rahman mengacu pada rahmat Allah yang bersifat temporal dunia, dan adapun Ar-Rahim bersifat permanen konstan kualitas jangka panjang. Dalam tafsir Al-Baghowi Ibn Abbas mendeskripsikan Ar-Rahman dan Ar-Rahim menunjukkan kelembutan, namun salah satunya lebih lembut dari yang lainnya. Ar-Rahim dianalogikan oleh Zaina Casaam laksana seorang bijak yang sedang tertidur tidak perlu mengungkapkan kualitas kebijaksanaannya saat mereka tidur, namun mereka tetap dianggap seorang yang bijaksana. kesunnahan mengucap basmallah diawal kegiatan sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah menurut Azzuhaili memiliki hikmah sebagai ciri sikap seorang muslim dalam memulai pekerjaan dan guna mencari pertolongan/ petunjuk Allah dalam berkegiatan, dengan belas kasih-Nya sehingga mendapat rahmat. Sebuah hadits Qudsi mengingatkan kita akan pentingnya menyebar kasih sayang, “mereka yang berbelas kasih akan diberi rahmat dari orang yang penuh belas kasih. Kasihanilah orang-orand di dunia ini dan Yang Maha Esa, maka surga akan mengasihanimu”. Ar-Rahim juga menunjukkan rahmat yang luas, dan Ar-Rahim menunjukkan makna pelimpahan rahmat kepada siapa saja yang dikhendaki-Nya sebagai Sang Pemilik rahmat. Adapun rahmat  kasih sayang Allah meliputi segala sesuatu [Q.S. Al-A’raf: 156].  Oleh karenanya, baik secara mazaz maupun hakikat, sudah semestinya nilai-nilai luhur dan kebaikan keluar dari dalam diri manusia dalam keseharian karena cerminan dari hasil penghayatan tentang kelembutan, kebaikan, dan rahmat Allah. Besarnya kasih sayang Allah yang dilimpahkan-Nya kepada seluruh makhluk tidak bisa diukur dan dikomparasikan dengan apapun.

Sebagai manifestasi kasih dan sayang dari Allah, segala perbuatan manusia pada dasarnya haruslah didasari pada cinta dan perdamaian. Cinta dan  damai adalah esensi jalan Islam sebagai pengejawantahan dari ketundukan. Ajaran Islam dengan Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang memahamkan diri  manusia agar selalu berbuat baik, belas kasih, rendah hati, lembut dan pemaaf. Dengan akal dan mata hati [basirah], maka sifat dan metamood seorang muslim adalah suasana hati yang cinta perdamaian dan cinta Kearifan [Wisdom]. Stabilitas emosi dan reflektif dari seorang muslim melahirkan jiwa sufi, yakni condong kepada Hubb, yang merupakan landasan dalam melakukan perbuatan secara indah, damai, dan santun. Dengan sikap itu, kapanpun dan dimanapun Islam selalu compatible dengan manusia di segala zaman, yakni menghargai nilai-nilai kemanusiaan sebagai aktualisasi bentuk menyayangi manusia. Menyayangi manusia, maka Allah akan menyayangi. Sebagaimana dalam Hadits Riwayat Turmudzi menyebutkan, Man laa yarhaminnaasa laa yarhamhullaah.

Menyelami makna sifat ismul ‘adham Ar-Rahman dan Ar-Rahim juga akan menunjukkan pengalaman emosi yang positif dan sikap hidup inklusif [teologi inklusivis]  bagi seorang muslim, yakni adaptif terhadap perbedaan dan memiliki respon kognitif yang positif dalam interaksi sosial.  Hal ini karena kasih sayang merupakan aktualisasi sosial dari saling mengenal [Q.S Al-Hujurat: 13]. Hal tersebut juga menjadi perbincangan yang menarik di kalangan para pemikir barat tentang Islam dan isu sosial dan kultur global. Di dalam buku Islam in Transition: Muslim Perspectives oleh John J. Donohue dan John L. Esposito menyebutkan bahwa dinamika dan politik muslim yang berubah telah memunculkan banyak warna tentang imaji Islam. Imaji ini juga menghadirkan banyak pertanyaan kritis tentang Islam. Tragedi 9/11, kekerasan, aksi terorisme, dan bom bunuh diri banyak disandingkan dengan diksi Islam dalam bersosial, namun dengan menghadirkan banyak sudut pandang dari para ahli dan cendekiawan muslim maka misinterpretasi dan miskonsepsi tentang Islam terjawab. Meskipun buku ini didominasi dari sisi politik, namun sisi modernitas, identitas, hak asasi manusia, demokrasi, nasionalisme, dan interpretasi agama hadir dengan respon moral yang komprehensif dari kepada diri sendiri hingga di tengah masyarakat.

Norma seorang muslim atas nama kasih sayang di tengah masyarakat adalah pada prinsip Ummatan Wasathan, umat yang seimbang, pertengahan dan terbaik. Posisi Ummatan Wasathan memiliki nilai “adl” yang mengarah pada keharmonisan di antara masyarakat. Keseimbangan dalam Ummatan Wasathan disebut Quraish Shihab sebagai komunitas masyarakat moderat yang tidak larut dalam ekstrim materialisme dan tidak terjerumus dalam tarahhub spiritualisme yang berlebihan. Oleh karena itu, keharmonisan hidup diwarnai secara proporsional antara ilmu dan amal, baik dalam ber-Aqidah, beribadah, ber-akhlakul karimah, dan berinteraksi dalam muamalah. Selain itu, ketika menetapkan hati didasar pada kasih sayang, maka sikap hidup yang muncul adalah membangun persaudaraan, saling kenal mengenal, saling membangun ukhuwah, menghargai pluralitas, menghargai keragaman, yakni dengan cara mendorong dialog kreatif dan santun antar budaya dan visi moral yang berbeda. Pada dasarnya umat manusia mempunyai rasa belas kasih, ketika atas dasar kasih sayang mendominasi maka segala aktivitas dilaksanakan dengan rasa kecintaan dan penuh kebaikan. Setiap individu memiliki tanggungjawab bersama untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial, mengakui adanya perbedaan, dan meyakini bahwa keragaman  itu bagian dari sunnatullah, berperan aktif dalam membangun kehidupan yang damai, tentram, harmoni atas dasar kasih sayang.

 Arkian, sebagai bahan kontemplasi, Ar-Rahman dan Ar-Rahim merupakan bagian dalam Asma’ul Husna, dan sifat kasih sayang juga merupakan salah satu sifat yang melekat pada diri manusia. Kasih sayang tidak hanya ditunjukan hanya pada tanggal tertentu dan dikultuskan pada bulan tertentu, namun diimplementasikan setiap saat sepanjang waktu. Kasih sayang juga tidak hanya ditunjukkan pada satu orang tertentu, namun kasih sayang disebarkan terhadap seluruh manusia, hewan, dan tumbuhan sebagai bentuk perwujudan kasih sayang kita sebagai hamba kepada Sang Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan kasih sayang Allah lah kita berada di bumi ini. Dengan kasih sayang Allah lah kita bisa menghirup udara secara leluasa. Dengan kasih sayang-Nya lah kita selalu diberi kesempatan untuk bertaubat. Lalu, bismillah, dengan merefleksikan atas nama Sang Maha Pengasih dan Maha penyayang siapkah kita untuk selalu saling berpesan untuk berkasih sayang? [Q.S Al-Balad: 17].

*Muqarramah Sulaiman Kurdi adalah dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Antasari Banjarmasin. Menggeluti kajian pedagogi kritis,  PGMI, Aqidah Akhlak, pendidikan multikultural, teori dan sejarah pendidikan. E-mail: [email protected]

tirto.id - As-Sami'dan Al-Alim adalah bagian dari nama-nama Allah SWT dalam Asmaul Husna. Sesungguhnya sifat-sifat Allah SWT tidak terbatas, tidak memerlukan ruang dan waktu.

Kendati demikian, para ulama mengumpulkan nama-nama Allah SWT untuk memudahkan umat Islam memahami sifat dan keagungan-Nya melalui 99 Asmaul Husna.

Penetapan 99 Asmaul Husna tidak sepatutnya dipandang sebagai batasan, namun sebagai pintu untuk mengenal keagungan Allah SWT.

Hal ini dikarenakan nama dan sifat-sifatnya merupakan hal gaib, tidak diketahui siapa pun, baik para nabi yang diutusnya, hingga para malaikat, sebagaimana tertera dalam sabda Nabi Muhammad SAW:

"Aku memohon kepada Engkau dengan semua nama yang menjadi nama-Mu, baik yang telah Engkau jadikan sebagai nama diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu atau Engkau sembunyikan menjadi ilmu gaib di sisi-Mu," [H.R. Ahmad].

Di antara 99 Asmaul Husna tersebut, terdapat dua sifat yang patut diketahui umat Islam, yaitu As-Sami' [Yang Maha Mendengar] dan Al-Alim [Yang Maha Mengetahui].

Kedua nama itu merujuk kepada sifat-sifat mulia yang dimiliki Allah SWT, sebagaimana tertera dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 137:

" ... Dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui," [QS: Al-Baqarah [2]: 137].

Arti dari As-Sami' [Yang Maha Mendengar] dan Maknanya

Laman Kemendikbud menuliskan mengenai arti dan makna As-Sami' atau Yang Maha Mendengar, bahwasanya Allah SWT mendengar segala suara, segala bunyi, percakapan, dan lain sebagainya di semesta ini.

Daya pendengaran Allah SWT tidak terbatas, sampai-sampai Allah SWT juga mengetahui suara hati dan segala yang terbetik di benak manusia. Hal ini tertera dalam surah Al-Mulk ayat 13:

"Baik kau rahasiakan perkataanmu atau kau nyatakan. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati," [Al-Mulk [67]: 13].

Mengimani nama Allah SWT, As-Sami' dapat dilakukan dengan cara mendengarkan orang lain, penuh perhatian, dan menghargai ucapan sesama. Lebih utama lagi, jika yang berbicara adalah guru dan orang tua kita.

Dengan pendengaran Allah SWT, seorang muslim juga dianjurkan untuk berdoa kepada-Nya. Melalui nama dan sifat ini, Ia mengabulkan permintaan hamba-Nya, serta membalasnya dengan pahala.

Selain itu, dengan mengetahui bahwa Allah SWT Maha Mendengar, maka seorang muslim sepatutnya tidak mengucapkan perkataan buruk yang mengandung dosa.

Di antara perkataan-perkataan buruk itu, terdapat gibah, gosip, menggunjing, memfitnah, dan lain sebagainya.

Karena Allah SWT Maha Mendengar, maka segala ucapan penuh dosa tersebut akan dicatat sebagai amalan buruk di sisi Allah SWT.

Arti dari Al-Alim [Yang Maha Mengetahui] dan Maknanya

Al-Alim artinya Yang Maha Mengetahui. Melalui nama dan sifat mulia ini, Allah SWT mengetahui hal-hal yang belum dan akan terjadi, masa lalu dan masa depan.

Sa'id bin Ali Al-Qathani dalam buku Syarah Asmaul Husna [2005] menuliskan mengenai pengetahuan Allah SWT yang tidak terbatas ini.

Artinya, Ia mengetahui hal-hal yang tampak maupun yang gaib, sebagaimana tertera dalam surah Al-An'am ayat 59, Allah SWT berfirman:

"Tak ada satu pun peristiwa, baik di bumi dan di langit yang luput dari pantauan Allah. Semua yang terjadi atas sepengetahuan-Nya. Pengetahuan Allah sungguh tidak terbatas dan meliputi semua hal tanpa kecuali, sementara pengetahuan makhluk sangat terbatas dan Allah Maha Mengetahui," [Al-An'am [6]: 59].

Mengimani nama Allah Al-Alim dapat terwujudkan dalam perilaku untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya. Kendati demikian, jika sudah memperoleh ilmu, seorang muslim tidak boleh sombong atau merasa paling pandai.

Bagaimanapun juga, setinggi-tingginya ilmu yang diperoleh, ilmu Allah SWT tetap paling tinggi dan tak ada batasnya.

Baca juga:

  • Arti Asmaul Husna Al Malik dan Al Quddus: Makna serta Teladannya
  • Manfaat Membaca 99 Asmaul Husna: Bisa Membuka Pintu Rezeki

Baca juga artikel terkait AL-ALIM ARTINYA atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
[tirto.id - hdi/tha]


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Dhita Koesno
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề