Sebutkan lima hasil kebudayaan beserta tempat penemuannya pada masa bercocok tanam

Jakarta -

Zaman Mesolitikum dikenal juga dengan nama zaman Batu Pertengahan atau zaman Batu Madya. Zaman ini berlangsung antara tahun 10.000 - 5.000 sebelum Masehi (SM). Zaman Meoslitikum di Asia Tenggara juga dikenal dengan nama zaman Haobinhian.

Zaman Mesolitikum ditandai dengan kecenderungan manusia purba untuk tinggal di tepi sungai dan laut. Sebab, persediaan air dan makanan laut memungkinkan manusia untuk bermukim di sana, seperti dikutip dari buku Sejarah 1 untuk SMA Kelas X oleh Drs. Sardiman A.M., M.Pd.

Zaman Mesolitikum

Karakteristik Zaman Mesolitikum

Karakteristik zaman Mesolitikum di antaranya yaitu kebiasaan manusia purba tinggal di tepi sungai atau laut, jika dibandingkan dengan manusia purba di zaman Paleolitikum. Di sisi lain, manusia purba zaman Mesolitikum juga banyak yang tinggal di gua.

Kebudayaan zaman Mesolitikum meninggalkan jejak di Sumatra, Jawa, Kalimanta, Sulawesi, dan Flores. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan kebudayaan Mesolitikum meluas ke berbagai tempat di Indonesia. Pendukung kebudayaan zaman batu tengah adalah Homo sapiens.

Peninggalan zaman Mesolitikum yang sangat terkenal adalah adanya kebudayaan kjokkenmoddinger dan berkembangnya abris sous roche.

Kjokkenmoddinger berasal dari kata bahasa Denmark kjokken yang artinya dapur dan modding yang artinya sampah. Dengan kata lain, kjokkenmoddinger adalah sampah dapur atau sampah makanan dari manusia purba di zaman Mesolitikum.

Kjokkenmoddinger merupakan timbunan kulit siput dan kerang yang menggunung. Manusia purba zaman Mesolitikum saat itu tinggal di tepi pantai dengan rumah-rumah bertonggak.

Manusia purba saat itu hidup dari makan siput dan kerang. Setelah isinya diambil untuk dimakan, kulitnya dibuang begitu saja, sehingga dalam waktu lama menjadi bukit kulit kerang. Kjokkenmoddinger ditemukan di depan Pantai Sumatra Timur Laut, di antara Langsa di Aceh dan Medan di Sumatra Utara.

Pebble atau Kapak Sumatra ditemukan dari penelitian ahli arkeologi Pieter Vincent van Stein Callenfels pada tahun 1925. Saat itu, Callenfels menemukan kapak yang berbeda dengan chopper, yaitu kapak genggam dari zaman Paleolitikum. Pebble culture banyak ditemukan di Sumatra Utara

Batu pipisan adalah batu bata penggiling beserta landasannya yang di zaman kini akan berfungsi mirip cobek. Batu pipisan berguna untuk menggiling makanan dan menghaluskan pewarna atau cat merah.

Cat tersebut diduga digunakan untuk kegiatan yang terkait kepercayaan. Pipisan ditemukan di Sumatra Utara, Sampung di Ponorogo, Gua Prajekan Besuki di Jawa Timur, dan Bukit Remis Aceh.

Kebudayaan abris sous roche adalah kebudayaan manusia purba yang tinggal di gua-gua. Manusia purba zaman Mesolitikum juga tinggal di gua yang tersebar di berbagai tempat di Indonesia. Karena dijadikan tempat tinggal, gua seolah-olah menjadi perkampungan manusia purba yang meninggalkan jejak-jejak kebudayaan.

Kebudayaan manusia purba zaman Mesolitikum yang tinggal di gua-gua menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru, yaitu kebudayaan tulang atau bone culture dan kebudayaan Toala.

Bone culture adalah budaya manusia purba zaman Mesolitikum yang hidup di gua-gua untuk menggunakan alat-alat sehari-hari dari tulang. Nama Sampung bone culture berasal dari penemuan Callenfels di Gua Lawa di Jawa Timur yang sebagian besar merupakan peralatan dari tulang.

Von Stein Callenfels merupakan peneliti pertama di Gua Lawa, dekat Sampung, Ponorogo, Jawa Timur pada 1928-1931. Ia saat itu menemukan alat-alat dari batu, seperti ujung panang dan flake, batu-batu penggolingan, kapak yang sudah diasah, alat-alat dari tulang, dan tanduk rusa

Kebudayaan Tala adalah kebudayaan suku bangsa Toala yang mendiami gua-gua di Lamoncong, Sulawesi Selatan hingga akhir abad ke-19. Kebudayaan Toala meninggalkan flake, alat-alat dari tulang, dan serpih bilah. Ujung serpih yang runcing dapat menjadi alat penusuk untuk melubangi benda, seperti kulit.

Salah satu ciri khas kebudayaaan Toala adalah lukisan-lukisan di gua-gua tempat tinggal warga suku Toala, seperti cap tangan dan lukisan babi hutan yang dicat. Peninggalan lukisan kebudayaan Toala masih dapat dilihat di Maros, Sulawesi Selatan.

Itu dia peninggalan zaman Mesolitikum beserta budayanya. Selamat belajar ya, detikers!

Simak Video "Belajar Sejarah dari Pameran Kampung Purba"


[Gambas:Video 20detik]
(twu/nwy)

tirto.id - Zaman Neolitikum atau batu muda dipandang sebagai masa yang penting dalam sejarah peradaban manusia. Saat itu terjadi revolusi kebudayaan berupa perubahan pola hidup manusia purba.

Kebiasaan berburu dan meramu (food gathering) berubah menjadi memproduksi makanan (food producing). Food gathering adalah kebiasaan dalam mengumpulkan makanan dengan berburu di hutan dan sungai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Ketika manusia praaksara mulai menerapkan food producing, mereka mulai memroduksi makanan sendiri dengan jalan bercocok tanam, berladang, hingga berternak.



Menurut buku Sejarah Indonesia Kelas 10 (2014) terbitan Kemdikbud RI, adanya perubahan pola hidup ini berimbas pada terbentuknya revolusi kebudayaan.

Dua tahap perkembangan kebudayaan terbentuk dari manusia Homo sapiens yang menghuni zaman Neolitikum.


Kebudayaan Kapak Persegi

Kebudayaan kapak persegi disebut demikian karena pada zaman Neolitikum ditemukan alat dengan bentuk persegi panjang dan sebagian memiliki bentuk trapesium. Von Heine Geldern kemudian menamainya kapak persegi.

Sebagai piranti food producing, kapak persegi yang besar menyerupai fungsi beliung atau cangkul untuk mengolah tanah. Bahkan, ditemukan pula adanya kapak persegi yang ditambahkan tangkai sehingga mirip cangkul saat ini.

Sementara itu, kapak persegi yang berukuran kecil dinamakan tarah atau tatah. Dalam modul Sejarah Indonesia Kelas 10 (2020) disebutkan, tarah dipakai untuk mengerjakan kayu.

Baik beliung dan tarah banyak ditemukan di Sumatera, Jawa, dan Bali. Pusat persebarannya ada di Lahat, Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Pacitan, Madiun, dan Lereng Gunung Ijen. Dalam temuan kapak persegi di Desa Pasirkuda dekat Bogor, didapatkan pula batu asah di lokasi tersebut.

Kebudayaan Kapak Lonjong

Kapak lonjong adalah batu dengan bentuk seperti bulat telur yang salah satu ujungnya lancip untuk tempat tangkai, dan ujung lainnya diasah sampai tajam. Pada zaman Neolitikum, diperkirakan kapak lonjong digunakan untuk menebang pohon. Umumnya batu yang dibentuk menjadi kapak lonjong berasal dari batu kali dengan warna kehitaman.

Kapak lonjong memiliki ukuran besar dan kecil. Untuk kapak lonjong besar dinamakan walzenbeil dan ukuran kecil disebut kleinbeil.


Kapak Batu Chalcedon

Chalcedon adalah batu api dengan kadar silika tinggi. Pada zaman Neolitikum, kapak yang terbuat dari batu chalcedon dipakai sebagai piranti upacara keagamaan, jimat, hingga tanda kebesaran. Kapak batu chalcedon dipakai orang-orang Austronesia dan Austro-Asia (Khamer-Indocina). Majunya kebudayaan orang-orang di zaman Neolitikum juga ditandai dengan ditemukannya barang-barang perhiasan dan gerabah. Perhiasan saat itu, contohnya, gelang dari batu. Di samping itu, pengetahuan mengenai kualitas batu untuk peralatan juga berkembang.

Batu yang paling kerap dipakai sebagai peralatan yaitu batuan kersikan (silicified stones). Batuan ini memiliki memiliki beberapa bentuk jenis seperti gamping kersikan, tufa kersikan, kalsedon, dan jasper. Batuan kersikan memiliki sifat retas dengan pecahannya cenderung tajam dan tipis.

KOMPAS.com - Masa bercocok tanam lahir melalui proses panjang dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan hidup pada periode-periode sebelumnya.

Periode ini amat penting dalam sejarah perkembangan dan peradaban masyarakat, karena beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah cepat.

Hal ini dikarenakan kemampuan berpikir manusia prasejarah semakin terasah untuk menjawab tantangan alam.

Masa bercocok tanam dimulai sekitar 10.000 tahun lalu, bersamaan dengan Zaman Neolitikum.

Kehidupan masyarakat masa bercocok tanam ditandai oleh perubahan tradisi yang semula mengumpulkan makanan (food gathering) menjadi menghasilkan makanan (food producing).

Jenis manusia pendukung dari periode ini adalah Proto Melayu, antara lain suku Dayak, Toraja, Sasak, dan Nias.

Masa bercocok tanam sering disebut sebagai masa revolusi kebudayaan karena terjadi perubahan besar pada berbagai corak kehidupan masyarakat praaksara.

Kehidupan pada masa bercocok tanam

Kehidupan ekonomi pada masa bercocok tanam

Secara ekonomi, manusia purba pada periode ini telah berhasil mengolah makanan sendiri (food producing).

Masyarakatnya mulai membuka hutan kemudian menanaminya dengan sayur dan buah untuk mencukupi kehidupan sehari-hari.

Sementara binatang buruan yang mereka tangkap mulai dipelihara dan diternak.

Hewan yang diternakkan antara lain kerbau, kuda, sapi, babi, dan unggas.

Selain itu, masyarakatnya diperkirakan telah mengenal sistem pertukaran barang alias barter.

Baca juga: Zaman Neolitikum: Ciri-ciri, Manusia Pendukung, dan Hasil Kebudayaan

Kehidupan sosial pada masa bercocok tanam

Ketika beralih dari kegiatan mengumpul makanan ke kehidupan bercocok tanam, pola hunian manusia purba pun berubah.

Mereka tidak lagi berpindah-pindah tempat atau nomaden, tetapi menetap di suatu wilayah.

Pemilihan tempat tinggal biasanya dipengaruhi oleh sumber air dan dekat dengan alam yang diolahnya.

Karena hunian mereka telah menetap, masyarakat masa bercocok tanam hidup secara berkelompok dan membentuk perkampungan kecil.

Dalam sebuah kampung biasanya terdiri dari beberapa keluarga dan hidup secara gotong royong dengan sistem pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki.

Misalnya para laki-laki bertugas membangun rumah, sementara kaum perempuan akan merawat dan menghiasnya.

Mereka juga menunjuk ketua suku dan memiliki aturan hidup sederhana yang harus dijalani anggotanya.

Kehidupan budaya pada masa bercocok tanam

Zaman kehidupan masa bercocok tanam dan hidup menetap berlangsung bersamaan dengan masa Neolitikum.

Sebab, pada periode ini terjadi revolusi kebudayaan yang sangat besar dalam peradaban manusia.

Hal ini dapat dilihat dari benda-benda peninggalannya berupa peralatan dari batu dan tulang yang telah diumpam (diasah).

Alat-alat yang umumnya diumpam adalah beliung, kapak batu, mata panah, dan mata tombak.
Di Indonesia, beliung dan kapak batu ditemukan tersebar di berbagai wilayah.

Dari penemuan berupa alat pemukul kayu, manusia pada masa bercocok tanam diduga sudah mengenal pakaian. Pakaiannya terbuat dari kulit kayu dan kulit binatang.

Penyelidikan arkeologi juga membuktikan bahwa tradisi membuat benda-benda gerabah mulai dikenal pada masa bercocok tanam.

Baca juga: Zaman Logam: Pembagian dan Peninggalan

Sistem kepercayaan masa bercocok tanam

Masyarakat pada masa bercocok tanam mengenal kepercayaan akan hal gaib dan orang yang meninggal akan memasuki alam lain.

Oleh karenanya, orang yang meninggal akan dibekali benda-benda keperluan sehari-hari.

Berkaitan dengan kepercayaan ini, muncul tradisi pendirian bangunan besar yang disebut tradisi megalitik.

Beberapa contoh bangunan megalitik adalah dolmen, menhir, waruga, sarkofagus, dan punden berundak.

Secara umum, sistem kepercayaan pada masa bercocok tanam dapat dibagi ke dalam dua aliran, yaitu animisme (kepercayaan terhadap roh leluhur) dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda gaib).

Peninggalan masa bercocok tanam

  • Beliung persegi
  • Kapak lonjong
  • Alat-alat obsidian
  • Mata panah
  • Mata tombak
  • Gerabah
  • Alat pemukul kulit kayu
  • Perhiasan berupa gelang dari batu dan kulit kerang

Ciri-ciri masa bercocok tanam

  • Tempat tinggal manusianya sudah menetap
  • Perubahan dari food gathering ke food producing
  • Masyarakatnya mengenal bercocok tanam dan beternak
  • Masyarakatnya mengenal sistem pertukaran barang atau barter
  • Alat-alat batu sudah diasah dan dihias
  • Ditemukannya kebudayaan kapak lonjong dan kapak persegi
  • Masyarakatnya telah mengenal pakaian
  • Terdapat sistem kepercayaan animisme dan dinamisme

Referensi:

  • Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (Eds). (2008). Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Rahmadi, Duwi dan Suheri. (2017). Mari Mengenal Masa Prasejarah. Sukoharjo: Sindunata.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.