Sejak kapan istilah Ahlussunnah Wal Jamaah?

Ilustrasi Alquran. Foto: Pixabay

Dalam berbagai forum keagamaan, istilah Ahlussunnah Wal Jamaah atau yang disingkat Aswaja sering terdengar. Sejatinya, istilah ini telah dikenal sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya.

Mengutip jurnal Membincang Kembali Ahlussunah Wa Al-Jamaah oleh Umma Farida (2016), Ahlussunnah baru bertransformasi sebagai “aliran” setelah menguatnya pengaruh Mu’tazilah yang dianggap mengancam Aswaja.

Rasulullah SAW menjelaskan bahwa akan ada masa di mana umat Islam terbagi ke dalam beberapa golongan. Di antara mereka, golongan yang selamat adalah Ahlussunnah wal Jamaah. Hal ini didasarkan pada hadits berikut:

“Bahwasanya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu. Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: ‘Siapakah yang satu itu ya Rasulullah?’ Nabi menjawab: ‘Yang satu itu ialah yang berpegang (beri’tiqad) sebagai peganganku (I’tiqadku) dan sahabat-sahabatku." (HR. Tirmidzi).

Lantas apa yang disebut Ahlussunnah Wal Jamaah dan bagaimana ciri-cirinya? Simak penjelasan berikut ini:

Pengertian Ahlussunnah Wal Jamaah

Ilustrasi Ahlussunnah Wal Jamaah. Foto: Dok. Shutterstock

Mengutip buku Konsep Mayoritas Ahlussunnah Wal Jamaah karya Idik Saeful Bahri (2020), definisi Ahlussunnah dalam kitab al-Mausu’ah al-Arabiyah al-Muyassarah adalah: “Mereka yang mengikuti dengan konsisten semua jejak langkah yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan membelanya. Mereka mempunyai pendapat tentang masalah agama baik yang fundamental (ushul) maupun divisional (furu').”

Nah, di antara para ahlussunah ada yang disebut Salaf, yakni generasi awal mulai dari para sahabat, Tabi 'in dan Tabi'ut Tabi'in. Ada pula yang disebut Khalaf, generasi yang datang kemudian.

Dijelaskan pula bahwa Ahlussunnah ini tidak bersifat homogen. Ada yang toleransinya luas terhadap peran akal, ada pula yang membatasinya secara ketat. Sebagian bersifat reformatif dan yang lainnya konservatif. Ahlussunnah Wal Jamaah ini merupakan golongan mayoritas umat Islam.

Ciri-ciri Ahlussunnah Wal Jamaah

Ilustrasi mencintai sesama Muslim. Foto: Shutter Stock

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pada dasarnya Ahlussunnah Wal Jamaah adalah golongan pengikut setia ajaran Islam yang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah bersama para sahabatnya. Hal ini tercermin dari sifat-sifat mereka dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

1. Ahlussunnah Selalu Memelihara Jamaah

Golongan Ahlussunnah Wal Jamaah bertugas untuk memelihara keutuhan umat Islam. Mereka menempuh jalan tersebut sesuai dengan syari’at Allah SWT.

Mereka tidak hanya menghargai perbedaan dan cinta damai terhadap sesama Muslim, tetapi juga kepada non-muslim yang tidak berbuat zalim. Ahlussunnah senantiasa menghargai perbedaan dalam masalah mazhab fikih dan mazhab aqidah.

Ilustrasi hukum. Foto: Freepik

At-Tawassuth artinya di tengah-tengah, tidak ekstrim kiri maupun kanan. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 143 yang artinya: “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) 'umat pertengahan' agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Ahlussunnah Wal Jamaah seimbang dalam segala hal, termasuk penggunaan dalil aqli (berasal dari akal pikiran yang rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Alquran dan hadits). Hal ini sesuai firman Allah dalam surat Al Hadid ayat 25:

“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil. Dan Kami menciptakan besi yang mempunyai kekuatan, hebat dan banyak manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya walaupun (Allah) tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat, Mahaperkasa.”

5. Ahlussunnah Selalu Bersikap I’tidal

Bersikap i’tidal artinya tegak lurus, senantiasa menegakkan kebenaran dan keadilan. Inilah tugas manusia yang diperintahkan Allah SWT.

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Surat Al-Maidah ayat 8)

Bawean, NU Online 

Ahlussunnah wal Jama’ah adalah Islam murni sebagaimana diajarkan Rasulullah kepada para sahabatnya. Demikian disampaikan Ustadz Faris Khoirul Anam, dalam bedah buku Khazanah Aswaja di Bawean di dua tempat, pertama  di masjid An-Nur Sangkapura pada Kamis malam (23/03/’17) dan bedah buku kedua bertempat di RA Muslimat NU di Desa Daun yang diikuti delegasi Fatayat se-Bawean pada Jumat, (24/03/’17). Bedah buku menghadirkan dua pembedah yang merupakan tim penulis buku, yaitu Ustadz Faris Khoirul Anam dan Ustadz Yusuf Suharto.

Bedah buku yang diikuti utusan lima MWCNU di lingkungan PCNU Bawean, juga para pengurus ranting itu dihadiri Ketua PCNU Bawean, Kiai Fauzi Rouf, Direktur Aswaja NU Center PCNU Bawean, Kiai Syamsuddin. Berbicara dalam kesempatan pertama, anggota Dewan Pakar Aswaja NU Center PWNU Jatim ini menyampaikan anatomi buku secara global dan kemudian menyampaikan fase perkembangan istilah Ahlussunnah wal Jama’ah.  

“Aswaja sebagai manhaj atau metodologi itu sudah ada sejak Nabi dan dipraktekkan oleh para sahabat. Namun secara ideologi dirumuskan kembali oleh terutama Syekh Abul Hasan Al-Asyari dan Abu Manshur al-Maturidy,”demikian dikatakan Direktur Aswaja NU Center Kota Malang ini. “Perumusan kembali  itu disebabkan adanya penyimpangan-penyimpanag dari ajaran Islam murni di zaman Nabi, misalnya Syiah, Muktazilah dan Khawarij. Pada dinamika berikutnya Aswaja menjadi landasan institusi atau dasar organisasi misalnya dilakukan oleh Nahdlatul Ulama, Nahdlatul Wathan, dan lainnya.”

Sementara itu Yusuf Suharto menyampaikan bahwa istilah Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai Islam murni itu pernah diprediksikan oleh Rasulullah dalam hadits perpecahan umat Islam.

“Kalau mengacu pada yang disampaikan Imam Al-Ghazali dan Imam Syahrastany maka istilah Ahlussunnah wal Jamaah itu pernah dikenalkan Nabi dalam hadits perpecahan umat sebagaimana disampaikan kedua beliau dalam salah satu kitabnya.”

“Sebagai istilah, Ahlussunnah wal Jama’ah juga dipakai Imam Abul Hasan dalam kitab Maqalutl Islamiyyin Wakhtilaful Mushallin,” ujar Direktur Aswaja NU Center Jombang ini.

“Menurut Syekh Abdul Qadir Jilany sunnah itu adalah thariqahnya Rasulullah dan jamaah itu adalah apa yang disepakati para sahabat di era Khulafaur Rasyidin. Dari sini kita bisa menyimpulkan, dengan bahwa Ahlussunnah wal Jamaah itu adalah golongan yang mengikuti sunnahnya Rasulullah dan sunnahnya para sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Al-Jamaah juga diartikan sebagai golongana mayoritas. Dengan demikian aswaja juga mereka yang mengikuti pemahaman dan pengamalan jumhur umat Islam dalam pokok-pokok akidah.”

“Dalam kenyataannya, mayoritas umat Islam hingga kini dalam aqidah mengikuti rumusan Syekh Abul Hasan Al-Asy’ari, dan Syekh Abu Manshur al-Maturidy, dalam fikih mengikuti mazhab empat dan dalam tasawuf mengikuti Imam Junaed, Imam Ghazali atau Imam Abul Hasan as-Syadzily.”

Dalam sesi tanya jawab Ustadz Faris menjawab pertanyaan tentang bid’ah mengatakan,

“Bid’ah itu bukan hukum, tetapi merupakan perilaku, karena hukum itu cuma ada lima. NU yang mengakui keabsahan bid’ah hasanah adalah representasi pemahaman mayoritas ulama karena mayoritas empat madzhab mengakui keberadaan bid’ah hasanah.Red: Mukafi Niam