Sejarah PERKEMBANGAN hadits periode 1 sampai 7 PDF

Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadist dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengalaman umat dari generasi ke generasi[1]. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya atau lahirnya di zaman Nabi SAW meneliti dan membina hadits, serta segala hal yang mempengaruhi hadits tersebut. Para ulama muhaditsin membagi sejarah hadist dalam beberapa periode. Adapun para ulama penulis sejarah hadits berbeda-beda dalam membagi periode sejarah hadits. Ada yang membagi dalam tiga periode,  lima periode, dan tujuh periode[2].

   M. Hasbi Asy-Shidieqy membagi perkembangan hadits menjadi tujuh periode[3], sejak periode Nabi SAW hingga sekarang, yaitu sebagai berikut:

Periode ini disebut ‘ashar Al-Wahyi wa At-taqwin (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam)[4]. Pada periode inilah, hadits lahir berupa sabda (aqwal), af’al, dan taqrir Nabi yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakkan syariat Islam dan membentuk masyarakat Islam.

Para sahabat menerima hadits secara langsung dan tidak langsung. Penerima secara langsung misalnya saat Nabi SAW memberi ceramah, pengajian, khutbah, atau penjelasan terhadap pertanyaan para sahabat. Adapun penerima secara tidak langsung adalah mendengar dari sahabat yang lain atau dari utusan-utusan, baik dari utusan yang dikirim oleh Nabi ke daerah-daerah atau utusan daerah-daerah datang kepada Nabi.

Pada masa Nabi Muhammad SAW, kepandaian baca tulis di kalangan para sahabat sudah bermunculan, hanya saja terbatas sekali. Karena kecakapan baca tulis dikalangan para sahabat sangat kurang, Maka Nabi menekankan untuk menghapal, memahami, memelihara, mematerikan, dan memantapkan hadits dalam amalan sehari-hari, serta mentablighkannya kepada orang lain.

Periode ini disebut ‘ashr At-Tatsabbut wa  Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan riwayat). Nabi SAW wafat pada tahun 11 H. Beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan hadits (As-sunnah yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat)[5].

               Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits terbesar secara terbatas. Penulisan hadits pun masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadits, dan sebaliknya Umar menekankan agar para sahabat mengarahkan perhatiannya untuk menyebarluaskan Al-Qur’an[6].

Dalam perakteknya, ada dua sahabat yang meriwayatkan hadits, yakni:

a.      Dengan lafaz asli, yakni menurut lafaz yang mereka terima dari Nabi SAW.

b.      Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hapal lafaz asli dari Nabi SAW[7]. 

Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar Al-Riwayah ila Al-Amslaar’ (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadits)[8]. Pada masa ini, daerah islam sudah meluas, yakni sampai ke negri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spanyol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku jabatan pemerintahan dan penyebaran ilmu hadits.


Para sahabat kecil dan tabiin yang ingin mengetahui hadits-hadits Nabi SAW diharuskan berangkat keseluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah  untuk menyakan hadits kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tesebar di wilayah tersebut. Dengan demikian, di samping tersebarnya periwayatan hadits ke pelosok-pelosok daerah jazirah Arab, peralatan untuk mencari hadits pun menjadi ramai.

Karena meningkatnya periwayatan hadits , muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (centrum perkembangan) hadits di berbagai daerah di seluruh negeri.

Pada  periode ketiga ini mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal ini terjadi setelah wafatnya Ali r.a. Pada masa ini, umat islam mulai terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: pertama, golongan Ali Ibn Thalib, yang kemudian dinamakan syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang menentang Ali dan Mu’awiyah, dan ketiga,golongan jumhurm (golongan pemerintah pada masa itu).

Terpecahnya umat islam tersebut, memacu orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan keterangan-keterangan yang berasal dari Rasulullah SAW untuk mendukung golongan mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadits palsu dan menyebarkannya kepada masyarakat.

Periode ini disebut  Ashr Al-Kitabah wa Al- Tadwin (masa penulisan dan pembukuan). Maksudnya, penulisan pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan oleh atau atas inisiatif pemerintah. Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad II H hadits sudah banyak ditulis, baik pada masa tabiin, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan masa Nabi SAW[9].

Masa pembukaan secara resmi dimulai pada awal abad II H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Aziz 101 H[10]. Sebagai Khalifah, Umar Ibn Aziz sadar bahwa perawi yang menghimpun hadits dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadits dari para perawinya, ada kemungkinan hadits-hadits tersebut akan lenyap dari permukaan bumi bersamaan dengan kepergian para penghapalnya ke alam barzakh.

Untuk mewujudkan maksud tersebut, pada tahun 100 H, Khalifah meminta kepada gubernur Madina, Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma’mar Al-Laits, Al-Auza’i, Malik, Ibnu Ishaq, dan Ibnu Abi Dzi’bin untuk membukukan hadits Rasul yang terdapat pada penghapal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn ‘Ades, seorang ahli fiqh muris Aisyah r.a. (20 H/642  M-98  H/716 M atau 106 H/ 724 M), dan hadits-hadits yang ada Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Bakar Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang muka tabiin dan salah seorang fuqaha Madinah yang tujuh[11].

Di samping itu, Umar mengirimkan surat-surat kepada kepada gubernur yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukakan hadits yang ada pada ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang membukukan hadits atas kemauan khalifah adalah Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam urusan fiqh dan hadits[12]. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadits atas anjuran khalifah.

Pembukuan seluruh hadits yang ada di Madina di lakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang terkenal sebagai ulama besar dari ulama-ulama hadits pada masanya. Setelah itu, para ulama besar berlomba-lomba membukukan hadits atas anjuran Abu ‘Abbas As-Saffah dan anak-anaknya dari khalifah-khalifah ‘Abbasiyah.

1)      Pengumpulan pertama di Makah, Ibnu  juraij (80-150 H)

2)      Pengumpulan pertama di Madina, Ibnu Ishaq (150 H)

3)      Pengumpulan pertama di Bashrah, Al-Rabi’ Ibrl Shabih (160 H)

4)      Pengumpulan pertama di Kuffah, Sufyan Ats-Tsaury (161 H)

5)      Pengumpulan pertama di Syam, Al-auza’I (95 H)

6)      Pengumpulan pertama di Wasith, Husyain Al-wasithy (104-188 H)

7)      Pengumpulan pertama di Yaman, Ma’mar al-Azdy (95-153 H)

8)      Pengumpulan pertama di Rei, Jarir Adh-Dhabby (110-188 H)

9)      Pengumpulan pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (11-181 H)

10)  Pengumpulan pertama di Mesir, Al-Laits Ibn Sa’ad (175 H)[13]

a)      Al- Muwaththa, susunan Imam Malik (95-179 H).

b)      Al-maghazin wal Syiar, Muhammad Ibn Ishaq (150 H).

c)      Al-Jami’, susunan Abdul Razzaq As-San’any (211 H).

d)      Al-Mushannaf, susunan Sya’bah Ibn Hajjaj (160 H).

e)      Al-Mushannaf, susunan SUfyan Ibn Uyainah (198 H).

f)       Al-Mushannaf, susunan Al-laits Ibn Sa’ad (175 H.)

g)      Al-Mushannaf, susunan Al-auza’i (150 H).

h)      Al-Mushannaf, susunan Al-humaidy (219 H).

i)        Al-Maghazin Nabawiyah, susunan Muhammad Ibn waqid Al-Aslamy.

j)        Al-Musnad, susunan Abu hanifah (150 H).

k)      Al-musnad, susunan Zaid Ibn Ali.

l)        Al-Musnad, susunan Al-Imam Asy-Syafi’i (204 H).

m)   Mukhtalif Al-Hadits, susunan Al-Imam asy-Syafi’i[14].

Tokoh-tokoh yang masyhur pada abad kedua Hijriah adalah malik, Yahya Ibn Sa’id Al-Qaththan,Waki Ibn Al-Jarrah, Sufyan At-Tsauri, Ibnu Uyainah, Syu’bah Ibnu hajjaj, Abdul Ar-Rahman Ibn Mahdi, Al-Auza’I, Al-Laits, Abu hanifah, dan Asy-Syafi’i[15].

Abad ketiga hijriah merupakan puncak usaha pembukuan hadits. Sesudah kitab-kitab Ibnu juraij, kitab Muaththa’ Al-malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira, kemauaan menghafal hadits, mengumpul dan membukukannya semakin meningkat dan mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat yang lain dari sebuah negri ke negri lain untuk mencari hadits[16].

Pada awalnya, ulama hanya mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan hadits. Keadaaan ini di ubah oleh Al-Bukhari, beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah yang di kunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kuffah, Makah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qusariyah, ‘Asqalani, dan Hims.

Imam Bukhari membuat terobosan dengan mengumpulkan hadits yang terbesar di berbagai daerah. Enam tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab shahihnya. Para ulama menerima hadits dari para rawi lalu menulis dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak memerhatikan shahih tidaknya. Namun, setelah terjadinya pemalsuan hadits dan adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadits, para ulama pun melakukan hal-hal berikut:

a.      Membahas keadaan rawi-rawi dari berbagai segi, baik dari segi keadilan, tempat kediaman, masa dan lain-lain.

b.      Memisahkan hadits-hadits shahih dari hadits yang dha’if yakni dengan mentashihkan hadist.

Ulama hadits yang mula-mula menyaring dan membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang palsu dan yang lemah adalah Ishaq Ibn Rahawaih, seorang imam hadits yang sangat termasyhur.

Pekerjaan yang mulia ini kemudian di selenggarakan dengan sempurna oleh al-imam Al-Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jamius Shahil. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadits-hadits yang dianggap shahih. Kemudian, usaha Al-Bukhari ini di ikuti oleh muridnya yang sangat alim, yaitu Imam Muslim.

Sesudah Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, bermunculan Imam yang lain mengikut jejak Bukhari dan Muslim, di antaranya Abu Dawud, Sunan at-Tarmidzi, dan Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab ini kemudian dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.

Di samping itu, Ibnu Majah menyusun sunannya. Kitab sunan ini di golongkan para ulama ke dalam kitab-kitab induk sehingga kitab-kitab induk menjadi sebuah, yang kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah.

3)      Muhammad Ibn Jarir Ath-Thabari

13)  Ibnu Qutaibah Ad-Dainuri[17].

Periode keenam di mulai dari abad IV hingga tahun 656 H yaitu pada masa Abbasiyyah angkatan kedua. Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqo wa Al-Jami’[18]. Ulama-ulama hadits yang muncul pada abad ke-2 dan ke-3, di gelari Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits dengan semata-mata berpegangan pada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar disetiap pelosok dan penjuru Negara Arab, Parsi, dll.

Setelah abad ke-3 berlalu, bangkitlah pujangga abad ke-4. Para ulama abad ke-4 ini dan seterusnya di gelari Mutaakhirin. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqoddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya.

a)      Ash-Shahih, susunan Ibnu Khuzaimah

b)      Ath-Taqsim wa Anwa’, susunan Ibnun Hibban

c)      Al-Mustadraq, susunan Al-Hakim

d)      Ash-Shalih, susunan Abu ‘awanah

e)      Al-Muntaqa, susunan Ibnu Jarrud

f)       Al-Mukhtaro, susunan Muhammad ibn Abdul Wahid Al-Maqdisy[19].

Ø  Mengumpulkan hadits Al-Bukhari/Muslim dalam sebuah kitab. Diantara kitab yang mengumpulkan hadits-hadits Al-Bukhari dan Muslim adalah Al Fami’ Bain As-Shahihani oleh Ismail Ibn Ahmad yang terkenal dengan nama Ibnu Al-Furat (414 H), Muhammad Ibn Nashr Al-Humaidi (488 H), Al-Baghawi oleh Muhammad Ibn Abdul Barhaq Al-Asybily (582 H).

Ø  Mengumpulkan hadits-hadits dalam kitab 6. Diantara kitab yang mengumpulkan hadits-hadit kitab 6, adalah Tajridu Ash-Shahiha oleh Razin Mu’awiyah, Al Fami’ oleh Abdul Haq Ibn Abdul Arrahman Al-Asybily, yang terkenal dengan nama Ibn Kharraht (582 H)

Ø  Mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam berbagai kitab. Di antara kitab-kitab yang mengumpulkan hadits-hadits dari berbagai kitab adalah (1) Mashabi As-Sunnah oleh Al-Imam Husein Ibn Mas’ud Al-Baghawi (516 H). (2) Yami’ul Masnid wal Alqab, oleh Abdurrahman Ibn Ali Al-Jauzi (597 H). (3) Baqrul Assanid, oleh Al-Hafidh Al-HAsan Ibn Ahmad Al-Samarqandy (491 H).

Ø  Mengumpulkan hadits-hadits hukum kitab-kitab Atkraf.

7.      Periode ketujuh (656 H-Sekarang)

Periode ini adalah masa sesudah meninggalnya Khalifah Abbasiyyah ke XVII Al-Mu’tasim (656 H) sampai sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sahri wa Al-Jami’ wa At-Takhrij wa Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pentahrijan, dan pembahasan.

Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menertibkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab enam takhrij, serta membuat kitab-kitab fahmi yang umum. Pada periode ini disususn kitab-ktab Zawa’id yaitu usaha mengumpulkan hadits yang terdapat dalam kitab yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, di antaranya kitab zawa’id yang disusun Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry, dan masih banyak lagi kitab Zawa’id yang lain.

Di samping itu, para ulama hadits pada periode ini mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitabkedalam sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Fahmi Al-Masanid wa As-Sunan Al-Hadi Al-aqwami Sanan, karangan Al-Hafidz As-Suyuthi (911 H).

Banyak kitab dalam berbagai ilmu mengandung hadits-hadits yang tidak di sebut perawinya dan pentakhrijnya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerengkan tempat-tempat pengambilan hadits-hadits itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab yang tertentu, di antaranya Takhrij Hadits tafsir Al-kasyasyaf karangan Al-Zaila’i (762 H), Al-Kafi Asy-Syafi’i fi Takhrij Ahadits Al-Kasyasyaf oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan masih banyak kitab takhrij yang lain.

Sebagaimana periode keenam, periode ketujuh ini muncul ulama-ulama hadits yang menyusun kitab-kitab Athraf, diantaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al-Asyrah oleh Ibnu Hajar Al-Astqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu’tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hanbali oleh Ibnu hajar, dan masih banyak lagi kitab athraf yang lainnya.

2)      Ibnu Sayyidinnas (734 H)

15)  Ibnu Mulaqqin (804 H)