Sikap Paulus dan Silas yang dapat kita teladani adalah

Paulus lahir di Tarsus, sebuah kota yang terkemuka zaman itu di wilayah Kilikia. Nama Paulus adalah Saulus (nama yang diambil dari bahasa Ibrani), tetapi setelah bertobat, Saulus mengambil nama dalam bahasa Yunani, yaitu Paulus. Ia berasal dari suku Benyamin, tetapi ia juga memiliki kewarganegaraan Roma.

Dirangkum oleh: Mei

A. Siapakah Paulus Itu?

1. Paulus Penduduk Asli Tarsus

Paulus lahir di Tarsus, sebuah kota yang terkemuka zaman itu di wilayah Kilikia. Nama Paulus adalah Saulus (nama yang diambil dari bahasa Ibrani), tetapi setelah bertobat, Saulus mengambil nama dalam bahasa Yunani, yaitu Paulus. Ia berasal dari suku Benyamin, tetapi ia juga memiliki kewarganegaraan Roma. Di kota Tarsus, Paulus mendapat kesempatan belajar tentang cara hidup bangsa yang bukan Yahudi, ia menerima didikan menurut adat istiadat Yahudi. Pada usia 13 tahun, orang tuanya mengirimkan Paulus ke Yerusalem untuk memperdalam sekolah Tauratnya dan membekali diri untuk menjadi seorang rabi, dan ia belajar di bawah bimbingan guru besar dan yang sangat tersohor pada waktu itu, yaitu Gamaliel.

2. Pertobatan Paulus

Ketika Paulus telah menyelesaikan pendidikannya di Yerusalem, ia kembali ke kota aslinya, Tarsus. Di dalam Kisah Para Rasul dituliskan bahwa Saulus hadir di Yerusalem pada waktu Stefanus, salah satu dari ketujuh diaken, dijatuhi hukuman mati. Waktu itu Saulus masih sangat muda dan ia menyetujui apabila Stefanus dijatuhi hukuman mati. Paulus menyaksikan kematian Stefanus. Namun, ia tidak mengetahui bahwa kejadian ini memainkan peranan yang penting dalam keputusannya mengikut Tuhan Yesus Kristus di kemudian hari. Kesalehan Paulus membuatnya membenci orang-orang Kristen. Sebab, menurut ajaran Yahudi, kekristenan adalah hal yang bertentangan dengan Taurat. Paulus memiliki surat kuasa dari Imam Kepala untuk menangkap dan membinasakan orang-orang Kristen.

Pertobatan Paulus terjadi ketika ia mendekati kota Damsyik. Pada waktu tengah hari, tiba-tiba sebuah cahaya yang membutakan mata bersinar mengelilingi Paulus dan teman-temannya. Ia rebah ke tanah dan kedengaranlah suatu suara berkata kepadanya, "Saulus, Saulus mengapa engkau menganiaya Aku?" Jawab Saulus: "Siapakah engkau, Tuhan?" Kata-Nya: "Akulah Yesus yang kau aniaya itu. Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kauperbuat" (Kisah Para Rasul 9:4-6). Paulus berdiri dari tanah dan mendapati dirinya buta. Saat itu, orang Farisi yang sombong ini berubah menjadi seorang yang kesakitan, gemetar, meraba-raba, dan bergantung pada tangan orang lain yang menuntunnya sampai ia tiba di Damsyik. Ia pergi ke rumah Yudas, di sana ia tinggal selama tiga hari dan selama tiga hari itu pula Paulus berdoa serta berpuasa. Mulai saat itu, seluruh hidupnya telah berubah setelah pertemuannya dengan Kristus.

3. Pelayanan Misi Paulus

Pertama, dalam Kisah Para Rasul 13:4-13, Paulus bersama dengan Barnabas dan Yohanes Markus seorang muda dari Yerusalem. Pekerjaan Paulus dan Barnabas dalam perjalanannya yang pertama memiliki empat fungsi:

  1. Mereka adalah penginjil.
  2. Mereka melayani sebagai guru.
  3. Mereka adalah konselor (penasihat).
  4. Mereka juga bertindak sebagai penuntun (pembimbing) pada masalah organisasi jemaat.

Kedua, pada perjalanan yang kedua ini, Paulus dan Barnabas mengunjungi Tesalonika, Berea, Athena, dan Korintus. Paulus berada di Korintus selama dua tahun dan ia telah melakukan banyak hal di kota ini.

Ketiga, di dalam perjalanan misinya yang pertama dan kedua, Paulus banyak menghabiskan waktunya untuk memenangkan orang-orang bagi Kristus. Namun, dalam perjalanannya yang ketiga ini, Paulus merasa perlu untuk meluangkan lebih banyak waktunya untuk menyampaikan hal-hal yang lain. Oleh karena itu, pada perjalanannya yang ketiga ini, Paulus banyak mengajar jemaat-jemaat. Berikut adalah pengajaran Paulus:

  1. Manusia telah gagal menjadi benar dengan usaha mereka sendiri (Roma 3:23).
  2. Tidak ada manusia yang dapat menyelamatkan dirinya sendiri (Roma 6:23).
  3. Yesus Kristus adalah Pembebas dosa-dosa manusia (Roma 10:9-10).
  4. Kristus adalah pusat dan kemuliaan dari rencana penebusan Allah (Roma 5:1-11).

4. Paulus Dipenjara dan Akhir Hidup Paulus

Meskipun Paulus di penjara, ia masih dapat memenangkan banyak jiwa bagi Kristus. Ia menulis beberapa surat kepada para jemaatnya. Kisah Para Rasul berakhir dengan tibanya Paulus di Roma. Diduga bahwa, setelah penundaan yang lama, Paulus akhirnya diadili di Roma. Kemungkinan, ia dinyatakan bersalah atas tuduhan-tuduhan yang menyebabkan ia dikirim ke Roma.

Tuhan yang bangkit telah mengutusnya sebagai rasul kepada orang-orang bukan Yahudi. Dia bertugas "untuk membuka mata mereka, supaya mereka berbalik dari kegelapan kepada terang dan dari kuasa Iblis kepada Allah, supaya mereka oleh iman mereka kepada-Ku memperoleh pengampunan dosa dan mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang yang dikuduskan" (Kisah Para Rasul 26:18). Ia mendekati kota Roma dengan perasaan puas karena mengetahui bahwa di setiap pusat strategis di seluruh dunia yang dikenal pada waktu itu, ada kelompok orang yang percaya kepada Kristus, dan yang hidupnya dibimbing oleh Kristus.

B. Teladan Paulus

1. Pelayanan yang berorientasi jiwa -- Man Oriented (Kisah Para Rasul 20:18-21, 26, 27).

Hal pertama yang menjadi rahasia pelayanan dari sang rasul adalah pelayanan yang berorientasi dan mencintai setiap jiwa yang dipercayakan Allah. Orientasi kepada jiwa bisa dilakukan, bila kita melayani jemaat Allah dengan segala kerendahan hati (Kisah Para Rasul 20:19a). Paulus dengan segala cara berusaha menginjili semua orang, sehingga pada akhir pelayanannya di Efesus, ia bisa menghadapinya tanpa penyesalan (Kisah Para Rasul 20:26, 27).

2. Pelayanan yang berpusat pada Allah -- God Centered (Kisah Para Rasul 20:22-25).

Pemeliharaan Tuhan lebih dari berkat materi, fisik, dan kenyamanan pribadi. Yesus merupakan contoh sempurna orang yang melakukan kehendak Allah dengan sempurna. Yaitu mati di kayu salib. Di mata manusia, Yesus orang yang paling malang, tetapi Alkitab justru menyaksikan bahwa Allah sangat memuliakan Dia (Filipi 2:5-11). Bagaimana dengan saudara? Sebagai generasi muda, siapkah ketika Allah mengutus kita di ladang pelayanan yang baru? Beranikah kita merelakan kesenangan pribadi demi menjalani kehendak Allah?

3. Kesadaran bahwa pelayanan adalah milik Allah -- God’s Ministry (Kisah Para Rasul 20:28-32).

Paulus sangat menyadari, setelah ia pergi, akan muncul serigala-serigala ganas yang akan mengacaukan jemaat, yaitu pengajar-pengajar palsu yang akan menarik orang dari ajaran yang benar (Kisah Para Rasul 20:29, 30). Namun, Paulus juga menyadari bahwa pelayanan adalah milik Allah. Allah yang akan memelihara jemaatnya. Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa pelayanan bukanlah milik kita, Allahlah Sang pemilik pelayanan (Kisah Para Rasul 20:32).

4. Kesadaran bahwa pelayanan adalah kesatuan tubuh Kristus -- One Body of Christ (Kisah Para Rasul 20:33-36).

Kesadaran serta perjuangan Paulus untuk membuat jemaat menyadari kesatuan antarorang percaya sebagai satu tubuh Kristus. Kesatuan gereja sebagai satu tubuh begitu diperjuangkan oleh Paulus. Mengenai kesatuan ini, John Calvin berkata, "Melampaui tembok-tembok gereja, berdirilah gereja yang sebenarnya, gereja yang kudus dan am." Oleh karena itu, kesulitan dan penderitaan suatu jemaat di tempat lain adalah juga kesulitan dan penderitaan kita sesama orang percaya. Kesatuan ini bukan sekadar menjadi niat di hati ataupun ucapan bibir, melainkan harus terwujud dalam tindakan. Sudahkan kita membantu saudara-saudara kita di sekolah, kampus, dan gereja?

Melalui teladan rasul Paulus kita bisa berkaca dan mengoreksi hidup kita dalam mengerjakan pelayanan yang sedang Tuhan percayakan. Dengan begitu, kita menjadi pelayan Tuhan yang sejati, yaitu seorang pelayan yang berorientasi jiwa -- Man Oriented, pelayan yang berpusat pada Allah -- God Centered, pelayan yang memiliki kesadaran bahwa pelayanan adalah milik Allah -- God’s Ministry, dan pelayan yang menjiwai kesatuan tubuh Kristus -- One Body of Christ. Soli Deo Gloria.

Dirangkum dari: Hardi Dharma Setiawan

Penulis: Radius S.K. Siburian

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman” (2Tim. 4:7). Beberapa kali aku membaca ayat ini dikutip dalam obituarium (berita kematian) yang dimuat di sebuah harian lokal. Sejumlah pertanyaan mengusik pikiranku. Benarkah pernyataan tersebut ingin diberikan oleh almarhum di akhir hidupnya? Benarkah ia telah mengasihi Tuhan semasa hidupnya dan bertekun dalam imannya? Ataukah, kutipan ayat itu adalah inisiatif keluarga belaka demi membuat sebuah obituarium “kristen” yang terlihat baik?

Harus diakui, pernyataan itu sangat menggugah. Siapa yang tidak ingin “mengakhiri pertandingan yang baik”? Kita menangkap kesan bahwa orang yang memberi pernyataan ini telah sukses menyelesaikan misi hidupnya. Lebih mengagumkan lagi, ia bisa dengan yakin berkata, “Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya…” (2Tim. 4:8).

Ada banyak hal yang kemudian aku pelajari ketika membaca surat-surat Paulus, Rasul besar yang membuat pernyataan tersebut. Khususnya, surat terakhir yang ditulisnya kepada Timotius, anak rohaninya. Setidaknya ada empat hal yang kulihat mendasari keberhasilan hidup Paulus, dan yang ingin ia wariskan kepada generasi setelahnya.

1. Doa
Paulus sadar betul bahwa dasar pelayanannya adalah maksud dan kasih karunia Tuhan semata, dengan tujuan agar rahmat Tuhan dalam Kristus Yesus dapat dinyatakan kepada dunia (2Tim. 1:9-12). Sebab itu, ia selalu membawa setiap pekerjaannya, orang-orang yang ia layani, dan rekan-rekan pelayanannya dalam doa (1Tim. 2:1-4; 2Tim. 1:3).

Sikap Paulus ini mengingatkanku untuk juga memelihara kehidupan doaku. Dengan berdoa, kita mengakui bahwa setiap profesi atau pelayanan yang kita kerjakan untuk Tuhan sesungguhnya berasal dari Tuhan sendiri dan bisa kita lakukan karena kesanggupan yang diberikan-Nya semata. Kita tidak bisa berhasil tanpa perkenan Tuhan.

2. Teladan
Nasihat Paulus kepada Timotius untuk bertekun dalam firman Tuhan dan setia dalam pekerjaan pelayanannya bukan sekadar teori (2Tim. 1:13; 2Tim. 3:10). Paulus sendiri adalah orang yang sangat giat bekerja, giat belajar dan mengajarkan firman Tuhan. Meski banyak menghadapi kesulitan, ia tak kenal lelah memberitakan Injil. Tindakannya berpadanan dengan perkataannya.

Integritas Paulus mengingatkanku untuk mengevaluasi diri: apakah perkataan dan tindakanku sudah selaras? Ketika kita hanya bisa bicara, tetapi tidak melakukan tindakan nyata, kita tidak akan mencapai apa-apa, apalagi menginspirasi orang lain untuk mengikuti jejak kita.

3. Pengharapan
Paulus tidak menjadi tawar hati ketika menghadapi berbagai masalah yang menghadang. Ia tidak hanya semangat di awal, lalu kehilangan optimisme dalam proses yang sulit. Apa gerangan yang membuatnya bertahan hingga akhir? Kita bisa melihat dengan jelas pengharapan yang dimiliki Paulus dalam surat-suratnya. Pengharapan di dalam Pribadi Tuhan yang tidak berubah (2Tim. 1:12), pengharapan di dalam kebangkitan Kristus yang menyelamatkan setiap orang percaya (2Tim. 2:10), dan pengharapan di dalam janji Tuhan yang akan menyediakan upah pada waktu-Nya (2Tim. 4:8).

Harus diakui kadangkala masalah yang datang silih berganti membuatku tawar hati dalam berkarya. Pengharapan Paulus mengingatkanku bahwa aku pun punya pengharapan yang sama. Aku punya Tuhan yang tidak pernah berubah kuasa dan kasih-Nya, Dia telah menyelamatkanku, Dia memperhatikan segala pekerjaanku dan akan memberikan upah pada waktu-Nya. Sebab itu, aku dapat mengerjakan segala sesuatu yang dipercayakan-Nya dengan penuh optimisme. Tidak ada pekerjaan yang sia-sia ketika kita melakukannya dengan hati yang tertuju kepada Tuhan.

4. Ketekunan
Pengharapan yang dimiliki Paulus melahirkan sikap tekun yang luar biasa. Pekerjaan yang ia lakukan untuk memberitakan Injil tidaklah mulus. Ia harus menghadapi orang-orang yang bermaksud jahat (2Tim. 4:14). Ketika menghadapi kesulitan, ia bahkan ditinggalkan oleh teman-temannya (2Tim. 4:10, 16). Namun, pengharapan Paulus kepada Tuhan membuatnya tetap tekun berusaha. Banyak surat penggembalaannya bahkan ditulis dari dalam jeruji penjara. Paulus tidak menjadikan penghargaan manusia sebagai ukuran keberhasilannya. Ia mengarahkan pandangannya kepada mahkota kehidupan yang telah disediakan Tuhan.

Adakalanya aku juga bekerja dengan orientasi yang keliru. Berfokus hanya pada upah dan penghargaan manusia. Dengan mudah aku bisa kecewa dan mundur ketika situasi menjadi sulit atau orang-orang di sekitarku tidak memberi tanggapan yang sesuai dengan harapanku. Ketekunan Paulus mendorongku untuk juga ikut bertekun, bekerja dengan mengarahkan pandangan pada upah yang disediakan Tuhan sendiri. Ketika kelak kita dipanggil menghadap-Nya, kita dapat dengan lega berkata seperti Paulus, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.”