Subak adalah perkumpulan petani di Bali yang mengelola sistem

Sariagri - Selain pantai, Bali juga memiliki daerah persawahan pegunungan yang sangat indah. Uniknya, sistem pertanian di daerah tersebut memiliki sistem irigasi sendiri yaitu Subak.

Untuk diketahui, Subak berpedoman pada filosofi Tri Hita Karana, prinsip penting yang dipegang oleh masyarakat Bali. Prinsip ini bermakna sebagai cara yang dilakukan oleh masyarakat dalam menjaga keseimbangan. Termasuk di dalamnya hubungan antar sesama manusia, manusia dengan Tuhan, serta manusia dengan alam sekitar.

Penerapan prinsip ini pada irigasi subak ditunjukkan dengan lahan yang tidak dapat berdiri sendiri. Semua petak sawah yang ada di sebuah wilayah merupakan satu kesatuan. Praktis, ketika salah satu area sawah mengalami gangguan maka sawah lainnya juga akan terganggu.

Mengutip website resmi Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, Subak adalah sebuah organisasi yang dimiliki oleh masyarakat petani di Bali yang khusus mengatur tentang manajemen atau sistem pengairan/irigasi sawah secara tradisional dan dilakukan secara turun temurun. 

Bagi masyarakat Bali, Subak  tidak hanya sekedar sistem irigasi, tetapi juga merupakan konsep kehidupan bagi rakyat Bali itu sendiri. 

Manfaat Subak untuk Pertanian 

Manfaat subak untuk pertanian sangat banyak. Tidak hanya sekadar menyuburkan lahan pertanian, tetapi juga membanti meningkatkan kesejateraan bagi para petani.

Sehingga sampai saat ini masyarakat di Bali masih terus menerapka sistem irigasi subak di lahan pertaniannya. Berikut ini penjelasan lengkap tentang sistem irigasi subak di Bali. 

Petani Tetap Mendapatkan Air Saat Krisis

Melalui sistem irigasi yang berasaskan keadilan bersama, para petani akan tetap mendapatkan air meskipun dalam keadaan krisis air. 

Menghindari Terjadinya Konflik

Selain itu juga, dapat menghindari terjadinya konflik antar petani hanya gara-gara memperebutkan aliran air ke sawah mereka. Sistem Subak yang secara dominan menggunakan asas gotong-royong dan kekeluargaan.

Menyejahterakan Petani 

Manfaat lain dari sistem irigasi Subak di Bali adalah adanya Koperasi Unit Desa. Peranan koperasi akan sangat membantu baik melalui koperasi simpan pinjam atau sejenisnya yang juga pada akhirnya akan mensejahterakan masyarakat sekitar. 

Cara Kerja Sistem Irigasi Subak 

Penerapan prinsip ini pada irigasi subak ditunjukkan dengan lahan yang tidak dapat berdiri sendiri. Semua petak sawah yang ada di sebuah wilayah merupakan satu kesatuan. Dengan demikian, ketika salah satu area sawah mengalami gangguan maka sawah lainnya juga akan terganggu.

Sama seperti sistem irigasi lainnya, setiap petani berhak atas bendungan air (pengalapan), parit (jelinjing) dan sebuah saluran air menuju lahan (cakangan). Pembuatan, pemeliharaan dan pengelolaan fasilitas irigasi subak ini dilakukan bersama oleh anggota subak di daerah tersebut.

Aliran Air Irigasi Subak 

Sumber aliran air irigasi subak juga tidak berbeda dengan lainnya. Masyarakat akan memanfaatkan sumber air terdekat seperti sungai untuk pengairan sawah. 

Darimanakah asal air yang digunakan dalam irigasi subak?

Pengelolaan air irigasi Subak secara umum sumber airnya berasal dari sadapan air sungai tanpa bangunan waduk. Konsekuensinya adalah debit air yang dapat disadap tergantung dari musim.

Dimana, pada musim hujan, debit air sangat melimpah, sebaliknya pada musim kemarau debit air sangat kurang. Padi ditanam serempak dalam satu subak pada musim hujan.

Sedangkan pada musim kemarau, terjadi pergiliran tanam untuk padi dan umumnya adalah menanam palawija. Apabila debit air tidak mencukupi, sebagian lahan diberikan dan guna menjamin suasana harmoni tetap dilakukan sistem peminjaman air antar petani.

Video terkait:

09 October 2020

Sistem Irigasi Subak dalam Kehidupan Masyarakat Bali

Oleh : Prof. Wayan Windia

Seperti diuraikan dalam judul makalah ini bahwa subak itu disebutkan secara lengkap sebagai sistem irigasi subak. Karena itu akan didefinisikan terlebih dahulu, tentang apakah yang dimaksudkan dengan : sistem, sistem irigasi, dan sistem irigasi subak. Sistem adalah satu set rakitan elemen-elemen yang saling berkait melalui suatu struktur dan hubungan timbal-balik, dengan tujuan untuk menghasilkan luaran (output) tertentu. Keberadaan luaran itu sangat dipengaruhi oleh lingkungannya (Huppert&Walker, 1989; Dent dkk,l979 dalam Sudira, 1999; dan Pusposutardjo, 2001). Selanjutnya, yang dimaksudkan dengan sistem irigasi adalah satu set elemen-elemen yang memiliki hubungan timbal-balik, yang memiliki tujuan untuk menghasilkan pengelolaan dan pelayanan air irigasi. Luaran tersebut dipengeruhi oleh lingkungannya, dan lingkungan manusia memiliki peranan yang sangat dominan terhadap luaran yang dihasilkan (Maskey dan Weber, l996). Sementara itu, sistem irigasi subak dapat disebutkan sebagai suatu sistem irigasi dengan wujud yang sepadan dengan sosio-kultural masyarakat, mencapai tujuannya berdasarkan harmoni dan kebersamaan sesuai landasan tri hita karana (THK), dan menjaga keseimbangan dengan lingkungannya (Sutawan dkk,1989; Pusposutardjo,1997 dan Arif, 1999).

Sementara itu, dalam Perda Prov.Bali No.02/PD/DPRD/l972 tentang irigasi, diisyaratkan bahwa subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik sosio-agraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air irigasi di lahan sawah. Kemudian Arif (l999) memperluas pengertian sosio-agraris-religius dalam sistem irigasi subak, dengan menyatakan bahwa adalah lebih tepat kalau subak itu disebut memiliki karakter sosio-teknis-religius, karena pengertian teknis cakupannya menjadi lebih luas, termasuk di dalamnya teknis pertanian dan teknis irigasi. Dalam Perda No. 9 tahun 2012 tentang Subak, disebutkan bahwa subak adalah organisasi tradisional di bidang tata guna air dan atau tata tanaman di tingkat usahatani pada masyarakat adat di Bali yang bersifat sosioagraris, religius, ekonomis yang secara historis terus tumbuh dan berkembang.

Selanjutnya, Sutawan dkk (l989) melakukan kajian-kajian yang lebih mendalam tentang gatra religius dalam sistem irigasi subak di Bali. Gatra religius pada sistem subak ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan sebagai Dewi Kesuburan), disamping adanya sanggah catu (bangunan suci) yang ditempatkan di sekitar bangunan sadap (intake) pada setiap blok/komplek persawahan milik petani anggota subak. Gatra religius pada sistem subak di Bali mencerminkan keberadaan dari konsep parhyangan sebagai salah satu komponen dari THK, disamping tentunya, konsep palemahan dan pawongan. Kalau konsep parhyangan ditunjukkan dengan adanya pura pada kawasan subak, maka konsep palemahan ditunjukkan dengan adanya kepemilikan wilayah pada sistem subak, dan konsep pawongan ditunjukkan dengan adanya petani dan organisasinya. Parhyangan, palemahan dan pawongan yang merupakan komponen dari THK, pada dasarnya memiliki hubungan timbal-balik dalam melandasi eksistensi sistem subak di Bali. Sedangkan THK adalah merupakan suatu konsep pemikiran yang dijiwai oleh Agama Hindu, dan relevan dalam kaitannya dengan sistem kebudayaan.

Adapun hubungan antar elemen THK (parhyangan, palemahan, dan pawongan) sebagai landasan kegiatan sistem subak, serta kaitannya dengan elemen/subsistem kebudayaan dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 1.

Subak adalah perkumpulan petani di Bali yang mengelola sistem

Dari kajian yang disebutkan sebelumnya, kiranya dapat dikemukakan bahwa sistem irigasi subak pada hakekatnya sudah menyatu dengan kehidupan dan sosio-kultural masyarakat Bali yang umumnya beragama Hindu. Atau dengan kata lain, sistem irigasi subak pada hakekatnya adalah suatu sistem irigasi yang yang berlandaskan pada sosio-kultural masyarakat setempat. Suatu sistem irigasi yang didasarkan atas sosial-kultural masyarakat sering dianggap sebagai sistem irigasi yang sepadan dengan berbagai keunggulannya, karena merupakan sistem irigasi yang kuat, yang pada dasarnya mampu mengetahui dan memecahkan masalahnya sendiri secara mandiri (otonum). Dalam bahasa ilmu politik, organisasi seperti ini sering disebutkan sebagai organisasi dengan predikat good governance (McGinnis, 1999). Adapun kekuatan yang ada pada sistem irigasi yang berlandaskan sosio-kultural masyarakat, seperti halnya pada sistem subak di Bali adalah karena kemampuannya untuk menyerap teknologi yang berkembang dalam kurun waktu tertentu, dan kemampuannya untuk beradaptasi dengan perkembangan budaya yang ada di lingkungan sekitarnya (Windia, 2002)

Disamping keunggulan-keunggulannya, maka organisasi sistem irigasi yang bersifat sosio-kultural mengandung kelemahan yakni ia tidak sanggup menahan intervensi dari pihak luar, khususnya yang berkait dengan alih fungsi lahan yang sangat deras. Kalau lahannya sudah semakin sempit, maka pengelolaan sistem subak akan semakin kacau, yang pada gilirannya akan menghancurkan sistem subak tersebut. Kalau hal ini sampai terjadi secara besar-besaran, dan sistem subak menjadi hilang dalam kepustakaan sistem irigasi dunia, maka dunia pada dasarnya telah kehilangan sebuah sistem irigasi yang paling baik di dunia, dan Bali telah kehilangan sebagian dari kebudayaannya. Sutawan (2005) menyebutkan bahwa kalau sistem subak di Bali hancur, maka kebudayaan Bali akan ikut hancur.Oleh karenanya, kalau kita ingin melestarikan sistem irigasi subak di Bali, maka kita harus : (i) mempertahankan keberlanjutan lahan sawah di Bali; (ii) mempertahankan keberlanjutan sumberdaya air untuk irigasi; (iii) mempertahankan batas-batas antar subak yang jelas; (iv) mempertahankan sistem organisasi subak yang fleksibel, yakni sistem organisasi yang disesuaikan dengan kepentingan setempat; (v) memperkokoh kelembagaan subak; dan (vi) mempertahankan konsep harmoni dan kebersamaan dalam pola-pikir masyarakat (petani) dalam pengelolaan sistem irigasi, sesuai dengan konsep THK yang melandasi sistem irigasi subak.KEBERADAAN SISTEM IRIGASI SUBAK DI BALIKeberadaan sistem irigasi subak di Bali, berkait erat dengan sistem desa pakraman/desa adat dan sistem desa dinas. Banyak ada kasus, di mana areal kawasan subak saling tumpang tindih dengan areal desa pakraman, dan areal desa dinas. Dengan demikian, areal kawasan subak bisa terdapat dalam satu kawasan desa pakraman atau desa dinas, dan lain-lain. Bahkan satu kawasan subak melintasi lebih dari satu kecamatan, atau lebih dari satu kabupaten. Tegasnya, batas kawasan subak, bukanlah sama dengan batas-batas administratif desa, namun berdasarkan pada prinsip-prinsip hidrologis. Artinya, kawasan subak, sangat tergantung dari kemampuan suatu sumber air untuk mengairi suatu lahan tertentu. Kenyataan ini tentu saja sangat menguntungkan, khususnya untuk mencegah konflik antar desa yang ingin memperebutkan sumberdaya air yang tersedia. Tumpang tindih kawasan sistem subak dengan sistem desa (adat/pakraman dan dinas) di Bali dapat digambarkan seperti terlihat pada Gambar 2.

Subak adalah perkumpulan petani di Bali yang mengelola sistem

Selanjutnya, adanya otonomi pada sistem subak, sistem desa adat/pakraman, dan sistem desa dinas, ternyata sangat membantu menghindari konflik, meskipun lahannya saling tumpang tindih. Sebab dengan adanya otonomi, maka masing-masing sistem akan membuat keputusannya sendiri tanpa intervensi dari pihak lain, serta masing-masing diantara mereka mampu mengadakan kordinasi untuk mencegah konflik. Misalnya, kalau ada konflik dalam suatu subak, maka mereka akan berusaha untuk memecahkan masalahnya sendiri. Kalau tidak bisa, maka pada umumnya mereka akan mengadakan kordinasi dengan pimpinan desa pakraman atau desa dinas untuk ikut memecahkan masalahnya, tergantung dari, dengan pihak mana , sistem subak itu bermasalah. Dalam bahasa ilmu politik, kondisi semacam ini disebut sepadan dengan konsep polisentri (McGinnis, l999).

Dalam beberapa kasus yang sempat dicatat, tampaknya petani (subak) berada dalam posisi yang lemah, dalam berhadapan dengan sistem desa pakraman dan sistem desa dinas. Misalnya, kasus yang berkait dengan penyungsungan (pengelolaan) pura subak. Dengan adanya alih fungsi lahan yang kini terjadi dengan sangat cepat, maka banyak areal subak yang semakin menyempit. Akibatnya iuran yang masuk ke kas subak untuk mengayom dan menyungsung pura subak semakin sedikit. Kenyataan ini sangat menggelisahkan subak, karena petani harus menanggung beban yang semakin berat. Karena kemampuan petani yang sangat terbatas, maka banyak pura subak yang tampaknya terlantar dan tidak terpelihara. Arif (l999) menyebutkan bahwa tampaknya ada hubungan yang kuat antara kondisi pura subak dengan baik-buruknya organisasi sistem subak yang bersangkutan.

Interview yang dilakukan terhadap beberapa tokoh desa adat/pakraman dan desa dinas, tampaknya mereka enggan untuk menerima beban tambahan guna mengayom dan menyungsung pura subak yang terlantar. Mereka menginginkan adanya fatwa dari pemda setempat tentang bagaimana harus mengayom pura subak yang terlantar tsb. Sebab untuk mem-preline (menghancurkan/tidak mengelola lagi) pura subak yang eksis di kawasanya, mereka sama sekali tidak berani. Mereka juga menginginkan agar penduduk yang dahulu membeli sawah di sebuah kawasan subak untuk dibangun menjadi rumah, diharapkan menjadi pengayom/penyungsung pura subak yang terlantar tsb. Namun ada kecendrungan penduduk tsb. tidak bersedia, karena banyak diantara mereka sudah mengayom pura di tempat asalnya, atau mereka bukan umat yang beragama Hindu.

Tampaknya, sesuatu yang sebaliknya terjadi di kalangan subak. Kasus Subak Pelengan di kawasan Desa Bitra-Gianyar, pada mulanya kawasan subak itu adalah bekas kawasan desa pakraman yang ditinggalkan penghuninya, karena ada bencana alam. Ketika kawasan desa itu dirubah menjadi sawah (subak), maka petani di kawasan subak yang baru dibuat itu, dengan tulus mengayom pura-pura kahyangan - tiga (tiga pura milik desa pakraman, yakni pura desa,puseh, dan dalem) yang berlokasi di kawasan subak tsb.   Hal ini menunjukkan bahwa petani anggota subak lebih loyal dalam mengambil tanggung-jawab pengelolaan pura yang diterlantarkan oleh masyarakat desa pakraman tertentu, dibandingkan dengan loyalitas masyarakat desa pakraman untuk mengelola pura subak yang terlantar.

Hal ini berarti bahwa di satu pihak, petani kita selalu berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan masyarakat hukum adat yang lain, karena selalu bersedia mengambil alih tanggung-jawab pengelolaan pura yang terlantar. Sedangkan di pihak lain dapat pula dianggap bahwa petani tampaknya lebih religius dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Hal ini tampaknya seirama dengan penelitian yang dilakukan Windia dkk (2001) di Gianyar, yang menemukan bahwa pada dasarnya keberlanjutan THK di kalangan subak, tampaknya lebih besar dibandingkan dengan keberlanjutan THK pada masyarakat desa pakraman. Sementara itu, dalam suatu penelitian di Kenya ditunjukkan bahwa tampaknya ada hubungan antara aktivitas penduduk dalam melakukan upacara keagamaan dengan etos kerja dari masyarakat yang bersangkutan. Kalau hal itu benar, maka tampaknya berarti bahwa etos kerja di kalangan petani lebih baik dibandingkan dengan etos kerja di kalangan masyarakat desa pakraman.Selanjutnya dapat disebutkan bahwa keberadaan sistem subak di Bali tidak terlepas dari peranan para raja yang memegang pemerintahan di Bali. Tercatat bahwa keberadaan sistem subak di Bali telah didahului dengan keberadaan sistem pertanian yang telah berkembang di Bali sejak tahun 678 (Wardha,l989; dan Arfian. 1989). Hal ini berarti bahwa keberadaan sistem subak di Bali memerlukan waktu sekitar 393 tahun sejak perkembangan sistem pertanian. Adapun keberadaan sistem subak di Bali adalah sejak tahun 1071 (Purwitha, l993).Peranan raja-raja dalam sistem irigasi di Bali, ditemukan dalam penelitian arkeologi yang menunjukkan adanya subsidi berupa pembebasan bagi petani yang bekerja di lahan beririgasi. Subsidi seperti itu, tidak diberikan kepada petani di lahan kering. Pada zamannya, para raja memberikan ijin bagi pembukaan sawah baru dengan memanfaatkan kawasan hutan yang ada di sekitar kawasan sawah yang sudah eksis. Sekaligus memberikan ijin untuk mengalirkan air sungai ke lahan sawah yang telah dibuat oleh petani. Karena pengaruh raja yang sangat kuat pada sistem pertanian dan sistem irigasi (subak), dan raja adalah pada hakekatnya juga sebagai pimpinan adat di kawasan ybs. maka sistem irigasi subakpun berkembang pula sebagai lembaga adat yang berlandaskan pada sosio-kultural masyarakat setempat. Dengan demikian sistem irigasi subak dapat juga disebutkan sebagai suatu lembaga adat yang berlandaskan pada sosio-kultural masyarakat setempat yang berfungsi untuk mengelola air irigasi untuk kesejahteraan masyarakat (petani). Selanjutnya, karena Agama Hindu yang berkembang saat terjadinya perkembangan subak di Bali memiliki konsep THK, maka sistem subakpun berkembang berlandaskan konsep THK tsb. yang diterapkan oleh subak dalam pengelolaan sistem irigasinya.

Selanjutnya sistem irigasi subak terus berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini dianggap sebagai suatu yang lumrah, karena sistem irigasi yang berdasarkan pada sosio-kultural masyarakat setempat selalu akan berkembang seirama dengan perkembangan lingkungannya. Pusposutardjo (l996) menyebutkan keadaan itu sebagai suatu proses transformasi sistem subak dengan lingkungannya. Adapun perkembangan yang saat ini terjadi dalam sistem subak di Bali adalah : (i) cakupan pengelolaan sistem subak; (ii) kelembagaan sistem subak; (iii) kewenangan pengelolaan sistem subak; dan (iv) stakeholders/komponen-komponen yang berperan dalam sistem subak.

WUJUD KONSEP TRI HITA KARANA DALAM SISTEM SUBAKSistem irigasi subak sejatinya adalah suatu sistem irigasi yang bersifat sosio-teknis. Artinya, aspek teknis yang diterapkan dalam sistem subak dalam mengelola sistem organsasi dan sistem irigasinya, disesuaikan dengan aspek sosial yang berkembang di kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan aturan-aturan yang berkait dengan sistem irigasi yang menyatakan bahwa pada dasarnya suatu sistem irigasi seharusnya bersifat sosio-teknis. Jadi,sistem subak telah jauh sebelumnya membuktikan dirinya sebagai sistem irigasi yang bersifat sosio-teknis. Adapun karakter teknis ataupun karakter teknologi yang berkembang pada sistem subak adalah karakter teknologi yang sudah berkembang sesuai dengan adat dan budaya masyarakat setempat. Jadi dengan demikian, sistem subak di Bali dapat juga dipandang sebagai suatu teknologi yang telah berkembang menjadi budaya masyarakat setempat, atau suatu teknologi yang sudah sesuai dengan fenomena budaya masyarakat setempat (Poespowardojo, 1993). Karena sistem subak dapat dianggap sebagai suatu sistem kebudayaan (teknologi yang sudah menjadi budaya masyarakat), maka elemen-elemennya dapat dikaji berdasarkan subsistem pola-pikir/nilai, subsistem sosial, dan subsistem artefak/kebendaan. Selanjutnya, kalau kita coba mengkaji elemen-elemen sistem subak yang sejatinya merupakan wujud dari penerapan konsep THK dalam kesehariannya, kiranya dapat disebutkan sebagai berikut.

1. Subsistem pola-pikir/nilai/konsep.

  • Air dianggap sangat bernilai dan sangat dihormati, dan dianggap sebagai ciptaan Tuhan YME.
  • Adanya sistem pura dalam sistem subak sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan YME, yang juga dianggap sebagai suatu mekanisme kontrol terhadap sistem pengelolaan irigasi yang dilakukan oleh subak ybs.
  • Secara rutin menyelenggarakan upacara keagamaan.
  • Pengelolaan sistem irigasi dilakukan dengan konsep harmoni dan kebersamaan.
  • Disediakan lahan khusus untuk bangunan suci pada lokasi yang dianggap penting.
  • Lahan yang mungkin tersisa pada lokasi bangunan-bagi (tembuku) umumnya dibangun bangunan suci, untuk menghindari konflik atas lahan tsb.

2. Subsistem sosial.

  • Ada awig-awig subak.
  • Pengelolaan air terakuntabilitas.
  • Hak atas air dan lahan, sangat dihormati.
  • Ada sistem pelampias dalam pengelolaan sistem irigasi.
  • Adanya sistem organisasi (subak) yang strukturnya sangat fleksibel.
  • Ada kegiatan gotong royong dan pembayaran iuran secara proporsional untuk mensukseskan kegiatan subak.
  • Ada rapat subak secara rutin.
  • Anggota subak umumnya tidak keberatan kalau lahan yang tersisa pada pembangunan bangunan-bagi dimanfaatkan untuk bangunan suci.

3. Subsistem artefak/kebendaan.

  • Air irigasi mengalir secara kontinyu melalui bangunan bagi, dan ikut “diawasi” oleh para Dewa yang bersemayam pada sistem pura yang ada di kawasan itu.
  • Ada konsep tektek dalam pembagian air irigasi, yang merupakan konsep pembagian air secara proporsional (berkeadilan).
  • Air irigasi yang diperoleh petani-anggota subak, adalah proporsional dengan iuran yang dibayarkan dan tenaga kerja yang harus disediakan oleh petani dalam kegiatan-kegiatan subak.
  • Adanya kebiasaan saling pinjam meminjam air irigasi.
  • Adanya kerjasama antar pengurus dan anggota dalam pelaksanaan program subak.
  • Adanya koordinasi antar pimpinan subak dengan pimpinan lembaga lain di lingkungan sekitarnya (misalnya, dengan pimpinan desa adat/pakraman, kepala desa dinas dll.).
  • Topografi lahan subak pada umumnya miring.
  • Setiap komplek/blok sawah milik petani anggota subak, memiliki bangunan sadap dan saluran pembuangan (draenasi) sendiri-sendiri (one inlet and one outlet system).
  • Adanya batas wilayah subak yang jelas,
  • Adanya bangunan dan jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan petani.
  • Subak pada umumnya memanfaatkan bahan lokal untuk kepentingan pembangunan jaringan irigasinya.

Selanjutnya, sesuai pula dengan prinsip-prinsip THK, maka pembangunan dan pemanfaatan artefak (sarana irigasi) dalam sistem subak tampaknya telah diarahkan sedemikian rupa agar mampu mewujudkan kebersamaan dan harmoni di kalangan anggota subak. Adapun artefak yang dimanfaatkan oleh sistem subak antara lain adalah sebagai berikut.

  1. Bendung (empelan), pada umumnya dibangun dengan mencoba-coba, sehingga ditemukan lokasi yang paling efektif dan efisien. Bangunan bendung umumnya dibangun pada sebuah tikungan sungai.
  2. Saluran irigasi (telabah), umumnya dibangun dengan sistem terbuka. Hal ini memungkinkan karena kawasan subak pada umumnya dengan topografi miring.
  3. Trowongan (aungan), akan dibangun oleh petani, kalau ia gagal membangun saluran irigasi yang terbuka. Bagian atas trowongan selalu dibuat melengkung, agar selalu ada udara di atas permukaan air yang masuk ke trowongan itu.
  4. Bangunan-bagi (tembuku), selalu dibangun dengan prinsip pembagian air secara proporsional, dan umumnya dibangun dengan sistem numbak, dan tidak dengan sistem ngerirun.

Selanjutnya karena melihat keunggulan-keunggulan dari sistem subak kita, maka pada dasarnya sistem subak ini dapat saja ditransformasikan ke daerah lain, meski dengan latar belakar budaya yang lain. Asalkan saja, sistem subak yang ditransformasikan adalah sistem/konsepnya yang bersifat universal. Sebab konsep THK pada dasarnya sangat universal yang selalu ada pada adat dan budaya masyarakat lain, yakni yang kita sebut dengan konsep harmoni dan kebersamaan. Inti dari penerapan THK pada dasarnya adalah harmoni dan kebersamaan. Konsep universal inilah yang selalu harus kita dengung-dengungkan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat luas.

SUBAK DAN PELESTARIAN KEBUDAYAAN BALISeperti dikemukakan di depan bahwa sistem subak berlandaskan THK. Dalam konsep sistem kebudayaan, THK yang melandasi sistem subak adalah analog dengan sistem kebudayaan. Parhyangan analog dengan sistem pola pikir/nilai/konsep, pawongan analog dengan subsistem sosial, dan palemahan analog dengan subsistem artefak/kebendaan.

Pertama, dalam aspek parhyangan/subsistem pola-pikir, kegiatan yang dilakukan subak adalah berkait dengan pelaksanaan upacara, kebersamaan/harmoni, kepercayaan adanya kekuatan spiritual yang ikut mengontrol/mengawasi pelaksanaan kegiatan di kawasan subak, dll. Kedua, dalam aspek pawongan/subsistem sosial, kegiatan yang dilakukan subak adalah mengatur organisasinya agar sesuai dengan kondisi lokal, adanya sanksi sosial bagi pelanggar aturan subak, adanya awig-awig subak, adanya kerjasama dalam pemanfaatan air irigasi, adanya pelaksanaan gotong-royong, dll. Ketiga, dalam aspek palemahan/subsistem artefak (kebendaan), kegiatan yang dilakukan subak adalah membagi air irigasi secara proporsional, adanya sistem one inlet and one outlet, membangun bangunan suci pada kawasan tertentu yang dianggap rawan konflik, dll. Harus dicatat bahwa semua kegiatan subak tersebut, bertujuan dan menuju pada harmoni dan kebersamaan, sesuai dengan hakekat THK tersebut. Kajian di atas (yakni melalui kajian dari aspek pola pikir/nilai/konsep, aspek sosial, dan aspek artefak/kebendaan) dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk mengkaji organisasi-organisasi yang menyebut dirinya dengan sebutan “subak”.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan yang dilakukan pada sistem subak adalah kegiatan-kegiatan yang analogis dengan implementasi dari kebudayaan Bali. Sementara itu sistem subak pada hakekatnya adalah salah satu wujud dari sistem kebudayaan Bali. Wajarlah kalau disebutkan bahwa eksistensi subak dengan segala kegiatan yang dilakukan adalah suatu wujud untuk melestarikan kebudayaan Bali. Persoalannya saat ini adalah bagaimana caranya agar sistem subak di Bali tetap dapat eksis dalam rangka melaksanakan dharmanya melestarikaan kebudayaan Bali.Sejak adanya opini publik yang menyatakan bahwa pemda telah bertindak tidak adil dengan hanya membantu desa-pakraman (dengan memberikan bantuan finansial, dan berbagai fasilitas lainnya), dan sebaliknya tidak memberikan bantuan yang sepadan pada sistem subak, maka kini pihak pemda tercatat telah mulai memberikan perhatian yang memadai pada sistem subak.

Kini, Pemda Bali telah memberikan bantuan berupa block grant   pada semua subak di Bali masing-masing Rp.50 juta. Demikian pula hanya pemerintah kabupaten/kota di Bali telah pula memberikan banatuan kepada desa adat dan subak sesuai kemampuannya masing-masing. Dukungan dan bantuan seharusnya diberikan kepada sistem subak agar tetap dapat mampu berperan sebagai bamper arus global dan melestarikan kebudayaan Bali (Windia dan Sedana, 2015). Bantuan yang diberikan kepada subak, seharusnya dilihat dalam tiga aspek, yakni aspek/subsistem pola pikir, aspek/subsistem sosial, dan aspek/subsistem artefak (kebendaan).

  1. Subsistem pola pikir/konsep
  • Pemerintah daerah perlu memiliki kebijakan yang jelas yang memihak pada sektor pertanian (termasuk subak dan subak abian), di mana salah satu indikatornya adalah cerminan pada alokasi dana pada APBD.
  • Perlu fasilitasi untuk bisa dikembangkan konsep harmoni dan kebersamaan antar sector perekonomian, yang dapat mendorong terwujudnya percepatan pembangunan pertanian. Selama ini dominasi sektor pariwisata sangat dominan.
  • Perlu dibangun kesadaran bahwa sektor pertanian tidak hanya sebagai produsen bahan makanan (fungsi tangible), namun juga memiliki fungsi intangible (fungsi yang tak dapat dilihat secara nyata).
  • Perlu ada kebijakan/dorongan untuk mengembangkan pendidikan menengah di sektor pertanian, namun dengan kurikulum yang mampu mendidik keterampilan yang sesuai dengan tuntutan zaman (misalnya, pendidikan tentang keterampilan hidroponik, dll.) .
  • Perlu ada kebijakan untuk meringankan beban masyarakat yang bekerja di sektor pertanian (misalnya keringanan pajak, ada subsidi, proteksi, dll.).
  • Perlu ada kebijakan/aturan yang tegas tentang berapa seharusnya ada sawah dan kebun di daerah tertentu.
  • Perlu ada peraturan daerah (perda) tentang sistem subak, yang bersisi substansi-substansi tentang kewajiban pemerintah untuk memperkokoh subak, dan adanya sawah/subak abadi.
  • Perlu ada kebijakan agar sawah yang dikonversi menjadi non-sawah, maka pemiliknya harus tetap menjadi anggota subak.
  • Sistem subak dan subak-abian perlu lebih diberdayakan, dan diarahkan untuk kegiatan di bidang ekonomi (membangun koperasi tani). Sebelumnya perlu dibangun beberapa proyek percontohan pembangunan koperasi tani pada beberapa subak, dan subak abian.
  • Bantuan pemerintah untuk kegiatan bisnis di sektor pertanian, perlu diberikan kepada subak dan subak abian yang sudah memiliki koperasi tani.
  • Petani perlu dididik untuk berdagang.
  • Perlu dibentuk wadah koordinasi antar subak (subak-gede) yang mengkoordinasikan subak-subak yang mendapatkanair irigasi dari satu sumber air irigasi/bangunan-bagi.
  • Perlu dibentuk wadah koordinasi antar semua sistem irigasi (subak-agung) yang mengkoordinasikan subak-subak dalam satu aliran sungai.
  • Perlu dibentuk lembaga sedahan-agung yang mandiri yang setara dengan dinas/badan di tingkat kabupaten.
  1. Subsistem artefak/kebendaan.
  • Perlu ada dana yang bersifat block grant pada petani/subak, dan besarnya dana tersebut perlu diberikan secara proporsional.
  • Kredit perbankan perlu lebih memihak pada sector pertanian (perkebunan).
  • Sawah dan kebun yang ditetapkan harus dipertahankan di suatu wilayah tertentu perlu diberikan kompensasi yang sepadan.
  • Sebelum ditetapkan aturan (perda) untuk menetapkan sejumlah sawah dan kebun yang harus dipertahankan, perlu ada proyek percontohan untuk beberapa subak dan subak abian tertentu.
  • Perlu ada bantuan peralatan kepada petani/subak dan subak abian.
  • Perlu ada pengembangan industri hilir (industri yang mengolah produk pertanian), dan lembaga pasar yang sepadan untuk menjamin adanya pasar bagi produk pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

Arfian S. l989. Pendayagunaan sumberdaya air dan lahan pada zaman Indonesia Kuno di Bali, analisis hasil penelitian arkeologi, Fak.Sastra UNUD, Denpasar.

Arif,S.S. 1999. Applying philosophy of tri hita karana in design and management of subak irrigation system, dalam a study of subak as indigenous cultural, social, and technological system to establish a culturally based integrated water resources management vol.III (ed : S.Susanto), Fac.of agricultural technology, Gadjah Mada University, Yogya.

Huppert,W and H.H.Walker. l989. Management of irrigation systems : guiding principles, GTZ, Eschborn.

Maskey,R.K. and K.E.Weber. l996. Evaluating factors influencing farmers satisfaction with their irrigation system, a case from the hill of Nepal, dalam Irrigation and Dranage Systems, Vo.l0 th.l996,p.331, Kluwer Academic Publishers, Netherland.

Mc.Ginnis,M.D. l999. Introduction, dalam Polycentric governance and development (ed: McGinnis), The Univ.of Michigan Press, Ann Arbor-USA.

Poespowardojo,S. l993. Strategi kebudayaan, Gramedia, Jakarta.

Purwitha,I.B.P. l993. Kajian sejarah subak di Bali, dalam Subak, sistem irigasi tradisional di Bali (ed; I Gde Pitana), Upada Sastra, Denpasar.

Pusposutardjo, S. l996. Konsep konservasi tanah dan air untuk keberlanjutan irigasi, pidato pengukuhan guru besar di UGM, UGM, Yogya.

Pusposutardjo, S. l997. Nilai ekonomi sumberdaya air, makalah yang disampaikan dalam Forum diskusi kelembagaan sektor pengairan, Surakarta.

Pusposutardjo, S. 2001. Pengembangan irigasi, usahatani berkelanjutan, dan gerakan hemat air, Ditjen Dikti, Jakarta.

Sudira,P. 1999. Pemodelan dan simulasi (diktat), FTP, UGM, Yogya.

Sutawan,N; M.Swara; W.Windia; dan W.Sudana. l989. Laporan akhir pilot proyek pengembangan sistem irigasi yang menggabungkan beberapa empelan/subak di Kab.Tabanan dan Kab.Buleleng, Kerjasama DPU Prop.Bali dan Univ.Udayana, Denpasar.

Sutawan, N. 2005. Subak menghadapi tantangan globalisasi, dalam Revitalisasi subak dalam memasuki era globalisasi (ed : Pitana dan Setiawan), Penerbit Andi, Yogyakarta.

Wardha, I W. l989. Subak dari segi perkumpulan, analisis hasil penelitian arkeologi, Fak. Satra UNUD, Denpasar.

Windia, W. 2002. Transformasi sistem irigasi subak yang berlandaskan konsep tri hita karana (disertasi, tidak dipublikasikan), PPS-UGM, Yogyakarta.

Windia, W; W.Budiasa; W.Ginarsa; N.G.Ustryana; dan W.Sudarta. 2001. Keberlanjutan sumbnerdaya budaya di Kab.Gianyar, kerjasama Jurusan Sosek Fak.Pertanian UNUD dan Bappeda Kab.Gianyar, FP-UNUD, Denpasar.

Windia, W dan I G. Sedana. 2015. Religious aspects in the system of subak irrigation, as a world heritage site in Bali, disampaikan dalam seminar on spiritual dimensions of rice culture in Southeast Asia, Srinakharinwirot Univ, Bangkok, 11-14 May 2015.

Subak adalah perkumpulan petani di Bali yang mengelola sistem

PROFIL PENULIS


Prof. Wayan Windia