Tahap penelitian sejarah yang mengindikasikan kita harus mencari sumber adalah

Tahap penelitian sejarah yang mengindikasikan kita harus mencari sumber adalah

Langkah-langkah penelitian sejarah adalah menentukan topik penelitian. Setelah itu dilanjutkan pengumpulan sumber (heuristik), lanjut kritik sumber (verifikasi). Kemudian penafsiran (interpretasi) dan langkah terakhir yaitu historiografi. Historiografi adalah penulisan sejarah.

Pembahasan

Penelitian sejarah adalah penelitian yang berisi peristiwa yang terjadi pada masa lalu. Tujuan dari penelitian sejarah adalah untuk menggambarkan kejadian masa lalu secara objektif dan juga secara urut. Dalam penelitian sejarah diperlukan langkah mengumpulkan informasi dari berbagai sumber. Sumber sejarah digolongkan menjadi tiga antara lain:

a.sumber benda

b. sumber tertulis

c. sumber lisan

Sumber benda bersifat arkeologis. Sumber benda biasanya terdapat di museum. Sumber tertulis dapat ditemukan di arsip-arsip. Seperti jawatan, departemen, pengadilan atau arsip pribadi. Sumber lain yakni saksi mata. Saksi mata tersebut harus benar-benar terlibat dalam peristiwa masa lalu tersebut.

Pelajari lebih lanjut      

1. Intepretasi merupakan salah satu langkah, dalam metode penelitian sejarah: brainly.co.id/tugas/6204206

Detil jawaban

Kelas: 10

Mapel: Sejarah

Bab: cara berpikir sejarah  

Kode: 10.3.1

Kata Kunci: langkah, penelitian, sejarah  

Riset atau penelitian sejarah adalah upaya mengorek masa lalu untuk dihadirkan kembali pada masa kini melalui serangkaian langkah sistematis. Langkah terakhir dari penelitian sejarah adalah menyajikannya ke masyarakat dalam bentuk narasi tertulis yang dipublikasikan secara luas agar bisa dinikmati oleh masyarakat. Secara umum langkah-langkah meneliti sejarah, yang lazim disebut sebagai metode sejarah, sudah sangat dipahami oleh para sejarawan. Walaupun semua sejarawan telah memahami langkah-langkah meneliti sejarah bukan berarti semua proses mudah dilakukan.

Kita sering mendengarkan keluhan bahwa betapa sulit mencari sumber sejarah yang sesuai dengan tema penelitian yang diajukan, ada juga keluhan sebaliknya bahwa kebanyakan memperoleh sumber sejarah sehingga mempersulit proses penulisan karena membingungkan. Berbagai keluhan yang muncul saat proses penelitian sejarah menunjukkan bahwa meneliti sampai menulis sejarah bukanlah pekerjaan yang mudah. Meneliti sejarah perlu persiapan yang matang, terutama menyiapkan tema yang akan diteliti sampai melakukan penjajakan awal terhadap sumber-sumber sejarah yang dibutuhkan dan akan ditelusuri.

Hanya masa lalu yang memiliki relevansi dengan masa kini saja yang layak untuk diteliti dan dihadirkan kembali dalam bentuk narasi tertulis.  Relevansi dalam penulisan sejarah  artinya sejarah yang ditulis memiliki pertautan atau pertalian dengan kondisi kontemporer. Sejarah yang hendak diteliti oleh sejarawan hendaknya merupakan sesuatu yang kelak bisa menjadi pengetahuan yang memiliki nilai guna bagi kehidupan manusia saat ini.

Relevansi sangat penting supaya penelitian sejarah memiliki nilai guna bagi masyarakat luas, bukan sekedar antikuariat. Hal tersebut terjadi karena penelitian-penelitian sejarah yang memiliki relevansi tinggi tentu saja mengandung kebaruan-kebaruan pengetahuan karena kondisi kekinian masyarakat yang menjadi sumber dari kerelevanan tersebut terus mengalami pembaharuan seiring dengan perubahan waktu yang terjadi secara simultan dan tiada akhir.

Relevansi menghindari seorang sejarawan dari informasi antikuariat, yaitu pengetahuan baku mengenai kelampauan yang telah diterima, terlepas dari problem pokok yang menjadi perhatian. Antikuariat mirip dengan benda-benda antik yang dipajang di museum yang diam dan dingin, yang bisa jadi tidak memiliki konteks dengan masa kini. Antikuarisme adalah sejarah yang terlepas dari konteks sosialnya, ibaratnya adalah buku yang telah selesai digunakan dan tidak memiliki nilai guna lagi. Dengan demikian, narasi sejarah yang baik adalah yang tetap menjadi bagian dari dinamika sosial masyarakat terkini.

Sumber Sejarah Alternatif

Inti dari aktivitas penelitian sejarah adalah menelusuri sumber-sumber sejarah yang dibutuhkan sesuai dengan tema dan tujuan penelitian. Sebagian besar sejarawan menjadikan dokumen tertulis sebagai tujuan utama dalam penelusuran sumber sejarah. Sumber tertulis dapat ditelusuri di berbagai tempat, mulai dari depo arsip, kantor-kantor pemerintah, dokumen pribadi, perpustakaan, dan lain-lain. Dokumen tertulis juga memiliki ujud yang beragam, mulai dari arsip, data statistik, majalah, surat kabar, catatan-catatan penjualan, catatan harian, dan sebagainya. Pada intinya asal seorang sejarawan jeli dan kreatif, sumber tertulis dapat didapatkan dengan mudah, apalagi saat ini teknologi internet juga telah membantu kemudahan tersebut. Ribuan dokumen sejarah telah didigitalkan dan bisa diakses secara cuma-cuma oleh siapapun. Karena akses terhadap sumber-sumber tertulis saat ini cukup mudah, mestinya hal tersebut menjadi kan sejarawan mencari “tantangan” baru dalam proses penelitian sejarah dengan berpaling pada sumber-sumber alternatif, utamanya sumber lisan dengan metode sejarah lisan. Secara umum yang dimaksud dengan sejarah lisan adalah pemindahan ingatan (memori) menjadi suara melalui proses wawancara dan perekaman oleh orang lain/sejarawan. Suara itulah yang kemudian dijadikan sebagai bahan untuk merekonstruksi masa lalu (historiografi).

Sumber alternatif lain sangat banyak, sebagaimana diuraikan dalam sebuah buku yang diedit oleh Sarah Barber dan Corina H. Peniston-Bird yang berjudul History Beyond The Text: A Student’s Guide to Approaching Alternative Sources. Mengacu pada judulnya, buku ini ingin menegaskan bahwa sumber sejarah bukan hanya melulu soal teks-teks tertulis. Pada bagian awal buku tersebut dijelaskan bahwa sesungguhnya ada banyak benda non teks yang oleh sebagian orang juga dianggap sebagai teks, sehingga kita sering mendengar ungkapan “membaca film, membaca foto, membaca musik,” dan lain-lain yang mengindikasikan bahwa sesungguhnya banyak hal yang tidak tertulis dianalogikan sebagai teks-teks yang bisa dibaca. Dengan demikian, benda-benda tersebut yang berasal dari masa lampau bisa “dibaca” sebagai sumber sejarah

Publikasi Sejarah

Aktivitas penulisan merupakan aktivitas terakhir dalam proses penelitian sejarah yang dikenal dengan istilah historiografi. Penulisan merupakan aktivitas terakhir dan merupakan hal yang paling sulit karena mencakup pilihan-pilihan kata yang akan digunakan untuk mengkomunikasikan temuan penelitian. Ketrampilan menulis narasi sejarah bukan hal mudah karena tidak bisa dilakukan secara sembarangan sebagaimana menuliskan karya sastra. Menulis karya sastra sangat tergantung pada  imajinasi bebas si sastrawan, sementara menulis sejarah sangat terikat pada fakta-fakta yang ditemukan dari berbagai dokumen dan sumber sejarah.

Namun demikian tetap saja seorang sejarawan membutuhkan imajinasi, karena tanpa imajinasi tidak mungkin narasi sejarah bisa tersusun dengan baik. Narasi sejarah memiliki tugas kembar, pertama, sejarah bermaksud menceritakan hal-hal yang sebenarnya terjadi pada masa lampau, sehingga yang dikemukakan adalah hal-hal sebagai adanya serta kejadian-kejadian sebagai sesungguhnya terjadi. Kedua, narasi sejarah harus mengikuti prosedur tertentu yang ketat: harus tertib dalam penempatan ruang dan waktu, harus konsisten dengan unsur-unsur lain seperti topografi dan kronologi, serta yang paling penting adalah harus berdasarkan bukti-bukti.

Sejarawan pemula biasanya masih merasa kesulitan untuk menuliskan hasil penelitiannya, merasa kadang tidak bisa menuangkan fakta-fakta yang telah ia peroleh dari hasil membaca berbagai dokumen dan sumber sejarah ke dalam bentuk tulisan yang baik. Menulis adalah hasil latihan yang dilakukan secara terus-menerus, tidak sekedar latihan untuk mengungkapkan fakta-fakta sejarah dengan baik, tetapi lebih dari itu adalah upaya untuk mengkomunikasikan apa yang ingin kita sampaikan kepada publik. Hal ini menyangkut langkah berikutnya, yaitu publikasi. Laporan penelitian sejarah akan bernilai guna yang tinggi jika dipublikasikan scara luas kepada masyarakat. Mempublikasikan hasil penelitian merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban seorang akademisi karena hidup kita dan aktivitas kita ditopang oleh masyarakat luas. Disamping itu publikasi penting dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengkomunikasikan temuan-temuan baru karena adanya aktivitas penelitian baru.

Sejarawan akademik yang hidup di kampus biasanya menulis sejarah untuk dua kepentingan, yaitu kepentingan akademik berupa laporan penelitian mentah seperti skripsi, tesis, disertasi, dan laporan penelitian pada umumnya, serta menulis untuk kepentingan publikasi yang akan dimuat di jurnal, surat kabar, atau buku. Dua model penulisan tersebut biasanya berbeda, terutama berbeda dalam penggunaan bahasa. Tulisan untuk kepentingan akademik biasanya menggunakan bahasa yang kaku karena mengacu pada aturan baku berbahasa “yang baik dan benar” serta menggunakan struktur penulisan yang telah ditentukan dengan ketat. Sasaran pembacanya juga biasanya terbatas pada masyarakat akademis di kampus. Sementara itu menulis untuk kepentingan publikasi tujuan utamanya adalah agar tulisan kita dibaca oleh masyarakat luas. Oleh karena itu dibutuhkan bahasa yang komunikatif dan menarik minat orang untuk membacanya.

Bagaimana caranya agar kita bisa menulis dengan baik, enak, dan menarik sehingga tulisan kita disuka oleh pembaca? Selain terus-menerus berlatih tentu saja modal utamanya adalah membaca berbagai referensi yang banyak. Membaca selain memperluas berbagai informasi juga akan memperkaya kosakata kita yang merupakan modal utama dalam menulis. Tanpa banyak membaca maka kosakata kita terbatas sehingga imajinasi kita juga terbatas pula. Mereka yang jarang membaca akan sulit mengekspresikan pikiran-pikirannya dalam bentuk tulisan, karena bisa jadi hanya terbatas pada ekspresi lisan yang belum tentu bisa dipahami. Semakin banyak informasi yang kita dapatkan dari aktivitas membaca maka akan semakin banyak informasi yang bisa kita tumpahkan dalam bentuk tulisan. Menurut Mona Lohanda, Logika analitik harus dicerminkan dalam logika kalimat yang runut dan beruntun. Artinya, seberapapun kayanya seorang sejarawan akan data-data sejarah yang ia temukan dalam proses penelitian, jika tidak mampu untuk menuliskannya secara runut, beruntun, dengan bahasa yang komunikatif, maka ia gagal mengkomunikasikan temuan-temuannya tersebut.

Penulis: Purnawan Basundoro

Link jurnal: https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/ihis/article/view/10955