Tidak sewenang-wenang meskipun kepada murid adalah sikap yang Perlu diteladani dari

Mayoritas masyarakat muslim di Indonesia merupakan muslim yang bermaẓhab Syafi’i. Akan tetapi tidak jarang muslim yang tidak mengikuti Maẓhab Imam Syafi’i. Hal tersebut merupakan pilihan masing-masing dan kita harus bersikap saling menghargai atas perbedaan tersebut. Contohnya adalah qunut pada waktu shubuh yang berhukum sunnah untuk Maẓhab Imam Syafi’i. Bagi imam lainnya qunut tidaklah perlu dilakukan.

Dalam menanggapi perbedaan di atas, beberapa imam maẓhab telah memberikan contoh kepada kita. Seperti sikap menghargai dari Imam Malik meskipun muridnya Imam Syafi’i memiliki perbedaan pandangan terhadapnya. Adapun bab ini akan menjelaskam empat tokoh imam maẓhab yang terkenal yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

KOMPETENSI DASAR

1.5    Menghayati keteladanan sifat-sifat sufistik Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal

2.5  Mengamalkan sikap takwa, wara, zuhud, sabar, dan ikhlash yang mencerminkan sifat-sifat kesufian Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal

3.5     Mengevaluasi kisah kesufian Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal

4.5       Menilai kisah kesufian Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kehidupan sehari-hari untuk teladan kehidupan sehari-hari

INDIKATOR

1.4.1    Meyakini sifat-sifat sufistik dari sufistik Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal

2.4.1     Berakhlak mulia sebagai teladan dari sifat sufistik dari empat imam maẓhab fikih

2.4.2    Membiasakan berakhlak mulia sebagai teladan dari sifat sufistik dari empat imam

maẓhab fikih

 3.4.1     Memeperjelas kisah-kisah sufistik dari empat imam maẓhab fikih

 4.4.1     Menyajikan ragam sikap dan sifat sufistik dari empat imam maẓhab fikih

4.4.2    Mengatasi masalah dengan bersuri teladan pada sikap dan sifat sufistik dari empat

imam maẓhab fikih

Ayo Mendalami

A.      Imam Abu Hanifah

1.     Biografi Imam Abu Hanifah

Nu’man bin Tsabit bin Marzuban atau Abu Hanifah lahir di kota Kufah pada tahun 80 H/699 H dan wafat di kota Baghdad pada tahun 150 H/767 M . Beliau tumbuh di dalam keluarga yang shaleh dan kaya. Ayahnya, Tsabit merupakan seorang pedagang sutra yang masuk Islam masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.

Sejak kecil beliau sudah hafal al-Qur’an dan menghabiskan waktunya untuk terus-menerus mengulangi hafalan agar tidak lupa. Pada bulan Ramadan, Abu Hanifah bahkan bisa mengkhatamkan al-Qur’an berkali-kali.

Pada awalnya beliau menganggap bahwa belajar agama bukan tujuan utama karena sebagian besar waktunya dihabiskan untuk berdagang di pasar. Namun, setelah bertemu dengan seorang ulama besar, al-Sya’bi beliau mulai serius dalam belajar agama. Al-Sya’bi mengatakan kepada Abu Hanifah, “Kamu harus

memperdalam ilmu dan mengikuti halaqah para ulama karena kamu cerdas dan memiliki potensi yang sangat tinggi,” tutur al-Sya’bi.

Setelah itu, Imam Abu Hanifah pun mengikuti halaqah Hammad bin Abu Sulaiman. Beliau belajar selama 18 tahun kepada Hammad sampai guru beliau wafat pada 120 H.

Imam Abu Hanifah pernah pergi dari Kufah menuju Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan berziarah ke kota Madinah. Dalam perjalanan ini, beliau berguru kepada, Atha` bin Abi Rabah, ulama terbaik di kota Makkah dari generasi tabi’in. Jumlah total guru Imam Abu Hanifah adalah tak kurang dari 4000 orang guru. Di antaranya 7 orang dari sahabat Nabi, 93 orang dari kalangan tabi’in, dan sisanya dari kalangan tabi’ at-tabi’in.

Imam Abu Hanifah dikenal dengan ulama yang terbuka. Beliau mau belajar dengan siapapun semisal dengan tokoh muktazilah dan syi’ah. Meskipun demikian, beliau tidak fanatik dengan pemikiran gurunya. Sa’id bin Abi ‘Arubah mengatakan, “Saya pernah menghadiri kajian Abu Hanifah dan dia memuji Utsman bin Affan. Saya tidak pernah sebelumnya mendengar orang memuji Utsman di Kufah”.

Sikap terbuka ini tertanam karena terbiasa hidup dengan kelompok yang berbeda. Abu Hanifah selalu berpesan kepada murid-muridnya agar selalu menjaga adab dan tutur kata ketika berhadapan dengan masyarakat, terutama orang yang berilmu. Pesan ini selalu disampaikan agar masyarakat bisa dekat dan tidak resah dengan pendapat yang disampaikan.

Imam Abu Hanifah tidak mau menerima bantuan pemerintah. Seluruh biaya hidupnya ditanggung sendiri dan diperoleh dari hasil usaha dagangannya. Hal yang berbeda dengan Malik bin Anas, pendiri Mazhab Maliki yang biaya hidupnya ditanggung seluruhnya oleh baitul mal.

Abu Hanifah hidup dalam dua kekuasaan Umawiyah selama 5 tahun dan 18 tahun dengan Abbasiyah. Saat Bani Umawiyah atau pun Abbasiyah, Imam Abu Hanifah pernah ditawari jabatan hakim dan menolak tawaran tersebut. Hal tersebut membuatnya dipenjara dan dicambuk berkali-kali hingga akhirnya beliau keluar dari penjara dan wafat.

2.    Kisah Imam Abu Hanifah Yang Perlu Diteladani 

a. Saling memuji dan berbaik sangka Ketika Imam Malik berkata, “Saya merasa tidak punya apa-apa ketika bersama Abu Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli fikih wahai orang Mesir, wahai al-Laits”

Kemudian al-Laits pun menceritakan ucapan pujian Imam Malik kepada Imam Abu Hanifah. Lalu beliau menjawab, “Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap anda”. Dan beliau menambahkan, “Demi Allah, saya belum pernah melihat orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud serta sempurna melebihi Imam Malik”.

        b.   Bersikap terbuka dan mau menerima kritikan

Imam Abu Hanifah merupakan seorang yang tidak menganggap bahwa pendapat-pendapat selain dirinya adalah salah. Bahkan beliau sering mengatakan:

... 

“Apa yang aku sampaikan ini adalah sekedar pendapat. Ini yang dapat aku usahakan semampuku. Jika ada pendapat yang lebih baik dari ini, ia lebih patut diambil.”

Beliau juga pernah ditanya, “Tuan Abu Hanifah, apakah fatwa yang anda sampaikan telah sungguh-sungguh benar, tak ada keraguan lagi?”. Beliau pun menjawab:

... 

“Demi Allah, aku tidak tahu, barangkali keliru sama sekali”

Kedua pernyataan Imam Abu Hanifah ini membuktikan bahwa beliau merupakan orang yang terbuka dan toleransi. Beliau pun bersedia mencabut atau meralat pendapatnya jika keliru dan beliau menyampaikan terima kasih kepada yang mengkoreksinya. Beliau juga tak merasa harga dirinya jatuh karena mengakui hal itu.

B.  Imam Malik bin Anas

1.   Biografi Imam Malik bin Anas

Malik bin Anas bin Malik bin `Amr, al-Imam, Abu `Abd Allah al-Humyari al-Asbahi al-Madani lahir di Madinah pada tahun 93 H / 714 M dan meninggal pada tahun 179 H / 800 M. Beliau adalah pendiri Maẓhab Maliki yang ahli di bidang fikih dan hadis. Beliau juga merupakan penyusun kitab al-Muwaththa’ yang menghabiskan waktu 40 tahun dan kitabnya telah diperlihatkan kepada 70 ahli fikih di Madinah.

Anas, ayah beliau merupakan periwayat hadis dan Malik bin ‘Amr, kakek beliau adalah ulama dari kalangan tabi’in. Kakeknya banyak meriwayatkan hadis dari tokoh-tokoh besar sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, Thalhah bin ‘Ubaidillah, Ummul Mukminin ‘Aisyah, Abu Hurairah, Hasan bin Tsabit dan ‘Uqail bin Abi Thalib.

Imam Malik merupakan pribadi yang tekun. Saat masih kecil, Imam Malik sudah hafal al-Qur’an lalu beliau beralih menghafal hadis setelahnya. Selain menghafal, Imam Malik juga rajin belajar ilmu fikih. Beliau belajar ilmu fikih kepada Rabi’ah bin Abdurrahman. Beliau juga belajar di halaqah Abdurrahman bin Hurmuz selama 13 tahun tanpa diselingi belajar kepada guru lain. Beliau juga tidak pernah mengembara ke negeri lain untuk mencari ilmu. Beliau hanya mencukupkan belajar ilmu kepada tokoh dan ulama dari kalangan tabiin di Madinah.

Dengan ketekunan tersebut menjadikan beliau pribadi yang berpengetahuan luas. Ulama besar seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i pernah menimba ilmu dan belajar kepada beliau.

Sebelum beliau wafat, beliau meninggalkan beberapa karya yang dapat dinikmati yaitu kitab Al-Muwattha` dan Maẓhab Maliki.

2.   Kisah Imam Malik Yang Perlu Diteladani

Kisah yang dapat diteladani dari Imam Malik ialah berani berkata tidak tahu kepada penanya. Hal ini penting karena sebagai seorang yang berpengetahuan terkadang sulit atau bahkan gengsi untuk mengatakan tidak tahu. Sebuah riwayat dari Ibnu Mahdi menyatakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Imam Malik tentang sebuah masalah. Imam Malik menjawab, “Lā uhsinuhā (aku tidak mengerti masalah itu dengan baik)”. Lalu lelaki itu berkata lagi, “Aku telah melakukan perjalanan jauh untuk bertanya kepadamu tentang masalah ini”. Imam Malik lalu berkata kepadanya, “Ketika kau kembali ke tempat tinggalmu, kabarkan pada masyarakat di sana bahwa aku berkata kepadamu bahwa aku tidak mengerti dengan baik masalah tersebut”.

C.    Imam Syafi’i

1.     Biografi Imam Syafi’i

Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i atau Imam Syafi’i adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri madzhab Syafi’i. Beliau lahir pada tahun 150 H di Gaza, Palestina, pada tahun yang sama wafat Imam Abu Hanifah, seorang ulama besar Sunni Islam dan beliau wafat pada malam Jum’at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H atau tahun 809 M pada usia 52 tahun

Beliau dinamai ayahnya, Idris bin Abbas ketika mengetahui bahwa istrinya, Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung. Idris bin Abbas berkata, “Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan aku namakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Asy-Syaib”.

Ayah Imam Syafi’i meninggal setelah dua tahun kelahirannya, lalu ibunya membawanya ke Makkah, tanah air nenek moyang. Sejak kecil beliau cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai al-Ashma’i berkata, “Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris, ia adalah imam bahasa Arab”.

Perjalanan pendidikan di Makkah, beliau berguru kepada Muslim bin Khalid Az Zanji, Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan beberapa ulama lainnya pada bidang fikih.

Saat usia 20 tahun, beliau pergi ke Madinah dan berguru kepada Imam Malik bin Anas pada bidang fikih. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Beliau sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah. Hal itu terlihat ketika menjadi Imam, beliau pernah menyatakan, “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.”

Selain kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada beberapa ulama besar lainnya di Madinah seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi.

Setelah  belajar  di  Madinah,  beliau  melanjutkan  perjalanan  ke  Yaman  dan melajar kepada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagiyang lainnya. Kemudian beliau melanjutkan belajarnya kepada Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih, Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi di negeri Irak.

Setelah itu beliau bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Makkah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Darinya, beliau menimba ilmu fikihnya, ushul maẓhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis perkataan lamanya (Qaul Qadim) dan di Mesir pada tahun 200 H beliau menuliskan perkataan baru (Qaul Jadid).

2.     Kisah Imam Syafi’i Yang Perlu Diteladani

a.  Tidak sewenang-wenang meskipun kepada murid

Suatu hari Imam Syafi’i yang saat itu berada di Mesir memanggil seorang muridnya yang bernama Rabi’ bin Sulaiman. Imam Syafi’i berkata, “Wahai Rabi’, Ini Surahku. Pergilah dan sampaikan Surah ini kepada Abu Abdillah (Imam Ahmad bin Hanbal). Sesampai di sana kamu tunggu jawabannya dan sampaikan padaku”.

Setelah Rabi’ menyampaikannya kemudian Imam Ahmad mencopot salah satu baju gamis yang menempel di tubuhnya dan memberikannya kepada Rabi’. Rabi’ pun kembali ke Mesir dan segera menemui Imam Syafi’i dan memberikan Surah balasan dari Imam Ahmad.

Setelah itu Imam Syafi’i bertanya, “Apa yang diberikannya padamu?” Rabi’ menjawab, “Ia memberikan baju gamisnya.” Kemudian Imam Syafi’i berkata, “Aku bukan hendak menyusahkanmu dengan memintamu memberikan baju itu padaku. Namun basuhlah baju itu kemudian berikan air basuhannya padaku agar aku bisa bertabarruk dengannya.”

Imam Rabi’ menjelaskan bila Imam Syafi’i menyimpan air tersebut dan menggunakannya untuk cuci muka setiap hari. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan guru dan murid ini tak menghalangi untuk bertabarruk sebagai bentuk pengakuan akan kesalehan dan keilmuan seseorang.

b.   Mendamaikan perselisihan

Suatu ketika Ar-Rabi’ sebagai memberikan informasi kepada gurunya, Imam Syafi’i bahwa kondisi di Mesir saat itu terbagi menjadi dua kelompok yang kukuh pada pendapatnya yaitu kelompok penganut Maẓhab Maliki dan kelompok penganut Maẓhab Hanafi. Imam al -Syafi’i pun memiliki niat untuk mendamaikan dua kelompok tersebut.

Perselisihan kedua kelompok itu terjadi karena cara pandang dalam menggali hukum yang berbeda. Kelompok Maẓhab Maliki berpendapat bahwa jika suatu persoalan hukum tidak ditemukan dalam al-Quran maka selanjutnya adalah mencari pada hadis Rasulullah Saw baik mutawatir atau pun ahad. Sedangkan kelompok Maẓhab Hanafi berpendapat bahwa setelah al-Qur`an, hadis mutawatir saja yang dapat dijadikan landasan, bila tidak ditemukan maka selanjutnya dengan melakukan ijtihad dengan akal.

Sebagai contoh dalam menentukan bilangan shalat witir. Kelompok Maẓhab Hanafi berpendapat bilangan witir adalah tiga rakaat dengan satu kali salam. Dalam hal ini ia lebih memilih menggunakan qiyas karena sesuatu yang memiliki persamaan maka hukumnya sama. Menurutnya, shalat maghrib adalah witir siang dengan tiga rakaat, maka shalat witir malam pun disamakan dengan jumlah rakaat yang sama, yakni 3 rakaat dengan 1 salam.

Sedangkan kelompok Maẓhab Maliki mengatakan shalat witir harus tersusun dari dua dan satu rakaat. Pendapat ini berbeda dengan kelompok Maẓhab Hanafi yang mendasarkan argumennya pada sebuah hadis yang menyebutkan ganjilnya rakaat shalat witir. Menurut kelompok Maẓhab Maliki, bagaimana bisa diganjilkan jika tidak didahului oleh salat genap (salat dua rakaat) terlebih dahulu.

Imam al-Syafi’i menengahi kedua pendapat tersebut dengan mengatakan bahwa Rasul salat witir dengan satu rakaat . Oleh karena itu, bilangan rakaat witir adalah cukup satu rakaat.

D.    Imam Ahmad bin Hanbal

1.     Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal atau Ahmad bin Hanbal lahir di Baghdad, pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. Saat masih kanak-kanak, Imam Ahmad bin Hanbal telah ditinggal wafat oleh ayahnya yang gugur dalam pertempuran melawan Bizantium. Sedangkan kakeknya, Hanbal, adalah seorang gubernur pada masa Dinasti Umayyah.

Imam Ahmad menghafal al-Qur`an di usia belia dan mulai mengumpulkan hadis dan mendalami fikih sejak umur 15 tahun. Sampai umur 19 tahun, beliau mencari ilmu di Baghdad. Setelah belajar di Baghdad, beliau berkelana ke banyak daerah, seperti Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Yaman dan Syam, guna berguru kepada ulama terkemuka setempat.

Beliau pernah belajar kepada para Abu Yusuf, salah satu murid Imam Abu Hanifah, kemudian Abdurazzaq, salah satu generasi pemula penyusun kitab hadis, serta Imam Syafi’i. Ketika Imam Syafi’i tinggal di Baghdad, Imam Ahmad rajin mengikuti halaqahnya. Kedalaman ilmu fikih dan hadis menjadikannya unggul di majelis Imam Syafi’i. Imam Ahmad juga berjumpa dengan Imam Syafii di dataran Hijaz dan Irak.

Imam Syafi’i memuji sosok Imam Ahmad dengan mengatakan, “Aku keluar dari Irak, dan tiada kutemui orang yang lebih mumpuni ilmunya dan zuhud dibandingkan Ahmad bin Hanbal”.

Imam Ahmad bin Hanbal baru menikah pada usia 40 tahun karena kecintaan dan kegigihan beliau terhadap ilmu. Dan Imam Ahmad baru mendirikan majelis di kota Baghdad setelah wafatnya Imam Syafi’i. Imam Ahmad wafat setelah menderita sakit selama 10 hari, dan meninggal pada siang hari tanggal 22 Rabiul Awal tahun 241 H / 855 M.

2.   Kisah Imam Ahmad bin Hanbal Yang Perlu Diteladani

Imam Ahmad bin Hambal dikenal sebagai pemuda yang cerdas dan gigih dalam menuntut ilmu. Pernah ada seseorang yang mempertanyakan kegigihannya itu. Ia berkata, “Sampai kapan engkau terus mencari ilmu pengetahuan? Padahal, engkau kini telah mencapai kedudukan mulia di antara pencari ilmu.”

Kemudian beliau menjawab pertanyaan tersebut dengan singkat, “Aku akan membawa dawat tinta ini hingga ke liang lahat.” Pernyataan tersebut mempertegas kegigihannya di dalam mencari ilmu. Artinya, ia tidak akan berhenti mencari ilmu hingga ajal menemuinya.

Pada peristiwa lain ada seseorang datang kepada Imam Ahmad bin Hambal, ia bertanya, “Beritakan kepada kami amalan apakah yang paling utama?”. Beliau menjawab, “ Menuntut Ilmu.” Orang tersebut bertanya kembali, “Bagi siapa?”. Beliau menjawab, “Bagi orang yang benar niatnya.” Sekali lagi orang itu bertanya, “Apa saja yang bisa membenarkan niat itu?” Beliau menjawab, “Dengan meniatkan dirinya a gar bisa bertawadhu dan menghilangkan kebodohan darinya.” Selain itu beliau juga menambahkan, “Manusia sangat membutuhkan ilmu daripada kebutuhan makanan dan minuman, sebab makanan dan minuman dibutuhkan sekali dalam sehari atau lebih. Adapun ilmu, ia dibutuhkan sepanjang masa.”

Wallohu a’lam