Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Sriwijaya (atau juga dikata Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") merupakan salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan kawasan kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.[1][2] Dalam bahasa Sanskerta, sri berfaedah "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berfaedah "kemenangan" atau "kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal tentang keberadaan kerajaan ini bersumber dari ratus tahun ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa beliau mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang sangat tua tentang Sriwijaya juga berada pada ratus tahun ke-7, merupakan prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap kawasan bawahannya mulai menyusut dikarenakan sebagian peperangan[2] di selangnya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa pada tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]

Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[7]

Catatan sejarah

Tidak terdapat catatan lebih lanjut tentang Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan diproduksi susunan kembali oleh sarjana asing. Tidak berada orang Indonesia modern yang mendengar tentang Sriwijaya hingga tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar bercakap Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan sebagian prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]

Selain berita-berita diatas tsb, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang suatu perahu kuno yang diperkirakan berada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.[10] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu dipakai justru buat jembatan. Tercatat berada 17 keping perahu yang terdiri atas anggota lunas, 14 papan perahu yang terdiri atas anggota badan dan anggota buritan untuk menempatkan kendali.[10] Perahu ini diproduksi susunan dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang memanfaatkan tali ijuk. Cara ini sendiri diketahui dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang mengadakan komunikasi dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan peralatan kayu.[10]

Sriwijaya dijadikan simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan akbar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada ratus tahun ke-20, kedua kerajaan tsb dijadikan referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[8]

Sriwijaya dikata dengan berbagai jenis nama. Orang Tionghoa mengatakannya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya dikata Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab mengatakannya Zabaj dan Khmer mengatakannya Malayu. Banyaknya nama merupakan gagasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang beradanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]

Lebih kurang tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melaksanakan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi selang Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), akuratnya di lebih kurang situs Karanganyar yang sekarang dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Argumen ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan susunan kontruksi cairan, merupakan jaringan kanal, parit, kolam serta pulau hasil pekerjaan yang disusun rapi yang dipilihkan situs ini merupakan hasil pekerjaan manusia. Kontruksi cairan ini terdiri atas kolam dan dua pulau bermodel bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah dijadikan pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.[12] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, selang Muara Sabak hingga ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tsb, jika Malayu pada kawasan tsb, beliau cendrung kepada argumen Moens,[13] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petuah arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dikata cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu anggota dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, sesuai prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

Pembentukan dan pertumbuhan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang bersumber dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Belum banyak bukti fisik tentang Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini dijadikan pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sebagian pakar masih memperdebatkan kawasan yang dijadikan pusat pemerintahan Sriwijaya,[16] selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang dijadikan ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan kawasan pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[17][18]

Kemaharajaan Sriwijaya telah berada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit merupakan prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para pakar berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Di ratus tahun ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan merupakan Malayu dan Kedah dijadikan anggota kemaharajaan Sriwijaya.[2] Sesuai prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menduduki anggota selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, perihal jadinya ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan akbar akhir suatu peristiwa serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa merupakan Tarumanegara.[20] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Sesuai observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di ratus tahun ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tsb, Maharaja Dharmasetu melancarkan sebagian serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal ratus tahun ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, hingga raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada ratus tahun yang sama.[2] Di belakang ratus tahun ke-8 sebagian kerajaan di Jawa, selang lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di ratus tahun ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu dijadikan anggota kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga dijadikan penerus kerajaan. Beliau berkuasa pada periode 792 hingga 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melaksanakan ekspansi militer, tetapi lebih memilihkan pilihan untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, beliau membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang berakhir pada tahun 825.[2]

Agama

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, bersumber dari ratus tahun ke-7 hingga ke-8 masehi.

Untuk pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Selang lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melaksanakan lawatan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya dijadikan rumah untuk sarjana Buddha sehingga dijadikan pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dikemukakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang berupaya bisa agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[21] Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah dipakai di pesisir kerajaan. Selain itu segala sesuatu yang diajarkan Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga ikut berkembang di Sriwijaya. Menjelang belakang ratus tahun ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang bertindak dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[22]

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu selanjutnya disertai pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menduduki kepulauan Melayu menempuh perdagangan dan penaklukkan dari kurun ratus tahun ke-7 hingga ratus tahun ke-9, sehingga secara langsung ikut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta hukum budaya istiadatnya di Nusantara.

"...... banyak raja dan pimpinan yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam akhlak berpihak kepada yang benar. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang berupaya bisa dengan tekun dan mengamalkannya dengan berpihak kepada yang benar...... Jika seorang biarawan Cina bersedia pergi ke India untuk berupaya bisa Sabda, lebih berpihak kepada yang benar beliau tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami pengetahuannya sebelum dilanjutkan di India".

— Cerminan Sriwijaya menurut I Tsing.[4]

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur untuk bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga sebagian kerajaan yang semula merupakan anggota dari Sriwijaya, selanjutnya tumbuh dijadikan cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Berada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak pergi dan berdagang di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman pada tahun 718 dikabarkan tertarik untuk mempelajari Islam dan hukum budaya istiadat Arab,[24] sehingga mungkin kehidupan sosial Sriwijaya merupakan warga sosial yang di dalamnya terdapat warga Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat sebagian kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Damaskus, Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan supaya khalifah sudi mengirimkan ulama ke istana Sriwijaya.[25]

Budaya

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya lebih kurang ratus tahun ke-9 M.

Sesuai berbagai sumber sejarah, suatu warga yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi dunia pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Sebagian prasasti Siddhayatra ratus tahun ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati perihal jadinya penuh berkah merupakan peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini memanfaatkan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak ratus tahun ke-7, bahasa Melayu kuno telah dipakai di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan sebagian prasasti bercakap Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilaksanakan berbagai suku bangsa Nusantara dijadikan wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini dijadikan peralatan komunikasi untuk kaum pedagang. Sejak ketika itu, bahasa Melayu dijadikan lingua franca dan dipakai secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[26]

Meskipun dikata memiliki daya ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat selisih dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah ketika kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang bersumber dari masa Sriwijaya di Sumatera selang lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Sebagian arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang[27], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[28], Bidor, Perak[29] dan Chaiya,[30] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang dikata "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar ratus tahun ke-8 hingga ke-9).[31]

Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya dijadikan pengendali jalur perdagangan selang India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang menciptakan raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di semua Asia Tenggara. Dengan bertindak untuk entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan mendapat restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran selang Tiongkok dan India.

Karena gagasan itulah Sriwijaya mesti terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Kepentingan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan lebih kurangnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya merupakan sebagian bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Dipercakapkan dalam catatan sejarah Champa beradanya serangkaian serbuan tingkatan laut yang bersumber dari Jawa terhadap sebagian pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin tingkatan laut penyerbu yang dimaksud merupakan armada Sriwijaya, karena ketika itu wangsa Sailendra di Jawa merupakan anggota dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur merupakan menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara lebih kurang ratus tahun ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini merupakan untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda merupakan ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin merupakan jenis kapal yang dipakai armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menduduki kawasan pada kurun ratus tahun ke-7 hingga ke-13 masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan selanjutnya dari kronik Tiongkok dipercakapkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[34]

Pada paruh pertama ratus tahun ke-10, di selang kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya mendapat keuntungan dari perdagangan ini.

Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari

Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berlanjut seiring dengan perluasan Sriwijaya untuk suatu kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi untuk pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Untuk kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya banyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai akbar yang dapat dijangkau armada perahu tingkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang bersumber dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah Barat di seberang Samudra Hindia.[35]

Suatu penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar merupakan orang Indonesia. Para peneliti meyakini mereka merupakan pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.[36] Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200 tahun yang lalu lebih kurang kurun tahun 830 M. Sesuai penelitian DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1200 tahun yang lalu.[37] Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sansekerta dengan modifikasi linguistik menempuh bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan suatu petuah bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang bersumber dari Sriwijaya.[38] Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.[39]

Hubungan dengan wangsa Sailendra

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Candi Borobudur, pembangunannya dihabiskan pada masa Samaratungga

Munculnya keterkaitan selang Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena beradanya nama Śailendravamśa pada sebagian prasasti di selangnya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan hingga sekarang.[14]

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya bersumber dari Kalinga di selatan India.[40] Selanjutnya Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[41] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini bersumber dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[42] selanjutnya dikaitkan dengan sebagian prasasti lain di Jawa yang bercakap Melayu Kuna di selangnya prasasti Sojomerto.[43]

Hubungan dengan daya regional

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Untuk memperkuat jabatannya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[45]

Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan segala sesuatu yang diajarkan dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:

" Dari Raja sekalian para raja yang juga merupakan keturunan ribuan raja, yang isterinya pun merupakan cucu dari ribuan raja, yang kebun hewannya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri atas dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Diri sendiri telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa untuk tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan segala sesuatu yang diajarkan Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."

— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[34]

Perihal jadinya ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berfaedah bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang diketahui Sriwijaya ketika itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan kawasan jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, untuk ibu kota kerajaan tsb. Pengaruh Sriwijaya nampak pada kontruksi pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi dijadikan tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti dipercakapkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra menjalin persekutuan menempuh hubungan perkawinan dengan Wangsa Sailendra di Jawa. Pada kurun masa tertentu wangsa Sailendra untuk anggota mandala Sriwijaya mengambil kendali kekuasaan, dijadikan Maharaja Sriwijaya dan memerintah dari Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, merupakan Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akhir suatu peristiwa pertikaian suksesi singgasana Sailendra selang Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan selang Sriwijaya dan Medang memburuk.[46] Balaputra berkuasa di Palembang, dan permusuhan ini diwariskan hingga sebagian generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya untuk keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain beliau mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya dijadikan raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[47] Persaingan selang Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang selanjutnya dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari atas dorongan Sriwijaya.

Sriwijaya juga mengadakan komunikasi dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan suatu biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup berpihak kepada yang benar. Dari prasasti Leiden dipercakapkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun suatu vihara yang dikata dengan Vihara Culamanivarmma, namun dijadikan buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melaksanakan penyerangan pada ratus tahun ke-11. Selanjutnya hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang memohon dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan lebih kurang Vihara Culamanivarmma tsb. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah dijadikan anggota dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) untuk raja San-fo-ts'i, menolong perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini dikata dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan dikata dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]

Masa keemasan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada daya armada lautnya dalam menduduki alur pelayaran, jalur perdagangan, menduduki dan membangun sebagian kawasan strategis untuk pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[49]

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada ratus tahun ke-9 Sriwijaya telah melaksanakan kolonisasi di nyaris semua kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, selang lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[50] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya untuk pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang meladeni pasar Tiongkok, dan India.

Sesuai sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya dikata dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya merupakan suatu kerajaan akbar yang kaya raya, dengan tentara yang banyak sekali. Dipercakapkan kapal yang tercepat dalam masa dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi semua pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya merupakan kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan sebagian hasil bumi lainya.[51]

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam segi agraris. Ini disimpulkan dari seorang pakar dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.

Sriwijaya menduduki jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang ratus tahun ke-10, akan tetapi pada belakang ratus tahun ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh dijadikan daya bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song mengatakan Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menduduki Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta akbar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika akan pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlanjut lebih kurang tahun 990-an, merupakan selang tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tsb mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum lepas sama sekali dari bahaya. Beliau memohon kaisar Song supaya Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Beliau dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tsb merupakan Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara masa, namun selanjutnya pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan beradanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada berakhir gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menduduki ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan daya mandala Sriwijaya tersebar di sebagian bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun daya dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur tingkatan laut Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, beliau mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah berakhir dibangun suatu candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan supaya Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[53] (Candi Bungsu, salah satu anggota dari candi yang terletak di Muara Takus).[54]

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berupaya menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut bertindak dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan dipercakapkan suatu perihal jadinya Mahapralaya, merupakan perihal jadinya hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6]

Masa penurunan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Suatu lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Sesuai prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa masa itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama sebagian dekade berikutnya, semua imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[55] Hal ini dapat dikaitkan dengan beradanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[56]

Faktor lain kemunduran Sriwijaya merupakan faktor dunia. Karena beradanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan sebagian anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang lebih susut. Akibatnya, Kota Palembang lebih menjauh dari laut dan dijadikan tidak strategis. Akhir suatu peristiwa kapal dagang yang datang lebih susut, pajak susut dan memperlemah ekonomi dan jabatan Sriwijaya.

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan merupakan kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura dipercakapkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada ketika itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[58]

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah dijadikan anggota dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola dikata juga untuk raja San-fo-ts'i, yang selanjutnya mengirimkan utusan untuk menolong perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao dipercakapkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta akbar tsb menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Selanjutnya juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Sebagian kawasan jajahan melepaskan diri, hingga muncul Dharmasraya dan Pagaruyung untuk daya baru yang selanjutnya menduduki kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, hingga Jawa anggota barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta akbar pada Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta akbar tsb mengunjungi Cina.[59] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tsb.[59] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada ratus tahun ke-11.

Sesuai sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 kawasan bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun kawasan Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tsb, ternyata merupakan wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap mengatakan San-fo-tsi untuk kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah dipercakapkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim suatu ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan selanjutnya menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Perihal jadinya ini selanjutnya dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang kawasan jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Bentuk pemerintahan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Prasasti Telaga Batu

Warga Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi bentuk otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari sebagian prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[62]

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) untuk kawasan yang mesti diawasi. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap untuk kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah untuk warganya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti untuk Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan perlintasan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya dikata dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[63] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam bentuk pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain dipercakapkan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, dipercakapkan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang berada di zaman Sriwijaya.[20] Adapun, jabatan dan pekerjaan yang dipercakapkan tsb merupakan raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Selanjutnya terdapat juga Tuha an karakter wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana (pembuat pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi haji, dan hulu haji (peniaga, pimpinan, tukang cuci, budak raja).[20]

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi dijadikan dua. Seperti yang dikemukakan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][63] Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di selang anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi dijadikan dua.

Raja yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya[2][6]

Warisan sejarah

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan warga pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu susunan persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangung, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin merupakan bahasanya. Selama berabad-abad, daya ekononomi dan keperkasaan militernya telah bertindak akbar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini dijadikan bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi untuk penghubung (lingua franca) yang dipakai di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[65] Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan perlintasan untuk Bahasa Melayu untuk bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia untuk bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap dipakai hingga pada ratus tahun ke-14 M.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya untuk sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[67] Kegemilangan Sriwijaya telah dijadikan sumber kebanggaan nasional dan identitas kawasan, khususnya untuk penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah dijadikan inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlanjut untuk warga selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang sesuai pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah dipakai dan diabadikan untuk nama perlintasan di berbagai kota, dan nama ini juga dipakai oleh Universitas Sriwijaya bangunan tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Cairan (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Keseluruhan dikata demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertingkat "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[68][69]

Catatan bawah

  1. ^ Tuha an karakter wuruh juga bersifat pengurus perdagangan dan pertukangan. Tugas mereka selain itu merupakan menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang bertindak untuk pengurusnya .

Rujukan

  1. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  5. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  6. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  7. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  8. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. 
  9. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". In F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. pp. vol. I p. 149. 
  10. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012). "Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya Ditemukan di Sumatera Selatan". Detik. Retrieved 20 April 2012. 
  11. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan Sriwijaya, Sebagian Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatera Selatan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan.
  12. ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah hukum budaya istiadat Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  13. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  14. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  15. ^ George Coedès, Louis-Charles Damais, (1992), Sriwijaya: history, religion & language of an early Malay polity : collected studies, MBRAS, ISBN 9839961411.
  16. ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila budaya bangsa Indonesia:Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979413967X.
  17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979407408X
  18. ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-SEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. p. 86. ISBN 978-979-543-708-6. 
  19. ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Pertengahan Atas: Program Bahasa. Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2. Retrieved 20 April 2012. 
  20. ^ Cœdès, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X. 
  21. ^ Ahmad, H. Zainal Abidin (1979). Pengetahuan politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya hingga sekarang. Bulan Bintang. 
  22. ^ Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Ratus tahun XVII & XVIII. Jakarta: Mizan. 
  23. ^ Melayu Online: Bambang Budi Utomo
  24. ^ Bukit Siguntang
  25. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, Photograph and artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Budaya Jakarta, 9-11 November 2006
  26. ^ KaalaChaKra, Early Indian Influences in Southeast Asia
  27. ^ Bridgeman: Avalokitesvara figure from the Srivijaya Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze)
  28. ^ Srivijaya Art In Thailand
  29. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8. 
  30. ^ "History of Madagascar". Lonely Planet.com. Retrieved 2010-07-07. 
  31. ^ Iqbal, Muhammad (17 April 2012). "Penghuni Pertama Pulau Madagaskar Bersumber dari Kerajaan Sriwijaya". Detik. Retrieved 18 April 2012. 
  32. ^ "Madagascar Founded By Women". Discovery.com. Retrieved 2012-03-23. 
  33. ^ "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of The Royal Society B. Retrieved 2012-03-23. 
  34. ^ "Wanita Indonesia Nenek Moyang Penduduk Madagaskar". Yahoo News Indonesia. 21-03-2012. Retrieved 2012-03-23. 
  35. ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. XXXIII: 121–144. 
  36. ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva en Katāha". TBG. LXXVII: 317–487. 
  37. ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956). "Çriwijaya, de Çailendra-en de Sanjāyavança". BKI 114: 254–264. 
  38. ^ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old malay inscription at Sojomerto". MISI III: 241–251. 
  39. ^ O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
  40. ^ De Casparis. Prasasti Indonesia I. p. 110-111. 
  41. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  42. ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Referensi Utama. ISBN 979-22-1351-1. 
  43. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. pp. pages 77. 
  44. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE". www.eastwestcenter.org. p. 252. Retrieved 16 January 2013. 
  45. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  46. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  47. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
  48. ^ Kulke, H.; Kesavapany, K.; Sakhuja, V. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN 981-230-936-5. 
  49. ^ Suriansyah Ideham. (2007:17). "Kerajaan Nan Sarunai". Melayu online. Archived from the original on 25 August 2012. Retrieved 25 August 2012. 
  50. ^ a b c Munoz. Early Kingdoms. p. 165. 
  51. ^ Hirth, F.; Rockhill, W.W. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg. .
  52. ^ Kulke, H. (1993). "Kadātuan Śrīvijaya’—Empire or Kraton of Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de l’École Française d’Extreme Orient 80 (1): 159–180. 
  53. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  54. ^ Southeast Asia Digital Library: About Malay
  55. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. p. 9. ISBN 981-230-103-8. 
  56. ^ The new Golden Peninsula Games
  57. ^ Spectacular Opening of the 26th SEA GAMES in Palembang

Bacaan Lanjutan

  • D. G. E. Hall, A History of South-east Asia. London: Macmillan, 1955.
  • D. R. SarDesai. Southeast Asia: Past and Present. Boulder: Westview Press, 1997.
  • Lynda Norene Shaffer. Maritime Southeast Asia to 1500. London: ME Sharpe Armonk, 1996.
  • Stuart-Fox, Martin. A Short History of China and Southeast Asia: Tribute, Trade, and Influence. London: Allen and Unwin, 2003.
  • Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura:Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  • Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627. 
  • Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu [Sejarah dan Peradaban Bangsa Melayu] (in Melayu). Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-61-2155-X. 
  • Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (in Indonesia). Jakarta: KITLV bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-537-4. 
  • Sucipto (2009). In Suminto. Perkembangan Warga pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta Peningalannya (in Indonesia). Solo: Tiga Serangkai. ISBN 978-979-045-686-0. 

Tautan luar

  • (Indonesia) Kerajaan Sriwijaya di MelayuOnline.com
  • (Indonesia) Balai Arkeologi Palembang dan Sriwijaya Society
  • (Inggris) Sejarah Melayu, Buddhist Empires
  • (Inggris) Śrīwijaya: A Centre of Learning?

edunitas.com


Page 2

Sriwijaya (atau juga dikata Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan kawasan kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.[1][2] Dalam bahasa Sanskerta, sri berfaedah "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berfaedah "kemenangan" atau "kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal tentang keberadaan kerajaan ini bersumber dari ratus tahun ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa beliau mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang sangat tua tentang Sriwijaya juga berada pada ratus tahun ke-7, adalah prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap kawasan bawahannya mulai menyusut dikarenakan sebagian peperangan[2] di selangnya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa pada tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]

Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[7]

Catatan sejarah

Tidak terdapat catatan lebih lanjut tentang Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan diproduksi susunan kembali oleh sarjana asing. Tidak berada orang Indonesia modern yang mendengar tentang Sriwijaya hingga tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar bercakap Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan sebagian prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]

Selain berita-berita diatas tsb, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang suatu perahu kuno yang diperkirakan berada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.[10] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu dipakai justru buat jembatan. Tercatat berada 17 keping perahu yang terdiri dari anggota lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari anggota badan dan anggota buritan untuk meletakkan kendali.[10] Perahu ini diproduksi susunan dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang memanfaatkan tali ijuk. Cara ini sendiri diketahui dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang mengadakan komunikasi dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan peralatan kayu.[10]

Sriwijaya dijadikan simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan akbar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada ratus tahun ke-20, kedua kerajaan tsb dijadikan referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[8]

Sriwijaya dikata dengan berbagai jenis nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya dikata Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan gagasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang beradanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]

Lebih kurang tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melaksanakan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi selang Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), akuratnya di lebih kurang situs Karanganyar yang sekarang dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Argumen ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan susunan kontruksi cairan, adalah jaringan kanal, parit, kolam serta pulau hasil pekerjaan yang disusun rapi yang dipilihkan situs ini adalah hasil pekerjaan manusia. Kontruksi cairan ini terdiri atas kolam dan dua pulau bermodel bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah dijadikan pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.[12] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, selang Muara Sabak hingga ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tsb, jika Malayu pada kawasan tsb, beliau cendrung kepada argumen Moens,[13] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petuah arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu anggota dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, sesuai prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

Pembentukan dan pertumbuhan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang bersumber dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Belum banyak bukti fisik tentang Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini dijadikan pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sebagian pakar masih memperdebatkan kawasan yang dijadikan pusat pemerintahan Sriwijaya,[16] selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang dijadikan ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan kawasan pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[17][18]

Kemaharajaan Sriwijaya telah berada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para pakar berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Di ratus tahun ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan adalah Malayu dan Kedah dijadikan anggota kemaharajaan Sriwijaya.[2] Sesuai prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menduduki anggota selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, perihal acinya ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan akbar kesudahan suatu peristiwa serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[20] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Sesuai observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di ratus tahun ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tsb, Maharaja Dharmasetu melancarkan sebagian serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal ratus tahun ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, hingga raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada ratus tahun yang sama.[2] Di belakang ratus tahun ke-8 sebagian kerajaan di Jawa, selang lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di ratus tahun ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu dijadikan anggota kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga dijadikan penerus kerajaan. Beliau berkuasa pada periode 792 hingga 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melaksanakan ekspansi militer, tetapi lebih memilihkan pilihan untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, beliau membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang berakhir pada tahun 825.[2]

Agama

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, bersumber dari ratus tahun ke-7 hingga ke-8 masehi.

Untuk pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Selang lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melaksanakan lawatan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya dijadikan rumah untuk sarjana Buddha sehingga dijadikan pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dikemukakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang berupaya bisa agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[21] Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah dipakai di pesisir kerajaan. Selain itu petuah Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga ikut berkembang di Sriwijaya. Menjelang belakang ratus tahun ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang bertindak dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[22]

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu selanjutnya disertai pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menduduki kepulauan Melayu menempuh perdagangan dan penaklukkan dari kurun ratus tahun ke-7 hingga ratus tahun ke-9, sehingga secara langsung ikut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta hukum budaya istiadatnya di Nusantara.

"...... banyak raja dan pimpinan yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam akhlak berpihak kepada yang benar. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang berupaya bisa dengan tekun dan mengamalkannya dengan berpihak kepada yang benar...... Jika seorang biarawan Cina bersedia pergi ke India untuk berupaya bisa Sabda, lebih berpihak kepada yang benar beliau tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami pengetahuannya sebelum dilanjutkan di India".

— Cerminan Sriwijaya menurut I Tsing.[4]

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur untuk bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga sebagian kerajaan yang semula merupakan anggota dari Sriwijaya, selanjutnya tumbuh dijadikan cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Berada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak pergi dan berdagang di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman pada tahun 718 dikabarkan tertarik untuk mempelajari Islam dan hukum budaya istiadat Arab,[24] sehingga mungkin kehidupan sosial Sriwijaya adalah warga sosial yang di dalamnya terdapat warga Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat sebagian kali raja Sriwijaya bersurat ke khalifah Islam di Damaskus, Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan supaya khalifah sudi mengirimkan ulama ke istana Sriwijaya.[25]

Budaya

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya lebih kurang ratus tahun ke-9 M.

Sesuai berbagai sumber sejarah, suatu warga yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi dunia pikiran Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Sebagian prasasti Siddhayatra ratus tahun ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati perihal acinya penuh berkah adalah peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini memanfaatkan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak ratus tahun ke-7, bahasa Melayu kuno telah dipakai di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan sebagian prasasti bercakap Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilaksanakan berbagai suku bangsa Nusantara dijadikan wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini dijadikan peralatan komunikasi untuk kaum pedagang. Sejak ketika itu, bahasa Melayu dijadikan lingua franca dan dipakai secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[26]

Meskipun dikata memiliki daya ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat selisih dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah ketika kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang bersumber dari masa Sriwijaya di Sumatera selang lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Sebagian arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang[27], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[28], Bidor, Perak[29] dan Chaiya,[30] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang dikata "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar ratus tahun ke-8 hingga ke-9).[31]

Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya dijadikan pengendali jalur perdagangan selang India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang menciptakan raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya melakukan pembelian kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan bertindak untuk entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan memperoleh restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran selang Tiongkok dan India.

Karena gagasan itulah Sriwijaya mesti terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Kepentingan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan lebih kurangnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah sebagian bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diresap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Dipercakapkan dalam catatan sejarah Champa beradanya serangkaian serbuan tingkatan laut yang bersumber dari Jawa terhadap sebagian pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin tingkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena ketika itu wangsa Sailendra di Jawa adalah anggota dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur adalah menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara lebih kurang ratus tahun ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang dipakai armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menduduki kawasan pada kurun ratus tahun ke-7 hingga ke-13 masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan selanjutnya dari kronik Tiongkok dipercakapkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[34]

Pada paruh pertama ratus tahun ke-10, di selang kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya memperoleh keuntungan dari perdagangan ini.

Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari

Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berlanjut seiring dengan perluasan Sriwijaya untuk suatu kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi untuk pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Untuk kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya banyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai akbar yang dapat dijangkau armada perahu tingkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang bersumber dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah Barat di seberang Samudra Hindia.[35]

Suatu penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.[36] Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200 tahun yang lalu lebih kurang kurun tahun 830 M. Sesuai penelitian DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1200 tahun yang lalu.[37] Bahasa Malagasy berisi kata serapan dari bahasa Sansekerta dengan modifikasi linguistik menempuh bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan suatu petuah bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang bersumber dari Sriwijaya.[38] Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.[39]

Hubungan dengan wangsa Sailendra

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Candi Borobudur, pembangunannya dihabiskan pada masa Samaratungga

Munculnya keterkaitan selang Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena beradanya nama Śailendravamśa pada sebagian prasasti di selangnya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan hingga sekarang.[14]

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya bersumber dari Kalinga di selatan India.[40] Selanjutnya Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[41] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini bersumber dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[42] selanjutnya dikaitkan dengan sebagian prasasti lain di Jawa yang bercakap Melayu Kuna di selangnya prasasti Sojomerto.[43]

Hubungan dengan daya regional

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Untuk memperkuat jabatannya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[45]

Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan petuah dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:

" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun hewannya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Diri sendiri telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa untuk tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan petuah Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."

— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[34]

Perihal acinya ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berfaedah bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang diketahui Sriwijaya ketika itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan kawasan jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, untuk ibu kota kerajaan tsb. Pengaruh Sriwijaya nampak pada kontruksi pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi dijadikan tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti dipercakapkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra menjalin persekutuan menempuh hubungan perkawinan dengan Wangsa Sailendra di Jawa. Pada kurun saat tertentu wangsa Sailendra untuk anggota mandala Sriwijaya mengambil kendali kekuasaan, dijadikan Maharaja Sriwijaya dan memerintah dari Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, adalah Sumatera dan Jawa. Akan tetapi kesudahan suatu peristiwa pertikaian suksesi singgasana Sailendra selang Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan selang Sriwijaya dan Medang memburuk.[46] Balaputra berkuasa di Palembang, dan permusuhan ini diwariskan hingga sebagian generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya untuk keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain beliau mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya dijadikan raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[47] Persaingan selang Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, aksi yang selanjutnya dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari atas dorongan Sriwijaya.

Sriwijaya juga mengadakan komunikasi dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan suatu biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup berpihak kepada yang benar. Dari prasasti Leiden dipercakapkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun suatu vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun dijadikan buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melaksanakan penyerangan pada ratus tahun ke-11. Selanjutnya hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang memohon dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan lebih kurang Vihara Culamanivarmma tsb. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah dijadikan anggota dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) untuk raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini dikata dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan dikata dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]

Masa keemasan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada daya armada lautnya dalam menduduki alur pelayaran, jalur perdagangan, menduduki dan membangun sebagian kawasan strategis untuk pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[49]

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada ratus tahun ke-9 Sriwijaya telah melaksanakan kolonisasi di nyaris seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, selang lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[50] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya untuk pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang meladeni pasar Tiongkok, dan India.

Sesuai sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya dikata dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah suatu kerajaan akbar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Dipercakapkan kapal yang tercepat dalam saat dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan sebagian hasil bumi lainya.[51]

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam segi agraris. Ini disimpulkan dari seorang pakar dari Bangsa Persia yang bernama Sisa dari pembakaran Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Sisa dari pembakaran Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.

Sriwijaya menduduki jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang ratus tahun ke-10, akan tetapi pada belakang ratus tahun ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh dijadikan daya bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menduduki Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta akbar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika akan pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlanjut lebih kurang tahun 990-an, adalah selang tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tsb mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum lepas sama sekali dari bahaya. Beliau memohon kaisar Song supaya Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Beliau dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tsb adalah Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil menduduki Palembang pada tahun 992 untuk sementara saat, namun selanjutnya pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan beradanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada berakhir gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menduduki ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan daya mandala Sriwijaya tersebar di sebagian bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun daya dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur tingkatan laut Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara menduduki hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, beliau mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah berakhir dibangun suatu candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan supaya Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[53] (Candi Bungsu, salah satu anggota dari candi yang terletak di Muara Takus).[54]

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berupaya menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut bertindak dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan dipercakapkan suatu perihal acinya Mahapralaya, adalah perihal acinya hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6]

Masa penurunan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Suatu lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Sesuai prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa saat itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama sebagian dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[55] Hal ini dapat dikaitkan dengan beradanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[56]

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor dunia. Karena beradanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan sebagian anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang lebih susut. Akibatnya, Kota Palembang lebih menjauh dari laut dan dijadikan tidak strategis. Kesudahan suatu peristiwa kapal dagang yang datang lebih susut, pajak susut dan memperlemah ekonomi dan jabatan Sriwijaya.

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura dipercakapkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada ketika itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[58]

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah dijadikan anggota dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola dikata juga untuk raja San-fo-ts'i, yang selanjutnya mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao dipercakapkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta akbar tsb menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Selanjutnya juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Sebagian kawasan jajahan melepaskan diri, hingga muncul Dharmasraya dan Pagaruyung untuk daya baru yang selanjutnya menduduki kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, hingga Jawa anggota barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta akbar pada Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta akbar tsb mengunjungi Cina.[59] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tsb.[59] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada ratus tahun ke-11.

Sesuai sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 kawasan bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun kawasan Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tsb, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi untuk kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah dipercakapkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim suatu ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan selanjutnya menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Perihal acinya ini selanjutnya dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang kawasan jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Bentuk pemerintahan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Prasasti Telaga Batu

Warga Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi bentuk otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari sebagian prasasti yang berisi informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[62]

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) untuk kawasan yang mesti diawasi. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap untuk kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah untuk warganya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti untuk Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang bersamaan batasnya dengan vanua, yang terhubung dengan perlintasan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya dikata dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[63] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam bentuk pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain dipercakapkan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, dipercakapkan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang berada di zaman Sriwijaya.[20] Adapun, jabatan dan pekerjaan yang dipercakapkan tsb adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Selanjutnya terdapat juga Tuha an karakter wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana (pembuat pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi haji, dan hulu haji (peniaga, pimpinan, tukang cuci, budak raja).[20]

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi dijadikan dua. Seperti yang dikemukakan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][63] Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di selang anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi dijadikan dua.

Raja yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya[2][6]

Warisan sejarah

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan warga pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu susunan persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangung, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, daya ekononomi dan keperkasaan militernya telah bertindak akbar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini dijadikan bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi untuk penghubung (lingua franca) yang dipakai di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[65] Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan perlintasan untuk Bahasa Melayu untuk bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia untuk bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap dipakai hingga pada ratus tahun ke-14 M.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya untuk sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[67] Kegemilangan Sriwijaya telah dijadikan sumber kebanggaan nasional dan identitas kawasan, khususnya untuk penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah dijadikan inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlanjut untuk warga selatan Thailand yang menciptakan kembali tarian Sevichai yang sesuai pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah dipakai dan diabadikan untuk nama perlintasan di berbagai kota, dan nama ini juga dipakai oleh Universitas Sriwijaya yang dibangun tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Cairan (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Keseluruhan dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertingkat "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[68][69]

Catatan bawah

  1. ^ Tuha an karakter wuruh juga bersifat pengurus perdagangan dan pertukangan. Tugas mereka selain itu adalah menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang bertindak untuk pengurusnya .

Rujukan

  1. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  5. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  6. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  7. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  8. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. 
  9. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". In F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. pp. vol. I p. 149. 
  10. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012). "Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya Ditemukan di Sumatera Selatan". Detik. Retrieved 20 April 2012. 
  11. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan Sriwijaya, Sebagian Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatera Selatan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan.
  12. ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah hukum budaya istiadat Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  13. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  14. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  15. ^ George Coedès, Louis-Charles Damais, (1992), Sriwijaya: history, religion & language of an early Malay polity : collected studies, MBRAS, ISBN 9839961411.
  16. ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila budaya bangsa Indonesia:Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979413967X.
  17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979407408X
  18. ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-SEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. p. 86. ISBN 978-979-543-708-6. 
  19. ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Pertengahan Atas: Program Bahasa. Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2. Retrieved 20 April 2012. 
  20. ^ Cœdès, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X. 
  21. ^ Ahmad, H. Zainal Abidin (1979). Pengetahuan politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya hingga sekarang. Bulan Bintang. 
  22. ^ Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Ratus tahun XVII & XVIII. Jakarta: Mizan. 
  23. ^ Melayu Online: Bambang Budi Utomo
  24. ^ Bukit Siguntang
  25. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, Photograph and artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Budaya Jakarta, 9-11 November 2006
  26. ^ KaalaChaKra, Early Indian Influences in Southeast Asia
  27. ^ Bridgeman: Avalokitesvara figure from the Srivijaya Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze)
  28. ^ Srivijaya Art In Thailand
  29. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8. 
  30. ^ "History of Madagascar". Lonely Planet.com. Retrieved 2010-07-07. 
  31. ^ Iqbal, Muhammad (17 April 2012). "Penghuni Pertama Pulau Madagaskar Bersumber dari Kerajaan Sriwijaya". Detik. Retrieved 18 April 2012. 
  32. ^ "Madagascar Founded By Women". Discovery.com. Retrieved 2012-03-23. 
  33. ^ "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of The Royal Society B. Retrieved 2012-03-23. 
  34. ^ "Wanita Indonesia Nenek Moyang Penduduk Madagaskar". Yahoo News Indonesia. 21-03-2012. Retrieved 2012-03-23. 
  35. ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. XXXIII: 121–144. 
  36. ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva en Katāha". TBG. LXXVII: 317–487. 
  37. ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956). "Çriwijaya, de Çailendra-en de Sanjāyavança". BKI 114: 254–264. 
  38. ^ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old malay inscription at Sojomerto". MISI III: 241–251. 
  39. ^ O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
  40. ^ De Casparis. Prasasti Indonesia I. p. 110-111. 
  41. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  42. ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Referensi Utama. ISBN 979-22-1351-1. 
  43. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. pp. pages 77. 
  44. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE". www.eastwestcenter.org. p. 252. Retrieved 16 January 2013. 
  45. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  46. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  47. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
  48. ^ Kulke, H.; Kesavapany, K.; Sakhuja, V. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN 981-230-936-5. 
  49. ^ Suriansyah Ideham. (2007:17). "Kerajaan Nan Sarunai". Melayu online. Archived from the original on 25 August 2012. Retrieved 25 August 2012. 
  50. ^ a b c Munoz. Early Kingdoms. p. 165. 
  51. ^ Hirth, F.; Rockhill, W.W. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg. .
  52. ^ Kulke, H. (1993). "Kadātuan Śrīvijaya’—Empire or Kraton of Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de l’École Française d’Extreme Orient 80 (1): 159–180. 
  53. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  54. ^ Southeast Asia Digital Library: About Malay
  55. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. p. 9. ISBN 981-230-103-8. 
  56. ^ The new Golden Peninsula Games
  57. ^ Spectacular Opening of the 26th SEA GAMES in Palembang

Bacaan Lanjutan

  • D. G. E. Hall, A History of South-east Asia. London: Macmillan, 1955.
  • D. R. SarDesai. Southeast Asia: Past and Present. Boulder: Westview Press, 1997.
  • Lynda Norene Shaffer. Maritime Southeast Asia to 1500. London: ME Sharpe Armonk, 1996.
  • Stuart-Fox, Martin. A Short History of China and Southeast Asia: Tribute, Trade, and Influence. London: Allen and Unwin, 2003.
  • Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura:Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  • Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627. 
  • Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu [Sejarah dan Peradaban Bangsa Melayu] (in Melayu). Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-61-2155-X. 
  • Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (in Indonesia). Jakarta: KITLV bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-537-4. 
  • Sucipto (2009). In Suminto. Perkembangan Warga pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta Peningalannya (in Indonesia). Solo: Tiga Serangkai. ISBN 978-979-045-686-0. 

Pranala luar

  • (Indonesia) Kerajaan Sriwijaya di MelayuOnline.com
  • (Indonesia) Balai Arkeologi Palembang dan Sriwijaya Society
  • (Inggris) Sejarah Melayu, Buddhist Empires
  • (Inggris) Śrīwijaya: A Centre of Learning?

edunitas.com


Page 3

Sriwijaya (atau juga dikata Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.[1][2] Dalam bahasa Sanskerta, sri berfaedah "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berfaedah "kemenangan" atau "kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari ratus tahun ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa beliau mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang sangat tua mengenai Sriwijaya juga berada pada ratus tahun ke-7, adalah prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan sebagian peperangan[2] di selangnya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa pada tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]

Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[7]

Catatan sejarah

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibuat susunan kembali oleh sarjana asing. Tidak berada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya hingga tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar bercakap Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan sebagian prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]

Selain berita-berita diatas tsb, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan berada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.[10] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu dipakai justru buat jembatan. Tercatat berada 17 keping perahu yang terdiri dari anggota lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari anggota badan dan anggota buritan untuk menempatkan kemudi.[10] Perahu ini dibuat susunan dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang mengadakan komunikasi dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan peralatan kayu.[10]

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan akbar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada ratus tahun ke-20, kedua kerajaan tsb menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[8]

Sriwijaya dikata dengan berbagai jenis nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya dikata Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan gagasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang beradanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]

Lebih kurang tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melaksanakan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi selang Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), akuratnya di lebih kurang situs Karanganyar yang sekarang menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Argumen ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan susunan kontruksi cairan, adalah jaringan kanal, parit, kolam serta pulau hasil pekerjaan yang disusun rapi yang ditentukan situs ini adalah hasil pekerjaan manusia. Kontruksi cairan ini terdiri atas kolam dan dua pulau bermodel bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.[12] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, selang Muara Sabak hingga ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tsb, jika Malayu pada kawasan tsb, beliau cendrung kepada argumen Moens,[13] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petuah arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu anggota dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, sesuai prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

Pembentukan dan pertumbuhan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sebagian pakar masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,[16] selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[17][18]

Kemaharajaan Sriwijaya telah berada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para pakar berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Di ratus tahun ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan adalah Malayu dan Kedah menjadi anggota kemaharajaan Sriwijaya.[2] Sesuai prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai anggota selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan akbar kesudahan suatu peristiwa serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[20] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Sesuai observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di ratus tahun ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tsb, Maharaja Dharmasetu melancarkan sebagian serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal ratus tahun ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, hingga raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada ratus tahun yang sama.[2] Di belakang ratus tahun ke-8 sebagian kerajaan di Jawa, selang lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di ratus tahun ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi anggota kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Beliau berkuasa pada periode 792 hingga 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melaksanakan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, beliau membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang beres pada tahun 825.[2]

Agama

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, berasal dari ratus tahun ke-7 hingga ke-8 masehi.

Untuk pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Selang lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melaksanakan lawatan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dikemukakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang berusaha bisa agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[21] Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah dipakai di pesisir kerajaan. Selain itu petuah Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga ikut berkembang di Sriwijaya. Menjelang belakang ratus tahun ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[22]

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu selanjutnya disertai pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu menempuh perdagangan dan penaklukkan dari kurun ratus tahun ke-7 hingga ratus tahun ke-9, sehingga secara langsung ikut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

"...... banyak raja dan pimpinan yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam budi pekerti baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang berusaha bisa dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik...... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk berusaha bisa Sabda, lebih baik beliau tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".

— Cerminan Sriwijaya menurut I Tsing.[4]

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur untuk bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga sebagian kerajaan yang semula merupakan anggota dari Sriwijaya, selanjutnya tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Berada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak pergi dan berdagang di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman pada tahun 718 dikabarkan tertarik untuk mempelajari Islam dan kebudayaan Arab,[24] sehingga mungkin kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat sebagian kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Damaskus, Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan supaya khalifah sudi mengirimkan ulama ke istana Sriwijaya.[25]

Budaya

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya lebih kurang ratus tahun ke-9 M.

Sesuai berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi dunia akal Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Sebagian prasasti Siddhayatra ratus tahun ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah adalah peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak ratus tahun ke-7, bahasa Melayu kuno telah dipakai di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan sebagian prasasti bercakap Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilaksanakan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi peralatan komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak ketika itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan dipakai secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[26]

Meskipun dikata memiliki daya ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah ketika kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera selang lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Sebagian arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang[27], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[28], Bidor, Perak[29] dan Chaiya,[30] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang dikata "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar ratus tahun ke-8 hingga ke-9).[31]

Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan selang India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan untuk entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan memperoleh restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran selang Tiongkok dan India.

Karena gagasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan lebih kurangnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah sebagian bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa beradanya serangkaian serbuan tingkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap sebagian pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin tingkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena ketika itu wangsa Sailendra di Jawa adalah anggota dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur adalah menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara lebih kurang ratus tahun ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang dipakai armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun ratus tahun ke-7 hingga ke-13 masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan selanjutnya dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[34]

Pada paruh pertama ratus tahun ke-10, di selang kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya memperoleh keuntungan dari perdagangan ini.

Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari

Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berlanjut seiring dengan perluasan Sriwijaya untuk sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi untuk pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Untuk kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai akbar yang dapat dijangkau armada perahu tingkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah Barat di seberang Samudra Hindia.[35]

Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.[36] Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200 tahun yang lalu lebih kurang kurun tahun 830 M. Sesuai penelitian DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1200 tahun yang lalu.[37] Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sansekerta dengan modifikasi linguistik menempuh bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah petuah bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya.[38] Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.[39]

Hubungan dengan wangsa Sailendra

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Candi Borobudur, pembangunannya dihabiskan pada masa Samaratungga

Munculnya keterkaitan selang Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena beradanya nama Śailendravamśa pada sebagian prasasti di selangnya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan hingga sekarang.[14]

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[40] Selanjutnya Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[41] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[42] selanjutnya dikaitkan dengan sebagian prasasti lain di Jawa yang bercakap Melayu Kuna di selangnya prasasti Sojomerto.[43]

Hubungan dengan daya regional

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[45]

Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan petuah dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:

" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Diri sendiri telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa untuk tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan petuah Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."

— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[34]

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berfaedah bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya ketika itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, untuk ibu kota kerajaan tsb. Pengaruh Sriwijaya nampak pada kontruksi pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra menjalin persekutuan menempuh hubungan perkawinan dengan Wangsa Sailendra di Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra untuk anggota mandala Sriwijaya mengambil kendali kekuasaan, menjadi Maharaja Sriwijaya dan memerintah dari Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, adalah Sumatera dan Jawa. Akan tetapi kesudahan suatu peristiwa pertikaian suksesi singgasana Sailendra selang Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan selang Sriwijaya dan Medang memburuk.[46] Balaputra berkuasa di Palembang, dan permusuhan ini diwariskan hingga sebagian generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya untuk keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain beliau mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[47] Persaingan selang Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, aksi yang selanjutnya dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari atas dorongan Sriwijaya.

Sriwijaya juga mengadakan komunikasi dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melaksanakan penyerangan pada ratus tahun ke-11. Selanjutnya hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang memohon dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan lebih kurang Vihara Culamanivarmma tsb. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi anggota dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) untuk raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini dikata dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan dikata dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]

Masa keemasan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada daya armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun sebagian kawasan strategis untuk pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[49]

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada ratus tahun ke-9 Sriwijaya telah melaksanakan kolonisasi di nyaris seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, selang lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[50] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya untuk pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang meladeni pasar Tiongkok, dan India.

Sesuai sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya dikata dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan akbar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan sebagian hasil bumi lainya.[51]

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam segi agraris. Ini disimpulkan dari seorang pakar dari Bangsa Persia yang bernama Sisa dari pembakaran Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Sisa dari pembakaran Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang ratus tahun ke-10, akan tetapi pada belakang ratus tahun ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi daya bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta akbar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika akan pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlanjut lebih kurang tahun 990-an, adalah selang tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tsb mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum lepas sama sekali dari bahaya. Beliau memohon kaisar Song supaya Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Beliau dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tsb adalah Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun selanjutnya pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan beradanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada berakhir gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan daya mandala Sriwijaya tersebar di sebagian bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun daya dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur tingkatan laut Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, beliau mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah beres dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan supaya Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[53] (Candi Bungsu, salah satu anggota dari candi yang terletak di Muara Takus).[54]

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6]

Masa penurunan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Sesuai prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama sebagian dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[55] Hal ini dapat dikaitkan dengan beradanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[56]

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor dunia. Karena beradanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan sebagian anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang lebih susut. Akibatnya, Kota Palembang lebih menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Kesudahan suatu peristiwa kapal dagang yang datang lebih susut, pajak susut dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada ketika itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[58]

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi anggota dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola dikata juga untuk raja San-fo-ts'i, yang selanjutnya mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta akbar tsb menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Selanjutnya juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Sebagian daerah taklukan melepaskan diri, hingga muncul Dharmasraya dan Pagaruyung untuk daya baru yang selanjutnya menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, hingga Jawa anggota barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta akbar pada Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta akbar tsb mengunjungi Cina.[59] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tsb.[59] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada ratus tahun ke-11.

Sesuai sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tsb, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi untuk kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan selanjutnya menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini selanjutnya dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Bentuk pemerintahan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Prasasti Telaga Batu

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi bentuk otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari sebagian prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[62]

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) untuk kawasan yang mesti diawasi. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap untuk kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang bersamaan batasnya dengan vanua, yang terhubung dengan perlintasan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya dikata dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[63] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam bentuk pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain dikemukakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, dikemukakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang berada di zaman Sriwijaya.[20] Adapun, jabatan dan pekerjaan yang dikemukakan tsb adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Selanjutnya terdapat juga Tuha an karakter wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana (pembuat pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi haji, dan hulu haji (peniaga, pimpinan, tukang cuci, budak raja).[20]

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang dikemukakan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][63] Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di selang anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.

Raja yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya[2][6]

TahunNama RajaIbukotaPrasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
671Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa
Srivijaya

Shih-li-fo-shih

Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa

Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah

702Sri Indrawarman

Shih-li-t-'o-pa-mo

Sriwijaya

Shih-li-fo-shih

Utusan ke Tiongkok 702-716, 724

Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

728Rudra Vikraman

Lieou-t'eng-wei-kong

Sriwijaya

Shih-li-fo-shih

Utusan ke Tiongkok 728-742
743-774  Belum berada berita pada periode ini
775Sri MaharajaSriwijayaPrasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja
  Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta)Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya
778Dharanindra atau
Rakai Panangkaran
JawaPrasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan

Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan

782Samaragrawira atau
Rakai Warak
JawaPrasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907
792Samaratungga atau
Rakai Garung
JawaPrasasti Karang Tengah tahun 824,

825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur

840  Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan
856BalaputradewaSuwarnadwipaKehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa

Prasasti Nalanda tahun 860, India

861-959  Belum berada berita pada periode ini
960Sri Udayaditya Warmadewa

Se-li-hou-ta-hia-li-tan

Sriwijaya

San-fo-ts'i

Utusan ke Tiongkok 960, & 962
980  Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji)
988Sri Cudamani Warmadewa

Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa

Sriwijaya

Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i

990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,

Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama
cheng tien wan shou

1008Sri Mara-Vijayottunggawarman

Se-li-ma-la-pi

San-fo-ts'i

Kataha

Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008
1017  Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan
1025Sangrama-VijayottunggawarmanSriwijaya

Kadaram

Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan

Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India

1030  Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel
1079  Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
1082  Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088
1089-1177  Belum berada berita
1178  Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i
1183Srimat Trailokyaraja Maulibhusana WarmadewaDharmasrayaDibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand

Warisan sejarah

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu susunan persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangung, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, daya ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan akbar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi untuk penghubung (lingua franca) yang dipakai di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[65] Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan perlintasan bagi Bahasa Melayu untuk bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia untuk bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap dipakai hingga pada ratus tahun ke-14 M.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya untuk sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[67] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlanjut bagi masyarakat selatan Thailand yang membuat kembali tarian Sevichai yang sesuai pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah dipakai dan diabadikan untuk nama perlintasan di berbagai kota, dan nama ini juga dipakai oleh Universitas Sriwijaya yang dibangun tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Cairan (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertingkat "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[68][69]

Catatan bawah

  1. ^ Tuha an karakter wuruh juga bersifat pengurus perdagangan dan pertukangan. Tugas mereka selain itu adalah menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang bertindak untuk pengurusnya .

Rujukan

  1. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  5. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  6. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  7. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  8. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. 
  9. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". In F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. pp. vol. I p. 149. 
  10. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012). "Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya Ditemukan di Sumatera Selatan". Detik. Retrieved 20 April 2012. 
  11. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan Sriwijaya, Sebagian Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatera Selatan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan.
  12. ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  13. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  14. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  15. ^ George Coedès, Louis-Charles Damais, (1992), Sriwijaya: history, religion & language of an early Malay polity : collected studies, MBRAS, ISBN 9839961411.
  16. ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila budaya bangsa Indonesia:Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979413967X.
  17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979407408X
  18. ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-SEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. p. 86. ISBN 978-979-543-708-6. 
  19. ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Pertengahan Atas: Program Bahasa. Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2. Retrieved 20 April 2012. 
  20. ^ Cœdès, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X. 
  21. ^ Ahmad, H. Zainal Abidin (1979). Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya hingga sekarang. Bulan Bintang. 
  22. ^ Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Ratus tahun XVII & XVIII. Jakarta: Mizan. 
  23. ^ Melayu Online: Bambang Budi Utomo
  24. ^ Bukit Siguntang
  25. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, Photograph and artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Budaya Jakarta, 9-11 November 2006
  26. ^ KaalaChaKra, Early Indian Influences in Southeast Asia
  27. ^ Bridgeman: Avalokitesvara figure from the Srivijaya Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze)
  28. ^ Srivijaya Art In Thailand
  29. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8. 
  30. ^ "History of Madagascar". Lonely Planet.com. Retrieved 2010-07-07. 
  31. ^ Iqbal, Muhammad (17 April 2012). "Penghuni Pertama Pulau Madagaskar Berasal dari Kerajaan Sriwijaya". Detik. Retrieved 18 April 2012. 
  32. ^ "Madagascar Founded By Women". Discovery.com. Retrieved 2012-03-23. 
  33. ^ "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of The Royal Society B. Retrieved 2012-03-23. 
  34. ^ "Wanita Indonesia Nenek Moyang Penduduk Madagaskar". Yahoo News Indonesia. 21-03-2012. Retrieved 2012-03-23. 
  35. ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. XXXIII: 121–144. 
  36. ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva en Katāha". TBG. LXXVII: 317–487. 
  37. ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956). "Çriwijaya, de Çailendra-en de Sanjāyavança". BKI 114: 254–264. 
  38. ^ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old malay inscription at Sojomerto". MISI III: 241–251. 
  39. ^ O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
  40. ^ De Casparis. Prasasti Indonesia I. p. 110-111. 
  41. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  42. ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Referensi Utama. ISBN 979-22-1351-1. 
  43. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. pp. pages 77. 
  44. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE". www.eastwestcenter.org. p. 252. Retrieved 16 January 2013. 
  45. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  46. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  47. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
  48. ^ Kulke, H.; Kesavapany, K.; Sakhuja, V. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN 981-230-936-5. 
  49. ^ Suriansyah Ideham. (2007:17). "Kerajaan Nan Sarunai". Melayu online. Archived from the original on 25 August 2012. Retrieved 25 August 2012. 
  50. ^ a b c Munoz. Early Kingdoms. p. 165. 
  51. ^ Hirth, F.; Rockhill, W.W. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg. .
  52. ^ Kulke, H. (1993). "Kadātuan Śrīvijaya’—Empire or Kraton of Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de l’École Française d’Extreme Orient 80 (1): 159–180. 
  53. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  54. ^ Southeast Asia Digital Library: About Malay
  55. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. p. 9. ISBN 981-230-103-8. 
  56. ^ The new Golden Peninsula Games
  57. ^ Spectacular Opening of the 26th SEA GAMES in Palembang

Bacaan Lanjutan

  • D. G. E. Hall, A History of South-east Asia. London: Macmillan, 1955.
  • D. R. SarDesai. Southeast Asia: Past and Present. Boulder: Westview Press, 1997.
  • Lynda Norene Shaffer. Maritime Southeast Asia to 1500. London: ME Sharpe Armonk, 1996.
  • Stuart-Fox, Martin. A Short History of China and Southeast Asia: Tribute, Trade, and Influence. London: Allen and Unwin, 2003.
  • Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura:Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  • Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627. 
  • Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu [Sejarah dan Peradaban Bangsa Melayu] (in Melayu). Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-61-2155-X. 
  • Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (in Indonesia). Jakarta: KITLV bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-537-4. 
  • Sucipto (2009). In Suminto. Perkembangan Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta Peningalannya (in Indonesia). Solo: Tiga Serangkai. ISBN 978-979-045-686-0. 

Pranala luar

  • (Indonesia) Kerajaan Sriwijaya di MelayuOnline.com
  • (Indonesia) Balai Arkeologi Palembang dan Sriwijaya Society
  • (Inggris) Sejarah Melayu, Buddhist Empires
  • (Inggris) Śrīwijaya: A Centre of Learning?

edunitas.com


Page 4

Sriwijaya (atau juga dikata Srivijaya; Thai: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.[1][2] Dalam bahasa Sanskerta, sri berfaedah "bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berfaedah "kemenangan" atau "kejayaan",[2] maka nama Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari ratus tahun ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa beliau mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan.[3][4] Selanjutnya prasasti yang sangat tua mengenai Sriwijaya juga berada pada ratus tahun ke-7, adalah prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682.[5] Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan sebagian peperangan[2] di selangnya serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa pada tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Koromandel, selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya di bawah kendali kerajaan Dharmasraya.[6]

Setelah jatuh, kerajaan ini terlupakan dan keberadaannya baru diketahui kembali lewat publikasi tahun 1918 dari sejarawan Perancis George Cœdès dari École française d'Extrême-Orient.[7]

Catatan sejarah

Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibuat susunan kembali oleh sarjana asing. Tidak berada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya hingga tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar bercakap Belanda dan Indonesia.[8] Coedès menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja", dan sebagian prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.[9]

Selain berita-berita diatas tsb, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan berada sejak masa awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan.[10] Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu dipakai justru buat jembatan. Tercatat berada 17 keping perahu yang terdiri dari anggota lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari anggota badan dan anggota buritan untuk menempatkan kemudi.[10] Perahu ini dibuat susunan dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang mengadakan komunikasi dengan temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan peralatan kayu.[10]

Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan akbar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada ratus tahun ke-20, kedua kerajaan tsb menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.[8]

Sriwijaya dikata dengan berbagai jenis nama. Orang Tionghoa menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya dikata Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan gagasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan.[2] Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang beradanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya.[6]

Lebih kurang tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melaksanakan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi selang Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), akuratnya di lebih kurang situs Karanganyar yang sekarang menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.[2] Argumen ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan susunan kontruksi cairan, adalah jaringan kanal, parit, kolam serta pulau hasil pekerjaan yang disusun rapi yang ditentukan situs ini adalah hasil pekerjaan manusia. Kontruksi cairan ini terdiri atas kolam dan dua pulau bermodel bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektar. Di kawasan ini ditemukan banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia.[12] Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, selang Muara Sabak hingga ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang),[6] dengan catatan Malayu tidak di kawasan tsb, jika Malayu pada kawasan tsb, beliau cendrung kepada argumen Moens,[13] yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petuah arah perjalanan dalam catatan I Tsing,[14] serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu anggota dari candi yang terletak di Muara Takus).[15] Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I, sesuai prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).[6]

Pembentukan dan pertumbuhan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Reruntuhan Wat (Candi) Kaew yang berasal dari zaman Sriwijaya di Chaiya, Thailand Selatan.

Belum banyak bukti fisik mengenai Sriwijaya yang dapat ditemukan.[8] Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari, namun kerajaan ini tidak memperluas kekuasaannya di luar wilayah kepulauan Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar sejauh 3.300 mil di barat. Sebagian pakar masih memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Sriwijaya,[16] selain itu kemungkinan kerajaan ini biasa memindahkan pusat pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara langsung oleh penguasa, sedangkan daerah pendukungnya diperintah oleh datu setempat.[17][18]

Kemaharajaan Sriwijaya telah berada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para pakar berpendapat bahwa prasasti ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Di ratus tahun ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan adalah Malayu dan Kedah menjadi anggota kemaharajaan Sriwijaya.[2] Sesuai prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai anggota selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan akbar kesudahan suatu peristiwa serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara.[20] Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Ekspansi kerajaan ini ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan Sriwijaya mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Sesuai observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Thailand dan Kamboja. Di ratus tahun ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tsb, Maharaja Dharmasetu melancarkan sebagian serangan ke kota-kota pantai di Indochina. Kota Indrapura di tepi sungai Mekong, di awal ratus tahun ke-8 berada di bawah kendali Sriwijaya. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, hingga raja Khmer Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya pada ratus tahun yang sama.[2] Di belakang ratus tahun ke-8 sebagian kerajaan di Jawa, selang lain Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan, pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa disana. Di ratus tahun ini pula, Langkasuka di semenanjung Melayu menjadi anggota kerajaan.[2] Di masa berikutnya, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di sebelah utara Langkasuka, juga berada di bawah pengaruh Sriwijaya.

Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Beliau berkuasa pada periode 792 hingga 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis, Samaratungga tidak melaksanakan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, beliau membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang beres pada tahun 825.[2]

Agama

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca Buddha dalam langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situs Bukit Seguntang, Palembang, berasal dari ratus tahun ke-7 hingga ke-8 masehi.

Untuk pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Selang lain pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang melaksanakan lawatan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang dibawakan oleh I Tsing, dikemukakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang berusaha bisa agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.[21] Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah dipakai di pesisir kerajaan. Selain itu petuah Buddha aliran Buddha Hinayana dan Buddha Mahayana juga ikut berkembang di Sriwijaya. Menjelang belakang ratus tahun ke-10, Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan Buddha Vajrayana di Tibet dalam kertas kerjanya Durbodhāloka menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijayanagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.[22]

Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India, pertama oleh budaya Hindu selanjutnya disertai pula oleh agama Buddha. Peranannya dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu menempuh perdagangan dan penaklukkan dari kurun ratus tahun ke-7 hingga ratus tahun ke-9, sehingga secara langsung ikut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

"...... banyak raja dan pimpinan yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam budi pekerti baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang berusaha bisa dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik...... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk berusaha bisa Sabda, lebih baik beliau tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".

— Cerminan Sriwijaya menurut I Tsing.[4]

Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur untuk bandar pusat perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama muslim dari Timur Tengah, sehingga sebagian kerajaan yang semula merupakan anggota dari Sriwijaya, selanjutnya tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.

Berada sumber yang menyebutkan, karena pengaruh orang muslim Arab yang banyak pergi dan berdagang di Sriwijaya, maka seorang raja Sriwijaya yang bernama Sri Indrawarman pada tahun 718 dikabarkan tertarik untuk mempelajari Islam dan kebudayaan Arab,[24] sehingga mungkin kehidupan sosial Sriwijaya adalah masyarakat sosial yang di dalamnya terdapat masyarakat Budha dan Muslim sekaligus. Tercatat sebagian kali raja Sriwijaya berkirim surat ke khalifah Islam di Damaskus, Suriah. Pada salah satu naskah surat yang ditujukan kepada khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720) berisi permintaan supaya khalifah sudi mengirimkan ulama ke istana Sriwijaya.[25]

Budaya

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan, seni Sriwijaya lebih kurang ratus tahun ke-9 M.

Sesuai berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan yang sangat dipengaruhi dunia akal Budha Wajrayana digambarkan bersemi di ibu kota Sriwijaya. Sebagian prasasti Siddhayatra ratus tahun ke-7 seperti Prasasti Talang Tuwo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh berkah adalah peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak ratus tahun ke-7, bahasa Melayu kuno telah dipakai di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya berbagai prasasti Sriwijaya dan sebagian prasasti bercakap Melayu Kuno di tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang dilaksanakan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa Melayu, karena bahasa ini menjadi peralatan komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak ketika itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan dipakai secara meluas oleh banyak penutur di Kepulauan Nusantara.[26]

Meskipun dikata memiliki daya ekonomi dan keperkasaan militer, Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah ketika kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari masa Sriwijaya di Sumatera selang lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus, dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.

Sebagian arca-arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang[27], dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari Jambi[28], Bidor, Perak[29] dan Chaiya,[30] dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang dikata "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan langgam Syailendra Jawa (sekitar ratus tahun ke-8 hingga ke-9).[31]

Perdagangan

Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan selang India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda. Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India.[14] Kekayaan yang melimpah ini telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan untuk entreport atau pelabuhan utama di Asia Tenggara, dengan memperoleh restu, persetujuan, dan perlindungan dari Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran selang Tiongkok dan India.

Karena gagasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya dengan selalu mengawasi — dan jika perlu — memerangi pelabuhan pesaing di negara jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan pesaing di kawasan lebih kurangnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya. Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di semenanjung Melaya adalah sebagian bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa beradanya serangkaian serbuan tingkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap sebagian pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin tingkatan laut penyerbu yang dimaksud adalah armada Sriwijaya, karena ketika itu wangsa Sailendra di Jawa adalah anggota dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun 670 hingga 1025 M.

Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur adalah menggambarkan Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari lautan Nusantara lebih kurang ratus tahun ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur mungkin adalah jenis kapal yang dipakai armada Sailendra dan Sriwijaya dalam pelayaran antarpulaunya, kemaharajaan bahari yang menguasai kawasan pada kurun ratus tahun ke-7 hingga ke-13 masehi.

Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga menjalin perdagangan dengan tanah Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak wanita berkulit hitam), dan selanjutnya dari kronik Tiongkok disebutkan Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun 724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama dengan Zanji dalam bahasa Arab).[34]

Pada paruh pertama ratus tahun ke-10, di selang kejatuhan dinasti Tang dan naiknya dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian, kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak diragukan lagi Sriwijaya memperoleh keuntungan dari perdagangan ini.

Penyebaran penduduk Kemaharajaan Bahari

Upaya Sriwijaya untuk menjamin dominasi perdagangan bahari di Asia Tenggara berlanjut seiring dengan perluasan Sriwijaya untuk sebuah kemaharajaan bahari atau thalasokrasi. Dengan menaklukkan bandar pelabuhan negara jiran yang berpotensi untuk pesaingnya, Sriwijaya secara otomatis juga melebarkan pengaruh dan wilayah kekuasaannya di kawasan. Untuk kemaharajaan bahari, pengaruh Sriwijaya jarang masuk hingga jauh di wilayah pedalaman. Sriwijaya kebanyakan menerapkan kedaulatannya di kawasan pesisir pantai dan kawasan sungai akbar yang dapat dijangkau armada perahu tingkatan lautnya di wilayah Nusantara, dengan pengecualian pulau Madagaskar. Diduga penduduk yang berasal dari Sriwijaya telah mengkoloni dan membangun populasi di pulau Madagaskar yang terletak 3300 mil atau 8000 kilometer di sebelah Barat di seberang Samudra Hindia.[35]

Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Jurnal Proceedings of The Royal Society, bahwa nenek moyang penduduk Madagaskar adalah orang Indonesia. Para peneliti meyakini mereka adalah pemukim asal Kerajaan Sriwijaya.[36] Migrasi ke Madagaskar diperkirakan terjadi 1200 tahun yang lalu lebih kurang kurun tahun 830 M. Sesuai penelitian DNA mitokondria, suku pribumi Malagasy dapat merunut silsilah mereka kepada 30 perempuan perintis yang berlayar dari Indonesia 1200 tahun yang lalu.[37] Bahasa Malagasy mengandung kata serapan dari bahasa Sansekerta dengan modifikasi linguistik menempuh bahasa Jawa dan bahasa Melayu, hal ini merupakan sebuah petuah bahwa penduduk Madagaskar dikoloni oleh penduduk yang berasal dari Sriwijaya.[38] Periode kolonisasi Madagaskar bersamaan dengan kurun ketika Sriwijaya mengembangkan jaringan perdagangan bahari di seantero Nusantara dan Samudra Hindia.[39]

Hubungan dengan wangsa Sailendra

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Candi Borobudur, pembangunannya dihabiskan pada masa Samaratungga

Munculnya keterkaitan selang Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai karena beradanya nama Śailendravamśa pada sebagian prasasti di selangnya pada prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama Dapunta Selendra. Walau asal-usul dinasti ini masih diperdebatkan hingga sekarang.[14]

Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya (Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan India.[40] Selanjutnya Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang, menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa.[41] Sementara Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan atas Carita Parahiyangan[42] selanjutnya dikaitkan dengan sebagian prasasti lain di Jawa yang bercakap Melayu Kuna di selangnya prasasti Sojomerto.[43]

Hubungan dengan daya regional

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Pagoda Borom That bergaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand.

Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur mengantarkan utusan beserta upeti.[45]

Pada tahun 100 Hijriyah (718 Masehi) Maharaja Sriwijaya bernama Sri Indrawarman mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada Khalifah untuk mengirimkan ulama yang dapat menjelaskan petuah dan hukum Islam kepadanya. Dalam surat itu tertulis:

" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Allah. Diri sendiri telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang tak seberapa untuk tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang untuk menjelaskan petuah Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."

— Surat Maharaja Sriwijaya, Sri Indrawarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz.[34]

Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini bukanlah berfaedah bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang dikenal Sriwijaya ketika itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.

Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan, untuk ibu kota kerajaan tsb. Pengaruh Sriwijaya nampak pada kontruksi pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan Khirirat Nikhom.

Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra menjalin persekutuan menempuh hubungan perkawinan dengan Wangsa Sailendra di Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa Sailendra untuk anggota mandala Sriwijaya mengambil kendali kekuasaan, menjadi Maharaja Sriwijaya dan memerintah dari Jawa. Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang, adalah Sumatera dan Jawa. Akan tetapi kesudahan suatu peristiwa pertikaian suksesi singgasana Sailendra selang Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan Pramodawardhani, hubungan selang Sriwijaya dan Medang memburuk.[46] Balaputra berkuasa di Palembang, dan permusuhan ini diwariskan hingga sebagian generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya untuk keturunan raja Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata lain beliau mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan.[47] Persaingan selang Sriwijaya di Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh menyerang Palembang pada tahun 990, aksi yang selanjutnya dibalas dengan penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari atas dorongan Sriwijaya.

Sriwijaya juga mengadakan komunikasi dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik tahta yang melaksanakan penyerangan pada ratus tahun ke-11. Selanjutnya hubungan ini kembali membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram mengirimkan utusan yang memohon dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada kawasan lebih kurang Vihara Culamanivarmma tsb. Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi anggota dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) untuk raja San-fo-ts'i, membantu perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini dikata dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan dikata dengan nama Yuan Miau Kwan.[6]

Masa keemasan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Arca emas Avalokiteçvara bergaya Malayu-Sriwijaya, ditemukan di Rantaukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni pada daya armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan, menguasai dan membangun sebagian kawasan strategis untuk pangkalan armadanya dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya.[49]

Dari catatan sejarah dan bukti arkeologi, pada ratus tahun ke-9 Sriwijaya telah melaksanakan kolonisasi di nyaris seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, selang lain: Sumatera, Jawa, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam,[2] dan Filipina.[50] Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya untuk pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang meladeni pasar Tiongkok, dan India.

Sesuai sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya dikata dengan nama Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu, digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan akbar yang kaya raya, dengan tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga, gambir dan sebagian hasil bumi lainya.[51]

Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam segi agraris. Ini disimpulkan dari seorang pakar dari Bangsa Persia yang bernama Sisa dari pembakaran Zaid Hasan yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Sisa dari pembakaran Zaid menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke seberang lautan.

Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara sepanjang ratus tahun ke-10, akan tetapi pada belakang ratus tahun ini Kerajaan Medang di Jawa Timur tumbuh menjadi daya bahari baru dan mulai menantang dominasi Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta akbar ke Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan Kanton ketika akan pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa. Serangan dari Jawa ini diduga berlanjut lebih kurang tahun 990-an, adalah selang tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.

Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tsb mencoba pulang namun kembali tertahan di Champa karena negerinya belum lepas sama sekali dari bahaya. Beliau memohon kaisar Song supaya Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di Tiongkok tahun 992. Beliau dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja baru Jawa tsb adalah Dharmawangsa Teguh.

Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara waktu, namun selanjutnya pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan beradanya serangan Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada berakhir gagal karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan daya mandala Sriwijaya tersebar di sebagian bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka. Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota dan berkeliling menghimpun daya dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa. Sriwijaya memperlihatkan kegigihan persekutuan mandalanya, bertahan dan berjaya memukul mundur tingkatan laut Jawa.

Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya, memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun 1003, beliau mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya telah beres dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan supaya Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta yang akan dipasang di candi itu.[53] (Candi Bungsu, salah satu anggota dari candi yang terletak di Muara Takus).[54]

Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut-sebut berperan dalam menghancurkan Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya, adalah peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana Haji Wurawari dari Lwaram yang kemungkinan merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun 1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir Dharmawangsa Teguh.[6]

Masa penurunan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Sebuah lukisan dari Siam menunjukkan penyerangan Chola di Kedah.

Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, raja dari dinasti Chola di Koromandel, India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Sriwijaya. Sesuai prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah menaklukan daerah-daerah koloni Sriwijaya, seperti wilayah Nikobar dan sekaligus berhasil menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman. Selama sebagian dekade berikutnya, seluruh imperium Sriwijaya telah berada dalam pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola I tetap memberikan peluang kepada raja-raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa selama tetap tunduk kepadanya.[55] Hal ini dapat dikaitkan dengan beradanya berita utusan San-fo-ts'i ke Cina tahun 1028.[56]

Faktor lain kemunduran Sriwijaya adalah faktor dunia. Karena beradanya pengendapan lumpur di Sungai Musi dan sebagian anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang lebih susut. Akibatnya, Kota Palembang lebih menjauh dari laut dan menjadi tidak strategis. Kesudahan suatu peristiwa kapal dagang yang datang lebih susut, pajak susut dan memperlemah ekonomi dan posisi Sriwijaya.

Kerajaan Tanjungpura dan Nan Sarunai di Kalimantan adalah kerajaan yang sezaman dengan Sriwijaya, namun Kerajaan Tanjungpura disebutkan dikelola oleh pelarian orang Melayu Sriwijaya, yang ketika pada ketika itu Sriwijaya diserang Kerajaan Chola mereka bermigrasi ke Kalimantan Selatan.[58]

Namun demikian pada masa ini Sriwijaya dianggap telah menjadi anggota dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan bahwa pada tahun 1079, Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) raja dinasti Chola dikata juga untuk raja San-fo-ts'i, yang selanjutnya mengirimkan utusan untuk membantu perbaikan candi dekat Kanton. Selanjutnya dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao disebutkan bahwa kerajaan San-fo-tsi pada tahun 1082 masih mengirimkan utusan pada masa Cina di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta akbar tsb menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, yang merupakan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Selanjutnya juga mengirimkan utusan berikutnya pada tahun 1088.[2] Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas raja-raja bawahannya melemah. Sebagian daerah taklukan melepaskan diri, hingga muncul Dharmasraya dan Pagaruyung untuk daya baru yang selanjutnya menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya, Sumatera, hingga Jawa anggota barat.

Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta akbar pada Cina.[59] Khususnya pada tahun 1079, masing-masing duta akbar tsb mengunjungi Cina.[59] Ini menunjukkan bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya selama periode tsb.[59] Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya pada ratus tahun ke-11.

Sesuai sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi[61] yang ditulis pada tahun 1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha, dan memiliki 15 daerah bawahan yang meliputi; Si-lan (Kamboja), Tan-ma-ling (Tambralingga, Ligor, selatan Thailand), Kia-lo-hi (Grahi, Chaiya sekarang, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilantan (Kelantan), Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun daerah Terengganu sekarang), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Ts'ien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur Semenanjung Malaya), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Pa-lin-fong (Palembang), Kien-pi (Jambi), dan Sin-t'o (Sunda).[6][13]

Namun demikian, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun 1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tsb, ternyata adalah wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut San-fo-tsi untuk kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu. Kitab ini mengisahkan bahwa Kertanagara raja Singhasari, mengirim sebuah ekspedisi Pamalayu atau Pamalayu, dan selanjutnya menghadiahkan Arca Amoghapasa kepada raja Melayu, Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa di Dharmasraya sebagaimana yang tertulis pada prasasti Padang Roco. Peristiwa ini selanjutnya dikaitkan dengan manuskrip yang terdapat pada prasasti Grahi. Begitu juga dalam Nagarakretagama yang menguraikan tentang daerah jajahan Majapahit, juga sudah tidak menyebutkan lagi nama Sriwijaya untuk kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan Sriwijaya.

Bentuk pemerintahan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Prasasti Telaga Batu

Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial. Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi bentuk otoritas politik Sriwijaya, dapat dilacak dari sebagian prasasti yang mengandung informasi penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.[62]

Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) untuk kawasan yang mesti diawasi. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap untuk kawasan kota dari Sriwijaya yang didalamnya terdapat vihara untuk tempat beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan yang bersamaan batasnya dengan vanua, yang terhubung dengan perlintasan khusus (samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan kadātuan Sriwijaya.

Penguasa Sriwijaya dikata dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).[63] Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam bentuk pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain dikemukakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja, dikemukakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang berada di zaman Sriwijaya.[20] Adapun, jabatan dan pekerjaan yang dikemukakan tsb adalah raja putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan), dan dandanayaka (hakim). Selanjutnya terdapat juga Tuha an karakter wuruh (pengawas kelompok pekerja),[Note 1] Adyaksi nijawarna/wasikarana (pembuat pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal), waniyaga, pratisra, marsi haji, dan hulu haji (peniaga, pimpinan, tukang cuci, budak raja).[20]

Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi menjadi dua. Seperti yang dikemukakan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota), pratiyuvarāja (putra mahkota kedua).[20][63] Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi (profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah perpecahan di selang anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya dibagi menjadi dua.

Raja yang memerintah

Para Maharaja Sriwijaya[2][6]

TahunNama RajaIbukotaPrasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa
671Dapunta Hyang atau
Sri Jayanasa
Srivijaya

Shih-li-fo-shih

Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa

Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah

702Sri Indrawarman

Shih-li-t-'o-pa-mo

Sriwijaya

Shih-li-fo-shih

Utusan ke Tiongkok 702-716, 724

Utusan ke Khalifah Muawiyah I dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz

728Rudra Vikraman

Lieou-t'eng-wei-kong

Sriwijaya

Shih-li-fo-shih

Utusan ke Tiongkok 728-742
743-774  Belum berada berita pada periode ini
775Sri MaharajaSriwijayaPrasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja
  Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta)Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya
778Dharanindra atau
Rakai Panangkaran
JawaPrasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan

Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan

782Samaragrawira atau
Rakai Warak
JawaPrasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907
792Samaratungga atau
Rakai Garung
JawaPrasasti Karang Tengah tahun 824,

825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur

840  Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan
856BalaputradewaSuwarnadwipaKehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa

Prasasti Nalanda tahun 860, India

861-959  Belum berada berita pada periode ini
960Sri Udayaditya Warmadewa

Se-li-hou-ta-hia-li-tan

Sriwijaya

San-fo-ts'i

Utusan ke Tiongkok 960, & 962
980  Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji)
988Sri Cudamani Warmadewa

Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa

Sriwijaya

Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i

990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,

Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama
cheng tien wan shou

1008Sri Mara-Vijayottunggawarman

Se-li-ma-la-pi

San-fo-ts'i

Kataha

Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008
1017  Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u
(Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan
1025Sangrama-VijayottunggawarmanSriwijaya

Kadaram

Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan

Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India

1030  Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel
1079  Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton)
1082  Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088
1089-1177  Belum berada berita
1178  Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i
1183Srimat Trailokyaraja Maulibhusana WarmadewaDharmasrayaDibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand

Warisan sejarah

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Busana gadis penari Gending Sriwijaya yang raya dan keemasan menggambarkan kegemilangan dan kekayaan Sriwijaya.

Meskipun Sriwijaya hanya menyisakan sedikit peninggalan arkeologi dan keberadaanya sempat terlupakan dari ingatan masyarakat pendukungnya, penemuan kembali kemaharajaan bahari ini oleh Coedès pada tahun 1920-an telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu susunan persatuan politik raya, berupa kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah bangung, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.

Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. Selama berabad-abad, daya ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan akbar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara, setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang berfungsi untuk penghubung (lingua franca) yang dipakai di berbagai bandar dan pasar di kawasan Nusantara.[65] Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah membuka dan memuluskan perlintasan bagi Bahasa Melayu untuk bahasa nasional Malaysia, dan Bahasa Indonesia untuk bahasa pemersatu Indonesia modern. Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap dipakai hingga pada ratus tahun ke-14 M.

Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya untuk sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.[67] Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang, Sumatera Selatan. Keluhuran Sriwijaya telah menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending Sriwijaya. Hal yang sama juga berlanjut bagi masyarakat selatan Thailand yang membuat kembali tarian Sevichai yang sesuai pada keanggunan seni budaya Sriwijaya.

Di Indonesia, nama Sriwijaya telah dipakai dan diabadikan untuk nama perlintasan di berbagai kota, dan nama ini juga dipakai oleh Universitas Sriwijaya yang dibangun tahun 1960 di Palembang. Demikian pula Kodam II Sriwijaya (unit komando militer), PT Pupuk Sriwijaya (Perusahaan Pupuk di Sumatera Selatan), Sriwijaya Post (Surat kabar harian di Palembang), Sriwijaya TV, Sriwijaya Cairan (maskapai penerbangan), Stadion Gelora Sriwijaya, dan Sriwijaya Football Club (Klab sepak bola Palembang). Semuanya dinamakan demikian untuk menghormati, memuliakan, dan merayakan kemaharajaan Sriwijaya yang gemilang. Pada tanggal 11 November 2011 digelar upacara pembukaan SEA Games 2011 di Stadion Gelora Sriwijaya, Palembang. Upacara pembukaan ini menampilkan tarian kolosal yang bertingkat "Srivijaya the Golden Peninsula" menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga replika ukuran sebenarnya perahu Sriwijaya untuk menggambarkan kejayaan kemaharajaan bahari ini.[68][69]

Catatan bawah

  1. ^ Tuha an karakter wuruh juga bersifat pengurus perdagangan dan pertukangan. Tugas mereka selain itu adalah menjalankan perdagangan di pasar-pasar dan merekalah yang bertindak untuk pengurusnya .

Rujukan

  1. ^ Cœdès, George (1930). "Les inscriptions malaises de Çrivijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient (BEFEO) 30: 29–80. 
  2. ^ a b c d e f g h i j k l Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  3. ^ Gabriel Ferrand, (1922), L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  4. ^ a b Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  5. ^ Casparis, J.G. (1975). Indonesian palaeography: a history of writing in Indonesia from the beginnings to C. A, Part 1500. E. J. Brill. ISBN 90-04-04172-9. 
  6. ^ a b c d e f g h Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  7. ^ Cœdès, George (1918). "Le Royaume de Çriwijaya". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient 18 (6): 1–36. 
  8. ^ a b c Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. ISBN 0-300-10518-5. 
  9. ^ Krom, N.J. (1938). "Het Hindoe-tijdperk". In F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel. pp. vol. I p. 149. 
  10. ^ a b c Wijaya, Taufik (24 March 2012). "Perahu Kuno Kerajaan Sriwijaya Ditemukan di Sumatera Selatan". Detik. Retrieved 20 April 2012. 
  11. ^ Ahmad Rapanie, Cahyo Sulistianingsih, Ribuan Nata, "Kerajaan Sriwijaya, Sebagian Situs dan Temuannya", Museum Negeri Sumatera Selatan, Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan.
  12. ^ a b Soekmono, R. (2002). Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Kanisius. ISBN 979-413-290-X. 
  13. ^ a b c Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1992), Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, PT Balai Pustaka, ISBN 979-407-408-X
  14. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  15. ^ George Coedès, Louis-Charles Damais, (1992), Sriwijaya: history, religion & language of an early Malay polity : collected studies, MBRAS, ISBN 9839961411.
  16. ^ P. J. Suwarno, (1993), Pancasila budaya bangsa Indonesia:Penelitian Pancasila dengan pendekatan historis, filosofis & sosio-yuridis kenegaraan, Kanisius, ISBN 979413967X.
  17. ^ Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, (1993), Sejarah Nasional Indonesia II (6 Seri), Edisi Pemuktahiran, PT Balai Pustaka, ISBN 979407408X
  18. ^ a b c d Susanti, Dini; Rohman, Yusuf Ali (August 2011). PELAJARAN IPS-SEJARAH BILINGUAL:Untuk SMP/MTs. Kelas VII. Bandung: CV. YRAMA WIDYA. p. 86. ISBN 978-979-543-708-6. 
  19. ^ Supratna, Nana (2008). Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Pertengahan Atas: Program Bahasa. Bandung: Grasindo. ISBN 979-758-597-2. Retrieved 20 April 2012. 
  20. ^ Cœdès, George (1996). The Indianized States of Southeast Asia. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0368-X. 
  21. ^ Ahmad, H. Zainal Abidin (1979). Ilmu politik Islam V, Sejarah Islam dan Umatnya hingga sekarang. Bulan Bintang. 
  22. ^ Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., (1994). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Ratus tahun XVII & XVIII. Jakarta: Mizan. 
  23. ^ Melayu Online: Bambang Budi Utomo
  24. ^ Bukit Siguntang
  25. ^ Titik Temu, Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, Photograph and artifact exhibition of Muara Jambi Archaeological site, Bentara Budaya Jakarta, 9-11 November 2006
  26. ^ KaalaChaKra, Early Indian Influences in Southeast Asia
  27. ^ Bridgeman: Avalokitesvara figure from the Srivijaya Period, found in Chaiya, Thailand, 9th-10th century (bronze)
  28. ^ Srivijaya Art In Thailand
  29. ^ a b Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. ISBN 979-433-430-8. 
  30. ^ "History of Madagascar". Lonely Planet.com. Retrieved 2010-07-07. 
  31. ^ Iqbal, Muhammad (17 April 2012). "Penghuni Pertama Pulau Madagaskar Berasal dari Kerajaan Sriwijaya". Detik. Retrieved 18 April 2012. 
  32. ^ "Madagascar Founded By Women". Discovery.com. Retrieved 2012-03-23. 
  33. ^ "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of The Royal Society B. Retrieved 2012-03-23. 
  34. ^ "Wanita Indonesia Nenek Moyang Penduduk Madagaskar". Yahoo News Indonesia. 21-03-2012. Retrieved 2012-03-23. 
  35. ^ Majumdar, R.C., (1933). "Le rois Çriwijaya de Suvarnadvipa". Bulletin de l'Ecole français d'Extrême-Orient. XXXIII: 121–144. 
  36. ^ Moensr, J.L., (1937). "Çriwijaya, Yāva en Katāha". TBG. LXXVII: 317–487. 
  37. ^ Poerbatjaraka, R.N., (1956). "Çriwijaya, de Çailendra-en de Sanjāyavança". BKI 114: 254–264. 
  38. ^ Boechari (1966). "Preliminary report on the discovery of an Old malay inscription at Sojomerto". MISI III: 241–251. 
  39. ^ O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce: a study of the origins of Śrīvijaya, Cornell University Press, Ithaca.
  40. ^ De Casparis. Prasasti Indonesia I. p. 110-111. 
  41. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  42. ^ Pramono, Djoko (2005). Budaya bahari. Gramedia Referensi Utama. ISBN 979-22-1351-1. 
  43. ^ Rasul, Jainal D. (2003). Agonies and Dreams: The Filipino Muslims and Other Minorities". Quezon City: CARE Minorities. pp. pages 77. 
  44. ^ Wade, Geoffrey (2009). "An Early Age of Commerce in Southeast Asia, 900–1300 CE". www.eastwestcenter.org. p. 252. Retrieved 16 January 2013. 
  45. ^ Muljana, Slamet (2006). In F.W. Stapel. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara. ISBN 978-979-8451-62-1. 
  46. ^ Forgotten Kingdoms in Sumatra, Brill Archive
  47. ^ Sastri K. A. N., (1935). The Cholas. University of Madras.
  48. ^ Kulke, H.; Kesavapany, K.; Sakhuja, V. (2009). Nagapattinam to Suvarnadwipa: reflections on Chola naval expeditions to Southeast Asia. Institute of Southeast Asian. ISBN 981-230-936-5. 
  49. ^ Suriansyah Ideham. (2007:17). "Kerajaan Nan Sarunai". Melayu online. Archived from the original on 25 August 2012. Retrieved 25 August 2012. 
  50. ^ a b c Munoz. Early Kingdoms. p. 165. 
  51. ^ Hirth, F.; Rockhill, W.W. (1911). Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi. St Petersburg. .
  52. ^ Kulke, H. (1993). "Kadātuan Śrīvijaya’—Empire or Kraton of Śrīvijaya? A Reassessment of the Epigraphic Data". Bulletin de l’École Française d’Extreme Orient 80 (1): 159–180. 
  53. ^ a b Casparis, J.C., (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th century A.D., Vol. II. Bandung: Masa Baru.
  54. ^ Southeast Asia Digital Library: About Malay
  55. ^ Smith, A.L. (2000). Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN Strategic Centrality: Indonesia's changing role in ASEAN. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. p. 9. ISBN 981-230-103-8. 
  56. ^ The new Golden Peninsula Games
  57. ^ Spectacular Opening of the 26th SEA GAMES in Palembang

Bacaan Lanjutan

  • D. G. E. Hall, A History of South-east Asia. London: Macmillan, 1955.
  • D. R. SarDesai. Southeast Asia: Past and Present. Boulder: Westview Press, 1997.
  • Lynda Norene Shaffer. Maritime Southeast Asia to 1500. London: ME Sharpe Armonk, 1996.
  • Stuart-Fox, Martin. A Short History of China and Southeast Asia: Tribute, Trade, and Influence. London: Allen and Unwin, 2003.
  • Munoz, Paul Michel (2006). Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapura:Editions Didier Millet. ISBN 981-4155-67-5. 
  • Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS. ISBN 9798451627. 
  • Halimi, Ahmad Jelani (2008). Sejarah dan Tamadun Bangsa Melayu [Sejarah dan Peradaban Bangsa Melayu] (in Melayu). Kuala Lumpur: Utusan Publication & Distributors Sdn Bhd. ISBN 978-967-61-2155-X. 
  • Collins, James T. (2005). Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (in Indonesia). Jakarta: KITLV bekerjasama dengan Pusat Bahasa dan Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-537-4. 
  • Sucipto (2009). In Suminto. Perkembangan Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta Peningalannya (in Indonesia). Solo: Tiga Serangkai. ISBN 978-979-045-686-0. 

Pranala luar

  • (Indonesia) Kerajaan Sriwijaya di MelayuOnline.com
  • (Indonesia) Balai Arkeologi Palembang dan Sriwijaya Society
  • (Inggris) Sejarah Melayu, Buddhist Empires
  • (Inggris) Śrīwijaya: A Centre of Learning?

edunitas.com


Page 5

Tags (tagged): stai, darunnajah, unkris, staida, lembaga, pendidikan, tinggi, bernaung, tanggal, 3, agustus, 1986, nama, ma, had, aly, ilmu, syari, ah, stis, sebelumnya, pernah, bernama, otomatis, berganti, sekolah, agama, center, of, studies, universitas, mampu, menjawab, tantang, global, era, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian, encyclopedia


Page 6

Tags (tagged): stai, darunnajah, unkris, staida, lembaga, pendidikan, tinggi, bernaung, tanggal, 3, agustus, 1986, nama, ma, had, aly, ilmu, syari, ah, stis, sebelumnya, pernah, bernama, otomatis, berganti, sekolah, agama, center, of, studies, universitas, mampu, menjawab, tantang, global, era, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian, encyclopedia


Page 7

Tags (tagged): stai, darunnajah, unkris, staida, lembaga, pendidikan, tinggi, bernaung, tanggal, 3, agustus, 1986, nama, ma, had, aly, ilmu, syari, ah, stis, sebelumnya, pernah, bernama, otomatis, berganti, sekolah, agama, pusat, pengetahuan, universitas, mampu, menjawab, tantang, global, era, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, indonesia, ensiklopedia


Page 8

Tags (tagged): stai, darunnajah, unkris, staida, lembaga, pendidikan, tinggi, bernaung, tanggal, 3, agustus, 1986, nama, ma, had, aly, ilmu, syari, ah, stis, sebelumnya, pernah, bernama, otomatis, berganti, sekolah, agama, pusat, pengetahuan, universitas, mampu, menjawab, tantang, global, era, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, indonesia, ensiklopedia


Page 9

Tags (tagged): pusat ilmu, pengetahuan, unkris, portal kimia, pada tingkat makroskopik, menurut kimia, modern, sifat fisik, pilihan, triosefosfat isomerase, disebut, tim enzim, bapak, kimia bahwa, pada, zaman pertengahan ahli, alkimia, gay, lussac, avogadro cabang cabang, kimia analisis, kimia, pusat ilmu pengetahuan, transisi logam, miskin, metaloid nonlogam halogen, gas mulia, portal, kimia portal kimia, program, kuliah pegawai, kelas, weekend, kelas eksekutif, ensiklopedi bahasa, indonesia, ensiklopedia


Page 10

Tags (tagged): pusat ilmu, pengetahuan, unkris, portal kimia, mempelajari mengenai komposisi, sifat zat, materi, ilmu pusat karena, menghubungkan berbagai, ilmu, lain seperti, fosfat, menjadi dihidroksiaseton, tokoh pilihan alfred, pertengahan ahli, alkimia, percaya bahwa logam, logam seperti, pusat, ilmu pengetahuan tetap, perbandingan berganda, hess, boyle charles gay, lussac portal, kimia, portal, program, kuliah, pegawai, kelas weekend, kelas eksekutif, ensiklopedi, bahasa indonesia, ensiklopedia


Page 11

Tags (tagged): center of, studies, unkris, portal, chemistry, mempelajari mengenai komposisi, sifat zat, materi, ilmu pusat karena, menghubungkan berbagai, ilmu, lain seperti, fosfat, menjadi dihidroksiaseton, tokoh pilihan alfred, pertengahan ahli, alkimia, percaya bahwa logam, logam seperti, center, of studies tetap, perbandingan berganda, hess, boyle charles gay, lussac portal, program, kuliah, pegawai, kelas weekend, kelas eksekutif, indonesian, encyclopedia


Page 12

Tags (tagged): center of, studies, unkris, portal, chemistry, pada tingkat makroskopik, menurut kimia, modern, sifat fisik, pilihan, triosefosfat isomerase, disebut, tim enzim, bapak, kimia bahwa, pada, zaman pertengahan ahli, alkimia, gay, lussac, avogadro cabang cabang, kimia analisis, kimia, center of studies, transisi logam, miskin, metaloid nonlogam halogen, gas mulia, chemistry portal, program, kuliah pegawai, kelas, weekend, kelas eksekutif, indonesian encyclopedia, encyclopedia


Page 13

Tags (tagged): portal, coffee, unkris, portal kopi, utama, biji kopi selamat, biji, kopi telah, kopi, sejenis minuman, dari, proses pengolahan ekstraksi, center of, studies, tanaman kopi selengkapnya, edunitas portal, program kuliah pegawai, kelas weekend, center, of studies, kelas, eksekutif, indonesian encyclopedia, encyclopedia


Page 14

Tags (tagged): portal, coffee, unkris, portal kopi, utama, biji kopi selamat, biji, kopi telah, kopi, sejenis minuman, dari, proses pengolahan ekstraksi, center of, studies, tanaman kopi selengkapnya, edunitas portal, program kuliah pegawai, kelas weekend, center, of studies, kelas, eksekutif, indonesian encyclopedia, encyclopedia


Page 15

Tags (tagged): portal kopi, unkris, utama, biji kopi selamat, biji, kopi telah, kopi, sejenis minuman, dari, proses pengolahan ekstraksi, pusat ilmu, pengetahuan, tanaman kopi selengkapnya, edunitas portal, portal, program kuliah pegawai, kelas weekend, pusat, ilmu pengetahuan, kelas, eksekutif, ensiklopedi bahasa, indonesia, ensiklopedia


Page 16

Tags (tagged): portal kopi, unkris, utama, biji kopi selamat, biji, kopi telah, kopi, sejenis minuman, dari, proses pengolahan ekstraksi, pusat ilmu, pengetahuan, tanaman kopi selengkapnya, edunitas portal, portal, program kuliah pegawai, kelas weekend, pusat, ilmu pengetahuan, kelas, eksekutif, ensiklopedi bahasa, indonesia, ensiklopedia


Page 17

Tags (tagged): pusat ilmu pengetahuan, portal amerika, selatan, portal amerika selatan, program kuliah, pegawai, kelas weekend, portal, amerika selatan, pusat, ilmu pengetahuan, kelas, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, indonesia, ensiklopedia


Page 18

Tags (tagged): pusat ilmu pengetahuan, portal amerika, selatan, portal amerika selatan, program kuliah, pegawai, kelas weekend, portal, amerika selatan, pusat, ilmu pengetahuan, kelas, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, indonesia, ensiklopedia


Page 19

Tags (tagged): center of studies, portal, south, america, south america, program kuliah, pegawai, kelas weekend, center, of studies, kelas, eksekutif, indonesian, encyclopedia


Page 20

Tags (tagged): center of studies, portal, south, america, south america, program kuliah, pegawai, kelas weekend, center, of studies, kelas, eksekutif, indonesian, encyclopedia


Page 21

Portal Amerika Utara

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Amerika Utara adalah benua di belahan bumi utara. Di utara bersamaan batasnya dengan Lautan Arktik, di sebelah timur dengan Samudra Atlantik Utara, di sebelah selatan dengan Laut Karibia, dan di sebelah barat dengan Samudra Pasifik Utara. Benua ini meliputi wilayah sebesar 24.500.000 km² atau sekitar 4,8% dari permukaan bumi. Mulai Juli 2002, warganya dianggarkan lebih dari 514.600.000. Benua adalah benua ketiga yang paling agung menurut lapang, setelah Asia dan Afrika, dan ialah keempat menurut warga setelah Asia, Afrika, dan Eropa. Berpegang pada kebenaran Amerika Utara dan Selatan dinamakan menurut Amerigo Vespucci, yang adalah orang Eropa pertama yang melontarkan gagasan bahwa Amerika beda dengan Hindia Timur. Beliau adalah orang Eropa pertama yang menemukan 'Lingkungan kehidupan Baru'.

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Hubungan tanah satu-satunya dari Amerika Utara ke Amerika Selatan ialah tanah genting Panama (untuk gagasan geopolitik, seluruh Panama – termasuk timur anggota Terusan Panama sering dianggap sebagai beberapa Amerika Utara juga). Menurut beberapa mahir, Amerika Utara mulai tidak di tanah genting Panama tapi di tanah genting Tehuantepec, dengan kawasan menghalangi dianggap Amerika tengah dan bersandar pada lempingan Caribbean. Kebanyakan orang cenderung menganggap Amerika Tengah sebagai kawasan Amerika Utara karena mereka berpendapat bahwa ini terlalu kecil untuk menjadi benua sendiri. Greenland, walaupun merupakan anggota Amerika Utara secara geografis dan di atas lempingan tektonik sama (lempingan Amerika Utara), tidak dianggap agian benua ini secara politis.

Selengkapnya.......

Tokoh pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Theodore Roosevelt, Jr. adalah Presiden Amerika Serikat yang Ke-26. Menjabat dua kali masa posisi di tahun 1901 sampai 1909. Sebelum menjadi presiden Roosevelt adalah wakil presiden Amerika Serikat di bawah Presiden William McKinley. Theodore Roosevelt dikenal juga dengan panggilan T.R., dan di kalangan warga dikenal dengan Teddy (walaupun beliau sendiri tidak menyukai nama panggilan ini). Nama boneka mainan beruang Teddy, dinamakan menurut presiden ini karena suatu kali pada saat berburu beliau menolak membunuh seekor anak beruang. Posisi presiden beliau peroleh ketika beliau menggantikan presiden William McKinley yang dibunuh. Pada usia 42 tahun, Roosevelt adalah presiden Amerika Serikat yang termuda. Roosevelt berasal dari Partai Republik. (Selengkapnya....... )

Tahukah anda.......


edunitas.com


Page 22

Portal
Amerika Utara

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Amerika Utara adalah benua di belahan bumi utara. Di utara bersamaan batasnya dengan Lautan Arktik, di sebelah timur dengan Samudra Atlantik Utara, di sebelah selatan dengan Laut Karibia, dan di sebelah barat dengan Samudra Pasifik Utara. Benua ini meliputi wilayah sebesar 24.500.000 km² atau sekitar 4,8% dari permukaan bumi. Mulai Juli 2002, warganya dianggarkan lebih dari 514.600.000. Benua adalah benua ketiga yang paling agung menurut lapang, setelah Asia dan Afrika, dan ialah keempat menurut warga setelah Asia, Afrika, dan Eropa. Berpegang pada kebenaran Amerika Utara dan Selatan dinamakan menurut Amerigo Vespucci, yang adalah orang Eropa pertama yang melontarkan gagasan bahwa Amerika beda dengan Hindia Timur. Beliau adalah orang Eropa pertama yang menemukan 'Lingkungan kehidupan Baru'.

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Hubungan tanah satu-satunya dari Amerika Utara ke Amerika Selatan ialah tanah genting Panama (untuk gagasan geopolitik, seluruh Panama – termasuk timur anggota Terusan Panama sering dianggap sebagai beberapa Amerika Utara juga). Menurut beberapa mahir, Amerika Utara mulai tidak di tanah genting Panama tapi di tanah genting Tehuantepec, dengan kawasan menghalangi dianggap Amerika tengah dan bersandar pada lempingan Caribbean. Kebanyakan orang cenderung menganggap Amerika Tengah sebagai kawasan Amerika Utara karena mereka berpendapat bahwa ini terlalu kecil untuk menjadi benua sendiri. Greenland, walaupun merupakan anggota Amerika Utara secara geografis dan di atas lempingan tektonik sama (lempingan Amerika Utara), tidak dianggap agian benua ini secara politis.

Selengkapnya.......


Tokoh pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Theodore Roosevelt, Jr. adalah Presiden Amerika Serikat yang Ke-26. Menjabat dua kali masa posisi di tahun 1901 sampai 1909. Sebelum menjadi presiden Roosevelt adalah wakil presiden Amerika Serikat di bawah Presiden William McKinley. Theodore Roosevelt dikenal juga dengan panggilan T.R., dan di kalangan warga dikenal dengan Teddy (walaupun beliau sendiri tidak menyukai nama panggilan ini). Nama boneka mainan beruang Teddy, dinamakan menurut presiden ini karena suatu kali pada saat berburu beliau menolak membunuh seekor anak beruang. Posisi presiden beliau peroleh ketika beliau menggantikan presiden William McKinley yang dibunuh. Pada usia 42 tahun, Roosevelt adalah presiden Amerika Serikat yang termuda. Roosevelt berasal dari Partai Republik. (Selengkapnya....... )

Tahukah anda.......


edunitas.com


Page 23

Portal
Amerika Utara

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Amerika Utara adalah benua di belahan bumi utara. Di utara bersamaan batasnya dengan Lautan Arktik, di sebelah timur dengan Samudra Atlantik Utara, di sebelah selatan dengan Laut Karibia, dan di sebelah barat dengan Samudra Pasifik Utara. Benua ini meliputi wilayah sebesar 24.500.000 km² atau sekitar 4,8% dari permukaan bumi. Mulai Juli 2002, warganya dianggarkan lebih dari 514.600.000. Benua adalah benua ketiga yang paling agung menurut lapang, setelah Asia dan Afrika, dan ialah keempat menurut warga setelah Asia, Afrika, dan Eropa. Berpegang pada kebenaran Amerika Utara dan Selatan dinamakan menurut Amerigo Vespucci, yang adalah orang Eropa pertama yang melontarkan gagasan bahwa Amerika beda dengan Hindia Timur. Beliau adalah orang Eropa pertama yang menemukan 'Lingkungan kehidupan Baru'.

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Hubungan tanah satu-satunya dari Amerika Utara ke Amerika Selatan ialah tanah genting Panama (untuk gagasan geopolitik, seluruh Panama – termasuk timur anggota Terusan Panama sering dianggap sebagai beberapa Amerika Utara juga). Menurut beberapa mahir, Amerika Utara mulai tidak di tanah genting Panama tapi di tanah genting Tehuantepec, dengan kawasan menghalangi dianggap Amerika tengah dan bersandar pada lempingan Caribbean. Kebanyakan orang cenderung menganggap Amerika Tengah sebagai kawasan Amerika Utara karena mereka berpendapat bahwa ini terlalu kecil untuk menjadi benua sendiri. Greenland, walaupun merupakan anggota Amerika Utara secara geografis dan di atas lempingan tektonik sama (lempingan Amerika Utara), tidak dianggap agian benua ini secara politis.

Selengkapnya.......


Tokoh pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Theodore Roosevelt, Jr. adalah Presiden Amerika Serikat yang Ke-26. Menjabat dua kali masa posisi di tahun 1901 sampai 1909. Sebelum menjadi presiden Roosevelt adalah wakil presiden Amerika Serikat di bawah Presiden William McKinley. Theodore Roosevelt dikenal juga dengan panggilan T.R., dan di kalangan warga dikenal dengan Teddy (walaupun beliau sendiri tidak menyukai nama panggilan ini). Nama boneka mainan beruang Teddy, dinamakan menurut presiden ini karena suatu kali pada saat berburu beliau menolak membunuh seekor anak beruang. Posisi presiden beliau peroleh ketika beliau menggantikan presiden William McKinley yang dibunuh. Pada usia 42 tahun, Roosevelt adalah presiden Amerika Serikat yang termuda. Roosevelt berasal dari Partai Republik. (Selengkapnya....... )

Tahukah anda.......


edunitas.com


Page 24

Portal Amerika Utara

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Amerika Utara adalah benua di belahan bumi utara. Di utara bersamaan batasnya dengan Lautan Arktik, di sebelah timur dengan Samudra Atlantik Utara, di sebelah selatan dengan Laut Karibia, dan di sebelah barat dengan Samudra Pasifik Utara. Benua ini meliputi wilayah sebesar 24.500.000 km² atau sekitar 4,8% dari permukaan bumi. Mulai Juli 2002, warganya dianggarkan lebih dari 514.600.000. Benua adalah benua ketiga yang paling agung menurut lapang, setelah Asia dan Afrika, dan ialah keempat menurut warga setelah Asia, Afrika, dan Eropa. Berpegang pada kebenaran Amerika Utara dan Selatan dinamakan menurut Amerigo Vespucci, yang adalah orang Eropa pertama yang melontarkan gagasan bahwa Amerika beda dengan Hindia Timur. Beliau adalah orang Eropa pertama yang menemukan 'Lingkungan kehidupan Baru'.

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Hubungan tanah satu-satunya dari Amerika Utara ke Amerika Selatan ialah tanah genting Panama (untuk gagasan geopolitik, seluruh Panama – termasuk timur anggota Terusan Panama sering dianggap sebagai beberapa Amerika Utara juga). Menurut beberapa mahir, Amerika Utara mulai tidak di tanah genting Panama tapi di tanah genting Tehuantepec, dengan kawasan menghalangi dianggap Amerika tengah dan bersandar pada lempingan Caribbean. Kebanyakan orang cenderung menganggap Amerika Tengah sebagai kawasan Amerika Utara karena mereka berpendapat bahwa ini terlalu kecil untuk menjadi benua sendiri. Greenland, walaupun merupakan anggota Amerika Utara secara geografis dan di atas lempingan tektonik sama (lempingan Amerika Utara), tidak dianggap agian benua ini secara politis.

Selengkapnya.......

Tokoh pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Theodore Roosevelt, Jr. adalah Presiden Amerika Serikat yang Ke-26. Menjabat dua kali masa posisi di tahun 1901 sampai 1909. Sebelum menjadi presiden Roosevelt adalah wakil presiden Amerika Serikat di bawah Presiden William McKinley. Theodore Roosevelt dikenal juga dengan panggilan T.R., dan di kalangan warga dikenal dengan Teddy (walaupun beliau sendiri tidak menyukai nama panggilan ini). Nama boneka mainan beruang Teddy, dinamakan menurut presiden ini karena suatu kali pada saat berburu beliau menolak membunuh seekor anak beruang. Posisi presiden beliau peroleh ketika beliau menggantikan presiden William McKinley yang dibunuh. Pada usia 42 tahun, Roosevelt adalah presiden Amerika Serikat yang termuda. Roosevelt berasal dari Partai Republik. (Selengkapnya....... )

Tahukah anda.......


edunitas.com


Page 25

Selamat datang di Portal Ilmu

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Ilmu (atau ilmu ilmu) adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam dunia manusia. Segi-segi ini dibatasi supaya dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.

Ilmu bukan sekedar ilmu (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan ilmu berdasarkan teori-teori yang disepakati dan bisa secara sistematik diuji dengan seperangkat cara yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berupaya berfikir bertambah jauh mengenai ilmu yang dipunyainya. Ilmu ilmu adalah produk dari epistemologi.

Artikel pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Karikatur adalah gambar atau penggambaran sebuah objek konkret dengan cara melebih-lebihkan ciri khas objek tersebut.Kata karikatur berasal dari kata Italia caricare yang artiannya memberi muatan atau melebih-lebihkan. Karikatur menggambarkan subjek yang dikenal dan umumnya dimaksudkan untuk menimbulkan kelucuan untuk pihak yang mengenal subjek tersebut. Karikatur dibedakan dari kartun karena karikatur tidak membentuk kisah sebagaimana kartun, namun karikatur bisa dijadikan unsur dalam kartun, misalnya dalam kartun editorial. Orang yang membuat karikatur dinamakan sebagai karikaturis.

Karikatur sebagaimana yang dikenal sekarang berasal dari Italia masa zaman ke-16. Pada masa zaman ke-18, karikatur telah menjangkau masyarakat lapang menempuh media cetak dan, terutama di Inggris, telah dijadikan fasilitas kritik sosial dan politis. Pada masa zaman berikutnya, berbagai majalah satire dijadikan media utama karikatur; peran yang kesudahan dilanjutkan oleh surat kabar harian pada masa zaman ke-20. Selain sebagai bentuk seni dan hiburan, karikatur juga telah digunakan dalam bidang psikologi untuk meneliti bagaimana manusia mengenali wajah.

Selengkapnya...

Artikel pilihan sebelumnya: lainnya...

Gambar pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Petir

Petir merupakan pelepasan muatan elektrostatis yang muncul belakang suatu peristiwa hujan badai. Pelepasan muatan ini diikuti dengan pemancaran cahaya dan radiasi elektromagnetik dalam bentuk lain. Dan merupakan gesekan selang awan tebal satu dengan yang lainnya.

Ilmuwan pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Carolus Linnaeus atau Carl (von) Linné (Älmhult, 23 Mei 1707 – Uppsala, 10 Januari 1778) adalah seorang ilmuwan Swedia yang meletakkan dasar tatanama biologi(takson/ taksonomi). Dia dikenal sebagai "bapak taksonomi modern" dan juga merupakan salah satu bapak ekologi modern. Linnaeus ialah berbakat botani yang paling dihormati pada masanya, dan dia juga terkenal dengan kemampuan bahasanya. Selain dijadikan berbakat botani, Linnaeus juga berbakat dalam zoologi dan adalah seorang dokter. Carolus Linnaeus kelahiran di Paroki Stenbrohult (sekarang termasuk wilayah administrasi Älmhult), di anggota selatan Swedia. Ayahnya bernama Nils Ingemarsson Linnaeus dan ibunya bernama Christina Brodersonia. Sejak kecil Linnaeus dilatih dijadikan seorang anggota gereja yang setia, sebagaimana ayahnya dan kakeknya (dari ibu), namun dia kurang bersemangat mengikuti cara tersebut. Ketertarikannya dalam studi botani sempat membuat seorang dokter dari kotanya terpesona dan dia dikirim untuk bersekolah di Universitas Lund—universitas terdekat, kesudahan pindah ke Universitas Uppsala sesudah satu tahun. (Selengkapnya...)


edunitas.com


Page 26

Selamat datang di Portal Ilmu

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Ilmu (atau ilmu ilmu) adalah semua usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan dan meningkatkan pemahaman manusia dari beragam bidang kenyataan dalam dunia manusia. Segi-segi ini dibatasi supaya dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan ketentuan dengan membatasi lingkup pandangannya, dan ketentuan ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.

Ilmu bukan sekedar ilmu (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan ilmu berdasarkan teori-teori yang disepakati dan bisa secara sistematik diuji dengan seperangkat cara yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berupaya berfikir bertambah jauh mengenai ilmu yang dipunyainya. Ilmu ilmu adalah produk dari epistemologi.

Artikel pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Karikatur adalah gambar atau penggambaran sebuah objek konkret dengan cara melebih-lebihkan ciri khas objek tersebut.Kata karikatur berasal dari kata Italia caricare yang artiannya memberi muatan atau melebih-lebihkan. Karikatur menggambarkan subjek yang dikenal dan umumnya dimaksudkan untuk menimbulkan kelucuan untuk pihak yang mengenal subjek tersebut. Karikatur dibedakan dari kartun karena karikatur tidak membentuk kisah sebagaimana kartun, namun karikatur bisa dijadikan unsur dalam kartun, misalnya dalam kartun editorial. Orang yang membuat karikatur dinamakan sebagai karikaturis.

Karikatur sebagaimana yang dikenal sekarang berasal dari Italia masa zaman ke-16. Pada masa zaman ke-18, karikatur telah menjangkau warga lapang menempuh media cetak dan, terutama di Inggris, telah dijadikan sarana prasarana kritik sosial dan politis. Pada masa zaman berikutnya, beragam majalah satire dijadikan media utama karikatur; peran yang berikutnya dilanjutkan oleh surat kabar harian pada masa zaman ke-20. Selain sebagai bentuk seni dan hiburan, karikatur juga telah digunakan dalam bidang psikologi untuk meneliti bagaimana manusia mengenali wajah.

Selengkapnya...

Artikel pilihan sebelumnya: lainnya...

Gambar pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Petir

Petir adalah pelepasan muatan elektrostatis yang muncul dampak hujan badai. Pelepasan muatan ini diikuti dengan pemancaran cahaya dan radiasi elektromagnetik dalam bentuk lain. Dan adalah gesekan selang awan tebal satu dengan yang yang lain.

Ilmuwan pilihan

Tujuan Sriwijaya menduduki daerah Semenanjung Malaya adalah untuk

Carolus Linnaeus atau Carl (von) Linné (Älmhult, 23 Mei 1707 – Uppsala, 10 Januari 1778) adalah seorang ilmuwan Swedia yang meletakkan dasar tatanama biologi(takson/ taksonomi). Dia dikenal sebagai "bapak taksonomi modern" dan juga adalah salah satu bapak ekologi modern. Linnaeus ialah pakar botani yang paling dihormati pada saatnya, dan dia juga terkenal dengan kemampuan bahasanya. Selain dijadikan pakar botani, Linnaeus juga pakar dalam zoologi dan adalah seorang dokter. Carolus Linnaeus kelahiran di Paroki Stenbrohult (sekarang termasuk wilayah administrasi Älmhult), di bidang selatan Swedia. Ayahnya bernama Nils Ingemarsson Linnaeus dan ibunya bernama Christina Brodersonia. Sejak kecil Linnaeus dilatih dijadikan seorang anggota gereja yang setia, sebagaimana ayahnya dan kakeknya (dari ibu), namun dia kurang bersemangat mengikuti cara tersebut. Ketertarikannya dalam studi botani sempat membuat seorang dokter dari kotanya terpesona dan dia dikirim untuk bersekolah di Universitas Lund—universitas terdekat, berikutnya pindah ke Universitas Uppsala sesudah satu tahun. (Selengkapnya...)


edunitas.com