Ucapan yang tepat ketika bertemu Ibu guru di jalan waktu siang hari adalah

Oleh

Rita Noviani, S.Pd.SD.

(Ketua Bidang Literasi, Media dan Informasi PD OKI)

Suasana kelas yang gaduh membuat Bu Hani menjadi kesal. Namun Ia mencoba bersabar menghadapi siswa-siswinya. Siapa lagi kalau bukan Doni yang menjadi biang kerok. Postur tubuhnya yang cukup besar seolah menjadi jawaban tingkah lakunya yang semena-mena.

Begitu juga usia yang sudah memasuki masa pubertas yang penuh gejolak, perasaan egois dan rasa serba ingin tahu.

Doni sering tidak naik kelas karena kenakalan dan kesulitannya menerima pelajaran. Kebiasaan bolos membuatnya harus ketinggalan banyak sekali pelajaran. Bu Hani sudah memanggil orang tuanya. Akan tetapi sepertinya kedua orang tua Doni tidak mengindahkan panggilan dari pihak sekolah. Namun yang anehnya dari kenakalan Doni kadang Bu Hani menemukan sisi lembut tatap matanya. Oleh karena itu Bu Hani berinisiatif mendekati Doni.Jika kegiatan pembersihan kelas Doni lebih tangkas dari teman lelakinya yang lain, itu juga menjadi catatan Bu Hani.“ Siapa yang bersedia menutup lubang diatas langit-langit kelas kita ?

Bu Hani bertanya kepada murid-muridnya. Namun tak ada yang menjawab.

Tiba- tiba Doni masuk ke kelas,“ Ada apa Bu ?”“ Ibu ingin menutup lubang di atas langit-langit kelas kita, tapi Ibu takut naik ke atas.”“ Biar saya Bu, saya kan lebih tinggi dari Bu Guru.”

Sejenak kelas tertawa karena perkataan Doni. Namun apa yang dikatakan Doni memang benar. Bu Guru Hani hanya memiliki tinggi 140 cm sementara Doni sudah memiliki tinggi 155 cm di usia sekolah dasarnya. Tapi menurut saudaranya Fatma yang sudah lebih dulu menamatkan sekolah Dasar disekolah yang sama, umur Doni hanya selisih setahun darinya. Jadi Doni semestinya bukan duduk di kelas VI Sekolah dasar tapi sudah di kelas VIII SMP.

Suatu hari Bu Hani berinisiatif berbicara dengan Doni,“ Mengapa kamu sering bolos, Nak ?”“ Oh…saya sering bangun kesiangan Bu.” Seolah tanpa beban Doni menjawab pertanyaan Bu Hani.

“ Lho, kan mau sekolah. Memangnya Ayahmu tidak melarang dan bagaimana ibumu apakah ibumu mengizinkanmu begadang ?”


“ Mengapa ayah harus melarang ? Ayah juga tiap malam begadang, bermain bilyar bersama teman-temannya. Kalau ibu tiap malam keluar juga karena harus memijat orang.”


Terperangah Bu Hani mendengar jawaban Doni. Ternyata anak ini kurang perhatian ayah ibunya. Wajar jika ia bertingkah macam-macam karena tak ada yang mengarahkan Doni.

Siang itu sepulang sekolah secara tak sengaja Bu Hani berpapasan dengan Bu Yuni , ibu Doni.“ Bu Yuni, tunggu Bu !” Bu Hani berteriak memanggil Bu Yuni yang sepertinya buru-buru di pasar.“ Ada apa, Bu? “ Ia berhenti sejenak dan bertanya ke Bu Hani.“ Saya mau membicarakan tentang Doni, bisa Bu ?”“ Maaf Bu Hani, saya harus memijat orang . Sudah berjanji dengan orang tersebut dan maaf saya buru-buru.”“ Sebentar saja Bu.”Bu Hani mulai kesal dengan sikap Bu Yuni yang tak mau tahu tentang anaknya. Bu Hani Pun tak mau menyia-nyiakan kesempatan bertemu dengan Bu Hani tesebut.“ Bu, Doni bermasalah di kelas, ia sering terlambat bahkan sering tidak masuk. Dia juga sering mengganggu teman-teman yang lain. Jika ini terus berlanjut , Doni bisa tidak lulus, Bu.”“ Bu, saya mohon jangan sampai Doni tak lulus . Saya ingin ia ikut orang tua saya di Jakarta dan masuk di klub Basket nantinya, Bu”“ Tapi kalau dia tidak berubah , saya tak bisa jamin Doni lulus tahun ini Bu.” Nada bicara Bu Hani mulai meninggi.“ Kami punya anggota dewan yang bisa membantu kami, Bu.”Bu Yuni bicara dengan lantang sambil melipat tangan ke pinggang.

“ Saya tidak merasa melanggar peraturan Bu. Saya juga punya catatan pelanggaran yang dibuat anak Ibu. Lagi pula tak ada hubungannya dengan anggota DPR, saya tidak takut.”

Bu Hani sangat kesal dengan jawaban Bu Yuni.“ Nantilah Bu, saya harus menemui pasien saya dulu.”“Bu Yuni segera berlalu dari hadapan Bu Hani.“ Orang tua yang aneh dan sombong. Memangnya apa hubungan jika punya keluarga anggota dewan. Apakah bisa ia beli peraturan di sekolah ini?” Bu Hani terus menggerutu saat tiba di sekolah.“ Ada apa Bu Hani ?” Bu Nurma Bertanya“ Saya baru bertemu ibunya Doni dan membicarakan tentang Doni yang sudah saya panggil ke sekolah namun orang tuanya tidak mengindahkan. Ternyata ia ingin membawa anggota dewan ke sekolah kita.” Bu Hani curhat dengan teman seprofesinya sekaligus orang ia percaya.“ Bu Hani, ada hal lain yang harus ibu ketahui tentang Doni. Doni itu kurang perhatian orangtuanya. Ayahnya adalah pengangguran, kerjanya hanya bermain judi. Jika istrinya tak punya uang maka tak segan ia memukul istrinya bahkan di depan anak-anaknya.” Bu Nurma yang sekaligus masih satu kampung dengan bu Yuni memberi tahu Bu Hani.

Lagi-lagi Bu Hani dibuat terkejut dengan apa yang baru diketahuinya. Sebegitu keraskah kehidupan yang dihadapi Doni?

“Aku harus bantu Doni.” Itulah tekad kuat dari Bu Hani.

Pagi ini seperti biasa Bu Hani masuk kelas. Namun ia meminta Doni yang menyiapkan kelas.“ Doni, silakan pimpin doa, kita akan segera belajar. “ Terkejut Doni ketika mendengar perkataan Bu Hani.“ Mengapa saya Bu, biasanya Ardi yang memimpin?”“ Hari ini Doni tidak terlambat dan sebagai penghargaan Ibu minta Doni yang memimpin doa.”Dengan penuh semangat Doni memimpin teman-temannya membaca doa.“ Teman-teman marilah kita membaca doa bersama-sama !”Begitu jelas binar kemerahan di wajah Doni saat Bu Hani meminta ia membaca doa. Selama kegiatan belajar berlangsung Bu Hani selalu memberi perhatian kepada Doni secara khusus di samping perhatian untuk siswa lainnya. Saat istirahat pun Bu Hani selalu menyempatkan untuk ngobrol dengan Doni bukan hanya sebagai guru tapi juga bak ibu yang berbicara dengan anaknya. Ada saja tugas yang diberikan Bu Hani agar ia dapat berbicara dengan anak tersebut. Hingga suatu hari Doni dengan mata berkaca-kaca mencurahkan isi hatinya ke Bu Hani.“ Terima kasih atas perhatian Bu Hani. Saya seperti punya semangat baru Bu”“ Don, kalau boleh ibu bertanya mengapa Doni sering mengganggu teman-teman lain ?”

“ Mereka sering mengejek ibu saya, Bu guru kan tau kondisi ibu saya yang cacat, kakinya pincang. Saya tak rela, Bu. Lagi pula profesi ibu saya sebagai tukang pijat mereka anggap rendah”

“ Maafkan mereka, Nak. Nanti ibu akan menasihati teman-temanmu. Memangnya ayahmu kerja apa ?”“ Ayah tidak bekerja, Bu. Tiap hari hanya bermain bilyar, berjudi. Jika ibu tidak memberi uang maka ayah tak segan memukul ibu. Saya sangat kasihan dengan ibu tapi saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.” Mata Doni nampak berkaca-kaca.Bu Hani menatap wajah polos Doni. Ia sangat kasihan mengetahui kondisi psikologi anak tersebut.“ Doni percaya Ibu?”“ Tentu Bu, selama ini Bu Guru selalu memperhatikan saya, membimbing saya serta tak pernah mencaci saya walaupun selama ini saya selalu nakal dan mengganggu taman-teman”.“ Teruslah belajar, Nak, teruslah sekolah raih mimpimu , cita-citamu agar kelak kau bisa membahagiakan ibumu, mengganti rasa sakitnya, mengganti jerih payahnya selama membesarkan dan menyekolahkanmu”.“ Terima kasih Bu, tapi apa bisa ? Saya banyak ketinggalan pelajaran dan saya pun bukan tipe anak yang cerdas Bu. Saya anak bodoh.” Air mata Doni mulai mengalir. Rasa iba bu Hani semakin besar mendengar kata – kata terakhir Doni.“ Ibu akan membantumu, setiap jam istirahat kita akan belajar sore selasa dan kamis Doni boleh belajar di rumah Ibu, Doni mau ?“ Mau, Bu… Saya mau sekali. Terima kasih Bu.”

Doni hampir melompat mendengar perkataan bu Hani. Ia segera mengambil tangan Bu Hani dan mencium punggung tangan bu guru tersebut.

Saat masuk kelas bu Hani berbicara kepada siswa-siswinya,

“ Anak-anak, mulai sekarang Ibu minta kalian bantu Doni, janganlah kalian bermusuhan lagi, jangan pula kalian menghina ibunya lagi sebab itu perbuatan yang tidak baik. Doni adalah sahabat kalian dan sesama sahabat hendaknya saling membantu”Doni pun berdiri dan menatap teman-temannya.“ Ya, teman-teman saya mohon maaf jika selama ini saya sering menjahati teman-teman. Saya tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi”.Ardi sebagai ketua kelas akhirnya berdiri juga,“ Atas nama teman-teman, saya juga mohon maaf padamu Don. Kami pun salah karena sering mengejek dan menghina ibumu, maafkan kami juga ya…” Mereka berdua bersalaman disambut tepuk tangan anggota kelas lainnya dan satu persatu mereka menyalami Doni.“ Nah, ini baru anak-anak hebat !” Puji Bu Hani.“ Begitulah anak-anakku , sebagai manusia kita tidak boleh menganggap remeh orang lain karena itu berbuatan yang buruk. Lagi pula kita tidak tahu nasib orang yang kita hina mungkin akan lebih baik dari kita. Kita juga tak boleh menyakiti sahabat kita apalagi sampai berkelahi karena itu adalah perbuatan tidak mencerminkan karakter bangsa Indonesia.” Suasana kelas nampak hening.“ Kita bangsa yang beradab , bangsa yang berideologi pancasila. Oleh sebab itu hendaknya kita memiliki toleransi dengan orang disekitar kita, suka menolong sesama dan jika kalian berselisih pendapat maka musyawarahkanlah. Selama 6 tahun kalian setiap hari duduk bersama , belajar bersama dan bermain bersama. Dengan jangka waktu yang selama itu, apakah kurang cukup untuk saling menyayangi sesama sahabat ?” Semua siswa saling menatap dan tersenyum. Sepertinya mereka memahami perkataan bu Hani.

Setiap waktu istirahat bu Hani memberi pelajaran tambahan kepada Doni. Sedikit demi sedikit mulai ada perubahan sikap Doni diiringi dengan bertambahnya prestasinya.

Tak terasa ujian Sekolah berstandar Nasional (UASBN ) sudah di depan mata. Doni tak resah lagi seperti ujian sebelumnya. Ia lebih tenang dan lebih santai menghadapinya karena ia sudah belajar dengan maksimal. Bukan belajar kebut semalam tetapi belajar dengan sungguh-sungguh dan tekun dibimbing Bu Hani guru kesayangannya.Tibalah waktu kelulusan siswa, semua siswa resah dan gelisah akan hasil yang akan mereka terima, tak terkecuali Doni. Setelah acara pembukaan dan sambutan oleh kepala sekolah tibalah saat yang ditunggu-tunggu, pengumuman kelulusan siswa. Satu-persatu amplop kelulusan dibagikan kepada wali siswa dan saat sudah keluar kelas mereka membuka amplop masing-masin. Alhamdulillah semua siswa dinyatakan lulus. Doni melompat girang , dipeluknya ibunya lalu ia berlari kearah Bu Hani“ Bu, terima kasih atas bantuan ibu selama ini. Tanpa Ibu mungkin saya tidak mungkin menyelesaikan sekolah saya” Doni mencium tangan Bu Hani. Ingin rasanya ia memeluk Bu Guru tersebut saking ia berterima kasih atas apa yang sudah di perbuat Bu Hani kepadanya.“ Saya akan ingat selalu pesan Bu Hani, saya akan terus belajar dan mengejar impian saya”“ Ya, Don…Ibu akan mendoakanmu selalu. Semoga mimpimu terwujud”Bu Yuni mendekat dan menjabat tangan Bu Hani “ Terima kasih atas bimbingan Ibu terhadap anak saya. Hanya Allah yang bisa membalas jasa Bu Hani”.“ Ya, Bu…. Biarkan Doni mencapai impiannya, beri ia dukungan Bu. Doni adalah masa depan Ibu”.“ Ya, Bu…maafkan saya jika selama ini saya tidak mengindahkan panggilan Ibu. Doni banyak bercerita tentang kebaikan Ibu. Saya merasa malu dengan Ibu. Saya berjanji akan menyekolahkan anak saya bagaimanapun keadaan saya. Alhamdulillah pamannya juga bersedia membantu pendidikannya”“ Semoga cita-cita Doni dapat tercapai “ Begitulah doa Bu Hani untuk Doni.

Sejak peristiwa kelulusan itu, Bu Hani tidak pernah lagi berjumpa dengan Doni. Dan tentu saja banyak generasi Doni yang menguras perhatian Bu Hani. Namun Bu Hani selalu berusaha semampunya agar siswanya bisa mendapat yang terbaik.

Sepuluh tahun berlalu , tepat di hari guru saat Bu Hani sedang menunaikan tugasnya di kelasnya. Sepasang mata sedang memperhatikan Bu Hani mengajar. Di mata pemuda ini tak banyak perubahan pada sosok Bu Hani. Walau nampak garis keriput diwajah guru yang baik hati itu, namun beliau masih tampak cantik dan keibuan saat mengajar. Nampak sekali sikapnya yang sabar dan telaten saat menghadapi anak didiknya yang antusias belajar.“ Assalamualaikum.”Tanpa ragu-ragu pemuda itu mengetuk pintu kelas dan memberi salam.“ Waalaikum salam.“Bu Hani dan siswa kelas 6 menjawab. Nampak sosok pemuda gagah dengan balutan baju tentara masuk dan langsung mengambil tangan Bu Hani serta mencium punggung tangan Bu Guru yang masih melongo bingung.“ Ibu masih ingat saya ? “Pemuda itu bertanya kepada Bu Hani dan dijawab dengan gelengan kepala sang guru sambil terus menatap tajam pada sosok yang masih memegang tangannya tersebut.“ Maaf, saya tidak tahu siapa Bapak ini.”“ Saya Doni , anak Ibu yang bandel dulu, anak yang selalu membuat Ibu kesal, anak yang selalu Ibu bimbing setiap jam istirahat, anak yang selalu merepotkan ibu.”“ Subhanallah…. Doni, dirimu sudah jadi tentara sekarang, ibu pangling, Nak”Bu Hani menepuk pundak sosok Doni yang gagah tersebut.“ Semua berkat Bu Hani, jika ibu tak perduli pada saya mungkin saya tidak akan menjadi seperti sekarang. Saya selalu teringat Ibu , saya pernah pulang ke Pedamaran tapi malu bertemu Ibu sebelum saya sukses”Bu Hani begitu gembira bisa bertemu Doni lagi, apalagi saat ini Doni sudah berhasil mencapai cita-citanya. Ia Pun tak menyia-nyiakan kesempatan tersebut dan memperkenalkan Doni pada siswanya.“ Anak- anak, Bapak tentara ini dulu sekolah disini. Sekarang ia sudah sukses.” Bu Hani memperkenalkan Doni kepada siswanya.“ Siapa yang ingin menjadi tentara ?” Kembali Bu Hani bertanya pada siswanya yang masih melongo bingung.“ Saya, Bu.” Beberapa siswa tunjuk tangan“ Adik-adik sekalian, jika ingin seperti kakak, harus rajin belajar ya…” Doni memberi nasihat pada siswa yang ditemuinya di kelas itu. Ia menceritakan tentang Tentara Nasional Indonesia dan sejarahnya.Doni mengambil sebuah bingkisan dari dalam ranselnya dan memberikannya kepada Bu Hani.“ Bu, saya ingin memberikan ini kepada Ibu. Ini buku perdana saya Bu. Berkat Ibu saya bisa mencapai impian . Buku ini adalah ungkapan rasa terima kasihku pada Bu Guru. Selain bertugas sebagai tentara saya juga suka menulis dan buku ini kupersembahkan sebagai wujud terima kasih pada ibu”.

Bu Hani menerima buku pemberian Doni, Buku bersampul biru bergambar sosok guru wanita yang mirip Bu Hani sebagai penghias sampulnya. Bu Hani meneteskan air mata.

Bagaimana tidak. Buku itu ditulis Doni khusus untuk dirinya. Ada halaman khusus yang menarik perhatian Bu Hani.

Terima Kasih Bu GuruBuku ini kupersembahkan untuk guru yang sudah menjadikanku sebagai manusia yang punya impian. Tanpa beliau aku mungkin sudah masuk dalam kubangan kebodohan dan selalu larut dalam dilema hidup yang berkepanjangan. Bu Hani sosok yang tanpa lelah membimbingku. Bu guru yang selalu sabar menghadapi kenakalanku. Guru pertama yang memandangku sebagai sosok benih yang harus dipupuk dengan ilmu dan kasih sayang hinggaku tumbuh menjadi manusia yang berkarakter yang bisa menghargai orang yang ada di sekitarku, mensyukuri keberadaaan kerabat dan sahabatku serta senantiasa menjadi manusia yang bersyukur kepada Allah. Terima kasih guruku, semoga banyak Doni lain yang merasakan keberuntungan memilikimu seperti aku.“ Ini hadiah terindah bagi Ibu, Don” Bu Hani mendekap buku tersebut.“ Ibu , buku ini tak senilai dengan kasih sayang yang sudah ibu berikan, semoga ibu berkenan”“ Tentu , Nak…” Tak kuasa lagi Bu hani melanjutkan kata-katanya.

Setelah berbincang cukup lama Doni pamit pada Bu Hani. Lega rasa hatinya bisa bertemu dengan gurunya yang sudah merubah dirinya menjadi lebih baik. Ia pun dengan bangga bisa membuktikan pada gurunya tersebut bahwa jerih payah gurunya tak sia-sia.

“Tak akan cukup dengan hanya ucapan terima kasih guruku. Semoga kelak aku bisa membalas jasamu dengan hal yang lebih bermakna” itu janji hati Doni untuk Bu Hani.