Untuk mewadahi aktivitas kebudayaan indonesia jepang mendirikan sebuah lembaga yang bernama

Keimin Bunka Shidōsho [Nippongo: 啓民文化指導所], [EVN: Poesat Keboedajaan] atau secara umum di kenal dengan Keimin Bunka Shidoso adalah lembaga seni dan budaya yang disponsori oleh Kekaisaran Jepang di Indonesia selama pendudukan Jepang di Hindia Belanda dalam masa Perang Dunia II[1][2]

Kantor Keimin Bunka Shidoso dengan bendera Jepang berkibar di depan bangunan.

Keimin Bunka Shidōsho didirikan oleh Undang-undang Publikasi Perfilman Jepang pada Juli 1938. Undang-Undang Publikasi Perfilman tersebut dibuat oleh Kementerian Dalam Negeri Kekaisaran Jepang untuk mengawasi pembuatan, pengaturan, pengawasan substansial film, penyensoran, dan memperketat peraturan perusahaan film dan publikasi film.[3]

Pada tanggal 8 Maret 1942, Hindia Belanda diduduki oleh Militer Kekaisaran Jepang. Untuk meningkatkan dukungan terhadap Jepang di kalangan rakyat Indonesia, pemerintahan Kekaisaran Jepang menggunakan propaganda politik, seni, dan budaya untuk menjangkau rakyat. Setibanya mereka di Indonesia, Jepang telah mencoba untuk menggalang dukungan di antara penduduk Pribumi untuk "Kemerdekaan Indonesia", dengan maksud untuk memajukan kepentingannya sendiri, terutama dalam Perang Pasifik yang sedang berlangsung.[1] Jepang sesegera mungkin menyita bekas perusahaan film yang dijalankan oleh Belanda, alih-alih menempatkan produksi film di bawah pengawasan Nippon Eigasha.[3]

Pada 9 Januari 1943, pemerintah Jepang mendirikan majalah yang bernama Djawa Baroe.[4] Ia merupakaan majalah propaganda yang mempromosikan karya sastra berdasarkan sastra-sastra bernuansa Asia Timur Raya. Untuk menghilangkan pengaruh Barat, propaganda yang mereka terbitkan di Djawa Baroe memuat slogan-slogan yang menjelek-jelekkan sekutu, dan menceritakan tentang sisi buruk serta kekejaman Belanda. Meskipun sebagian besar penulis di Djawa Baore adalah orang Jepang, ada juga penulis, musisi, dramawan, dan seniman teater Indonesia yang terlibat dalam majalah tersebut.[4][5]

Pada tanggal 1 April 1943, pemerintah Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidōsho di Jakarta. Melalui lembaga kebudayaan ini, Jepang berusaha menyebarkan kesadaran akan persatuan Asia Timur Raya di kalangan masyarakat Indonesia untuk mendukung mereka dalam perang yang sedang berlangsung. Segera setelah Keimin Bunka Shidōsho didirikan, banyak seniman tertarik untuk bekerja di dalamnya, dengan tujuan untuk memperluas keterampilan seniman Indonesia. Pelukis Indonesia yang bekerja di Keimin Bunka Shidōsho untuk pertama kalinya dilatih seni rupa kontemporer dan semua kegiatan tersebut sepenuhnya disponsori dan didukung oleh negara.[5] seperti yang disampaikan oleh Seniman Indonesia Barli Sasmitawinata yang mengenang pengalamannya:

Di zaman Belanda, cat minyak sangat mahal untuk kita beli sebagai seniman muda. Namun pendudukan Jepang bukanlah zaman yang buruk bagi kami para seniman. Pusat Kebudayaan memberi kami cat minyak, kanvas, kuas… semuanya gratis. Setiap bulan truk datang untuk mengirimkan bahan lukisan. Cat minyak tidak datang dalam tabung, tetapi dalam wadah yang lebih besar. Ketika kami kehabisan bahan lukisan, yang harus saya lakukan hanyalah menelepon atau menulis surat ke kantor pusat di Jakarta. Adapun kertas gambar yang mereka siapkan merupakan gulungan-gulungan.[5]

Pemerintah Jepang mendirikan bioskop di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Timur untuk pemutaran film propaganda atau dokumenter.[3] Orang Jepang memandang penyiaran film sebagai cara yang efisien dan efektif untuk menyampaikan pesan propaganda. Sendenbu [Kementrian Peperangan] berhasil merekrut sejumlah besar seniman Jepang dan Indonesia untuk berpartisipasi dalam film-film tersebut.[5]

Pemerintah Jepang juga mengundang berbagai seniman, pelukis dan komposer dari Jepang, seperti Iida Nobuo, Kōno Takashi, Kurata Bunjin, Hinatsu Eitar, Yokoyama Ryūichi, Saseo Ono, Koiso Ryōhei, dan Hajime Itō. Seniman Indonesia seperti Kusbini, Sudjojono, Emiria Sunassa, Basuki Abdullah, Barli Sasmitanata, Agus Djajasuminta dan Iton Lesmana juga tergabung dalam organisasi tersebut.[5]

Kepengurusan dibagi menjadi empat kelompok, yaitu:

  • Ketua bidang seni rupa dijabat oleh Agus Djaja,[2]
  • Ketua bidang film dan drama dijabat oleh Usmar Ismail,[2]
  • Ketua seni sastra dijabat oleh Armijn Pane, dan[2]
  • Ketua seni tari dan suara dijabat oleh Ibu Sud.[2]

  1. ^ a b Media, Kompas Cyber [December 27, 2021]. "Keimin Bunka Shidoso, Lembaga Kebudayan Buatan Jepang Halaman all". KOMPAS.com. 
  2. ^ a b c d e "Keimin Bunka Shidoso [Poesat Keboedajaan]". archive.ivaa-online.org [dalam bahasa Inggris]. Diakses tanggal 2018-03-13. 
  3. ^ a b c "Keimin Bunka Shidoso, Organisasi Kebudayaan Masa Kependudukan Jepang". 
  4. ^ a b "Japanese Propaganda Through Literature On Djawa Baroe Magazine at Japan Colonization Era in Indonesia [1942-1945]". 
  5. ^ a b c d e "Cross-Cultural Counterparts: The Role of Keimin Bunka Shidosho in Indonesian Art, 1942 – 1945". 

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Keimin_Bunka_Shidōsho&oldid=21623812"

Pemerintah pendudukan Jepang mendirikan sebuah pusat kebudayaan yang diberi nama Keimin Bunka Shidoso. Pusat kebudayaan tersebut menjadi wadah bagi perkembangan kesenian bangsa Indonesia. Akan tetapi, lembaga ini juga digunakan oleh pemerintah Jepang untuk mengawasi dan mengarahkan kegiatan para seniman agar karya-karyanya tidak menyimpang dari kepentingan Jepang.

Keimin Bunka Shidoso atau lembaga kebudayaan didirikan sebagai wadah pengembangan kesenian bangsa Indonesia. Namun, di luar dugaan, ternyata pemerintah militer Jepang memiliki motif tersembunyi di balik pendirian Keimin Bunka Shidoso tersebut. Oleh pemerintah Jepang, Keimin Bunka Shidoso digunakan untuk mengawasi dan mengarahkan kegiatan para seniman agar karya-karya yang dihasilkan tidak menyimpang dari kepentingan Jepang. 

Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah E

apa tujuan dari khiyar dalam jual beli? berikan penjelasan​

Ada beberapa prestasi yang dilakukan oleh khalifah umar ibn khattab. namun ada salah satunya yang bertujuan agar ada perbedaan antara muslim dengan ka … um nasrani. kebijakan yang dimaksud adalah

Berita masuknya islam ke nusantara yang dituliskan oleh tome pires, dituliskan dalam buku yang bernama

Dalam sejarah perpolitikan indonesia, yaitu pada era pemerintahan orde lama pernah dijalankan 2 jenis sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan p … residensial dan sistem pemerintahan parlementer. jelaskan secara singkat perbedaan antara sistem pemerintahan presidensial dan sistem pemerintahan parlementer yang pernah dilaksanakan di indonesia antara tahun 1945-1967!

Fenomena alam yang menjadi factor utama yang membentuk kepulauan indonesia seperti sekarang ini adalah

Arti nama Timotius adalah​

Jelaskan apakah ada persamaan dan perbedaan antara adat dan hukum adat

Jelaskan rentang waktu kekuasaan pemerintahan orde baru

Jelaskan perbedaan system kepartaian yang dianut pada masa orde baru dengan system kepartaian pada masa reformasi!

Kafir quraisy mengirim dua utusan ke habasyah dengan tujuan merusak hubungan baik antara an-najasyi dan orang-orang yang hijrah. mereka me¬minta raja … agar mengembalikan kepada mereka orang-orang yang me¬ning¬galkan agama mereka. raja habasyah menolaknya dan sikapnya bahwa semua yang ada di tempatnya akan berada dalam per¬lindungannya dengan aman. utusan yang dikirim oleh kafir quraisy bernama

Pada tanggal 1 april 1943, pemerintah pendudukan Jepang mendirikan pusat kebudayaan Jepang di Jakarta yaitu Keimin Bunka Shidosho [Pusat Kebudayaan]

Fungsi lembaga ini mewadahi aktivitas budayawan Indonesia agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang.

Pembahasan

Bahasa

Pada masa pendudukan Jepang Indonesia tertutup ke dunia luar maupun ke dalam wilayah Indonesia, sehingga pada masa itu Indonesia sangat terisolasi dari hubungan dengan dunia luar dan dapat dikatakan, bahwa seluruh komunikasi dikendalikan oleh pemerintah. Demikian juga komunikasi di dalam Indonesia sendiri tertutup, misalnya antarpulau Sumatra, Jawa, Kalimantan dan lain-lain. Maka untuk menyebarluaskan pemakaian bahasa Indonesia dilakukan melalui surat kabar-surat kabar dan radio. Pada masa pendudukan Jepang bahasa Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat akibat kebijakan Jepang pada masa itu, diantaranya adalah :

Pelarangan penggunaan bahasa Belanda dari dunia perguruan tinggi maupun sekolah- sekolah, maupun perkantoran dan dari pergaulan seharihari memberikan kesempatan yang baik bagi pemakaian dan pengembangan bahasa Indonesia.

Pelarangan bagi orang Belanda memakai bahasanya sendiri. Yang melanggar dapat dituduh membantu musuh [Belanda, Amerika Serikat dan Inggris]. Seperti diketahui, pada masa penjajahan Belanda, bahasa Belanda menjadi bahasa resmi di bidang pemerintahan. Larangan pemakaian bahasa Belanda yang dilakukan oleh pemerintah Jepang sangat keras, sehingga boleh dikatakan di semua toko, rumah makan, perusahaan, perkumpulan dan lain-lainnya papan nama atau papan iklan yang Berbahasa Belanda diganti dengan yang berbahasa Indonesia atau berbahasa Jepang.

Film atau gambar-gambar yang memakai bahasa Belanda dilarang beredar. Sedangkan mengenai penggunaan bahasa Jepang boleh digunakan dimana saja baik di sekolah-sekolah maupun dalam pergaulan sehari-hari, hal ini sangat berbeda dengan pemerintahan Hindia Belanda, dimana bahasa Belanda hanya diberikan pada sekolah-sekolah tertentu dan tidak semua orang Indonesia diizinkan memakai bahasa Belanda terhadap orang Belanda. Bahkan pemerintah pendudukan Jepang melakukan langkah-langkah untuk pemakaian bahasa Jepang untuk menggantikan bahasa Belanda diantaranya :

  • Semua sekolah yang dibuka kembali oleh Jepang, diberi mata pelajaran bahasa Jepang.
  • Terdapat sekolah-sekolah khusus untuk pengajaran bahasa Jepang.
  • Pelajaran bahasa Jepang juga disiarkan melalui radio-radio pemerintah pendudukan Jepang.
  • Jepang juga menerbitkan Kana Jawa Shinbun, yang memakai bahasa Jepang dengan mempergunakan huruf katakana. Disebutkan bahwa tujuan utama daripada surat kabar itu adalah untuk menyebarluaskan bahasa Jepang dan meningkatkan pengetahuan membaca dan menulis bagi rakyat Jawa.
  • Jepang mendatangkan beratus-ratus orang guru bahasa Jepang ke Asia Tenggara, termasuk ke Indonesia, untuk mengajar ke Jepang. Sebaliknya orang Jepang mempelajari bahasa Indonesia secukupnya untuk berkomunikasi langsung dengan orang Indonesia, dan dengan pengetahuan bahasa yang minim itu, mereka dapat menjelajah sampai ke pelosok-pelosok Indonesia.

Kesenian

Kesenian. Demi alasan politik anti Barat-nya, Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidosho [Pusat Kebudayaan] tanggal 1 April 1943 di Jakarta. Fungsi lembaga ini mewadahi aktivitas budayawan Indonesia agar tidak menyimpang dari tujuan Jepang. Tanggal 29 Agustus 1942, lembaga ini mengadakan pameran karya pelukis lokal Indonesia seperti Basuki Abdoellah, Agus Djajasoeminta, Otto Djaja Soetara, Kartono Joedokoesoemo, dan Emiria Soenassa. Selain itu, ia juga memfasilitasi R. Koesbini dan Cornel Simanjuntak membentuk grup seni suara yang melahirkan lagu-lagu nasional Indonesia. Lahirlah lagu-lagu nasional Kalau Padi Menguning Lagi, Majulah Putra-Putri Indonesia, Tanah Tumpah Darahku. Keimin Bunka Shidosho juga memungkinkan Nur Sutan Iskandar melahirkan karyanya Tjinta Tanah Sutji, Karim Halim melahirkan Palawidja, atau Usmar Ismail dengan Angin Fudji. Seni drama karya budayawan Indonesia juga lahir seperti Api dan Tjitra [temanya pengabdian tanah air] karya Usmar Ismail, Taufan di atas Asia atau Intelek Istimewa karya Abu Hanifah.

Agustus 1943 Jepang membentuk Persatuan Aktris Film Indonesia [Persafi]. Persafi mendorong artis-artis profesional dan amatir Indonesia bereksperimen dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan bahasa asing ke bahasa Indonesia. Sandiwara, sebagai salah satu bentuk seni peran, juga berkembang di bawah pendudukan Jepang karena sebelum Perang Pasifik, pertunjukan sandiwara hampir tidak dikenal di Indonesia.

Pelajari Lebih Lanjut

----------------------------

Detil Jawaban

Kelas: 11

Mapel: Sejarah

Bab: 4

Kode: 11.3.4

Kata Kunci: penjajahan jepang, jakarta, kemerdekaan indonesia

Lihat Foto

Wikipedia

Kantor Keimin Bunka Shidoso

KOMPAS.com - Pada 1943, Jepang membentuk sebuah lembaga kebudayaan yang bernama Keimin Bunka Shidoso atau juga disebut Poesat Keboedajaan.

Tujuan Jepang mendirikan Keimin Bunka Shidoso adalah untuk mengasah keterampilan serta memperluas wawasan kesenian bangsa Indonesia.

Lembaga kebudayaan ini menaungi kesenian musik, tari, drama, film, dan seni rupa.

Lantas, apa yang melatarbelakangi Jepang untuk mendirikan Keimin Bunka Shidoso dan bagaimana perkembangannya?

Baca juga: Manifesto Kebudayaan: Latar Belakang, Tujuan, dan Tokoh

Latar belakang pembentukan

Pasukan Jepang berhasil berkuasa di Indonesia pada 8 Maret 1942. Mereka memiliki cita-cita menyatukan semua Asia dalam satu kepemimpinannya.

Selain itu, Jepang juga ingin masyarakat Asia mendukung peperangan yang sedang mereka upayakan dalam melawan Sekutu.

Supaya dukungan tersebut tercapai, maka Jepang berusaha menarik simpati dengan memberikan perhatian besar kepada rakyat dan mengindoktrinasi mereka.

Cara Jepang menerapkan indoktrinasi tentu tidak hanya lewat politik, melainkan juga melalui bidang kebudayaan.

Sejak mendarat di Indonesia, Jepang terus berusaha menanamkan propaganda kepada rakyat untuk mempersiapkan bangsa Indonesia yang merdeka.

Padahal, maksud sesungguhnya adalah untuk kepentingan Jepang sendiri, terutama dalam menghadapi perang Asia Timur Raya.

Video yang berhubungan

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề