Urusan yang boleh diselesaikan dengan cara musyawarah adalah yang berkaitan dengan

Dalam kehidupan bersama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, maupun bangsa, musyawarah sangat diperlukan. Karena, musyawarah memiliki posisi penting dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat.

Saking pentingnya, Islam memberikan kaidah dalam musyawarah agar suasana kondusif tetap terjaga—sebelum, selama, dan setelah musyawarah—sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surah Ali Imran [3] ayat 159, "Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya." Yang dimaksud "bermusyawarah dalam urusan itu" dalam ayat tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Alquran dan Terjemahnya Departemen Agama Republik Indonesia adalah urusan peperangan dan hal-hal duniawiah lainnya, seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan, dan lain-lainnya. Agar musyawarah yang diselenggarakan itu mendapatkan hasil keputusan terbaik dan mendapat ridha Allah SWT maka setiap peserta mesti memahami kaidah dalam bermusyawarah [QS Ali Imran [3]: 159]. Pertama, bersikap lemah lembut. Setiap peserta musyawarah harus dapat bersikap lemah lembut, baik dalam sikap, ucapan dan tindakan, serta menghindari sikap emosional, berkata-kata kasar, menggebrak meja, dan keras kepala. Kedua, mudah memberi maaf. Sikap ini harus dimiliki oleh setiap peserta sebab musyawarah itu tidak akan berjalan dengan baik jika masing-masing peserta masih diliputi kekeruhan hati. Ketiga, membangun hubungan yang kuat dengan Allah melalui permohonan ampun. Dalam musyawarah dimungkinkan terjadi kesalahan, baik yang disadari maupun tidak, Rasulullah SAW mengajarkan doa kafaratul majelis sebagai penutup musyawarah. "Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilahailla anta astaghfiruka wa'atubu ilaik" [Maha Suci Engkau ya Allah, dengan memuji-Mu aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq disembah melainkan diri-Mu, aku memohon pengampunan-Mu dan bertaubat kepada-Mu]. [HR Tirmidzi]. Keempat, membulatkan tekad. Sudah semestinya peserta musyawarah membulatkan tekad dalam mengambil suatu keputusan yang disepakati bersama [mufakat], bukan saling ingin menang sendiri tanpa ada keputusan. Dan, jika suatu keputusan harus diputuskan melalui voting maka setiap peserta musyawarah hendaknya dapat menerima hasilnya dengan lapang dada. Kelima, bertawakal kepada Allah. Setelah bermusyawarah semestinya keputusan yang telah diambil, baik secara mufakat maupun voting—hasilnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah karena Dialah yang menentukan segala sesuatu itu terjadi.

Semoga Allah membimbing kita dan para pengelola bangsa dalam bermusyawarah agar tercipta ketenangan, keharmonisan, dan hasil yang terbaik dalam upaya membangun bangsa menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Aamiin.

Dalam tradisi manusia yang berakal sehat, tradisi bertukar pikiran itu memang hal yang lumrah atau wajar. Bisa dilakukan dengan dua orang atau banyak orang. Jika dilakukan dengan banyak orang, inilah yang sering kita sebut dengan rapat alias musyawarah. Tetapi, jika kita berpikir mendalam, ternyata ada hal-hal yang bisa dimusyawarahkan dan ada juga hal-hal yang tidak bisa dimusyawarahkan. Bahkan ada, hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan.

Dalam musyawarah atau rapat, ada beberapa cara dalam mengambil keputusan. Bisa dengan mencari kesepakatan antar peserta musyawarah, bisa dengan menyerahkan keputusan pada pimpinan musyawarah, bisa juga dengan suara terbanyak alias voting. Tetapi jika kita berpikir lebih dalam lagi tentang cara pengambilan keputusan dalam musyawarah, ternyata ada hal-hal yang memang bisa diputuskan secara voting atau menyerahkannya kepada pimpinan rapat [musyawarah].

Dalam konteks ini, Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum rahimahullah telah memberikan prinsip-prinsip dasar musyawarah. Di antaranya adalah sebagai berikut.

PERTAMA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam pembahasan hukum syara'. Sebab, hukum syara' wajib ditetapkan dengan ketetapan dari Asy-Syari' atau Pembuat hukum, dalam hal ini adalah Allah. Misalnya tentang ketetapan haramnya riba, haramnya zina, haramnya wanita sebagai kepala negara [Khalifah], wajibnya penerapan sistem hukum Islam secara total, wajibnya jihad fi sabilillah, dan lain-lain; semua itu tidak perlu dimusyawarahkan lagi, karena status hukumnya sudah jelas. Artinya, apakah riba akan diberlakukan atau tidak, itu tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Sebab hukumnya juga jelas. Termasuk juga syariat Islam; apakah ia wajib diterapkan atau tidak, ya itu tidak perlu dimusyawarahkan. Bahkan tidak boleh dimusyawarahkan. Sebab, status hukumnya jelas, yaitu wajib dilaksanakan. Konteks yang pertama ini tentu hanya bisa dipahami oleh seorang muslim. Sebab, orang nonmuslim tidak akan memahami terkait konteks yang pertama ini.

KEDUA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan bidang keahlian tertentu, sains dan teknologi, atau hal-hal yang membutuhkan analisis mendalam dari para ahli. Misalnya, negara akan membangun sebuah pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk tersebut, apakah akan didirikan di daerah A atau B, itu yang berhak memutuskan adalah para ahli geologi [pertanahan], dan bukan diputuskan oleh hasil musyawarah. Jika daerah A adalah daerah yang rawan bencana [misalnya tanahnya labil], berarti pemukiman penduduk tersebut harus dibangun di wilayah B, atau wilayah lain yang memang aman. Kalau hal-hal seperti ini harus diputuskan dengan musyawarah, itu ngawur namanya. 

Contoh lainnya adalah pendapat seorang dokter dalam bidang kesehatan, tentu harus diterima, dan tidak perlu dimusyawarahkan lagi. Misalnya, dokter merekomendasikan bahwa si pasien patah tulang harus operasi, maka hal ini tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Artinya, yang berhak "mewajibkan" operasi itu ya dokter, bukan keputusan musyawarah. Kita sebagai orang awam tidak boleh mengintervensi dengan mengatakan, "Oh tidak bisa Dok. Harus dimusyawarahkan dulu dong." Kalau hasil musyawarah menyatakan tidak usah dioperasi, padahal harus dioperasi, itu artinya mencelakakan si pasien. 

Hal seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika Perang Badar. Saat itu Hubaib bin Mundzir bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penentuan tempat yang akan dijadikan basis pertahanan atau perkemahan, tempat kaum muslimin akan bertahan. Hubaib mempertanyakan, apakah penentuan hal tersebut ditentukan berdasarkan wahyu ataukah ditentukan oleh orang yang ahli dalam bidangnya [maksudnya bidang militer/ahli strategi perang]. Kemudian Rasulullah saw. menyatakan bahwa hal tersebut ditentukan oleh orang yang ahli di bidangnya [ahli dalam strategi perang]. Setelah mendengar jawaban Rasulullah saw., Hubaib pun mengusulkan agar tempat yang akan dijadikan pertahanan kemah kaum muslim adalah tempat yang memiliki ketersediaan air cukup [cukup logistik]. Rasulullah saw. pun akhirnya menerima usul Hubaib tersebut.

KETIGA,

musyawarah itu hanya boleh diberlakukan pada hal-hal yang sifatnya teknis, dan tidak terkait pemikiran tertentu. Karena boleh dimusyawarahkan, berarti boleh pula cara pengambilan keputusannya berdasarkan voting [suara terbanyak]. Contoh, bapak-bapak kampung ingin membangun pos ronda. Pos ronda tersebut apakah akan dibangun bulan ini ataukah bulan depan, ini hal yang sifatnya teknis. Keputusannya, bisa diambil dengan menggunakan suara terbanyak atau voting. Jika keputusan bapak-bapak kampung itu membangun pos ronda bulan depan, maka keputusan ini sah, sekalipun diambil melalui suara terbanyak.

Page 2

Dalam tradisi manusia yang berakal sehat, tradisi bertukar pikiran itu memang hal yang lumrah atau wajar. Bisa dilakukan dengan dua orang atau banyak orang. Jika dilakukan dengan banyak orang, inilah yang sering kita sebut dengan rapat alias musyawarah. Tetapi, jika kita berpikir mendalam, ternyata ada hal-hal yang bisa dimusyawarahkan dan ada juga hal-hal yang tidak bisa dimusyawarahkan. Bahkan ada, hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan.

Dalam musyawarah atau rapat, ada beberapa cara dalam mengambil keputusan. Bisa dengan mencari kesepakatan antar peserta musyawarah, bisa dengan menyerahkan keputusan pada pimpinan musyawarah, bisa juga dengan suara terbanyak alias voting. Tetapi jika kita berpikir lebih dalam lagi tentang cara pengambilan keputusan dalam musyawarah, ternyata ada hal-hal yang memang bisa diputuskan secara voting atau menyerahkannya kepada pimpinan rapat [musyawarah].

Dalam konteks ini, Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum rahimahullah telah memberikan prinsip-prinsip dasar musyawarah. Di antaranya adalah sebagai berikut.

PERTAMA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam pembahasan hukum syara'. Sebab, hukum syara' wajib ditetapkan dengan ketetapan dari Asy-Syari' atau Pembuat hukum, dalam hal ini adalah Allah. Misalnya tentang ketetapan haramnya riba, haramnya zina, haramnya wanita sebagai kepala negara [Khalifah], wajibnya penerapan sistem hukum Islam secara total, wajibnya jihad fi sabilillah, dan lain-lain; semua itu tidak perlu dimusyawarahkan lagi, karena status hukumnya sudah jelas. Artinya, apakah riba akan diberlakukan atau tidak, itu tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Sebab hukumnya juga jelas. Termasuk juga syariat Islam; apakah ia wajib diterapkan atau tidak, ya itu tidak perlu dimusyawarahkan. Bahkan tidak boleh dimusyawarahkan. Sebab, status hukumnya jelas, yaitu wajib dilaksanakan. Konteks yang pertama ini tentu hanya bisa dipahami oleh seorang muslim. Sebab, orang nonmuslim tidak akan memahami terkait konteks yang pertama ini.

KEDUA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan bidang keahlian tertentu, sains dan teknologi, atau hal-hal yang membutuhkan analisis mendalam dari para ahli. Misalnya, negara akan membangun sebuah pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk tersebut, apakah akan didirikan di daerah A atau B, itu yang berhak memutuskan adalah para ahli geologi [pertanahan], dan bukan diputuskan oleh hasil musyawarah. Jika daerah A adalah daerah yang rawan bencana [misalnya tanahnya labil], berarti pemukiman penduduk tersebut harus dibangun di wilayah B, atau wilayah lain yang memang aman. Kalau hal-hal seperti ini harus diputuskan dengan musyawarah, itu ngawur namanya. 

Contoh lainnya adalah pendapat seorang dokter dalam bidang kesehatan, tentu harus diterima, dan tidak perlu dimusyawarahkan lagi. Misalnya, dokter merekomendasikan bahwa si pasien patah tulang harus operasi, maka hal ini tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Artinya, yang berhak "mewajibkan" operasi itu ya dokter, bukan keputusan musyawarah. Kita sebagai orang awam tidak boleh mengintervensi dengan mengatakan, "Oh tidak bisa Dok. Harus dimusyawarahkan dulu dong." Kalau hasil musyawarah menyatakan tidak usah dioperasi, padahal harus dioperasi, itu artinya mencelakakan si pasien. 

Hal seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika Perang Badar. Saat itu Hubaib bin Mundzir bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penentuan tempat yang akan dijadikan basis pertahanan atau perkemahan, tempat kaum muslimin akan bertahan. Hubaib mempertanyakan, apakah penentuan hal tersebut ditentukan berdasarkan wahyu ataukah ditentukan oleh orang yang ahli dalam bidangnya [maksudnya bidang militer/ahli strategi perang]. Kemudian Rasulullah saw. menyatakan bahwa hal tersebut ditentukan oleh orang yang ahli di bidangnya [ahli dalam strategi perang]. Setelah mendengar jawaban Rasulullah saw., Hubaib pun mengusulkan agar tempat yang akan dijadikan pertahanan kemah kaum muslim adalah tempat yang memiliki ketersediaan air cukup [cukup logistik]. Rasulullah saw. pun akhirnya menerima usul Hubaib tersebut.

KETIGA,

musyawarah itu hanya boleh diberlakukan pada hal-hal yang sifatnya teknis, dan tidak terkait pemikiran tertentu. Karena boleh dimusyawarahkan, berarti boleh pula cara pengambilan keputusannya berdasarkan voting [suara terbanyak]. Contoh, bapak-bapak kampung ingin membangun pos ronda. Pos ronda tersebut apakah akan dibangun bulan ini ataukah bulan depan, ini hal yang sifatnya teknis. Keputusannya, bisa diambil dengan menggunakan suara terbanyak atau voting. Jika keputusan bapak-bapak kampung itu membangun pos ronda bulan depan, maka keputusan ini sah, sekalipun diambil melalui suara terbanyak.


Lihat Politik Selengkapnya

Page 3

Dalam tradisi manusia yang berakal sehat, tradisi bertukar pikiran itu memang hal yang lumrah atau wajar. Bisa dilakukan dengan dua orang atau banyak orang. Jika dilakukan dengan banyak orang, inilah yang sering kita sebut dengan rapat alias musyawarah. Tetapi, jika kita berpikir mendalam, ternyata ada hal-hal yang bisa dimusyawarahkan dan ada juga hal-hal yang tidak bisa dimusyawarahkan. Bahkan ada, hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan.

Dalam musyawarah atau rapat, ada beberapa cara dalam mengambil keputusan. Bisa dengan mencari kesepakatan antar peserta musyawarah, bisa dengan menyerahkan keputusan pada pimpinan musyawarah, bisa juga dengan suara terbanyak alias voting. Tetapi jika kita berpikir lebih dalam lagi tentang cara pengambilan keputusan dalam musyawarah, ternyata ada hal-hal yang memang bisa diputuskan secara voting atau menyerahkannya kepada pimpinan rapat [musyawarah].

Dalam konteks ini, Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum rahimahullah telah memberikan prinsip-prinsip dasar musyawarah. Di antaranya adalah sebagai berikut.

PERTAMA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam pembahasan hukum syara'. Sebab, hukum syara' wajib ditetapkan dengan ketetapan dari Asy-Syari' atau Pembuat hukum, dalam hal ini adalah Allah. Misalnya tentang ketetapan haramnya riba, haramnya zina, haramnya wanita sebagai kepala negara [Khalifah], wajibnya penerapan sistem hukum Islam secara total, wajibnya jihad fi sabilillah, dan lain-lain; semua itu tidak perlu dimusyawarahkan lagi, karena status hukumnya sudah jelas. Artinya, apakah riba akan diberlakukan atau tidak, itu tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Sebab hukumnya juga jelas. Termasuk juga syariat Islam; apakah ia wajib diterapkan atau tidak, ya itu tidak perlu dimusyawarahkan. Bahkan tidak boleh dimusyawarahkan. Sebab, status hukumnya jelas, yaitu wajib dilaksanakan. Konteks yang pertama ini tentu hanya bisa dipahami oleh seorang muslim. Sebab, orang nonmuslim tidak akan memahami terkait konteks yang pertama ini.

KEDUA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan bidang keahlian tertentu, sains dan teknologi, atau hal-hal yang membutuhkan analisis mendalam dari para ahli. Misalnya, negara akan membangun sebuah pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk tersebut, apakah akan didirikan di daerah A atau B, itu yang berhak memutuskan adalah para ahli geologi [pertanahan], dan bukan diputuskan oleh hasil musyawarah. Jika daerah A adalah daerah yang rawan bencana [misalnya tanahnya labil], berarti pemukiman penduduk tersebut harus dibangun di wilayah B, atau wilayah lain yang memang aman. Kalau hal-hal seperti ini harus diputuskan dengan musyawarah, itu ngawur namanya. 

Contoh lainnya adalah pendapat seorang dokter dalam bidang kesehatan, tentu harus diterima, dan tidak perlu dimusyawarahkan lagi. Misalnya, dokter merekomendasikan bahwa si pasien patah tulang harus operasi, maka hal ini tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Artinya, yang berhak "mewajibkan" operasi itu ya dokter, bukan keputusan musyawarah. Kita sebagai orang awam tidak boleh mengintervensi dengan mengatakan, "Oh tidak bisa Dok. Harus dimusyawarahkan dulu dong." Kalau hasil musyawarah menyatakan tidak usah dioperasi, padahal harus dioperasi, itu artinya mencelakakan si pasien. 

Hal seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika Perang Badar. Saat itu Hubaib bin Mundzir bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penentuan tempat yang akan dijadikan basis pertahanan atau perkemahan, tempat kaum muslimin akan bertahan. Hubaib mempertanyakan, apakah penentuan hal tersebut ditentukan berdasarkan wahyu ataukah ditentukan oleh orang yang ahli dalam bidangnya [maksudnya bidang militer/ahli strategi perang]. Kemudian Rasulullah saw. menyatakan bahwa hal tersebut ditentukan oleh orang yang ahli di bidangnya [ahli dalam strategi perang]. Setelah mendengar jawaban Rasulullah saw., Hubaib pun mengusulkan agar tempat yang akan dijadikan pertahanan kemah kaum muslim adalah tempat yang memiliki ketersediaan air cukup [cukup logistik]. Rasulullah saw. pun akhirnya menerima usul Hubaib tersebut.

KETIGA,

musyawarah itu hanya boleh diberlakukan pada hal-hal yang sifatnya teknis, dan tidak terkait pemikiran tertentu. Karena boleh dimusyawarahkan, berarti boleh pula cara pengambilan keputusannya berdasarkan voting [suara terbanyak]. Contoh, bapak-bapak kampung ingin membangun pos ronda. Pos ronda tersebut apakah akan dibangun bulan ini ataukah bulan depan, ini hal yang sifatnya teknis. Keputusannya, bisa diambil dengan menggunakan suara terbanyak atau voting. Jika keputusan bapak-bapak kampung itu membangun pos ronda bulan depan, maka keputusan ini sah, sekalipun diambil melalui suara terbanyak.


Lihat Politik Selengkapnya

Page 4

Dalam tradisi manusia yang berakal sehat, tradisi bertukar pikiran itu memang hal yang lumrah atau wajar. Bisa dilakukan dengan dua orang atau banyak orang. Jika dilakukan dengan banyak orang, inilah yang sering kita sebut dengan rapat alias musyawarah. Tetapi, jika kita berpikir mendalam, ternyata ada hal-hal yang bisa dimusyawarahkan dan ada juga hal-hal yang tidak bisa dimusyawarahkan. Bahkan ada, hal-hal yang tidak boleh dimusyawarahkan.

Dalam musyawarah atau rapat, ada beberapa cara dalam mengambil keputusan. Bisa dengan mencari kesepakatan antar peserta musyawarah, bisa dengan menyerahkan keputusan pada pimpinan musyawarah, bisa juga dengan suara terbanyak alias voting. Tetapi jika kita berpikir lebih dalam lagi tentang cara pengambilan keputusan dalam musyawarah, ternyata ada hal-hal yang memang bisa diputuskan secara voting atau menyerahkannya kepada pimpinan rapat [musyawarah].

Dalam konteks ini, Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum rahimahullah telah memberikan prinsip-prinsip dasar musyawarah. Di antaranya adalah sebagai berikut.

PERTAMA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam pembahasan hukum syara'. Sebab, hukum syara' wajib ditetapkan dengan ketetapan dari Asy-Syari' atau Pembuat hukum, dalam hal ini adalah Allah. Misalnya tentang ketetapan haramnya riba, haramnya zina, haramnya wanita sebagai kepala negara [Khalifah], wajibnya penerapan sistem hukum Islam secara total, wajibnya jihad fi sabilillah, dan lain-lain; semua itu tidak perlu dimusyawarahkan lagi, karena status hukumnya sudah jelas. Artinya, apakah riba akan diberlakukan atau tidak, itu tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Sebab hukumnya juga jelas. Termasuk juga syariat Islam; apakah ia wajib diterapkan atau tidak, ya itu tidak perlu dimusyawarahkan. Bahkan tidak boleh dimusyawarahkan. Sebab, status hukumnya jelas, yaitu wajib dilaksanakan. Konteks yang pertama ini tentu hanya bisa dipahami oleh seorang muslim. Sebab, orang nonmuslim tidak akan memahami terkait konteks yang pertama ini.

KEDUA,

musyawarah tidak boleh dilakukan dalam hal-hal yang berhubungan dengan bidang keahlian tertentu, sains dan teknologi, atau hal-hal yang membutuhkan analisis mendalam dari para ahli. Misalnya, negara akan membangun sebuah pemukiman penduduk. Pemukiman penduduk tersebut, apakah akan didirikan di daerah A atau B, itu yang berhak memutuskan adalah para ahli geologi [pertanahan], dan bukan diputuskan oleh hasil musyawarah. Jika daerah A adalah daerah yang rawan bencana [misalnya tanahnya labil], berarti pemukiman penduduk tersebut harus dibangun di wilayah B, atau wilayah lain yang memang aman. Kalau hal-hal seperti ini harus diputuskan dengan musyawarah, itu ngawur namanya. 

Contoh lainnya adalah pendapat seorang dokter dalam bidang kesehatan, tentu harus diterima, dan tidak perlu dimusyawarahkan lagi. Misalnya, dokter merekomendasikan bahwa si pasien patah tulang harus operasi, maka hal ini tidak boleh dimusyawarahkan lagi. Artinya, yang berhak "mewajibkan" operasi itu ya dokter, bukan keputusan musyawarah. Kita sebagai orang awam tidak boleh mengintervensi dengan mengatakan, "Oh tidak bisa Dok. Harus dimusyawarahkan dulu dong." Kalau hasil musyawarah menyatakan tidak usah dioperasi, padahal harus dioperasi, itu artinya mencelakakan si pasien. 

Hal seperti ini telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. ketika Perang Badar. Saat itu Hubaib bin Mundzir bin Jamuh bertanya kepada Rasulullah saw. tentang penentuan tempat yang akan dijadikan basis pertahanan atau perkemahan, tempat kaum muslimin akan bertahan. Hubaib mempertanyakan, apakah penentuan hal tersebut ditentukan berdasarkan wahyu ataukah ditentukan oleh orang yang ahli dalam bidangnya [maksudnya bidang militer/ahli strategi perang]. Kemudian Rasulullah saw. menyatakan bahwa hal tersebut ditentukan oleh orang yang ahli di bidangnya [ahli dalam strategi perang]. Setelah mendengar jawaban Rasulullah saw., Hubaib pun mengusulkan agar tempat yang akan dijadikan pertahanan kemah kaum muslim adalah tempat yang memiliki ketersediaan air cukup [cukup logistik]. Rasulullah saw. pun akhirnya menerima usul Hubaib tersebut.

KETIGA,

musyawarah itu hanya boleh diberlakukan pada hal-hal yang sifatnya teknis, dan tidak terkait pemikiran tertentu. Karena boleh dimusyawarahkan, berarti boleh pula cara pengambilan keputusannya berdasarkan voting [suara terbanyak]. Contoh, bapak-bapak kampung ingin membangun pos ronda. Pos ronda tersebut apakah akan dibangun bulan ini ataukah bulan depan, ini hal yang sifatnya teknis. Keputusannya, bisa diambil dengan menggunakan suara terbanyak atau voting. Jika keputusan bapak-bapak kampung itu membangun pos ronda bulan depan, maka keputusan ini sah, sekalipun diambil melalui suara terbanyak.


Lihat Politik Selengkapnya

Video yang berhubungan