Vander dulu adalah pasukan dari negara mana di film archana

Hikayat pembangunan negeri ini – juga dunia - penuh dengan cerita tentang rusaknya hutan dan lingkungan hidup [Ekologi] ketika harus bertarung melawan kepentingan dan kekuatan Ekonomi. Pada setiap kontestasi pilihan antara pembangunan ekonomi atau pelestarian hutan, faktor ekonomi hampir selalu berhasil menang atau dimenangkan. Sementara ekologi dan lingkungan hanya menjadi pilihan ke-2, ke-4 bahkan seringkali yang terakhir.  Karena itu dalam setiap proses pembangunan, faktor ekologi selalu kalah, atau harus “mengalah”, demi pembangunan ekonomi. Mengapa bisa begitu? 

Masalah “kekalahan” ekologi oleh kekuatan ekonomi ini awal mulanya muncul karena negara perlu melakukan apa yang disebut “pembangunan”. Gagasan pembangunan itu sendiri timbul setelah Perang Dunia ke-2 berakhir pada Januari 1949.  Amerika Serikat keluar sebagai pemenang perang, dan menjadi pusat baru kekuatan Dunia. Negara-negara yang kalah perang, dan juga semua negara yang baru merdeka lepas dari penjajahan –termasuk Indonesia – ingin membangun negeri dan mensejahterakan rakyatnya yang masih miskin, melalui “pembangunan”. Maka tahun sekitar 1945 – 1960 mulai populer istilah “pembangunan [development]” untuk “the under-developed countries”, untuk negara-negara yang “belum/ sedang berkembang”.  Dalam kacamata AS dan Eropa Barat,  “underdevelopment” adalah kemiskinan, pengangguran dan keterbelakangan secara ekonomi. Karena itu para Ekonom dari Barat mengatakan bahwa agar bisa keluar dari kondisi “keterbelakangan-nya”, negara sedang berkembang perlu melakukan “pembangunan ekonomi”. 

Empat Dasawarsa “Pembangunan Ekonomi” 

Sejak itu negara-negara sedang berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin mendambakan “pembangunan” sebagai usaha membangun ekonomi masyarakat yang sebagian besar masih miskin alias berpenghasilan sangat rendah. Maka pertumbuhan ekonomi ibarat mantra baru yang menjanjikan “obat paling mujarab” untuk semua jenis penyakit negara-negara miskin dan terbelakang. “Pembangunan ekonomi” juga menjadi mercusuar harapan dunia ketiga untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran, ketimpangan dan keterbelakangan sosial-ekonomi. Kemajuan suatu bangsa dinilai dari keberhasilan pembangunan ekonominya, yang diukur dari “pendapatan rata-rata penduduk” dan “Produk Nasional Bruto [GNP]”, yaitu jumlah produksi nasional barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam setahun. Pengertian “pembangunan” dipersempit, direduksi hanya mencakup satu aspek tunggal : “pertumbuhan ekonomi” saja.  Berbagai aspek lain seperti keadilan sosial, unsur HAM, faktor ekologi - daya dukung alam dan lingkungan, dianggap seperti tidak ada. Tidak masuk  dalam model dan tujuan pembangunan seperti itu. 

Bagi mayoritas negara-negara berkembang yang baru merdeka dan tergolong berpenghasilan rendah,  tentu isu “pembangunan ekonomi” menjadi agenda penting dan menarik dalam setiap sidang umum PBB.  Maka ketika pada 1961 Presiden AS John F. Kennedy  memprakarsai perlunya PBB menetapkan dekade 1960-an sebagai “dasawarsa pembangunan”, usulan tsb langsung mendapat sambutan hangat dari seluruh dunia. Negara-negara berkembang didorong dan bersemangat melakukan akselerasi pembangunan ekonomi, berlomba menaikkan pendapatan nasionalnya agar mencapai target pertumbuhan sekurangnya 5 persen per tahun pada 1970.  Untuk itu, PBB mendorong mengalirnya dana-dana bantuan internasional dan modal swasta dari negara-negara maju ke negara-negara berkembang dalam skala besar-besaran, dalam tempo singkat. Pada waktu itulah lahir program  “bantuan pembangunan [development aid]” yang disebut “ODA [Overseas Development Assistance]” dari negara-negara industri maju kepada negara-negara berkembang.  “Bantuan” itu untuk meningkatkan pendapatan nasional negara berkembang agar bisa menjadi mitra dagang dan pasar yang menarik bagi investasi modal negara-negara kaya.  Era “Dasawarsa Pembangunan Pertama [1960-1970]” dianggap sukses meningkatkan pertumbuhan ekonomi Dunia Ketiga.

BACA JUGA: Memberi Ruang Praktek-Prakter Ekonomi Prokonservasi

Namun kesuksesan Dasawarsa Pembangunan Pertama itu harus dibayar mahal sekali oleh Dunia Ketiga. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi itu membawa petaka dan berbagai masalah baru bagi banyak negara sedang berkembang. Karena ternyata tidak dibarengi pemerataan penghasilan, bahkan menimbulkan banyak pengangguran, kesenjangan ekonomi, serta masalah keadilan sosial dan konflik sosial-politik di kalangan masyarakat. Selain itu pembangunan yang terjadi justru menimbulkan kerusakan sumberdaya alam dan pencemaran lingkungan di mana-mana. Karena itu tema “Dasawarsa Pembangunan Kedua” pada dekade 1970-an kemudian bergeser dari “pertumbuhan ekonomi [economic growth]” menjadi “pemerataan pembangunan [redistribution of growth]” serta upaya pemenuhan “kebutuhan pokok [basic needs]” rakyat.  Indonesia pun mulai mengadopsi strategi pembangunan dengan tiga sasaran tsb pada Repelita Kedua. 

Ketika memasuki tahun 1980-an, dekade pembangunan ketiga itu pun kemudian dianggap sebagai “dasawarsa pembangunan yang hilang” [the lost development decade]”. Khususnya bagi Afrika Sahara, Amerika Latin dan sebagian Asia, pada periode itu banyak sekali negara-negara berkembang di kawasan tsb yang hampir tenggelam karena memikul beban berat utang luar-negeri. Untuk bisa keluar dari jerat beban utang dan defisit anggaran pembangunannya, banyak negara berkembang  berpaling ke IMF [International Monetary Fund] dan Bank Dunia guna minta “bantuan” pinjaman. Tentu dukungan dana IMF dan Bank Dunia itu bukannya tanpa pamrih.  Dengan persyaratan utang sangat ketat dan sanksi berat, bantuan utang itu praktis berubah menjadi “political conditionality” bagi sang pemilik modal untuk mendiktekan kepentingan ekonomi dan politiknya kepada negara yang tercekik utang itu. Dengan dalih demi “proses stabilisasi keuangan” diikuti kebijakan ekonomi-makro “structural adjustment”, mereka bisa merubah struktur perekonomian suatu negara agar lebih “sehat” sesuai kriteria si pemberi utang. Pada periode itulah dimulainya proses “liberalisasi” perekonomian, investasi dan perdagangan di berbagai negara di dunia ketiga. Peran negara ditekan sekecil mungkin, dan peran ekonomi pasar dikembangkan semaksimal mungkin. Besarnya kekuatan modal dan ekonomi pasar mengalahkan semua faktor dan aspek pembangunan lainnya. 

Begitulah, selama Dasawarsa Pembangunan Ketiga [1980-1990] dan juga dekade selanjutnya, peran negara khususnya Pemerintah negara berkembang tidak bebas lagi, termasuk dalam menentukan arah dan prioritas pembangunan nasional. Pemerintah harus ekstra hati-hati dalam hal pengeluaran anggaran belanja untuk pembangunan.  Semua bentuk anggaran yang dianggap membebani keuangan negara, harus dipotong habis. Termasuk anggaran pembangunan di  sektor kesejahteraan rakyat.  Maka alokasi dana Pemerintah untuk pembangunan di sektor-sektor non-ekonomi, seperti kesehatan, pendidikan,  kesempatan kerja dan lingkungan hidup, termasuk yang pertama dan terbanyak dikurangi dan diturunkan anggarannya. Karena itu masalah kemiskinan, kebutuhan pokok rakyat dan pemulihan kerusakan SDA dan lingkungan hidup semakin terabaikan. Sehingga deforestasi, meningkatnya kerusakan alam dan bencana lingkungan juga makin tak terelakkan.

Empat dasawarsa perjalanan pembangunan Dunia Ketiga membuktikan bahwa “pembangunan” bukan jalan tunggal dan lurus menuju kemajuan dan kesejahteraan suatu bangsa. Bahwa pembangunan jauh lebih luas, lebih kompleks, dan lebih dalam dari urusan ekonomi, keuangan dan infrastruktur fisik. Setelah setengah abad menempuh jalur “pembangunan ekonomi”, ternyata itu bukan jalur dan  resep mujarab untuk mengobati semua “penyakit” kemiskinan, ketimpangan sosial dan “keterbelakangan” negara-negara berkembang. Adanya supremasi faktor ekonomi sebagai “mercusuar” dari tujuan dan proses pembangunan, bukan hanya gagal mengatasi masalah kemiskinan dan ketidakadilan, bahkan menimbulkan banyak masalah kerusakan aset-aset alam dan bencana lingkungan yang justru menggerogoti hasil-hasil pembangunan ekonomi itu sendiri.      

Supremasi Pembangunan Ekonomi atas Alam

Air, udara, tanah, hutan, sungai, tumbuhan, laut, semuanya adalah kekayaan atau faktor alam yang dapat diakses oleh semua warga masyarakat. Kekayaan yang sumbernya dari alam itu milik bersama dan untuk kepentingan bersama. Ia disebut “the Commons”, hak milik bersama, karena punya fungsi publik. Yakni untuk hajat hidup orang banyak. Jadi sumber daya alam itu bukan milik pribadi, dan tak bisa dikuasai, apalagi hanya dimanfaatkan oleh dan untuk kepentingan individu, perusahaan atau kelompok tertentu saja. Maka itu bila berada didalam atau merupakan bagian dari suatu negara, sumber daya alam perlu dikuasai dan dikelola oleh negara untuk dan atas nama publik. Atau karunia alam milik bersama tersebut bisa juga menjadi praktik sosial kolektif mengatur sumber daya alam secara arif dan lestari bukan oleh negara atau swasta, tapi oleh komunitas penduduk asli atau masyarakat adat setempat. 

Kekayaan berupa hutan, mata-air, udara bersih, dan lain-lain sumber daya alami itu merupakan unsur ekologi dari lingkungan alam yang selalu bisa dan mampu memperbaharui dirinya. Mampu tumbuh dan berkembang kreatif dengan kapasitasnya sendiri, tanpa harus menunggu bantuan pihak lain. Karena itu kekayaan alam tsb disebut “renewable resources”, sumberdaya terbaharui. Sumberdaya itu bisa dikeruk, ditebang dan diambil  untuk apa saja, tapi akan bisa tumbuh kembali.  Namun kapasitas alam dan lingkungan hidup juga ada ambang batasnya. Ada batas daya dukung dari lingkungan yang alami. Apabila sumberdaya itu dieksploitasi, dikuras terus-menerus melampaui ambang batas daya dukungnya, maka ekosistem alami yang mendukungnya akan runtuh. Kemampuan alam memperbarui diri itu tercabut akarnya. Sehingga ekosistem alam yang runtuh itu kehilangan daya, tak mampu tumbuh kembali. Hutan jadi gundul, sumber mata air hilang, sungai dan sawah mengering, tanah jadi gersang hilang kesuburannya. Maka deforestasi dan semua kerusakan alam itu membawa dampak kekeringan, banjir, tanah longsor, pencemaran sungai, dan rangkaian bencana alam lainnya sehingga dirasakan sebagai malapetaka lingkungan yang kian menyengsarakan kehidupan manusia dan masyarakat umumnya. 

Masalahnya, para perencana pembangunan ekonomi seperti tidak melihat apa lagi merasakan sifat dan fenomena alam serta dampak lingkungannya seperti tersebut diatas. Memang,  para ekonom dan penganut konsep pembangunan yang konvensional sekalipun menganggap sumberdaya alam itu mutlak diperlukan untuk pembangunan. Akan tetapi cara pandang dan perlakuan mereka terhadap sumber daya alam itu berbeda. Ekolog dan pencinta lingkungan melihat sumberdaya alam sebagai bagian dari “sistem kehidupan” di bumi. Sedangkan Ekonom melihat dan menganggap sumber daya alam - terutama tanah, tumbuhan, air dan bahan tambang – tak lebih dari sekedar “faktor produksi”. Dalam ilmu ekonomi, faktor produksi adalah sumber daya yang digunakan oleh pabrik atau perusahaan dalam proses pembuatan [produksi] barang dan jasa. Sekurangnya ada empat faktor produksi yang diperlukan, yaitu modal [capital], tenaga kerja [labor], sumberdaya alam [natural resources] dan kewirausahaan [entrepreneurship]. Jadi jelas, dalam ilmu ekonomi, faktor alam diperlukan  sekedar sebagai bahan baku, salah satu faktor produksi yang hanya berfungsi untuk memproduksi barang dan jasa. Dengan demikian, sebagai faktor/unsur kekuatan yang kreatif dalam kehidupan di bumi, sifat dan keberadaan sumberdaya alam itu telah “dilucuti” karena  kemuliaan fungsi dan manfaat kekayaan alam “didegradasi” menjadi sekedar “bahan baku” untuk dieksploitasi buat memproduksi komoditas, barang dagangan. 

Adanya persepsi, cara pandang dan pola pikir mengenai “sumberdaya alam” dalam konteks pemaknaan arti “pembangunan” yang sangat berbeda bahkan saling bertolak belakang itulah yang menyebabkan terjadinya kontestasi  antara kebijakan “pembangunan ekonomi” dengan “pelestarian alam dan lingkungan”. Kontestasi antara dua kebijakan dan program yang selalu saling bertentangan itu membuat arena pembangunan di tingkat nasional maupun di daerah seolah-olah merupakan ajang pertarungan yang tidak seimbang antara unsur yang “Kuat berkuasa” melawan unsur yang “Lemah tak berdaya”. Ibarat menghadapi medan perang, “pembangunan ekonomi” sudah punya semua perangkat pasukan terlatih, senjata canggih, cukup amunisi, pengalaman panjang dan dukungan logistik yang kuat, berupa konsep, teori, sistem, regulasi, kebijakan, anggaran dan kelembagaan yang serba lengkap dan teruji. Karena itu pembangunan ekonomi punya begitu banyak keunggulan yang membuatnya memegang peran “supremasi” atas sektor-sektor lainnya sehingga bisa menentukan posisi dan prioritas kebijakan pembangunan nasional maupun daerah.   

Sementara masalah dan faktor kelestarian alam dan lingkungan baru muncul belakangan baik dalam kebijakan maupun proses pembangunan nasional. Sesudah 5 Repelita di era Orde Baru dan lebih 45 tahun keberadaan Kementerian Lingkungan Hidup plus Kehutanan di era Reformasi, kebijakan dan program Lingkungan Hidup tak pernah bisa masuk dalam prioritas program pembangunan nasional. Sektor Lingkungan juga belum pernah memperoleh alokasi anggaran yang memadai. Bahkan tidak sampai 15% anggaran Sektor Perekonomian. Dari segi SDM dan sistem kelembagaan, selain tak cukup punya SDM berkualitas juga tak terlihat ada peran dan pengaruh signifikan dari program dan instansi terkait soal sumberdaya alam dan lingkungan di tingkat sektor dan daerah-daerah. Sementara dari segi koordinasi kebijakan, belum pernah ada Menteri Koordinator  yang membidangi Pengelolaan SDA dan Perlindungan Lingkungan. 

Trade-off  atau Sinergi? 

Prinsip dasar ekonomi adalah upaya memaksimalkan keuntungan [profit] dengan memperoleh hasil yang sebesar-besarnya dan meminimalkan kerugian [loss] dengan pengorbanan sekecil-kecilnya.  

Dalam setiap kegiatan ekonomi, manusia harus bisa mencapai perbandingan rasional antara pengorbanan yang dikeluarkan dan hasil yang diperoleh. Tidak ada yang gratis di dunia ini. Ketika seseorang harus memilih sesuatu, maka pasti ada sesuatu hal lain yang harus dikorbankan dan dibayar. Masalahnya, manusia mempunyai keinginan yang tak terbatas, sedangkan alat atau sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia itu terbatas adanya. Karena adanya keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan yang tak terbatas itu, maka harus ada keinginan yang harus “dikorbankan”. 

BACA JUGA: Peluang Industri Syariah Hijau

Konsep ekonomi menyebut masalah pilihan dalam kondisi keterbatasan itu sebagai prinsip “trade off”. Secara harfiah, trade off  berarti “pertukaran”,  dimana sesuatu yang kita pilih harus ditukar dan diganti dengan sesuatu hal lain yang kita korbankan. Kerelaan kita mengorbankan “sesuatu hal yang lain” itu dalam prinsip ekonomi disebut sebagai “opportunity cost”, yang artinya “biaya kesempatan” yang hilang dan harus dibayar, karena sudah memilih kesempatan atau peluang yang lain. Tentu kesempatan yang dipilih itu mempunyai nilai dan manfaat yang sebanding, bahkan dianggap punya manfaat lebih banyak, lebih besar daripada kesempatan yang dikorbankan. 

Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam, masalah trade off  muncul pada area kebijakan dimana ada masalah konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Karena menurut konsep ekonomi, tujuan utama pembangunan adalah memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Sumber Daya alam diperlukan sebagai bahan baku, sebagai salah satu sarana  untuk meningkatkan produksi nasional. Karena hanya berfungsi sebagai sarana, bukan tujuan pembangunan, dalam hal terjadi pertentangan antara kepentingan “pembangunan” dengan “kelestarian alam dan lingkungan” maka kelestarian sumberdaya alam termasuk yang harus “dikorbankan”. Sumber Daya alam itu justru dieksploitasi dan dimanfaatkan sebanyak-banyaknya untuk akumulasi modal dan demi pertumbuhan ekonomi. Kelestarian sumberdaya alam merupakan trade off  dari pembangunan ekonomi. Bahwa eksploitasi dan pemanfaatan kekayaan alam itu menimbulkan dampak kerusakan ekosistem dan bencana lingkungan, hal itu dianggap konsekuensi masalah yang tidak bisa dihindari. Kerusakan lingkungan dianggap sebagai “biaya” yang harus dibayar untuk “manfaat” pembangunan ekonomi yang diperoleh masyarakat. Prinsip trade off  ini menegaskan perlunya memilih hanya salah satu kebijakan saja : “pembangunan ekonomi” atau ”lingkungan”. Tidak bisa dua-duanya, karena pilihan yang satu bisa menghapus manfaat pilihan yang lain. 

Konsep tentang perlunya faktor non-ekonomi – khususnya faktor sosial dan lingkungan – dalam pembangunan baru dianggap penting untuk diperhatikan setelah konsep “pembangunan berkelanjutan [sustainable development]” ramai menjadi wacana global. Sebagai antithesis dari konsep “pembangunan ekonomi” [menilai pembangunan dari pertumbuhan ekonomi semata]  yang menimbulkan berbagai masalah keadilan sosial dan bencana lingkungan itu, konsep “pembangunan berkelanjutan” menolak prinsip trade off  dan menawarkan prinsip “sinergi” dalam proses dan pola pembangunan yang kompleks dan multidimensional.  

Dalam pola “pembangunan berkelanjutan”,  negara harus menjalankan pembangunan ekonomi, sosial dan lingkungan secara seimbang, simultan, selaras dan berlanjutan dalam jangka panjang. Tidak ada trade off antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan ataupun dengan keadilan sosial.    

Semuanya merupakan unsur dan faktor yang penting dan diperlukan dalam pembangunan. Meskipun masing-masing unsur  ekonomi, sosial dan lingkungan mempunyai fungsi dan kontribusi yang berbeda-beda, tapi karena sama-sama diperlukan untuk mencapai tujuan bersama, maka perlu ada “sinergi” dari ketiga unsur tsb sehingga bisa terjadi proses pembangunan yang bersifat saling mengisi dan saling menunjang. Bukan berkompetisi untuk saling meniadakan fungsi dan manfaat masing-masing unsurnya. Sinergi merupakan bentuk dari proses atau interaksi beberapa pihak untuk bekerjasama secara produktif dan membangun kemitraan yang harmonis untuk menghasilkan suatu karya pembangunan yang optimum dan bermanfaat bagi publik. 

Karena itu sejak awal tahun 2000 Indonesia menerapkan prinsip sinergi itu dengan mengadopsi “Millenium Development Goals [MDGs]” sebagai prinsip pembangunan berkelanjutan yang menjadi bagian dari tujuan pembangunan nasional.  Kemudian prinsip dan pola pembangunan tsb ditingkatkan menjadi “Sustainable Development Goals [SDGs]” sebagai agenda pembangunan global untuk mencapai “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” pada tahun 2030 yang telah masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional [RPJMN] Indonesia periode 2015 – 2019.    

Tantangan Pembangunan Tanpa Deforestasi

Indonesia mengadopsi SDGs dalam RPJM-N karena prinsip sinergi: adanya keseimbangan dan keselarasan antara ekonomi, sosial dan lingkungan – tiga pilar pembangunan berkelanjutan – yang sudah merupakan amanat konstitusi. Setelah menjalani empat dekade pembangunan ekonomi global dan sesudah Indonesia lebih dari 70 tahun merdeka, “keseimbangan” tersebut belum juga terwujudkan. 

Pembangunan memang berhasil menaikkan status Indonesia dari negara berpendapatan rendah ke pendapatan menengah [middle-income country] berkat keberhasilan mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, sekitar 5,2% per tahun. Juga kemiskinan ekstrim berhasil kita turunkan dari sekitar 70% [1984] menjadi tinggal 7% di tahun 2016. Tapi coba lihat mengapa masih ada begitu banyak kantong-kantong kemiskinan di lokasi-lokasi yang tak jauh dari kota-kota dengan pertumbuhan ekonomi tinggi? Laporan Bank Dunia [2018] menunjukkan bahwa hanya 32% rakyat Indonesia masuk kategori “sejahtera”, sementara mayoritasnya [68%] justru masuk kategori miskin dan rentan. Selain itu, sejak tahun 2000 tingkat ketimpangan pendapatan antara rakyat yang kaya dengan yang miskin, mengalami kenaikan ketimpangan yang cukup tinggi. Ketika sebagian besar negara di dunia tingkat ketimpangannya menurun atau stabil, Indonesia justru mengalami kenaikan ketimpangan lebih dari 30%. Angka rasio pengukur tingkat ketimpangan penghasilan penduduk menunjukkan bahwa rasio Gini Indonesia berada pada kisaran 0.46 – 0.48 yang menempatkan Indonesia kedalam kelompok 25% negara-negara dengan tingkat ketimpangan yang tertinggi di dunia.

Yang lebih memprihatinkan adalah kinerja kita di sektor energi, kehutanan dan lingkungan. Walaupun sejak era 1990-an ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap minyak dan gas bumi [migas] berkurang, tapi pemanfaatan energi bersumber fossil untuk pembangunan ekonomi itu justru meningkat karena kian membesarnya penggunaan batubara. Sebagai bahan energi, batubara lebih buruk dari migas dalam hal pencemaran lingkungan dan emisi gas-gas karbon yang menyebabkan perubahan iklim dan pemanasan global. Kondisi lingkungan ini semakin parah karena pertumbuhan ekonomi kita berbasis ekstraksi dan eksploitasi sumber daya alam [SDA] berupa bahan tambang dan hasil hutan yang sangat rentan terhadap fluktuasi harga-harga komoditas SDA di pasar internasional. Pesatnya kenaikan harga dan permintaan pasar akan komoditas kayu, hasil hutan, hasil tambang dan SDA lainnya, telah mendorong terjadinya deforestasi, pembabatan dan penggundulan hutan secara massal di Indonesia.  Deforestasi  bukan hanya menyumbang emisi karbon yang menimbulkan krisis iklim global, juga dampak negatifnya harus dibayar dengan penderitaan masyarakat oleh bencana banjir, tanah longsor, kekeringan, gagal-panen dan berbagai bencana alam dan lingkungan lainnya. 

BACA JUGA: Mendorong Ekosistem Pasar Karbon Nusantara

Pertanyaannya: apakah bisa kita melakukan pembangunan ekonomi tanpa deforestasi ? Jawabannya: ya, pasti bisa, kalau pertama, tidak terjadi benturan atau konflik antara agenda pertumbuhan ekonomi dengan agenda pengelolaan SDA dan lingkungan. Atau kalau konflik antara kedua agenda itu terjadi, maka konflik tsb tak boleh dibiarkan dan dianggap sebagai sesuatu hal yang wajar dan alamiah. Konflik itu harus dicegah sehingga bisa dihindari terjadinya kebijakan trade off  antara pembangunan ekonomi dengan SDA dan lingkungan. Itu berarti perlu ada komitmen politik dan kebijakan ekonomi untuk menjamin bahwa tutupan hutan Indonesia tidak berkurang. Hutan tak boleh dikorbankan demi pembangunan ekonomi. 

Yang kedua, kalau pembangunan nasional dan daerah mampu melaksanakan pola pembangunan berkelanjutan sesuai dengan tujuan SDGs, dengan menerapkan prinsip sinergi secara konsisten. Yaitu menjaga dan mewujudkan adanya keseimbangan dan keselarasan antara pembangunan ekonomi, keadilan sosial dan kelestarian alam dan lingkungan. Tiga pilar pembangunan berkelanjutan itu sama pentingnya dan harus dijalankan secara sinergis dan seimbang, dengan semangat “win-win”. Sehingga tidak ada yang mesti kalah atau menang. Untuk itu RPJM-N perlu dilengkapi dengan suatu policy framework yang menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial akan dicapai dengan memperhitungkan dengan benar dan seksama daya-dukung SDA dan lingkungan, terutama melalui sistem pencegahan deforestasi dan upaya reforestasi hutan. Agar kita bisa tetap menjaga pertumbuhan ekonomi, tanpa harus mengorbankan hutan dan lingkungan.    

Ketiga, kalau sistem perekonomian dan kebijakan keuangan tidak memperlakukan hutan dan SDA hanya sebagai faktor produksi dan bahan baku untuk dieksploitasi semata, tapi sebagai sumberdaya dengan potensi nilai ekonomi tinggi dan berharga bagi kehidupan manusia dan lingkungan. Jadi hutan dan SDA tidak dianggap sebagai beban biaya [cost centre], melainkan sumberdaya yang berpotensi menghasilkan pendapatan [revenue] bagi pembangunan dan negara. Hutan dan alam merupakan modal untuk pertumbuhan ekonomi, dan terjadinya deforestasi dan kerusakan lingkungan akan berdampak negatif terhadap kemampuan perekonomian untuk tumbuh berkembang. Urusan pengelolaan hutan dan SDA jangan terlepas dan seyogianya merupakan bagi dari kebijakan pembangunan ekonomi yang ramah lingkungan. Karena kalau terpisah tanpa ada sinergi atau integrasi antara keduanya, maka akan terjadi trade off, dimana aktivitas pembangunan ekonomi dan fisik akan bisa merusak hutan dan ekosistemnya, sementara kerusakan ekosistem hutan akan menurunkan daya dukung lingkungan yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi. 

Dan keempat, kalau BAPPENAS dan Menko Perekonomian mempunyai platform kebijakan baru yang dengan jelas merumuskan dan tegas menjalankan tujuan pembangunan kita untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan sosial melalui kegiatan pembangunan rendah karbon [development with low carbon emission] yang meminimalkan ekstraksi dan eksploitasi kekayaan alam khususnya sumberdaya hutan, dan mengutamakan penggunaan sumber energi baru dan terbarukan [new and renewable energy resources]. Fokus platform dan strategi baru ini adalah pada upaya pencegahan deforestasi dan meningkatkan reforestasi ; memperbaiki kualitas lingkungan, baik air maupun udara ; peningkatan energi terbarukan terutama tenaga hidro, tenaga surya dan biomassa; serta memperbaiki produktivitas pertanian pangan tanpa perluasan lahan. Untuk itu Pemerintah perlu menerapkan pola pendekatan yang bersifat inklusif, transparan dan partisipatif kepada semua pihak dan pelaku pembangunan yang terkait.

Strategi “Pembangunan Rendah Karbon” atau disebut juga “Pembangunan Hijau” ini harus menjadi mainstream Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional [RPJMN] periode 2020-2024, dimana Indonesia menghadapi semakin besarnya tantangan krisis perubahan iklim, pemanasan global serta semakin luasnya kerusakan dan dampak bencana lingkungan di seluruh tanah-air.  Karenanya pelaksanaan strategi baru ini tidak mungkin lagi dilakukan dengan cara-cara “business as usual” –termasuk pendekatan melalui mekanisme ekonomi pasar – sehingga perlu ada komitmen politik dari DPR dan Pemerintah untuk bertindak melaksanakan pembangunan tanpa deforestasi ini juga tanpa kompromi, demi masa depan anak-cucu kita, menyelamatkan planet bumi dari keruntuhan dini.

Oleh: Ismid Hadad

Ketua Dewan Pembina Yayasan Keanekaragaman Hayati [KEHATI]

Silahkan download file yang berkaitan dibawah ini:

 ISMID HADAD Pembangunan Ekonomi versus Lingkungan

Video yang berhubungan

Video liên quan

Bài mới nhất

Chủ Đề