Yang bukan termasuk nilai keindahan dalam pergelaran teater di bawah ini adalah

Abstract

Pratamanti, Enggar Dhian

Every object of art has basic characteristic and aesthetic value which cover (1) unity, (2) complexity, and (3) intensity. Art is classified into three classes which is sculpture, literature, and performing art. Whenever theater is in the form of script, it is included as literature; whereas if it is performed, it is included as performing art. In this study, the method of collecting the data derived from books reference, websites, and performed TUK’s theater script by Unnes’s “SS” community. The result of the study explain that theater as performing art have elements such as (1) lighting, (2) make-up, (3) costume, (4) cast, (5) audience, and (6) stage setting. Those elements are unable to be separated one and another. The mixture of those elements generates aesthetic value as the basis of art’s nature.

 Keyword: art, theater, performance.

A. Pengantar

Dapat dipastikan setiap orang mengenal kata “seni” meskipun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Kata seni berasal dari kata “sani” yang artinya “jiwa yang luhur” atau “ketulusan jiwa”. Menurut Mihardja dalam Sutrisno (2009), seni adalah kegiatan manusia yang merefleksikan kenyataan dalam suatu karya, yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani si penerimanya. Sedangkan Kahler dalam Sutrisno (2009), menyebutkan bahwa seni adalah suatu kegiatan manusia yang menjelajahi dan menciptakan realitas itu dengan simbol atau kiasan tentang keutuhan “dunia kecil” yang mencerminkan “dunia besar”.

Berdasarkan bentuk dan mediumnya seni dapat diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu seni rupa, seni pertunjukan, dan seni sastra. Yang termasuk dalam kelompok seni pertunjukan adalah festival musik, tari, dan teater. Seni ini menjadi bagian dari konsep estetika. Teater melibatkan pelbagai medium baik bunyi-bunyian, gerak-gerik, alam sekitar, serta bahasa dan sastra. Pada awalnya teater adalah cabang kesenian yang lahir pada masa Yunani klasik dan diambil dari kata theaomai yang berarti melihat. Meskipun asal usul teater itu sendiri berasal dari Yunani, namun Indonesia juga memiliki definisi dan arti tersendiri dalam memaknai sebuah teater. Pertunjukan teater di Indonesia mengalami peningkatan baik secara kualitas dan kuantitas dari masa ke masa. Hal ini terlihat dari bertambahnya komunitas-komunitas sastra yang menekumi teater di setiap tahunnya. Seiring dengan hal tersebut, pementasan teater pun kini menjadi hal yang tak sulit untuk dijumpai hampir di setiap kota di Indonesia.

Teater sebagai suatu seni pertunjukan tentu mempunyai nilai-nilai estetika. Nilai-nilai estetika ini terletak di setiap bagian baik sebelum pementasan, pada saat pementasan, maupun setelah pementasan ketika pertunjukan tersebut telah diabadikan dalam suatu media dokumentasi. Namun, nilai estetika yang paling kuat dapat kita jumpai pada saat pertunjukan, yaitu pada saat kita dapat menyaksikan jalannya pementasan secara langsung.

Teori yang digunakan sebagai landasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut: (1) Sifat Dasar Seni, menurut The Liang Gie (1976) seni mempunyai lima sifat dasar, yaitu: (a) Sifat kreatif, seni merupakan suatu rangkaian kegiatan manusia yang selalu menghasilkan karya baru, (b) Sifat individualitas, karya seni yang diciptakan oleh seorang seniman merupakan karya yang berciri personal, subjektif, dan individual, (c) Nilai ekspresi atau perasaan, dalam mengapresiasi dan menilai suatu karya seni harus memakai kriteria atau ukuran perasaan estetis. Seniman mengekspresikan perasaan estetisnya ke dalam karya seninya lalu penikmat seni (apresiator) menghayati, memahami, dan mengapresiasi karya tersebut dengan perasaannya, (d) Keabadian, seni dapat hidup sepanjang masa. Konsep karya seni yang dihasilkan oleh seorang seniman dan diapresiasi oleh masyarakat tidak dapat ditarik kembali atau dihapus oleh waktu, (e) Semesta atau universal, seni berkembang di seluruh dunia dan di sepanjang waktu. Seni tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Sejak jaman pra sejarah hingga jaman modern orang terus membuat karya seni dengan beragam fungsi dan wujudnya sesuai dengan perkembangan masyarakat.

(2) Nilai Seni, menurut The Liang Gie (1976) jenis nilai yang melekat pada seni mencakup: (a) Nilai keindahan, nilai keindahan dapat pula disebut nilai estetis, merupakan salah satu persoalan estetis yang menurut cakupan pengertiannya dapat dibedakan menurut luasnya pengertian, yaitu: keindahan dalam arti luas (keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan intelektual), keindahan dalam arti estetis murni, keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan. Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan pada prinsipnya mengkaji tentang hakikat keindahan dan kriteria keindahan yang terdapat di alam, dalam karya seni dan benda-benda lainnya. (b) Nilai pengetahuan. (c) Nilai kehidupan.

Nilai-nilai keindahan tersebut kemudian dirumuskan oleh Beardsley (dalam Gie, 1997:13-14), menjadi tiga unsur yang dapat membuat sesuatu menjadi baik dan indah dalam seni, yaitu: (1) Kesatuan (Unity), suatu karya estetika (seni) tersusun secara baik dalam hal isi, keteraturan dan keserasian dari bentuk, warna, corak, komposisi, dan sebagainya. (2) Kerumitan (Complexity),suatu karya seni bukanlah karya yang sederhana, karena pasti di dalamnya terdapat suatu pertentangan dari  masing-masing unsur dengan berbagai perbedaan yang sangat halus. (3) Kesungguhan (Intensity), suatu karya seni adalah sesuatu yang memiliki kualitas tertentu yang menonjol dan bukan sebagai karya yang kosong. Dibalik suatu karya seni, terdapat bongkaran makna yang sangat dalam dan luas.

Dalam pementasan teater, ada beberapa unsur yang harus ada, yaitu: (1) Sutradara, adalah pempinan dalam pementasan drama yang bertanggung jawab terhadap kesuksesan pementasan drama. Sutradara harus memilh naskah, menetukan pokok-pokok penafsiran naskah, memilih pemain, melatih pemain, bekerja dengan staf, dan mengkoordinasikan setiap bagian. (2) Tokoh, sebelum dipentaskan, naskah drama merupakan bagian dari seni sastra. Saat dipentaskan, karya tersebut berubah menjadi seni pertunjukan. Subjek dan objek dalam naskah drama disebut tokoh. (3) Pemain, adalah orang yang memeragakan cerita dan berperan sebagai tokoh baik secara ciri fisik maupun karakter. Pada drama turgi setiap tokoh akan diperankan oleh seorang pemain. Sedangkan dalam pementasan monlog, seorang pemain dapat memerankan lebih dari dua tokoh, tentu saja dengan penampilan dan karakter yang berbeda. Oleh karena itu, seorang pemain dituntut untuk dapat memahami karakter dengan bukan saja sebatas meniru, namun sampai hingga menyelami keseluruhan inti tokoh lengkap dengan segala aspek yang dipunyai. (4) Tata Busana atau costume, adalah pengaturan pakaian pemain, baik bahan, model, maupun cara mengenakannya. Peran dan fungsi tata busana dalam pementasan adalah untuk mendukung pengembangan watak pemain, membangkitkan daya saran dan daya suasana, personalisasi pemain (untuk membedakan satu pemain dengan pemain lainnya). (5) Tata rias atau make up, adalah cara mendandani para pemain. Make up digunakan untuk memberi penjelasan tentang umur, status sosial, status ekonomi, dan latar budaya tokoh.

Selain itu, tak kalah penting unsur panggung sebagai berikut: (6) Tata panggung atau setting, adalah pentas atau arena untuk bermain drama. Panggung menggambarkan tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Pada kebanyakan pementasan drama turgi, setting panggung mempunyai komponen yang lengkap dan teratur. Namun, bila sutradara memilih gaya karikatur atau absurd, maka setting panggung hanya membutuhkan komposisi yang minimalis. Tak jarang hanya terdapat satu benda saja di atas panggung. Selama pementasan, pemain dapat mengeksplor satu benda tersebut menjadi berbagai macam alat dalam imajinasinya. Imajinasi tersebut tentu saja harus diungkapkan dengan kata, gesture, mimik, dan rasa agar penonton dapat menangkap maksud si pemain.

Selanjutnya, (7) Set Panggung atau scenery, adalah penampilan visual lingkungan sekitar gerak laku pemeran dalam sebuah lakon. Dalam merancang pentas harus memperhatikan aspek-aspek tempat gerak-laku, memperkuat gerak-laku dan mendandani atau memperindah gerak-laku. (8) Tata lampu atau lighting, adalah pengaturan cahaya di panggung. Lighting tidak hanya berfungsi sebagai penerang pentas saja melainkan berperan penting untuk menghidupkan suasana. Lighting berfungsi untuk menggambarkan waktu, suasana, dan memperkuat setting serta karakter tokoh. (9) Tata suara atau ilustrasi, bukan hanya pengaturan soundsystem, melainkan juga musik pengiring. Musik pengiring diperlukan agar suasana yang digambarkan terasa lebih meyakinkan dan lebih mantap bagi para penonton.  Iringan musik itu tidak dijelaskan secara terperinci dalam naskah. (10) Penonton, termasuk unsur penting dalam pementasan teater. Penonton drama terdiri dari berbagai macam latar belakang, baik pendidikan, ekonomi, kemampuan mengapresiasi, maupun motivasi. (11) Blocking, adalah posisi tokoh di atas pentas.

Metodologi yang digunakan dalam makalah ini adalah pengumpulan data dari referensi buku, website, serta dari dokumentasi pementasan naskah teater TUK oleh komunitas teater “SS” Unnes.

B.  Sekilah tentang Naskah TUK

TUK adalah drama berbahasa Jawa karya Bambang Widoyo Sp. Berlatar belakang budaya Jawa tengah khususnya daerah Solo. Naskah drama ini syarat dengan tradiri masyarakat Jawa yang bertaraf ekonomi bawah.

TUK adalah gambaran masyarakat desa yang tidak dapat hidup jauh dari lingkungan sosialnya. Dengan lingkungan sosial tersebut masing-masing warga mengalami proses sosial yang tidak dibuat-buat. Mereka saling melengkapi, saling membutuhkan, dan saling mengisi satu sama lain meskipun kebersamaan itu seringkali menimbulkan percekcokan. TUK memberi gambaran tentang hakikat kehidupan orang Jawa pada umumnya.  

Latar naskah TUK adalah sebidang tanah yang semula merupakan dalem kagungan den Mas Darso. Sebidang tanah itu mereka sebut dengan Magersaren. Semua penghuni Magersaren pada mulanya adalah para pendatang yang ingin mengadu untung di daerah yang jauh dari tempat asalnya. Karena tak punya tempat berteduh lain, maka akhirnya mereka bermukim di Magersaren. Sebidang tanah yang kecil itu menampung lebih dari 5 warga yang bermaksud mengadu hidup. Mereka yang hidup di Magersaren adalah para pekerja serabutan. Ada yang menjadi kuli, tukang becak, tukang tambal ban, makelar, tukang penjual mainan keliling, dan pedagang bumbu dapur kecil-kecilan. Ada warga yang hanya mengandalkan tenaga atau bahkan hanya mengandalkan otak untuk mencari uang tanpa modal yaitu dengan berjudi dan adu jago.

Warga Magersaren hidup dengan serba kekurangan dan keanekaragaman mereka, namun mereka sadar kalau mereka mempunyai nasib yang sama. Oleh karena itu, mereka harus hidup bersama. Tepat di tengah-tengah Magersaren terdapat sumur tua yang merupakan “tuk” bagi kehidupan mereka dengan air yang jernih dan tak pernah mati. Di dekat sumur itu terdapat kamar mandi, wc, dan tempat untuk mencuci. Sumur itu adalah satu-satunya tempat para warga mengambil air untuk memasak, mandi, mencuci, dan buang air.

Di sekitar sumur itulah para warga dapat bertemu, berkumpul, rerasan, bercanda, saling berkeluh kesah, dan membicarakan kejelekan tetangga. Di sumur itu pula tercipta kerukunan, masalah sekaligus penyelesaiannya.

C. Unsur Estetika pada Pementasan Naskah TUK oleh Teater “SS”

Unsur estetika pada pementasan teater TUK terdiri dari (1) bentuk panggung: ada lebih dari lima bentuk panggung teater. Bentuk panggung tersebut digunakan sesuai dengan tempat didirikannya panggung, jumlah penonton, serta keperluan naskah drama yang akan dipentaskan. Bentuk panggung yang digunakan dalam pementasan naskah TUK oleh teater “SS” adalah bentuk panggung prosenium, yaitu bentuk panggung paling konvensional yang memiliki ruang prosenium atau suatu bingkai gambar melalui mana penonton menyaksikan pertunjukan. Panggung prosenium dibuat untuk membatasi daerah pemeranan dengan penonton. Panggung prosenium disebut juga panggung pigura. Arah dari panggung ini hanya satu jurusan yaitu kearah penonton saja, agar pandangan penonton lebih terpusat kearah pertunjukan.

Dengan kesadaran bahwa penonton yang datang hanya bermaksud untuk menonton pertunjukan, oleh karena itu harus dihindarikan sejauh mungkin apa yang nampak dalam pentas prosenium yang sifatnya bukan pertunjukan. Maka dipasanglah layar-layar (curtain) dan sebeng-sebeng (Side wing). Maksudnya agar segala persiapan pertunjukan dibelakang pentas yang sifatnya bukan pertunjukan tidak dilihat oleh penonton. Layar-layar tersebut seringkali disebut sebagai background karena selain sebagai pembatas atau penutup, layar tersebut juga berfungsi sebagai latar belakang pentas. Biasanya berwarna hitam atau putih. Bentuk panggung prosenium dipilih dalam pementasan naskah TUK karena sesuai dengan tuntutan naskah tersebut. Penonton yang hanya dapat menonton dari satu arah saja memungkinkan panggung untuk dapat disetting dengan formasi U. Dengan demikian, panggung dapat menampung seluruh komponen properti yang dibutuhkan tanpa mengganggu nilai estetik panggung maupun pandangan penonton.

(2) Properti panggung, unsur yang paling dominan dalam pementasan TUK oleh teater “SS” adalah properti panggung. Mengacu pada latar naskah TUK yang bercerita tentang kehidupan masyarakat Magersaren yang sangat komplek, maka komplek pula properti yang dibutuhkan dalam pementasan naskah TUK tersebut. Properti sentral dalam pementasan naskah TUK adalah sumur. Menurut naskah, sumur tersebut adalah sumber kehidupan dan pusat sosialisasi masyarakan Magersaren. Dari sumur itulah berbagai masalah, solusi, dan keakraban terbangun. Guna membangun nilai estetis di atas panggung, maka sumur dibuat sesuai dengan kebanyakan sumur yang ada di rumah masyarakat desa di Jawa Tengah, yaitu sumur yang berbentuk bundar dengan dinding anyaman bambu. Sumur tersebut terletak di tengah-tengah desa dan dikelilingi oleh rumah para penduduk. Kelompok Teater Salihara menggunakan bilik papan dan atap plastik untuk menggambarkan rumah para penduduk.

Kelompok Teater Tambi menggunakan batas papan dan berbagai serba-serbi properti untuk menunjukkan bahwa terdapat beberapa penduduk dengan kediaman berbeda. Tidak jauh beda, Teater “SS” menggunakan level kayu dengan tedeng kain jarik di belakangnya. Mereka menggunakan kain jarik untuk menonjolkan budaya Jawa Tengah sebagai latar cerita. Properti lain yang digunakan adalah properti yang menggambarkan identitas masing-masing tokoh. Properti wayang digunakan untuk identitas Bibit, udud atau rokok untuk Soleman Lempit, tape recorder tua untuk Marto Krusuk, dan seperangkat kapur sirih untuk Mbah Kawit.

(3) Pemain, adalah pelaku yang menentukan akan dibawa kemana pementasan itu. Pemain pula yang menjalankan alur dan menghidupkan panggung. Sukses atau tidaknya suatu pementasan tergantung dari baik buruknya pemain menjalankan perannya. Pemain juga dituntut untuk dapat mengeksplor seluruh unsur yang ada di atas panggung mulai dari blocking panggung, properti, lighting, costume, serta make up. Ada 10 tokoh dalam naskah TUK. Itu berarti, ada 10 pemain dalam pementasan yaitu Mbah Kawit, Lek Bismo, Marto Krusuk, Bibit, Mbok Jemprit, Romli, Bojone Romli, Mbok Jiah, Menik, dan Aminah Lempit sebagai tokoh sentral. Bahasa Jawa dengan dialek khas Solo memberikan nilai estetika tersendiri. Selain bahasa, pemain mampu menirukan tindak tanduk kebiasaan masyarakat desa di Jawa Tengah sebagai objek penceritaan dalam naskah TUK.

(4) Tata cahaya (lighting), dalam pementasan teater TUK, teater “SS” menggunakan lighting warna netral dan warna redup. Warna netral yaitu sorot putih untuk menggambarkan suasana netral. Sedangkan warna redup adalah sorot kuning yang digunakan untuk menggambarkan waktu senja atau suasana sebuah desa yang masih minim teknologi. Dalam pementasan TUK ini jarang sekali digunakan warna-warna karakter seperti merah dan hijau. Kalaupun ada, warna ini hanya digunakan untuk penanda jeda babak. Perpaduan warna netral dan warna redup tersebut tidak membuat suram suasana panggung, namun justru membuat panggung terlihat hidup dan mampu menggambarkan suasana desa.

(5) Tata busana (costume), costume yang digunakan oleh para pemain untuk memerankan tokoh dalam naskah TUK adalah pakaian dalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh para penduduk desa di Jawa Tengah. Hal ini disesuaikan dengan latar budaya dalam naskah. Pakaian penduduk Jawa, khususnya Jawa Tengah mempunyai keragaman yang unik. Pakaian yang mereka kenakan disesuaikan dengan usia, latar belakang sosial, serta latar belakang ekonomi.

Naskah TUK bercerita tentang kehidupan sosial masyarakat Jawa ekonomi bawah. Oleh karena itu, pakaian yang digunakan oleh para pemain adalah pakaian masyarakat jawa ekonomi bawah pada umumnya. Costume ini menjadi menarik dan indah karena beranekaragam corak dan modelnya. Para pemain berusaha menguatkan karakter mereka dengan memadukan tata rias dan pakaian yang mereka kenakan. Ada pula beberapa pakaian khas jawa tengah seperti blangkon, kain jarik, sarung, dan, kopiah. Aminah lempit, yang merupakan tokoh sentral dalam lakon ini cukup mengenakan kaos oblong dan kain sarung. Hal ini bukan pilihan yang mana suka atau ketidaksengajaan, namun dengan maksud meniru kebiasaan perempuan Jawa yang berpakaian saksake ketika berada di rumah.

(6) Tata rias (make up), make up yang digunakan oleh pemain adalah make up natural. Hal ini karena latar penceritaan yang diperankan oleh para pemain adalah kehidupan desa yang serba sederhana. Make up dalam pementasan naskah TUK lebih berperan untuk menguatkan karakter fisik seperti usia serta latar belakang ekonomi. Dengan penggunakan make up minimalis yang sederhana ini, maka pertunjukan terkesan natural dan dekat dengan penonton serta dapat benar-benar menggambarkan kehidupan masyarakat desa.

D. Nilai Estetika pada Pementasan Naskah TUK oleh Teater “SS”

Nilai estetika pada pementasan naskah TUK oleh Teater “SS” adalah sebagai berikut; (1) Kesatuan (unity), unsur kesatuan dalam pementasan naskah TUK oleh teater “SS” tampak pada bentuk panggung, setting panggung yang meliputi properti, lighting, costume, make up, ilustrasi, serta pemain. Unsur-unsur pementasan tersebut tidak dapat berdiri sendiri serta tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pementasan akan terasa timpang dan kaku bila salah satu unsur ditiadakan dari perannya. Pemain yang merupakan pelaku hidup dalam pementasan tersebut akan dapat melakonkan perannya dengan baik dan hidup bila keseluruhan unsur dapat mengungkapkan keseluruhan aspek cerita dengan baik.

Dalam pementasan ini, pemain dapat mengeksplor segala properti yang ada di atas panggung karena properti tersebut sesuai dengan karakter tokoh yang mereka perankan. Lik Bismo misalnya, dapat memerankan kehidupan seorang pedagang keliling yang mencintai dunia pewayangan dengan baik karena ada wayang kulit dan gamelan. Bibit dapat mengekplor ember bodhol dengan karakternya yang lugu. Begitu pula, pemain akan sangat terbantu dengan lighting yang sesuai. Marto Krusuk dapat memperagakan sikap kelelahan sepulang kerja sambil menuntun sepeda tuanya karena lighting dibuat redup untuk menandakan waktu senja. Kemudian, setting panggung, costume, dan makeup juga dirancang sesuai dengan kehidupan masyarakat desa yang serba sederhana dan apa adanya.

(2) Kerumitan (Complexity), unsur-unsur pementasan dalam pementasan naskah TUK ini mempunyai kerumitan yang sangat kompleks. Panggung yang menghadap pada satu arah dapat menyuguhkan keseluruhan kompleksitas yang terdiri dari setting panggung yang meliputi properti, lighting, costume, make up, ilustrasi, serta pemain. Kerumitan terlihat jelas pada keseluruhan luas panggung, namun kerumitan ini merupakan kerumitan teratur yang tersusun dari benda-benda yang ditata sedemikian rupa dengan maksud tertentu. Kerumitan tersebut bukanlah suatu ketidaksengajaan, namun memang disesuaikan dengan naskah sehingga penonton akan dapat menikmati jalannya pertunjukan ini dari awal hingga akhir tanpa suatu ketimpangan yang disebabkan oleh peletakkan benda atau properti yang tidak sesuai.

Sumur yang merupakan sentral penceritaan diletakkan tepat di tengah-tengah panggung agar dapat dijangkau oleh semua pemain sehingga penonton dapat melihat dengan jelas semua konflik yang terjadi di sekitar sumur. Bilik Lik Bismo diletakkan tepat di belakang panggung dengan tujuan agar penonton dapat melihat dengan serta merta dan jelas lontaran kata-kata guyonan maupun sindiran dari Lik Bismo setiap kali ada pemain yang bertikai di Sumur. Hal ini sesuai dengan apa yang digambarkan di dalam naskah.

(3) Kesungguhan (Intensity), suatu karya seni memiliki kesungguhan yang berarti bahwa seni tersebut diciptakan dengan maksud tertentu dan makna yang sungguh-sungguh ingin disampaikan oleh si pencipta seni tersebut sehingga tidak menjadi sesuatu yang kosong. Pementasan TUK ini dipertunjukkan oleh kelompok teater “SS” dengan kesungguhan dengan maksud: (a) Menceritakan kembali cerita dalam naskah drama berbahasa Jawa yang berjudul TUK karya Bambang Widoyo Sp. (b) Menyampaikan kembali hakikat kehidupan masyarakat Jawa Tengah melalui pementasan naskah TUK yang merupakan cermin kehidupan masyarakat sebuah desa di daerah Solo, Jawa Tengah. (c) Melestarikan budaya Jawa dengan pementasan taeter modern yang berbahasa dan berbudaya Jawa. (d) Menurut Rhobi Sani, sutradara pementasan TUK, pementasan ini sebenarnya adalah implementasi keadaan penghuni komplek Djoglo Unnes yang merupakan tempat tinggal kelompok teater “SS”. Ia beranggapan bahwa nasib para penghuni komplek Djoglo Unnes tak jauh beda dengan nasib para tokoh dalam cerita TUK ini.

E. Penutup

Komposisi dalam pementasan teater adalah satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Nilai estetis yang ada pada komposisi tersebut akan hilang bisa salah satu komponen panggung dipisahkan dari kesatuannya.

Ketika menikmati sebuah pementasan teater, maka secara otomatis seorang penonton akan membagi perhatiannya kepada keseluruhan komponen panggung yang meliputi setting panggung, lighting, costume, make up, pemain, properti, serta blocking pemain. Bila salah satu komponen tersebut mengalami ketimpangan atau ketidaksesuaian, maka penonton akan segera dapat menilai kekurangan pementasan tersebut.

Pementasan naskah TUK oleh teater ”SS” ini berhasil menyuguhkan pertunjukan yang menarik dengan nilai estetis yang ada pada keseluruhan komposisi panggung pementasan.

Panggung yang berbentuk prosenium membuat penataan setting dan properti panggung mengarah ke arah penonton. Setting panggung dibuat leter U dengan sumur yang tepat berada di tengah panggung sebagai sentral penceritaan. Di sekeliling sumur, terdapat level yang berfungsi sebagai bilik tempat tinggal para pemain. Pada bagian belakang bilik, terbentang kain batik yang berfungsi sebagai dinding bilik sekaligus melambangkan kekhasan budaya Jawa.

Guna melengkapi bilik-bilik tempat tinggal para pemain sekaligus sebagai penguat karakter pemain, maka dilengkapi dengan berbagai properti yang sesuai dengan karakteristik tokoh dan budaya Jawa. Belum cukup dengan setting panggung, tokoh menguatkan karakter mereka dengan logat bahasa Jawa Solo dan costume khas penduduk desa. Tata rias dan tata lampu pun disesuaikan dengan alur, tempo, dan penggambaran suasana selama jalannya pentas.

Panggung prosenium dan sumur sebagai pusat penceritaan membuat pemain bebas melakukan gerak gerik tanpa mengganggu blocking sehingga penonton dapat menikmati pementasan dengan baik meskipun para pemain dituntut untuk melakukan mobilitas yang tinggi sesuai dengan tuntutan naskah. Dengan demikian, tindak tanduk pemain di atas pentas terkesan natural dan tidak kaku. Kesatuan seluruh komponen panggung terlihat baik dan menarik karena saling mendukung dan melengkapi satu sama lain.

Daftar Pustaka

 Diana. 2009. Estetika Seni. diunduh dari http://Estetika.dpi476diana.htm. pada tanggal 20 November 2012 pukul 12.39.

Dewi, Heristina. 2008. Masyarakat Kesenian di Indonesia. Jakarta: Universitas Pandjajaran.

Jumali. 2010. Teater: Estetika dan Simbolitas. Diunduh dari http://CoratCoret.TEATERESTETIKADASIMBOLITAS.htm. pada tanggal 20 November 2012 pukul 17.12.

Sahrul. 2011. Estetika Teater Modern Sumatera Barat. Pandangpanjang: Sekolah Tinggi Seni Indonesia.

Sutrisno, Mudji. 2009. Estetika Karya Seni. Diunduh dari http://POSSTHEATRON.Estetikakaryaseni.htm pada tanggal 23 November 2012 pukul 12.02.

Warno, Budi. 2011. Pengertian Drama dan Unsur-Unsurnya. Diunduh dari http://PENGERTIANKEBUDAYAANDANSENI%20MAHASISWA%20ETNOMUSIKOLOGI%20ISI%20SURAKARTA.htm. pada tanggal 23 November 2012 pukul 12.13.