Zat apa sajakah yang termasuk dalam golongan gas rumah kaca

Emisi gas-gas yang dilepaskan ke atmosfer dari berbagai aktivitas manusia di bumi menimbulkan efek rumah kaca di atmosfer. Gas-gas rumah kaca itu adalah karbon dioksida (CO2), belerang dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2), gas metana (CH4), dan klorofluorokarbon (CFC). Gas karbon sebagai pencemar utama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, dan bahan bakar organik lain.

Gas karbon itu terakumulasi di lapisan atmosfer karena tak terserap tumbuhan atau kawasan hutan di darat dan padang lamun serta rumput laut di perairan yang luasannya menciut. Sementara paparan panas matahari, terutama radiasi inframerah, tak bisa terpantul keluar atmosfer karena tertahan lapisan gas rumah kaca (GRK) yang menebal di lapisan udara atas. Itu menyebabkan suhu Bumi terus naik.

Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), peningkatan konsentrasi GRK akibat aktivitas manusia itu menjadi penyebab utama naiknya suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20. Model iklim yang dijadikan acuan oleh IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 derajat celsius antara tahun 1990 dan 2100.

Kesimpulan itu dikuatkan hasil riset oleh 30 badan ilmiah dan akademik dunia. Salah satunya adalah lembaga riset di Amerika Serikat, Scripps, yang mengukur emisi Karbon dioksida di Mauna Loa Observatory dari Juli 1958 hingga juli 2017. Hasilnya menunjukkan, emisi CO2 pada 1958 masih 315 bagian per sejuta (part per million/ppm) naik mencapai lebih dari 350 ppm tahun 1990. Pada Juli 2015, emisi CO2 menjadi 401,61 ppm, naik terus hingga 407,25 pada juli 2017.

Perhitungan simulasi yang dihasilkan IPCC, efek rumah kaca meningkatkan suhu rata-rata Bumi 1 hingga 5 derajat celsius. Jika kecenderungan peningkatan gas rumah kaca tetap seperti sekarang, itu akan menyebabkan peningkatan pemanasan global antara 1,5-4,5 derajat celsius sekitar tahun 2030. Menghangatnya suhu global itu tentu menimbulkan perubahan kondisi lingkungan bumi, terutama kekacauan pola cuaca dan iklim.

Untuk menekan dampak negatif itu, setiap negara kemudian meratifikasi Kesepakatan Paris dan berkomitmen untuk menjaga kenaikan suhu kurang dari 2 derajat celsius. Dalam kaitan itu, masing-masing negara menargetkan pengurangan emisi GRK, terutama karbon, dalam kurun waktu tertentu.

Pemerintah Indonesia menetapkan target penurunan emisi karbon dari semua sektor pada tahun 2030 sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau sampai 41 persen dengan bantuan pendanaan dari luar negeri. Pada target penurunan 41 persen itu, pemerintah berharap menjalin kerja sama dengan negara maju yang memiliki tingkat emisi karbon tinggi, melalui mekanisme “perdagangan karbon”.

Standardisasi

Upaya mereduksi emisi gas rumah kaca yang menjadi tren dunia itu mendorong penetapan standar internasional untuk pengukurannya. Usulan penetapan standar dunia di bidang GRK itu diajukan Indonesia, dalam hal ini Badan Standardisasi Nasional (BSN), kepada Organisasi Standardisasi Dunia (International Organization for Standardization /ISO) pada tahun 2010. “Namun, hal itu baru disetujui dibahas dan dirumuskan pada April 2015,” kata Kepala BSN Bambang Prasetyo.

Setelah melalui pembahasan panjang, pada 25 Juni lalu, ISO yang berkantor pusat di Geneva, Swiss, akhirnya menetapkan standar ISO 14080 yakni tentang manajemen gas rumah kaca dan aktivitas terkait. Proposal pembuatan standar ISO yang baru ini dilatarbelakangi target pengurangan GRK yang harus dipenuhi Pemerintah Indonesia pada tahun 2020, yang disampaikan dalam Kesepakatan Paris.

Pada metode pengukuran, menurut Kristianto W, pimpinan (Convenor) proyek penyusunan ISO 14080, diatur cara pelaporan nasional yang merupakan agregasi jumlah emisi per sektor dan dari tiap wilayah kabupaten atau kota. Panduan pengukuran standar itu juga disusun terkait dengan mutu dan tingkat ketelitian, jenis peralatan, dan kemampuan tenaga pelaksana.

Standar metode pengukuran GRK menyangkut aspek mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan global. Penetapan standar dunia itu nantinya berimbas pada pelabelan produk. Pada pembuatan suatu produk, setiap tahap harus menyebut tingkat emisi karbon yang dihasilkan. Itu menuntut penggunaan mesin atau alat yang ramah lingkungan dengan emisi karbon rendah.

” Manfaat yang didapat dengan terbitnya ISO 14080 antara lain, ada kerangka kerja umum bagi pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” kata Kristianto yang juga sebagai Kepala Pusat Informasi dan Dokumentasi Standardisasi BSN.

Standar itu juga membantu pemerintah mengembangkan kebijakan pengelolaan perubahan iklim dan menentukan investasi. Secara lebih luas, standar itu membantu organisasi dalam pengukuran dan pelaporan, mengurangi risiko, dan meningkatkan peluang atas aksi perubahan iklim yang dilakukan bersama-sama dengan organisasi atau pemerintah lain.

Sektor pertanian

Di sektor pertanian, sumbangan emisi GRK, terutama metana, mencapai 6-7 persen dari total emisi di tingkat nasional. Penelitian menunjukkan, gas metana di atmosfer berperan menangkap panas 20 kali lebih banyak dibandingkan karbon dioksida. Metana berasal dari produksi gas alam, dan minyak bumi, serta dari pembusukan limbah organik dan dikeluarkan oleh ternak ruminansia, terutama hewan memamah biak seperti sapi.

Untuk memenuhi target penurunan emisi GRK di Indonesia, riset di sektor pertanian dilakukan sejak 2016. Ali Pramono dari Balai Penelitian Lingkungan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian telah merancang alat pengukur gas rumah kaca di lahan pertanian secara otomatis.

Alat tersebut telah memperoleh paten. Adapun alat serupa untuk pengukuran emisi gas metana dan nitrogen khusus di lahan persawahan sedang dalam proses pengajuan paten.

Di persawahan, emisi metana dilaporkan Ali Pramono, lebih tinggi dibandingkan data IPCC. Di Indonesia yang tergolong wilayah tropis basah emisi metana 1,61 kilogram per hektar per hari, sedangkan data IPCC 1,1 kilogram per hektar per hari.

Maka dari itu, untuk pengurangi emisi gas metana di areal persawahan, teknik budidaya dikembangkan sejak tahun 2016. Untuk menekan tingkat emisi ini, sistem pertanian cerdas iklim dikembangkan, yakni mengatur pengairan di sawah untuk mengurangi genangan pada perakaran padi, agar menekan emisi gas metan. Kombinasi perlakuan ini memakai varietas padi Ciherang yang memberi hasil tinggi dengan emisi CH4 rendah.

Di sektor peternakan, pengukuran dan pengurangan emisi metana dari ternak sapi dilakukan peneliti di Balai Penelitian Peternakan Balitbangtan. Data IPCC menyebut, gas metana yang dikeluarkan sapi perah di wilayah Asia 51 kilogram per tahun dan sapi potong 47 kg per tahun.

Sementara riset yang dilakukan Yeni Widiawati, peneliti dari Balai Penelitian Peternakan Balitbangtan menunjukkan, emisi gas metana dari sapi di Indonesia lebih rendah yakni sapi perah 41 kg per tahun dan sapi potong 36 kg per tahun.

Sistem pengukur gas metana yang dikeluarkan sapi menggunakan kotak tempat pakan dilengkapi sensor yang disebut Green Feed. Selain itu, diterapkan peranti lunak aplikasi ALU (Agriculture and Land Use) Tool yang dapat menghitung seketika emisi GRK dari pertanian dan peternakan.

Hasil analisis komputer itu diperoleh dengan memasukkan data statistik dan hasil riset di lapangan. “Sistem pengukuran tersebut mengacu pada standar pengukuran GRK yang baru,” kata Yeni.

Kepala Balitbangtan Muhammad Syakir menjelaskan, penerapan sistem pengukuran GRK di sektor pertanian terus dikembangkan. Hal itu bertujuan mendukung Rencana Aksi Nasional GRK (RAN GRK) dan Rencana Aksi Daerah GRK (RAD GRK).

“Dengan menguasai pengetahuan tentang emisi GRK dan metode perhitungan yang lebih baik serta terkontrol, maka upaya mencapai target penurunan emisi GRK di tahun 2020 seperti yang tercatat dalam RAD GRK di masing-masing provinsi dapat tercapai,” kata Syakir..........................SUMBER, KOMPAS, SENIN 23 JULI 2018, HALAMAN 14

IPCC telah mendeklarasikan status siaga merah terkait pemanasan global. Selama bertahun-tahun, para pencinta lingkungan telah mencoba memberikan sejumlah solusi. Namun peningkatan suhu bumi tampaknya tak terelakkan. Perubahan iklim ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya jumlah gas rumah kaca yang kita hasilkan.

Banyak dari gas rumah kaca yang manusia hasilkan berasal dari sampah, utamanya dari aktivitas memproduksi, mengelola, serta membuang sampah itu sendiri. Beberapa contohnya yaitu karbondioksida (CO2), karbon monoksida (CO), dinitrogen oksida (N2O), serta metana (CH4).

Karbondioksida (CO2)

Karbondioksida merupakan gas yang tidak berbau dan tidak berwarna, yang menangkap panas dari matahari di dalam bumi. Gas ini dihasilkan dari aktivitas manusia seperti pembabatan hutan, pembakaran bahan bakar fosil, sampah, serta sebagai hasil dari reaksi kimia tertentu (misalnya pembuatan semen). Gas ini juga tercipta sebagai hasil dari proses alamiah seperti pernafasan dan juga erupsi gunung berapi. 

CO2 juga ada secara alamiah di dalam udara yang kita hirup dengan kandungan sekitar 0.037% dan tidak berbahaya untuk kesehatan dalam jumlah yang rendah. Meski begitu, jika kandungan CO2 di udara meningkat, maka hal ini bisa menyebabkan sakit kepala, pusing, kebingungan, hingga kehilangan kesadaran.

Zat apa sajakah yang termasuk dalam golongan gas rumah kaca
Ilustrasi gas karbon dioksida yang dilepas ke atmosfer. Sumber: nus.edu.sg

Peningkatan kandungan karbondioksida berefek pada meningkatnya jumlah gas rumah kaca (GRK), yang kemudian akan menangkap lebih banyak panas. Panas yang terperangkap ini kemudian akan menyebabkan es kutub meleleh dan naiknya permukaan air laut, serta konsekuensi lainnya yang kita kenal sebagai perubahan iklim. Dalam 171 tahun terakhir, aktivitas manusia telah membuat kandungan CO2 di atmosfer meningkat sebanyak 48% di atas tingkat pra-industrial sejak 1850. 

Karbondioksida (CO2) pada dasarnya merupakan gas rumah kaca (GRK) utama yang terbentuk sebagai hasil dari aktivitas manusia. Jumlah rata-rata karbondioksida global di tahun 2019 yaitu sebanyak 409.8 parts per million (ppm), dan tingkat karbondioksida yang sekarang merupakan yang tertinggi dibanding waktu-waktu lain dalam 800,000 tahun ke belakang. Jika kebutuhan energi global terus berkembang dan kita tetap akan mengandalkan energi fosil, maka jumlah karbondioksida di atmosfer diperkirakan akan melampaui 900 ppm pada akhir abad ini.

Kabar baiknya adalah, karbondioksida dapat dicopot dari atmosfer ketika gas tersebut diserap oleh tanaman sebagai bagian dari siklus karbon biologis, atau fotosintesis. Inilah mengapa hutan dan laut memainkan perang vital dalam perjuangan kita memperlambat krisis iklim, karena mereka adalah penyerap emisi alami yang akan membantu mengendalikan jumlah GRK di atmosfer.  

Karbon Monoksida (CO)

Karbon monoksida (CO) merupakan gas beracun yang tidak berwarna dan berbau, dan diproduksi dari pembakaran tidak sempurna material yang mengandung karbon. CO ditemukan dalam uap setiap kali kita membakar bensin di mobil/truk, mesin kecil, kompor, lentera, panggangan, dan perapian. Penting untuk diingat bahwa karena gas karbon monoksida tidak berbau, bisa terjadi penumpukan gas karbon monoksida di dalam ruangan dan meracuni orang atau hewan yang menghirupnya.

Zat apa sajakah yang termasuk dalam golongan gas rumah kaca
Gejala keracunan gas karbon monoksida. Sumber: verywell.com

Terpapar gas karbon monoksida bisa menghambat kemampuan darah untuk membawa oksigen ke jaringan serta organ tubuh vital.  Adapun gejala umum dari keracunan gas karbon monoksida antara lain sakit kepala, mual, pernafasan menjadi cepat, lesu, kelelahan, pusing, serta kebingungan. Hipoksia (istilah kondisi kekurangan oksigen yang parah) karena keracunan karbon monoksida akut bisa berakibat pada efek neurologis yang tidak bisa dibalikkan, atau bisa juga berefek jangka panjang pada otak dan jantung. 

Karbon monoksida dikenal sebagai “pembunuh sunyi”karena sifatnya yang beracun dan mematikan jika dalam dosis tertentu. Gas tersebut juga mudah terbakar sehingga dikategorikan sebagai berbahaya untuk kesehatan. Selain itu, paparan karbon monoksida juga berbahaya untuk ibu hamil, baik untuk si ibu maupun untuk si bayi dalam kandungan. 

Metana (CH4)

Di tahun 2019, metana (CH4) bertanggung jawab terhadap 10% emisi gas rumah kaca dari aktivitas manusia di Amerika Serikat. Usia hidup gas metana sebenarnya jauh lebih singkat daripada karbon dioksida (CO2), akan tetapi gas metana (CH4) jauh lebih efisien dalam hal memerangkap radiasi panas dibandingkan CO2. Secara berat, efek komparatif dari CH4 25 kali lipat lebih besar daripada CO2 dalam jangka waktu 100 tahun.

Zat apa sajakah yang termasuk dalam golongan gas rumah kaca
Peternakan menambah jumlah produksi gas metana (sumber: Global Times)

Secara global, sekitar 50-65 persen dari total emisi metana berasal dari aktivitas manusia. Metana dihasilkan dari sektor energi, industri, agrikultur, penggunaan lahan, serta aktivitas pengelolaan sampah seperti yang akan dijelaskan di bawah ini.

Sebagai permulaan, hewan ternak domestik seperti sapi, babi, domba, dan kambing menghasilkan metana sebagai bagian dari proses pencernaan alami mereka. Selain itu, ketika kotoran hewan disimpan atau diolah dalam tangki penyimpangan, gas metana juga terbentuk. Jika emisi dari hewan ternak beserta kotorannya ini dikombinasikan, maka sektor agrikultur menjadi penghasil metana terbesar di Amerika Serikat. 

Selain itu, gas dan minyak bumi menjadi kontributor gas metana kedua di Amerika Serikat. Metana merupakan komponen utama dalam gas bumi. Adapun metana dilepaskan ke atmosfer dalam proses produksi, pemrosesan, penyimpanan, pemindahan, serta distribusi gas bumi, begitu juga dalam memproses minyak mentah.

Terakhir dan yang tidak kalah penting, TPA. Gas metana dihasilkan di tempat-tempat pembuangan sampah saat sampah membusuk, dan juga dalam pemrosesan air limbah. Metana juga dihasilkan dari proses dekomposisi anaerobik dari sampah organik.

Membatasi Gas Rumah Kaca yang Dilepas ke Atmosfer 

Salah satu cara kita bisa membantu memperlambat krisis iklim adalah dengan mengelola sampah kita secara bertanggung jawab. Sampah yang tidak terpilah dan berakhir di TPA akan mengeluarkan gas rumah kaca seperti metana. Oleh karena itu, dengan mengurangi jumlah sampah dari sumber, memilah sampah sesuai kategorinya, serta mengompos sampah organik kita, kita bisa membantu membatasi jumlah emisi gas rumah kaca yang dilepaskan dari sisi kita pribadi. 

Selain itu, kita juga bisa membatasi jumlah sampah yang berakhir di lingkungan melalui mekanisme bernama waste credit, yang notbanee membantu pelaku bisnis dan perusahaan untuk mengimbangi emisi sampah mereka dengan mengumpulkan sampah dari lingkungan untuk dikelola secara bertanggung jawab. Pelajari lebih lanjut soal waste credit di sini.  

Sumber: 

https://www.climate.gov/news-features/understanding-climate/climate-change-atmospheric-carbon-dioxide

https://climate.nasa.gov/vital-signs/carbon-dioxide/

https://www.verywellhealth.com/what-is-carbon-monoxide-5084573 

https://www.epa.gov/ghgemissions/overview-greenhouse-gases

Baca versi Inggris.