Alasan portugis memindahkan perdagangan dari malaka ke maluku

Awalnya Disambut Hangat, Inilah Penyebab Warga Ternate Lawan Bangsa Postugis

TRIBUN-TIMUR.COM - Sejarah mencatat awal bangsa Postugis disambut hangat masyarakat Indonesia. Namun berjalannya waktu ada perlawanan yang dilakukan masyarakat Ternate Maluku.

Diceritakan, setelah kuasai Malaka pada tahun 1511, Bangsa Portugis lanjut ke Maluku.

Tujuan mereka kala itu menguasai perdagangan rempah-rempah di Ternate atau Maluku.

Saking disambut baiknya kedatangan bangsa Portugis, warga dan Raja Ternate memberikan kesempatan untuk mendirikan benteng dan hak monopoli perdagangan cengkeh.

Keserakahan Portugis dan ketentuan harga cengkeh yang terlalu rendah, membuat rakyat Ternate atau Maluku sengsara.

Permusuhan antar keduanya pun tidak dapat dihindarkan.

Akibatnya Portugis harus memindahkan kegiatan dagang mereka ke Nusa Tenggara.

Penyebab terjadinya perlawanan terhadap Bangsa Portugis

Menurut Miskuindu AS dalam Diktat Sejarah Nasional Indonesia [2019], perlawanan terhadap Bangsa Portugis didasari karena keserakahan mereka dan monopoli perdagangan yang terjadi di beberapa daerah, seperti Aceh dan Maluku.

Perlawanan ini juga disebabkan oleh beberapa hal lainnya, yaitu:

Halaman selanjutnya arrow_forward

Tags:

Litografi pertempuran armada kapal VOC melawan Portugis di lautan Cochin, India. Foto: Atlas van der Hem/Istimewa.

Setelah bercokol selama kurang lebih seabad, pada 25 Februari 1605, Portugis dipaksa hengkang dari Maluku. Masa kuasa Portugis di kepulauan rempah-rempah itu berakhir setelah ditikung oleh kompeni dagang Belanda [VOC]. Salah satu syarat waktu garnisun Portugis menyerah ialah bahwa ada jaminan kebebasan beragama.

“Setelah beberapa bulan, perjanjian itu hanyalah huruf mati bagi orang Belanda,” tulis Antonio Pinto da Franca dalam Pengaruh Portugis di Indonesia.

Kedatangan bangsa Portugis ke Maluku telah dimulai sejak 1512. Usai menaklukkan bandar perdagangan Malaka pada 1511, Alfonso de Albaquerque mengirimkan satu tim ekspedisi menuju pusat produksi rempah-rempah. Tibanya armada Portugis yang dipimpin Francisco Serrao di Ambon sekembalinya membeli pala di Hitu, menarik perhatian Sultan Ternate, Abu Lais. Abu Lais menawarkan Portugis untuk mendirikan benteng di Ternate. Sebagai imbalannya, cengkeh yang dihasilkan Ternate akan dijual hanya kepada Portugis. Portugis bersedia dan menyepakati pembelian cengkeh dengan harga tinggi.

Advertising

Advertising

"Bagi sang sultan, selain menjanjikan keuntungan dan kekayaan yang lebih besar, aliansi dengan Portugis akan memperkuat posisinya dalam bersaing dengan penguasa pribumi lainnya, terutama Tidore dan Jailolo," tulis Jan Sihar Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia.

Baca juga: Kisah Martir Portugis di Aceh

Semasa menduduki Maluku, Portugis menikmati aktivitasnya di bidang ekonomi. Pasokan rempah-rempah yang berhasil dimonopoli selalu memenuhi lumbung kapal Portugis untuk di jual ke pasar dunia. Selain keuntungan dari hasil perdagangan, misi penginjilan Portugis berkembang dengan pesat.

“Sampai 1560, sebanyak 10.000 warga Ternate, Ambon, dan sekitarnya telah beralih ke agama Kristen [Katolik]. Sementara di Moro, Misi Jesuit mengklaim sebanyak 47 komunitas Katolik disana. Tiap komunitas terdiri antara 700-800 orang,” tulis M. Adnan Kamal dalam Kepulauan Rempah-Rempah.

Namun kehadiran Portugis kerap memicu pertentangan kepentingan dengan Ternate maupun kerajaan tetangga. Ketegangan terhadap Portugis ditambah dengan meluasnya populasi Katolik Maluku. “Campur tangan Portugis dalam soal-soal intern kerajaan membawa mereka terlibat dalam pertikaian politik antarkerajaan, pada umumnya lebih merugikan daripada menguntungkan,” tulis Sartono Kartodirdjo dalam Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium.

Menurut Francois Valentijn, misionaris zaman VOC dalam Oud en Nieuw Oost Indien sebagaimana dikutip Kamal, para sultan di Kepulauan Maluku: Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo bermufakat untuk mengenyahkan orang-orang Kristen dari Maluku. Segi-segi politik kesepakatan ini ditangani Sultan Hairun dari Ternate. Sementara upaya militer diserahkan kepada Katarabumi, perdana menteri Jailolo.

Baca juga: Akhir Tragis Sultan Ternate di Tangan Portugis

Perseteruan Portugis dengan kerajaan-kerajaan lokal di Maluku memuncak dengan terbunuhnya Sultan Hairun pada 1570. Gubernur Portugis, Diego Lopez de Mesquita menyuruh seorang prajurit yang juga keponakannya bernama Antonio Pimental untuk menikam Hairun dengan sebilah keris. Jenazah Hairun saat pembunuhan terjadi, ditenggelam ke laut. Peristiwa itu menjadi tonggak petaka bagi Portugis.

Sultan Baabulah, penerus takhta Ternate, bersumpah menuntut balas atas kematian ayahnya. Semua raja di Maluku bersatu dan berikrar akan membantu Baabulah. Kerajaan-kerajaan lokal yang dipimpin Ternate mengepung akses laut Portugis menuju Malaka dan Goa [India]. Benteng Portugis di Gamlamo [Gamalama] dikepung sehingga orang-orang Portugis hidup terisolasi. Sebaliknya, Ternate mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Baabulah. Ternate dibuka menjadi pelabuhan bebas yang ramai dikunjungi bangsa-bangsa pedagang.

Pada tahun 1580, Portugis yang berunifikasi dengan Spanyol membentuk basis militer di Tidore. Sejak itu, pasukan gabungan Portugis berkali-kali mengirimkan ekspedisi militer untuk merebut kembali Gamlamo maupun kerajaan di sekitarnya.

Baca juga: Inilah Tiga Orang Jawa yang Membahayakan Portugis

Musuh lokal Portugis di Maluku semakin bertambah ketika pada 1601, armada laut Portugis berkekuatan 30 kapal yang dipimpin Andre Hurtado de Mendoca menyerang kapal-kapal Belanda di pantai Ambon. Mereka bertekad, setelah menghancurkan Belanda kepulauan itu akan diperbolehkan berdagang dengan Portugis saja. Karena tidak berhasil, “orang-orang Portugis menuju ke Hiton, ibukota Ambon, lalu membantai semua penduduk kota itu, menebang semua pohon cengkeh dan memperkuat benteng pertahanan mereka di sana,” tulis Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis: dari Abad XVI sampai dengan Abad XX.

Di tahun yang sama, terbentuk persekutuan anti-Portugis antara VOC dan penduduk Hitu di Ambon. “Dari persekutuan tersebut, VOC mendapat imbalan berupa hak tunggal untuk membeli rempah-rempah dari Hitu,” tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.

Pada bulan 23 Februari 1605, kapal-kapal VOC menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon. Benteng pertahanan Portugis diserang bertubi-tubi dan berhasil dijebol. Dua hari kemudian, Portugis yang diwakili capitan benteng, Gaspar de Mello menyerahkan benteng Portugis tanpa perlawanan kepada VOC. Penyerahan bersyarat itu menetapkan pasukan Portugis yang bersenjata harus keluar dari wilayah Maluku dan bagi mereka yang ingin tetap tinggal harus bersumpah setia kepada Belanda. Seorang gubernur berbangsa Belanda diangkat untuk memerintah di sana atas nama Staten Generaal [parlemen Belanda].

Baca juga: Misi Gagal Spanyol-Portugis Mengusir Belanda dari Nusantara

Menurut Bernard Dorleans, penggunaan kapal-kapal besar jenis caraque menjadi penyebab kekalahan Portugis. Caraque buatan portugis yang berbobot mati 1500-2000 ton merupakan kapal model Eropa yang terbesar pada zaman itu. Mengingat bobotnya yang besar, caraque sangat cocok dalam kegiatan perniagaan tetapi tidak sesuai untuk peperangan laut.

Dalam Bunga Angin Portugis di Nusantara:Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia karya Paramita Rahayu Abdurachman, sebanyak 32 keluarga Portugis yang tersisa di Ambon mengungsi ke pegunungan wilayah Soya. Mereka diberi suaka sebidang tanah oleh Raja Soya dan berbaur dengan penduduk setempat.

Era kompeni mulai menggantikan pengaruh Portugis di Maluku. Setelah beberapa generasi, orang Portugis yang tersisa memeluk agama Protestan yang dibawa misionaris Belanda.

Portugis dikalahkan oleh Belanda, sehingga Negeri Tanah Rendah itu kuasai Nusantara

Kamis , 28 Mar 2019, 16:46 WIB

Perpusnas

[Ilustrasi] Galangan Kapal VOC

Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama 130 tahun, Malaka menjadi jajahan Portugis. Bangsa Eropa itu, bagaimanapun, justru dapat dikatakan gagal dalam memonopoli komoditas penting di Nusantara, termasuk rempah-rempah dari Maluku.

Alih-alih kian teguh berkuasa, Portugis malahan menghadapi ancaman dari keturunan ningrat Malaka. Mereka telah mendirikan istana atau kerajaan baru di Riau-Lingga. Berulang kali, mereka pun menyerang Malaka, dengan tujuan merebut kembali pelabuhan penting itu.

Dinasti raja-raja Malaka yang tersisa kemudian membentuk kerajaan baru di Semenanjung Malaya, tepatnya Johor. VOC [Belanda] yang tiba di Nusantara pada abad ke-17 melihat konflik antara Portugis dan Malaka sebagai kesempatan. Apalagi, yang kemudian itu mau bekerja sama untuk membentuk suatu koalisi.

Menurut Barbara W Andaya dalam Historic Cities of the Islamic World [2007], ada perbedaan perlakuan Belanda yang menganut Kristen Protestan daripada Portugis yang Katolik. Penduduk Muslim setempat pada umumnya tidak dipaksa untuk berpindah agama. Hal ini kontras dengan rezim Portugis yang cenderung memandang umat Islam sebagai kaum yang sesat sehingga harus dipaksa menjadi Nasrani.

Akhirnya, pada 1641 Malaka berhasil ditaklukkan Belanda. Hal ini menandakan akhir hegemoni Portugis di Nusantara. Sisa-sisa kekuatan Portugis hanya terdapat di Pulau Timor, yang dikuasainya sejak pengusiran dari Maluku pada 1575.

Belanda cenderung berbeda daripada Portugis setelah menguasai Malaka. Di antara kota-kota pelabuhan lain, Belanda memilih Batavia [kini Jakarta], alih-alih Malaka, sebagai bandar utama sekaligus pusat kekuasaan di Nusantara. Akan tetapi, Selat Malaka tetap dikuasainya. Dengan begitu, Dinasti Malaka yang tersisa tidak bergeser dari Johor.

Baca Juga


Jatuhnya Malaka ke tangan bangsa-bangsa non-Muslim membuatnya tidak lagi bersinar selayaknya pusat peradaban Islam di Nusantara. Malaka kemudian menjadi daerah taklukan dari satu penguasa ke penguasa lain asal Eropa. Pada 1795, Perang Napoleon pecah sehingga mengubah geopolitik kolonialisme di Timur. Malaka jatuh ke tangan Inggris.

Sesudah perang itu mereda, Malaka dikembalikan kepada Belanda pada 1818. Namun, pelabuhan ini diberikan lagi kepada Inggris sebagai kompensasi penyerahan Bengkulu. Demikianlah keadaannya, kolonialisme Inggris yang berpusat di Singapura terus mengendalikan Semenanjung Malaya, termasuk Malaka. Pada 1957, Federasi Malaysia memaklumkan kemerdekaan. Malaka menjadi salah satu bagian dari negara baru ini, sampai sekarang.

  • kesultanan malaka
  • selat malaka
  • sejarah
  • islam

sumber : Islam Digest Republika

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề