Allah tidak melihat raut wajah dan kondisi tubuh seseorang melainkan yang dilihat oleh Allah adalah

Hati seharusnya menjadi perhatian utama daripada lahiriyah. Karena baiknya hati, baik pula amalan lainnya. Karena hati yang bersih, amalan yang lain bisa diterima. Beda halnya jika memiliki hati yang rusak, terutama hati yang tercampur noda syirik.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-  إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ 

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian.” [HR. Muslim no. 2564].

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Amalan yang dibalas oleh Allah adalah amalan yang disertai niat yang ikhlas dan benar.

2- Kita harus lebih memperhatikan keadaan hati dari berbagai sifat tercela.

3- Memperbaiki hati lebih didahulukan daripada memperhatikan amalan lahiriyah. Yang utama, hati diperbaiki dengan memperhatikan akidah.

4- Amalan seseorang bisa jadi nampak baik secara lahiriyah, namun hatinya rusak. Oleh karena itu, tetap kita berinteraksi dengan orang semacam ini dengan memperhatikan lahiriyahnya. Sedangkan hatinya yang rusak adalah urusannya dengan Allah.

Semoga Allah menjadikan hati kita hati yang bersih dan menjadikannya hati-hati yang ikhlas. Hanya Allah yang memberi taufik.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, menjelang Maghrib, 11 Rajab 1434 H

www.rumaysho.com

Silakan follow status kami via Twitter @RumayshoCom, FB Muhammad Abduh Tuasikal dan FB Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat

Tolak ukur kemuliaan seorang hamba di mata Allah terletak pada ketakwaannya, bukan pada perkara-perkara lahiriah seperti rupa, fisik, dan lain sebagainya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَادِكُمْ وَلَا إِلَى صُوَرِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh dan rupa kalian, akan tetapi Allah melihat kepada hati kalian.” [HR. Muslim no. 2564 b]

Senada dengan hadis tersebut, Allah subhanahu wa ta’alajuga menegaskan dalam firman-Nya di surat al-Hujurat ayat 13,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚإِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚإِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. [QS Al-Hujurat: 13]

Allah tidak memandang bentuk tubuh dan keindahan rupa seseorang, apakah tubuhnya itu besar atau kecil, sehat ataukah sakit, apakah wajahnya rupawan ataukah tidak, semuanya itu tidak ada nilainya di mata Allah. Demikian juga, Allah tidak memandang seseorang berdasarkan nasab dan hartanya. Tidak peduli seseorang dari kalangan strata sosial tinggi maupun rendah, apakah ia kaya ataukah miskin, Allah selamanya tidak memandang semua itu. Hubungan antara Allah dan hamba-Nya hanya didasarkan pada tingkat ketakwaannya. Siapa yang paling bertakwa, maka dialah yang paling dekat dengan Allah dan paling mulia di sisi-Nya.

Oleh karena itu, tidaklah pantas seseorang membangga-banggakan hartanya, keelokan rupa wajahnya, fisiknya, keturunannya, rumah-rumah megahnya, kemewahan fasilitas hidup, dan lain sebagainya dari perkara dunia.

Baca juga:  Kumpulan Ayat-Ayat Alquran Tentang Ikhlas Kepada Allah

Kemuliaan seseorang di mata Allah hanya ditentukan oleh kondisi hatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan dalam sabdanya,

وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ

Akan tetapi Allah melihat kepada hati kalian

Hati menjadi poros dari segala amal. Di sanalah tempatnya niat, keikhlasan, dan ketakwaan. Betapa banyak manusia yang amal perbuatannya tampak bagus dan lurus secara lahiriah, tapi ternyata bernilai rusak di mata Allah karena dibangun di atas niat yang salah. Maka bisa jadi dua orang terlihat dalam barisan shaf shalat yang sama, mengikuti satu imam shalat yang sama, gerakan shalat dari awal sampai akhir pun juga sama, tapi sesungguhnya antara keduanya sama sekali berbeda seperti perbedaan barat dan timur. Yang demikian itu bisa terjadi karena dibangun di atas niat yang berbeda. Boleh jadi yang satu shalat dalam kondisi hati yang lalai dan seringkali dilandasi motivasi duniawi, sementara yang satunya shalat dengan benar-benar menghadirkan keikhlasan dan semata-mata mengharapkan ridha Allah.

Oleh karena itu, penting bagi seseorang untuk selalu memperhatikan keadaan hatinya. Sudahkah hatinya diisi dengan keikhlasan dalam beramal semata-mata karena Allah dan membersihkannya dari segala bentuk niat yang salah? Karena melalui hati itulah Allah menilai baik buruknya seseorang, bukan melalui fisik, rupa, dan berbagai tolak ukur keduniawian lainnya. Dan hendaknya seseorang mengarahkan kelebihan yang ia miliki dari perkara duniawi untuk meraih keridhaan Allah. Hanya dengan begitulah predikat takwa bisa diraih dan bernilai kemuliaan di sisi Allah.

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَ رِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ

“Diriwayatkan dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Syahrin radhiyallahu ‘anhu, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” [Diriwalatkan Muslim]

Syarah [Penjelasan Hadits]

Sabda beliau “tetapi Dia melihat kepada hati kalian,” dalam riwayat lain dijelaskan “hati dan amal kalian.”

Hadits ini menunjukkan seperti apa yang ditunjukkan oleh firman Allah,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

“Hai manusia, sesungguhya Kami menciptakan kamu dari seorang laki–laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnla Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” [QS. Al-Hujuraat: 13]

Allah Subhanahu waTa’ala melihat manusia bukan pada badannya; apakah besar, kecil, sehat, atau sakit; dan tidak pula melihat pada rupanya, apakah cantik ataukah jelek.

Semua itu tidak ada harganya di sisi Allah. Begitu juga Allah tidak melihat kepada nasab, apakah nasabnya tinggi atau rendah, tidak melihat pada harta dan tidak melihat kepada salah satu dari hal-hal semacam itu sama sekali.

Tidak ada hubungan antara Allah dan hamba-Nya, kecuali dengan takwa. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka dia lebih dekat kepada-Nya dan lebih mulia di sisi-Nya. Maka dari itu, janganlah kamu membanggakan hartamu, kecantikanmu, keindahan tubuhmu, anak-anakmu, istana-istanamu, mobil-mobilmu dan kekayaan dunia lainnya sama sekali, tetapi jika kamu di samping kaya juga mempunyai ketakwaan yang kuat, maka itu merupakan karunia terbesar dari sisi Allah, karena itu pujilah Allah atasnya.

Ketahuilah bahwa amal perbuatan manusia itu tergantung kepada niatnya dan hatilah yang berperan di dalamnya.

Betapa banyak manusia yang secara lahir amalnya tampak baik, benar, dan shalih, tetapi sesuatu yang dibangun di atas reruntuhan, maka bangunan itu pun akan runtuh.

Niat adalah pondasi. Jika Anda mendapati dua orang yang sedang shalat bersama-sama di shaf yang sama dan mengikuti imam yang sama, tetapi nilai shalat mereka bisa jadi jauh berbeda seperti antara barat dan timur, karena hati mereka berbeda. Yang satu hatinya lalai bahkan mungkin terbersit riya’ di dalam shalatnya serta menghendaki keuntungan dunia, sedangkan satunya hatinya hadir yang dengan shalatnya dia ingin mencari keridhaan Allah dan mengikuti sunah Rasul-Nya.

Antara keduanya terdapat perbedaan yang sangatjauh. Yang akan dinilai untuk mendapatkan pahala di hari Kiamat kelak adalah apa yang terbetik di dalam hati, seperti yang difirmankan Allah,

إِنَّهُ عَلَى رَجْعِهِ لَقَادِرٌ [٨] يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ

“Sesungguhnya Allah benar-benar kuasa untuk mengembalikannya [hidup sesudah mati]. Pada hari dinampakkan segala rahasia.” [QS. Ath-Thaariq: 8 – 9 ]

Hukum yang dijalankan manusia di dunia didasarkan pada sesuatu yang lahir, seperti yang disabdakan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya saya menetapkan hukum berdasarkan apa yang saya dengar. ” Akan tetapi di akhirat kelak, yang akan dinilai adalah apa yang terbetik di dalam hati. Kita memohon kepada Allah agar Dia membersihkan hati kita semua.

Jika hati kita baik, maka kita optimis akan mendapatkan kebaikan walaupun anggota badan yang lain tidak baik. Allah Subh anahu waTa’ala berfirman,

أَفَلا يَعْلَمُ إِذَا بُعْثِرَ مَا فِي الْقُبُورِ [٩] وَحُصِّلَ مَا فِي الصُّدُورِ

“Maka apakah dia tidak mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa lang ada di dalam dada,” [QS. Al- ‘Aadiyaat:9-10]

Jadi, yang akan dinilai di akhirat kelak adalah apa yang ada di dalam hati. Jika Allah di dalam Kitab-Nya dan Rasulullah di dalam sunahnya menegaskan agar memperbaiki niat, maka yang harus dilakukan manusia adalah agar dia memperbaiki niatnya, menata hatinya, dan melihat keraguan yang ada di dalamnya, lalu menghilangkannya menuju keyakinan. Bagaimana caranya?

Hal itu bisa dilakukan dengan cara melihat tanda-tanda kebesaran Allah, sebagaimana yang difirmankan-Nya,

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” [QS. Ali Imran: 190]

Di tempat lain Allah berfirman,

“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda [kekuasaan Allah] untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran [di muka bumi] terdapat tanda-tanda [kekuasaan Allah] untuk kaum yang meyakini. “ [QS.Al-Jaatsiyah: 3-4]

Oleh karena itu, kamu lihatlah tanda-tanda kebesaran Allah! Jika setan melemparkan keraguan di dalam hatimu, maka lihatlah tanda-tanda kebesaran Allah, lihatlah ke alam semesta ini dan renungkan. Lihat bagaimana keadaan berubah-ubah, bagaimana Allah mengatur pergantian hari bagi manusia hingga kamu tahu bahwa alam ini ada pengaturnya yang Maha Bijaksana, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala’.

Bersihkan hatimu dari kesyirikan, bagaimana cara membersihkannya?

Bersihkan hatimu dengan mengatakan kepada dirimu sendiri, “Sesungguhnya jika aku berbuat maksiat kepada Allah, manusia tidak akan bisa memberi manfaat apa-apa kepadaku dan mereka tidak akan bisa menyelamatkanku dari siksa. Tetapi jika aku menaati perintah Allah, mereka tidak akan bisa memberiku pahala.”

Hanya Allah-lah yang memberi pahala dan menahan siksa.’ Jika masalahnya seperti itu, mengapa kamu berbuat syirik kepada Allah? Mengapa kamu berniat dengan ibadahmu untuk mendekatkan diri kepada makhluk.Maka dari itu, siapa yang mendekatkan diri kepada makhluk dengan sesuatu yang dengannya dia mendekatkan diri kepada Allah, maka Allah dan manusia akan menjauh darinya.

Mendekatkan diri kepada makhluk dengan cara yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah tidak akan menambah apa-apa baginya, kecuali justru semakin jauh dari Allah dan makhluk. Jika Allah ridha kepadamu, maka manusia pun akan ridha. Jika Allah murka kepadamu, maka manusia pun akanmurkakepadamu.Na’udzubillahmin dzalik!

Yang penting wahai saudaraku, obatilah dan cucilah hatimu selalu hingga benar-benar bersih, seperti yang difirmankan Allah,

“Mereka itulah orang-orang yang Allah tidak ingin membersihkan hati mereka.” [QS. Al-Maidah: 41 ]

Membersihkan hatimerupakanperkarapentingsekali, sayamemohon kepada Allah agar Dia membersihkan hati saya dan kamu, serta menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas dalam mengikuti Rasul-Nya.

*****

Referensi: Syarah Riyadush Shalihin Imam Nawawi, karya Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, penerbit Darul Falah

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề