Apa arti ayah dalam Islam?

Merdeka.com - Tanggung jawab orang tua terhadap anak, secara umum ialah mengasuh, memelihara, mendidik, serta melindungi anak. Kewajiban terbesar ada di tangan ayah, selaku kepala rumah tangga atau imam dalam keluarga.

Tak tanggung-tanggung, demi menjaga kehormatan orang tua dan kehidupan seorang anak, negara ikut andil dalam menetapkan hukum. Sanksi bagi seorang ayah yang tidak melaksanakan kewajiban itu, bisa dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.

Terkadang masih ada kasus terlapor, ayah berhenti menanggung anak kandungnya usai bercerai. Ajaran Islam berusaha menjunjung tinggi hak setiap hamba dan tetap memudahkan.

Kewajiban ayah menafkahi anak oleh syara', bisa menjadi gugur dengan beberapa syarat dan alasan tertentu. Serta aturan batas usia, baik laki-laki dan perempuan.

Berikut tanggung jawab dan kewajiban ayah pada anak dalam ajaran Islam, jangan diabaikan meski telah bercerai.

2 dari 8 halaman

Kategori Anak Menurut Hukum

© aplus.com

Berdasarkan tata hukum negara Indonesia, batas usia seorang anak telah lepas dari tanggung jawab dan kewajiban orang tuanya saat mencapai 18 tahun.

Sedangkan menurut lembaga perlindungan anak, tanggung jawab masih terikat hingga anak berusia 21 tahun atau masuk usia dewasa. Atau telah sanggup mencari pekerjaan dan memilih jalan hidup.

Dilansir dari hukumonline, menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak [UU 35/2014], yang dimaksud sebagai anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

3 dari 8 halaman

Tiga Perkara Kewajiban Ayah

©2013 Merdeka.com/Shutterstock/MCarper

Dikutip dari NU online, seorang ayah memiliki 3 kewajiban pada anak, yakni memberi nama yang bagus, mendidik dan menikahkan.

Memberi nama yang bagus, merupakan suatu doa yang terus mengalir sejak anak dilahirkan hingga akhir hayat. Apalagi melihat posisi anak merupakan tabungan di akhirat kelak bagi orang tua.

Selanjutnya, seorang ayah punya kewajiban untuk mengajari anak perihal ilmu pengetahuan. Terutama ilmu agama, seperti tata cara sholat lima waktu, ilmu tauhid, membaca Al Quran dan akhlak yang baik.

Apabila orang tua merasa tak memiliki waktu dan kemampuan yang baik perihal agama. Maka berhak membayar orang lain untuk mengajarkan ilmu Islam pada anak.

Tanggung jawab terakhir, menikahkan anak dengan orang yang tepat. Meski anak laki-laki tidak wajib didampingi seorang ayah, tapi peran sertanya begitu berarti. Sedangkan anak perempuan, tetap harus didampingi ayah kandung selaku wali, apabila masih ada.

4 dari 8 halaman

Dalil Menafkahi Anak dalam Islam, Hukumnya Wajib

©2020 Merdeka.com

Menafkahi anak bagi orang tua merupakan kewajiban yang dibebankan syara' berdasarkan nilai kasih dan sayang. Sejatinya tanggung jawab jatuh pada sang ayah. Namun menafkhai dapat gugur jika ibu atau orang lain terlebih dulu memberi pada anak [tabarru] keperluan dan kebutuhan sehari-hari.

"Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut." [QS. Al-Baqarah: 33]

Seorang pria telah diberi anugerah tersendiri oleh Allah, berupa kekuatan dan kepemimpinan. Kelebihan yang akan dimintai pertanggungjawabannya di dunia dan akhirat kelak.

Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka [laki-laki] atas sebahagian yang lain [wanita], dan karena mereka [laki-laki] telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara [mereka]..." [QS. An-Nisa: 34].

5 dari 8 halaman

Batas Berhenti Menafkahi Anak

Apabila pasangan suami-istri telah bercerai, sosok ayah tetap menerima tanggung jawab dan kewajibannya untuk menafkahi.

Nafkah yang dimaksud termasuk memenuhi kebutuhan anak, secara umum. Komoditi yang diperlukan biasanya meliputi makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal, serta kebutuhan lain yang bersifat pokok.

Melansir dari NU online, tanggung jawab dan kewajiban menafkahi anak dapat berhenti saat anak sudah beranjak baligh dan "telah mampu" bekerja.

6 dari 8 halaman

Sudah Terima Warisan, Lepas Kewajiban Menafkahi

Tanggung jawab menafkahi anak bisa berhenti pula, meski anak belum baligh. Hal ini dapat terjadi saat anak telah menerima warisan. Serta memiliki simpanan uang yang cukup untuk biaya hidupnya.

Masih dari lansiran yang sama, sesuai dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Baijuri:

"Anak kecil yang kaya atau orang baligh yang fakir tidak wajib [bagi orang tua] menafkahi mereka. Dan dapat pahami bahwa anak yang mampu bekerja yang layak baginya tidak berhak lagi menerima nafkah, sebaliknya ia [justru] dituntut untuk bekerja. Bahkan, ada pendapat yang mengatakan bahwa anak yang mampu bekerja ini masuk kategori anak yang kaya."

"Dikecualikan ketika anak yang telah mampu bekerja ini sedang mencari ilmu syara dan diharapkan nantinya akan menghasilkan kemuliaan [dari ilmunya] sedangkan jika ia bekerja maka akan tercegah dari rutinitas mencari ilmu, maka dalam keadaan demikian ia tetap wajib untuk dinafkahi dan tidak diperkenankan untuk menuntutnya bekerja." [Syekh Ibrahim al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, juz 2, hal. 187]

7 dari 8 halaman

Larangan Menelantarkan Anak

©Shutterstock.com/ pavla

Islam mengajarkan kewajiban setiap orang tua terhadap kehidupan anak. Apabila tidak melaksanakan kewajiban mendidik anak maka mereka berdosa. Sedangkan dalam hukum negara, Indonesia juga membuat aturan terkait pelarangan menelantarkan anak. Hingga ancaman kasus pidana.

Dilansir dari hukumonline dan DPR, Pasal 9 ayat [1] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ["UU PKDRT"] yang mengatakan bahwa setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Sanksi yang tegas yang bisa diterima oleh seorang ayah, pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.

Sedangkan UU 35/2014 mengatur larangan bagi setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan Anak dalam situasi perlakuan salah dan menelantarkan. Setiap Orang yang melanggar, dipidana penjara paling lama lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.

8 dari 8 halaman

Perangai Rasulullah SAW Sebagai Ayah dan Suami

©2017 Merdeka.com

Nabi Muhammad SAW termasuk dalam The 100, tokoh yang memiliki pengaruh paling besar dan paling kuat dalam sejarah manusia. Perangainya yang luar biasa patut diteladani.

Hal ini termasuk dalam berbagai kisah Rasul sebagai sosok seorang suami dan ayah di keluarga. Dilansir dari NU online, dibalik kesibukannya sebagai pemimpin umat Islam kala itu. Ternyata Rasul seorang yang bertanggung jawab dan penuh perhatian pada keluarga, kepada anak-istri, cucu, bahkan anak-anak di sekitarnya. Beliau sosok pelindung dan seorang yang lemah-lembut terhadap keluarga.

Dalam kesempatan lain, Rasulullah bahkan tak ragu meminta air dan membasuh pipis dari anak kecil yang dibawanya. Hal ini terulang sekian kali. Terkadang sepulang bepergian, banyak anak yang mengajaknya bermain bersama.

Keakraban beliau kepada keluarga dan orang sekitar terlihat jelas di berbagai kesempatan. Pernah pada suatu ketika, beliau mencium salah seorang cucunya, al-Hasan ibn 'Ali.

Kejadian itu disaksikan langsung oleh al-Aqra' ibn Habis. Al-Aqra' pun berkomentar, "Aku memiliki sepuluh orang anak, tapi tak ada satu pun yang biasa kucium." Rasulullah menoleh ke arahnya dan menjawab, "Siapa yang tak sayang, maka tak disayang," [HR. al-Bukhari dan Muslim].

[mdk/kur]

Video

Bài mới nhất

Chủ Đề