Apa arti dari Sekura dan tuping?

Makna Tradisi Sekura

Sekura, tradisi budaya masyarakat Lampung Barat. [Foto:Dok.Lampost.co]

MASYARAKAT Lampung Barat memiliki tradisi yang unik setiap 1 syawal dalam menyambut Hari Raya Idulfitri. Bersyukur dan bergembira setelah menjalankan puasa sebulan penuh, diekspresikan dengan kesenian topeng yang disebut dengan tradisi Sekura. Sekura atau dalam ejaan Lampung sekukha, memiliki makna penutup wajah, atau wajah yang tertutup.Sekura sebagai tradisi memiliki sejarah panjang dan filosofi yang mendalam.

Kebudayaan Lampung tidak bisa dipisahkan dari dua hal : keberadaan Suku Tumi di Gunung Pesagi, dan kedatangan penyebar Islam di bawah komando Ratu Ngegalang Paksi beserta keempat putranya, yaitu Umpu Belunguh, Umpu Bejalan Diwai, Umpu Pernong, dan Umpu Nyerupa. Masing-masing membawa corak kebudayaan dan diantara keduanya saling berkaitan. Suku Tumi yang beragama Hindu Bhirawa memiliki seperangkat adat dan budaya. Suku Tumi kemudian dikalahkan oleh para Umpu yang juga membawa adat serta budaya yang bersumber dari ajaran Islam.Keempat umpu yang mengalahkan Ratu Sekekhumong, pemimpin terakhir suku Tumi, tidak kemudian membumi hanguskan semua jejak peninggalan kebudayaan dan tradisi lama. Sama seperti para wali di Jawa, penyebaran agama Islam di Lampung dilakukan dengan mengakulturasikan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Ekspresi kebudayaannya tetap dipertahankan, namun nilai-nilainya disesuaikan dengan ajaran Islam. Demikian pula dengan seni tradisi Sekura.Pada Suku Tumi, Sekura atau topeng merupakan sarana pemujaan terhadap para dewa, karena memiliki nilai magis, maka gerak-gerik Sekura dilakukan sebagai bentuk ritual mengharap berkah dan perlindungan dari dewa. Oleh para mujahid Islam di Lampung di bawah komando Ratu Ngegalang Paksi, ritual dan nilai magisnya secara filosofis diubah.Sama seperti topeng pada kebudayaan animisme, Suku Tumi menggunakan topeng sebagai sarana berhubungan dengan roh halus. Oleh sebab itu topeng yang dikenakan merupakan hasil imaji atas ekspresi para roh halus. Imaji Suku Tumi atas ekspresi roh halus digambarkan dalam wajah menyeramkan, kasar, atau menakutkan. Perlu sesaji dengan mengundang roh-roh halus tersebut, agar mereka mau datang dan merasuk ke dalam topeng harapannya supaya para roh itu tidak mengganggu hasil panen mereka, tidak membuat wabah atau kekacauan dan sebagainya.Para Umpu, tidak menghapus imaji suku Tumi tersebut, namun mengubah imaji itu sesuai dengan ajaran Islam. Wajah-wajah yang menakutkan itu dijadikan sebagai simbol karakter buruk manusia yang dipenuhi oleh nafsu amarah, jahat, rakus, dan sebagainya. Dalam tradisi Sekura kreasi para umpu, ada dua jenis Sekura, yaitu Sekura Kamak dan Sekura Betik.
Seiring perkembangan betuk tampilan sekura yang beragam diantaranya bentuk Sekura Pudak Upi [ seperti bayi ], Sekura Kebayan [ seperti pengantin ], Sekura Ngandung [ seperti sedang hamil ], Sekura Prajurit / Hulubalang dan Sekura Tuha [ seperti orang tua / kakek nenek ].






Tradisi Sekura yang digelar oleh masyarakat saat merayakan Idulfitri, pesertanya menggunakan topeng yang menggambarkan karakter manusia tertentu yang dipadukan dengan pola tingkah laku dan kelengkapan tata busana, seluruh lapisan terlibat aktif sebagai pencerminan rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Para sekura melakukan pawai keliling kampung yang sedang menjadi tuan rumah, kemeriahan ditambah dengan atraksi-atraksi seni budaya lainnya, seperti pencak silat, muayak [ seni vocal dengan sastra klasik ], menabuh Hadra, dan juga nyambai [berdendang sambil berpantun].
Ada tiga makna yang bisa dipetik dari tradisi Sekura :
1.Humanisme. Manusia pada dasarnya memiliki sifat baik dan buruk. Dan menjadi tugas sejarah kemanusiaan untuk mengendalikan keburukan dengan kebaikan. Sekura kamak merupakan simbol dari keburukan, dan Sekura Betik simbol kebaikan. Bila dikaitkan dengan waktu pelaksanaannya, yaitu 1 syawal, Sekura bermakna digantikannya kebiasaan buruk yang dilakukan sebelum Ramadan, oleh amal kebaikan buah dari tempaan selama berpuasa sebulan penuh. Hal itu selaras dengan makna Idulfitri yang berarti kembali pada kesucian setelah puasa melebur dosa-dosa yang dilakukan sebelumnya. Dalam kemeriahan tradisi Sekura, mereka bisa mengungkapkan perasaannya tanpa takut. Hal itu menjadi penanda kebebasan. Tiap orang punya hak untuk mengekspresikan potensi dirinya, tanpa takut dengan ancaman.
2.Egalitarianisme. Tradisi Sekura dilakukan oleh seluruh kalangan, baik tua maupun muda. Dalam kemeriahan Sekura, sekat-sekat tua-muda dan strata sosial hilang. Peserta Sekura bisa berekspresi sesuai dengan peran yang dijalaninya [Kamak atau Betik]. Siapa pun yang menjadi tuan rumah saat Tradisi Sekura digelar, maka ia akan menyambut dengan ramah dan menyediakan makanan bagi sekura yang datang [ ngejalang ], saling berbagi tanpa padang kaya dan miskin atau status sosial lainnya, karena Tradisi sekura telah menyatukan. Hilangnya sekat-sekat itu bisa dipahami karena tiap orang telah mengambil peran dalam pesta suka cita bersama. Hal ini menyiratkan semangat egalitarian pada masyarakat Sai Batin.
3.Spiritualisme. Dalam tradisi Sekura. Tiap peserta menggunakan kain warna-warni sebagai ekspresi kegembiraan sekaligus menggambarkan aneka rupa manusia dalam menjalani kehidupannya. Dalam menjalankan kehidupan, manusia memiliki dorongan untuk memilih perilaku baik maupun perilaku buruk. Hanya dirinya dan Tuhan yang mengetahui dengan pasti kebaikan atau keburukan yang sedang dilakoni.Oleh sebab itu, seseorang tidak dapat menilai orang lain dari apa yang ditampakkan [simbolisasi topeng]. Adakalanya orang baik tapi berpenampilan buruk. Ada pula orang jahat menampakkan diri sebagai orang alim. Spiritualitas manusia tidak tergantung pada sandang yang ditampakkan, namun pada kemampuannya untuk menapaki jalan menuju Tuhan [disimbolkan dengan panjat pinang]. Agar manusia dapat menapaki jalan Tuhan, maka petuah agama [acapkali saat tradisi Sekura dilaksanakan, diikuti dengan pembacaan sastra klasik Bandung Sindekhan yang berisi tentang ajaran agama dan juga Barzanji ] menjadi filter, agar manusia dapat menekan dorongan keburukan dan menapaki jalan kebaikan. Nilai transendental dalam pesta sekura terjadi pada saat puncak pesta, yaitu dengan simbol para sekura menaiki batang-batang pinang hingga ke puncak tertinggi, dari sini didapat makna bahwa keberhasilan seseorang menuju Tuhannya haruslah dengan kegigihan, kebersamaan, saling tolong menolong, dan juga pengorbanan dan kesetiaan.
Tradisi Sekura, bisa juga menjadi penanda bahwa Paksi Pak Skala Brak merupakan salah satu peradaban tua di Indonesia, mengingat budaya topeng merupakan bentuk peradaban tertua yang pernah dikreasi oleh manusia. Tradisi Sekura menunjukkan Skala Brak, sama seperti peradaban-peradaban lain di belahan dunia, telah memiliki perangkat budaya sebagai hasil pemikiran dan ekspresi kehendak. Dan budaya tersebut terus dijaga dan dipertahankan sebagai identitas warga Sekala Brak hingga kini. ***






Komentar






Video

Bài mới nhất

Chủ Đề