Apa keunggulan pembangkit Listrik Tenaga Sampah

PLTSA: dari Sampah Menjadi Energi

  • Posted on 31/08/2021
  • In Berita

environesia.co.id – Isu tentang penumpukan limbah khususnya limbah domestik semakin menyita perhatian. Hal tersebut tak lepas dari dampak lingkungan hidup yang ditimbulkan dari menumpuknya limbah domestik tersebut atau yang kita kenal dengan istilah sampah tersebut. Salah satu jalan keluar untuk meminimalir dari dampak tersebut adalah pembangunan proyek PLTSA [Pembangkit Listrik Tenaga Sampah].

PLTSA sendiri merupakan pembangkit listrik termal dengan uap supercritical steam dan berbahan bakar sampah atau gas metana sampah. Sampah dan gas metana sampah dibakar menghasilkan panas yang memanaskan uap pada boiler steam supercritical.

Disadur dari indonesiabaik.id, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral [ESDM], tengah membangun infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Sampah [PLTSa] di 12 kota di Indonesia. Terhitung sejak 2019 hingga 2022 mendatang, mencatat, ada 12 Pembangkit Listrik Tenaga Sambah [PLTSa] yang dimana pada program tersebut menjadi salah satu jalan untuk menyelesaikan persoalan sampah di Indonesia.

Pada Peraturan Presiden No 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar. Pada perpres tersebut menjelaskan bahwa PLTSa di Indonesia perlu dibangun dalam rangka mengubah sampah sebagai sumber energi dan meningkatkan kualitas lingkungan, serta untuk meningkatkan peran listrik berbasis energi baru terbarukan. Dapat dikatakan, memalalui Perpres itu pula, PLTSa juga dianggap sebagai alternatif energi baru dan terbarukan.

Walaupun oleh Pemerintah PLTSa dianggap sebagai energi baru dan terbarukan, teknologi ini tak lepas dari kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari adanya PLTSa salah satunya adalah mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti minyak bumi, gas alam dan batu bara. Sampah yang setiap terproduksi, menjadi bahan bakar yang sangat murah. Tak hanya itu mengolah sampah sebagai bahan bakar PLTSa, dapat mengurangi volume sampah domestik yang menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah itu sendiri.

Dibalik kelebihan dari PLTSA, tak lepas juga dari kekurangan yang ada. Kekurangan tersebut seperti pada pengolahan PLTSa, dimana sampah tersebut dibakar juga akan menghasilkan emisi gas karbon dari pembakaran sampah tersebut. Hal ini, juga menjadi pekerjaan rumah baru bagaimana mengatasi polusi dari pembakaran sampah bahan bakar PLTSa tadi. Selain dari pada itu pembakaran sampah untuk PLTSA juga bertentangan dengan konsep 3R [reduce, reuse, recycle]. [admin/dnx]

FacebookTwitterLinkedIn

Bahaya Polemik soal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

Pemulung beraktivitas di dekat instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah [PLTSa] Tempat Pengolahan Sampah Terpadu [TPST] Bantar Gebang di Bekasi, 21 Maret 2018. Ini merupakan pembangkit listrik tenaga sampah kedua di Indonesia setelah Bali. ANTARA/Risky Andrianto

Misi pemerintah mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan sekaligus mandiri energi memang masih jauh dari kenyataan di negeri ini. Banyak yang berpendapat masalahnya terletak pada ketidakmampuan negara untuk mengembangkan teknologi yang murah dan tepat guna untuk memproses energi terbarukan di tingkat lokal. Salahsatu yang tidak bisa dimanfaatkan adalah mengubah sampah menjadi barang bernilai ekonomis cukup tinggi contohnya listrik.

Selama ini memang ada keterbatasan anggaran pemerintah dalam membangun proyek-proyek pengolahan sampah di berbagai daerah. Wajar jika pemerintah berharap pada dunia usaha untuk berinvestasi di sektor ini. Dinamika sosiopolitik di antara pemangku kepentingan di negara ini menambah kompleksitas persoalan.

Selama ini, pengelolaan sampah kota selalu menimbulkan masalah. Pada 2019, Jakarta menghasilkan 7700 ton sampah setiap hari plus sekitar 250 ton per hari yang diangkut dari badan air [sumber: Pemprov DKI Jakarta]. Dalam lima tahun terakhir, jumlah sampah di DKI Jakarta bertambah sebanyak 36 persen dengan perkiraan setiap orang menghasilkan 0.75 kg sampah per harinya.

Kota-kota besar lainnya, terutama di Pulau Jawa, juga menghadapi persoalan yang sama. Peningkatan jumlah penduduk tidak disertai dengan kemampuan kota mengolah sampah. Pada akhirnya mayoritas sampah hanya ditimbun di Tempat Pembuangan Akhir [TPA] atau tercecer sepanjang badan air dan akhirnya terbuang di laut. Ini membuat cita-cita Indonesia Bebas Sampah 2025 sulit menjadi kenyataan.

Karena itu, pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah Kota [PLTSa] untuk membantu mengatasi pengelolaan sampah yang kompleks jadi penting. PLTSa adalah proses mengubah sampah menjadi energi dalam bentuk listrik dan/atau panas.

Jadi PLTSa menawarkan dua keuntungan. Pertama, mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar fosil serta kedua, mengolah limbah dengan memanfaatkannya sebagai sumber daya energi terbarukan.

PLTSa juga mengurangi kebutuhan lahan karena pengolahannya tidak menghasilkan residu sampah [zero waste] dan tidak mencemari lingkungan terutama melalui emisi udara [zero toxic pollution].

Hanya saja, untuk membuat investasi di sektor ini menarik, perlu dibuat jaminan pembelian listrik dari PLTSa oleh PLN. Selain itu, pengusaha juga perlu jaminan pembayaran bea pengolahan sampah oleh Pemda sesuai kemampuan anggaran Pemda.

Keseriusan pemerintah dalam mendorong pembangunan PLTSa oleh Badan Usaha Milik Negara [BUMN] dan Badan Usaha Milik Swasta baik dalam maupun luar negeri diperkuat dengan keluarnya kebijakan Peraturan Presiden [Perpres] khusus di bidang PLTSa yang sudah mengalami perbaikan dua kali.

Perpres No. 35 Tahun 2018 itu bertujuan mempercepat investasi PLTSa di 12 kota [DKI Jakarta, Kota Tangerang, Tangerang Selatan, Kota Bekasi, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya, Kota Makassar, Kota Denpasar, Kota Palembang dan Kota Manado]. Pemerintah berharap pembangunan PLTSa di 12 kota tersebut menjadi percontohan bagi Pemda seluruh Indonesia untuk bekerjasama dengan berbagai Badan Usaha dalam menanggulangi problema persampahan di kotanya masing-masing.

Dunia usaha juga merespon positif penerbitan aturan itu, ditandai dengan banyaknya peserta tender yang dilakukan oleh Pemda di 12 kota. Ini karena Perpres memberikan kepastian berusaha dengan tingkat pengembalian modal yang cukup menarik.

Akan tetapi patut disayangkan, dua tahun setelah Perpres ini dikeluarkan, kini muncul rekomendasi berbeda dari Komisi Pemberantasan Korupsi [KPK]. Lembaga penegak hukum ini rupanya menganggap ada kerugian negara yang timbul dalam peraturan yang mewajibkan PLN dan Pemda membeli listrik dari PLTSa dengan tarif keekonomian dan membayar bea pengolahan sampah [tipping fee].

KPK menganggap penugasan pemerintah pada PLN untuk melakukan pembelian listrik dari sampah, bisa merugikan PLN dan Pemda. Pasalnya, kedua institusi itu harus membayar bea pengolahan sampah, sebuah beban tambahan yang sebelumnya tidak ada.

Menurut saya, rekomendasi KPK itu keliru. Salah persepsi ini sebaiknya diselesaikan oleh kementerian terkait yang melakukan kajian teknis dan komersial terhadap Perpres Nomor 35 Tahun 2018 sebelum menjadi polemik di masyarakat. Polemik yang berkepanjangan dapat menimbulkan keraguan para pelaku usaha/investor PLTSa, PLN dan Pemda dalam melanjutkan proyek ini.

Masalah lain dari rekomendasi KPK terletak pada usulnya agar pemerintah mencari alternatif lain dalam mengolah sampah dengan menerapkan prinsip 3R [Reduce, Reuse, Recycle].
Memang betul pengolahan sampah yang ideal adalah dengan menerapkan prinsip 3R [Reduce, Reuse, Recycle]. Metode 3R dapat mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan, mengurangi penimbunan sampah, dan menghemat anggaran Pemda dalam mengolah sampahnya. Akan tetapi perlu diingat bahwa penerapan metode 3R yang berkelanjutan memerlukan perubahan kebiasaan setiap individu penghasil limbah. Ini merupakan proses yang sangat panjang. Mengubah pola pikir puluhan hingga ratusan juta orang tidaklah mudah.

Pemerintah sudah memperkenalkan metode 3R melalui Undang-Undang No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, tapi tidak memberikan hasil yang berarti. Sepuluh tahun lebih berlalu, tak ada perubahan dalam pola penanganan sampah di negeri ini.

Itulah mengapa PLTSa sangat dibutuhkan. Metode ini dapat mengurangi penimbunan sampah secara cepat tanpa menunggu perubahan perilaku jutaan penduduk kota.

Timbunan sampah memang masalah yang harus dihadapi masyarakat kota setiap hari. Persoalan sampah yang makin kompleks akan merusak citra sebuah kota. Karena itu, menurut saya, perdebatan antara KPK dengan berbagai pemangku kepentingan di Indonesia tentang pengolahan sampah ini sebenarnya tidak perlu terjadi. Perdebatan itu tidak akan mengubah fakta ada jutaan ton sampah yang tidak tertangani jika pemerintah tidak bertindak cepat.

Dengan demikian, mempercepat pembangunan PLTSa untuk mengatasi masalah sampah di 12 kota di Indonesia bisa jadi merupakan solusi terbaik yang tersedia saat ini. Selain membantu ketersediaan energi, PLTSa juga mengatasi masalah kesehatan dan lingkungan.

Penting untuk dicatat bahwa solusi pragmatis ini tentu tidak dapat dianggap sebagai solusi permanen untuk masalah pengelolaan limbah yang kompleks. Akan tetapi, menurut saya, beban penugasan pembelian listrik oleh PLN dengan tarif keekonomian tidak bisa serta merta dianggap merugikan negara, sepanjang ada manfaat lain yang dirasakan masyarakat kota.

Apalagi, penugasan kepada PLN bukan hal baru di negeri ini. Penugasan semacam itu mau tak mau membawa konsekuensi beban tambahan terhadap kondisi keuangan PLN. Salah satu penugasan PLN adalah melistriki daerah-daerah tertinggal di seluruh pelosok Nusantara. Konsekuensinya, PLN kerap harus memberdayakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel [PLTD] yang berbiaya mahal.

Tak hanya mahal, pengadaan PLTD juga membawa beban biaya tak sedikit karena pelanggan PLN di daerah tertinggal ini mayoritas adalah rumah tangga tidak mampu. Apakah perluasan akses listrik kepada masyarakat daerah tertinggal ini juga dianggap merugikan negara?

Untuk mencapai tujuan pembangunan, Indonesia sangat membutuhkan partisipasi luas dari berbagai badan usaha di dalam dan di luar negeri. Membangun infrastruktur strategis seperti pembangkit listrik di daerah tertinggal dengan sumber energi terbarukan atau pembangkit listrik bertenaga sampah di kota-kota besar bisa menyelesaikan banyak masalah. Jangan sampai kepercayaan investor yang sudah siap membangun berbagai infrastruktur itu hilang. [*]

  • Sampah
  • Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
  • KPK
  • PT Perusahaan Listrik Negara [PLN]



  • Apa Itu Pembangkit Listrik Tenaga Sampah [PLTSa] ?

    • by Husnur Rosyidah Aulia
    • Januari 26, 2021

    Share

    Share on facebook

    Share on twitter

    Share on linkedin

    Share on whatsapp

    Seiring dengan meningkatnya urbanisasi, limbah padat atau singkatnya sampah telah meningkat selama satu abad terakhir menjadi lebih dari 3 juta ton yang dihasilkan setiap hari secara global. Jumlahnya diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2025 [Organization for Economic Cooperation and Development]. Di Indonesia pun, hal ini juga menjadi salah satu isu mengingat mulai penuhnya TPA [Tempat Pembuangan Sampah]. Hal ini mendorong banyak pihak, khususnya pemerintah, untuk mulai bergerak mengatasi masalah sampah yang terus menumpuk ini. Salah satu penyelesaiannya, yaitu mengurangi sampah melalui mesin pembakaran sampah [incinerator]. Lalu, memanfaatkannya sebagai pembangkit listrik tenaga sampah atau PLTSa.

    Wacana pengadaan PLTSa ini sendiri sudah ada sejak beberapa tahun lalu melalui beberapa Perpres [Peraturan Presiden] no.18 Tahun 2016, dan Perpres No. 97 Tahun 2017. Pemerintah berencana mengadakan 12 pembangkit listrik di berbagai daerah dan beberapa diantaranya sudah mulai beroperasi.

    Walau terlihat ramah lingkungan mengingat salah satu tujuannya adalah mengurangi sampah, akan tetapi, sumber energi listrik ini menuai banyak kontra dari berbagai pihak. Salah satu alasan yang membuat alternatif ini ditentang adalah kemungkinan adanya polusi udara. Bukan sekedar asap yang dihasilkan saat proses pembakaran, tapi dikhawatirkan jika asap yang dikeluarkan akan mengandung banyak gas berbahaya.

    Untuk memahami mengapa banyak pro-kontra yang terjadi, berikut kami bahas tentang PLTSa, mulai dari pengertian, prinsip kerja, serta kelebihan dan kekurangannya.

    Pembangkit Listrik Tenaga Sampah

    Gagasan ini dimuat Harian Solopos edisi Rabu, 30 Desember 2020. Esai ini karya Mochamad Syamsiro, Direktur Center for Waste Management and Bioenergy dan dosen Jurusan Teknik Universitas Janabdara Yogyakarta.

    Mochamad Syamsiro - Solopos.com
    Minggu, 3 Januari 2021 - 21:46 WIB

    Video yang berhubungan

    Bài mới nhất

    Chủ Đề