Apa komentar tentang usulan dpd ri untuk amandemen uud

Latar Belakang dan Tujuan Penyusunan

    Proses amandemen UUD 1945 telah melahirkan beberapa lembaga negara baru sebagai konsekuensi pelaksanaan demokrasi dalam kerangka penciptaan pemerintahan yang bersih dan akuntabel. Dewan Perwakilan Daerah [DPD] dibentuk sebagai pemenuhan keterwakilan aspirasi daerah dalam tatanan pembentukan kebijakan ditingkat pusat. Pasal 22D UUD 1945 telah menyebutkan kewenangan DPD dibidang legislasi yakni pengajuan RUU tertentu, ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap penyusunan RUU tertentu, pemberian pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu, pemberian pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan terhadap pelaksanaan UU tertentu.

    UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD [UU MD3] telah menjelaskan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas dan kewenangan DPD,  namun beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU MD3 dinilai belum secara maksimal mengejahwantahkan kewenangan DPD sebagaimana UUD 1945 hal ini diperkuat dengan adanya Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 yang telah mengembalikan kewenangan DPD dalam pemenuhan fungsi legislasinya sebagaimana diatur dalam UUD 1945.

    Namun demikian, UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, DAN DPRD [UU MD3] yang terbit pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dan menggantikan UU No. 27 Tahun 2009, tetap saja memuat ketentuan Pasal-pasal yang mereduksi, menegasikan, bahkan mengikis kewenangan konstitusional sebagaimana telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk UU MD3 nyata-nyata tidak menghargai putusan Mahkamah Konstitusi No. 92/PUU-X/2012 tersebut. Kondisi yang demikian ini jelas-jelas tidak memberikan teladan bagi rakyat Indonesia dalam melaksanakan penegakan hukum, karena justru Lembaga Negara setingkat pembentuk UU juga tidak mengindahkan keputusan lembaga yang diberi kewenangan konstitusi untuk memutuskan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945, yakni Mahkamah Konstitusi.

    Berdasarkan Putusan MK tersebut, DPD berpandangan perlunya dilakukan penyesuaian dan perubahan terhadap UU MD3 terutama kaitannya dengan pelaksanaan kewenangan kelembagaan DPD serta mekanisme pelaksanaan pembahasan legislasi yang konstitusional.

    Disisi lain, DPD juga berpandangan bahwa pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan fungsi, tugas serta kewenangan DPR, DPD, dan DPRD harus diatur melalui undang-undang yang terpisah. Hal ini sejalan dengan Pasal 22C Ayat [4] jo Pasal 19 Ayat [2] UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Susunan dan Kedudukan DPD diatur dengan undang-undang. Makna kata “dengan” dapat diasumsikan bahwa pengaturan tengtang susunan dan kedudukan DPD diatur dalam ketentuan undang-undang sendiri. Begitupun dengan DPR sebagaimana Pasal 19 Ayat [2] UUD 1945.

    Adapun tujuan penyusunan RUU Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MD3, adalah:

    1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi oleh DPD sebagai lembaga perwakilan daerah dalam proses legislasi khususnya dalam rangka mengemban visi dan misi memperjuangkan kepentingan daerah dalam penentuan kebijakan nasional;
    2. Merumuskan permasalahan hukum yang terkait dengan penentuan norma-norma hukum kewenangan DPD sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 1945 yang kemudian didelegasikan ke undang-undang pelaksanaannya, yaini UU MD3;
    3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis pembentukan Rancangan Undang-undang tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD; dan
    4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan arah pengaturan dalam Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Mohon Perhatian! Untuk sementara, sampai dengan Senin, 1 Agustus 2022, situs JariUngu tidak dapat digunakan karena dalam proses upgrading. Mohon maaf atas terganggunya pelayanan.

Pengelola JariUngu.com


31 July 2022 12:34:43

Ketua Umum NasDem Surya Paloh berbicara pada perayaan HUT ke-9 NasDem di Akademi Bela Negara NasDem, Rabu [11/11]. Foto: NasDem

Wacana amandemen UUD 1945 kini tengah digulirkan DPD. Saat ini, DPD masih fokus mengumpulkan tanda tangan anggota untuk memenuhi syarat usulan amandemen sebagaimana tertuang di Pasal 37 UUD 1945.

Apa respons fraksi parpol di MPR?

Sekretaris Fraksi NasDem MPR Syarief Abdullah Alkadrie mengatakan, NasDem berpandangan saat ini belum ada urgensi untuk amandemen UUD 45.

"Jangan sampai kita mengkritisi UUD 45 itu banyak hal-hal lain yang masuk nanti di situ. Karena ini berkaitan dengan konstitusi negara. Makanya Partai NasDem, kita sudah menyatakan bahwa kita tidak akan mengamandemen UUD 1945," kata Syarief saat dimintai tanggapan, Rabu [30/6].

Menurut Syarief, saat ini banyak persoalan negara yang tak kunjung terselesaikan, khususnya pandemi COVID-19. Sehingga, pikiran semua pihak sebaiknya ditujukan pada penanganan COVID-19 di Tanah Air.

"Jadi, saya berharap rekan rekan semua anggota MPR ini ya, kita harus melihat dari sisi kepentingan yang lebih besar lah untuk kepentingan bangsa dan negara," urai Wakil Ketua Komisi V DPR ini.

Bagaimana dengan Pokok-pokok Haluan Negara [PPHN] yang sedang berjalan di badan pengkajian MPR? Syarief mengaku khawatir hal itu akan menuai perdebatan jika amandemen UUD 1945 dibuka.

Pimpinan MPR RI terpilih periode 2019-2024 menyanyikan lagu Indonesia Raya saat Sidang Paripurna MPR di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen, Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Terkait penguatan fungsi DPD yang diwacanakan fraksi DPD di MPR, Syarief menilai sebagai usulan sah-sah saja. Namun, ia memiliki pandangan tersendiri terkait peran DPR dan DPD.

Sebab, ditegaskan Syarief, parlemen Indonesia memang menganut sistem dua kamar.

"Saya kira masing-masing pihak memang harus tahu filosofi terhadap lembaganya. Jadi, di mana posisi DPD, di mana posisi DPR. Jadi, kalau semua DPD dan DPR sama, ya gimana fungsi DPR, gimana fungsi DPD-nya. Jadi, saya kira masing-masing punya fungsi dalam menyelenggarakan mandat yang diberikan oleh rakyat," tegas legislator dapil Kalbar ini.

Sebelumnya, Fraksi Golkar MPR juga mengimbau agar semua pihak berhati-hati untuk mewacanakan amandemen UUD 45. Sebab, rawan disusupi kepentingan politis berbagai kelompok.

Kompas

Heryunanto

Wacana amendemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia [UUD NRI] 1945 kembali menguat.

Pernyataan ketua MPR soal amendemen dalam rangka penguatan kelembagaan dan mendorong Pokok-Pokok Haluan Negara [PPHN] menjadi salah satu alasan yang dikemukakan. Dalam waktu berdekatan, pertemuan para pimpinan parpol dengan Presiden Joko Widodo menambah hangat wacana ini. Terlebih dengan kehadiran Partai Amanat Nasional dalam koalisi pemerintah yang membuat peluang amandemen kian terbuka lebar.

Kerisauan para tokoh politik dengan proses demokrasi pasca-Reformasi barangkali beralasan. Terdegradasinya posisi dan kewenangan MPR dalam sistem pemerintahan serta hilangnya Garis-garis Besar Haluan Negara [GBHN] yang menjadi pedoman pembangunan di masa lalu, memicu pertanyaan. Tentang bagaimana negara ini dapat dibangun secara berkelanjutan meski terjadi perubahan kepemimpinan politik di republik.

Tentu sebagai sebuah alasan politik, setiap usulan dimungkinkan. Sekalipun ada yang menyampaikan kritik bahwa langkah mendorong PPHN hanya akan melemahkan sistem presidensial dan menguatkan sistem parlementer. Atau ada yang menyampaikan dalil hukum, PPHN sejatinya bisa diakomodasi dalam UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.

Konsensus politik

Tuntutan reformasi tahun 1998 sebagai momen disrupsi politik Tanah Air, memang mengubah banyak hal. Kebebasan berdemokrasi semakin mengalir termasuk lewat hadirnya banyak parpol yang membentuk konstelasi baru di parlemen. Hal ini tentu menambah energi dalam pengelolaan kebijakan negara yang dimainkan legislatif dan eksekutif.

Pada sisi lain, berkurangnya peran MPR serta tiadanya GBHN menimbulkan kesan, perjalanan negara akhirnya ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa.

Imbasnya kehadiran DPD yang merupakan mandat reformasi untuk memperkuat sistem dua kamar malah berujung samar. DPR dengan warna politik yang ramai, menyulitkan pemerintah dalam mengambil banyak keputusan. Sehingga dengan memberi porsi pada DPD, bagi sebagian kalangan dinilai akan tambah mempersulit pemerintah.

Keseimbangan konstelasi politik ini semakin menantang di era Reformasi. Banyak energi dan harga yang harus dibayar untuk menghadirkan stabilitas politik. Pada sisi lain, berkurangnya peran MPR serta tiadanya GBHN menimbulkan kesan, perjalanan negara akhirnya ditentukan oleh kekuatan politik yang berkuasa. Sehingga, konsekuensi buruknya, dapat membuat perjalanan negara ini tidak berkembang.

Ketika akhirnya PPHN dimunculkan sebagai alasan untuk menggelar amendemen kelima UUD NRI 1945, maka semua akhirnya bergantung konsensus politik dan merujuk konstitusi. Sebagai sebuah produk hukum dan politik, itikad ini mungkin saja terjadi. Terlebih konstitusi kita memberi ruang terbuka [open legal policy] untuk amendemen.

KOMPAS/INGKI RINALDI

Sejumlah pembicara menghadiri diskusi bertajuk “Review Politik Akhir Tahun: Ancaman Pilkada Tidak Langsung, Amendemen Konstitusi, dan Kembalinya Oligarki.” Diskusi itu diadakan Centre for Strategic and International Studies [CSIS], Minggu, [8/12/2019] di Jakarta.

Libatkan rakyat

Merujuk pada itikad politik tersebut, perlu dipahami bahwa UUD NRI 1945 dalam Pasal 2 Ayat 1 menekankan MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Hal ini untuk mengingatkan bahwa MPR terdiri dari representasi rakyat yang diwakili oleh anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Peran anggota MPR dalam wacana amendemen ini, mesti dijadikan sebagai pendidikan politik penting dengan melibatkan rakyat di dalamnya.

Pelibatan rakyat lewat berbagai elemen masyarakat sipil ini penting, kendati MPR diberi kewenangan melakukan perubahan dan penetapan UUD, merujuk pada UUD NRI 1945 Pasal 3 Ayat 1. Ini penting, agar rakyat memahami tujuan besar dari wacana perubahan yang diusung kekuatan politik di parlemen.

Terkait perubahan ini, telah diatur mekanismenya di UUD NRI Pasal 37 Ayat 1, di mana usulan mesti diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR. Saat ini, jumlah anggota MPR secara kesuluruhan 711 orang, di mana 575 anggota berasal dari DPR [sembilan parpol] dan 136 anggota berasal dari DPD. Jadi dengan angka ini, dibutuhkan setidaknya 237 suara untuk mengajukan usulan perubahan.

Selanjutnya, dalam pasal yang sama Ayat 2 disebutkan mekanisme pengajuan tertulis atas usulan beserta alasan perubahan. Dalam konteks ini, usulan soal PPHN maupun perubahan lain yang hendak diajukan mesti didasari alasan yang kuat dan jelas.

Mekanisme perubahan ini jelas diatur dan memungkinkan bila wacana amandemen memang hendak dilakukan.

Dilanjutkan pada Ayat 3, usulan perubahan UUD dalam sidang MPR RI mesti dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota MPR. Dalam konteks saat ini berarti harus dihadiri oleh setidaknya 474 anggota. Dalam kondisi pandemi, pemahaman kehadiran ini menjadi menarik untuk didiskusikan terpisah.

Pada Pasal 4, dalam rangka pengambilan keputusan atas usulan perubahan, maka setidaknya harus disetujui 50 persen ditambah satu dari jumlah seluruh anggota MPR. Artinya, dengan jumlah anggota MPR sebanyak 711, maka dibutuhkan persetujuan setidaknya oleh 356 atau 357 orang anggota.

Mekanisme perubahan ini jelas diatur dan memungkinkan bila wacana amendemen memang hendak dilakukan. Tentu perlu diingat, setiap usulan perubahan ini dimungkinkan sejauh tak mengubah bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ayat 5 dalam pasal terkait mekanisme perubahan ini mengunci itikad semua pihak yang ingin mengubah bentuk negara [close legal theory].

Baca juga :Amendemen UUD, GBHN,dan Jabatan Presiden

Penataan kelembagaan

Seluruh proses ini patut dipahami oleh publik. Termasuk patut melibatkan publik sebagai pemilik saham atas kepentingan republik. Seluruh itikad baik yang mendorong perjalanan bangsa ini menjadi semakin maju, perlu didukung semua kalangan. Tentu dengan mengedepankan prinsip kritis, konstruktif, konstitusional, dan kebersamaan.

Lebih dari itu, proses amendemen yang tak mudah ini mesti dilakukan dengan cermat, arif, dan bijaksana. Sebab penguatan peran MPR untuk kepentingan kemajuan bangsa, sejatinya berarti berbicara tentang dua elemen kunci yakni DPR dan DPD.

Maka, perlu dipertimbangkan upaya amandemen ini sebagai langkah penataan kelembagaan seluruh elemen yang ada, sehingga sistem parlementer bikameral atau dua kamar semakin lebih baik, dan terwujud Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Penataan terhadap peran masing-masing entitas lembaga, perlu diberi ruang, mengingat langkah amendemen merupakan proses politik yang rumit, langka serta memiliki ongkos politik yang teramat mahal.

Pandemi ini memberi ruang untuk setiap elemen untuk melakukan evaluasi terpisah maupun bersama, untuk kemudian bermusyawarah dan bermufakat demi menghasilkan perubahan yang tepat. Ini momen untuk perubahan bersama seluruh elemen bangsa.

Kepiawaian para tokoh politik dalam koalisi pemerintah yang hendak mengusung amendemen ini mesti diarahkan secara visioner demi kepentingan jangka panjang. Mengutip harapan ketua MPR soal mimpi akan Indonesia dekade-dekade mendatang untuk generasi penerus.

Kepentingan bersama

Sekadar hitungan sederhana. Untuk sebuah usulan perubahan dibutuhkan dukungan 237 suara anggota di MPR. Untuk membahas usulan dibutuhkan kehadiran 474 anggota. Lalu untuk pengambilan keputusan perubahan dibutuhkan setidaknya 356 atau 357 suara. Bila koalisi partai pendukung pemerintah bersepakat, mereka memiliki kekuatan 349 anggota di parlemen. Bila digabungkan dengan kekuatan kursi PAN, maka kekuatan menjadi 393 suara.

Angka dukungan ini terbilang besar dan istimewa. Secara hitungan di atas kertas, koalisi pemerintah tinggal butuh tiga suara lagi untuk dapat memenuhi syarat kuorum persidangan. Baik dari representasi partai seperti PKS yang memiliki 50 kursi dan Partai Demokrat 54 kursi, maupun dari 136 anggota MPR yang berasal dari DPD. Bila koalisi pemerintahan solid, maka untuk mendapat tambahan tiga suara, yang kemungkinan besar dari DPD, bukanlah perkara sulit.

Bila koalisi pemerintahan solid, maka untuk mendapat tambahan tiga suara, yang kemungkinan besar dari DPD, bukanlah perkara sulit.

Dalam pengalaman sebagai anggota MPR dan DPR serta kini sebagai anggota MPR dan DPD, tentu saja disadari bahwa politik itu cair. Dukungan dalam sebuah keputusan politik besar seperti amendemen, tidak selalu tegak lurus seperti yang dikira.

Hal ini mengingat catatan di awal bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang tentu saja punya marwah serta kedaulatannya sendiri sebagai wakil rakyat. Jadi bukan tidak mungkin ada anggota partai yang tak bersepakat, atau sebaliknya bukan tak mungkin anggota DPD justru bersepakat untuk mendorong amendemen.

Kompas/Agus Susanto

A Teras Narang

Itu sebabnya saya mendorong, agar amendemen tidak dilakukan sepihak, apapun agendanya. Tidak untuk kepentingan satu kelompok atau golongan semata, tidak pula untuk kepentingan sesaat. Melainkan peran serta dan kepentingan seluruh pihak, terlebih rakyat Indonesia mesti terwakili dalam itikad amendemen kali ini. Untuk kebaikan bangsa dalam jangka panjang. Itulah semangat gotong royong sebagai bangsa. Cermin dari semangat Pancasila dalam demokrasi parlemen kita.

A Teras Narang Anggota MPR RI/DPD RI Periode 2019-2024, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề