Apa pendapatmu tentang dilakukannya amandemen batang tubuh uud 1945

Ilustrasi sidang MPR. Dok.TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo

TEMPO.CO, Jakarta - Belakangan ini partai politik ribut membicarakan amandemen terbatas pada Undang-undang Dasar atau UUD 1945. Salah satu yang paling getol adalah PDIP. Partai yang digawangi Megawati Soekarnoputri ini ingin menghidupkan lagi Garis-garis Besar Haluan Negara [GBHN] lewat perubahan tersebut.

Istilah amandemen juga GBHN tentunya hanya dipahami sebagian kalangan. Pasalnya, perubahan UUD 1945 dilakukan sebanyak empat kali pada 1999-2002. Sebelum berubah, UUD 1945 terdiri atas Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan.

Pada Batang Tubuh UUD 1945 terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 65 ayat [16 ayat berasal dari 16 pasal yang hanya terdiri dari 1 ayat, dan 49 ayat berasal dari 21 pasal terdiri dari 2 ayat atau lebih], 4 pasal Aturan Peralihan, dan 2 ayat Aturan Tambahan.

Setelah empat kali mengalami perubahan, UUD 1945 memiliki 16 bab, 37 pasal, 194 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan, dan 2 pasal Aturan Tambahan. Salah satu perubahan yang fundamental adalah pelaksanaan pemilihan umum dan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti, pun menjelaskan makna amandemen yang akan lebih mudah dipahami para kaum milenial. "Amandemen itu sebenarnya istilah perubahan konstitusi," kata Bivitri kepada Tempo, Ahad, 11 Agustus 2019.

Dalam Pasal 37 UUD 1945 menyediakan mekanisme untuk melakukan perubahan pada konstitusi. Bivitri mengatakan, setiap konstitusi di dunia memang memungkinkan adanya amandemen. "Namanya kan bukan kitab suci, jadi bisa diamandemen karena situasi politik tertentu," ujarnya.

Untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945, kata Bivtri, harus melalui sejumlah tahapan. Pertama, anggota MPR [terdiri dari anggota DPR dan DPD] mengusulkan agenda amandemennya. Agenda tersebut harus disetujui oleh dua per tiga dari total anggota MPR jika ingin diproses.

Setelah disetujui, agenda pembahasan dimulai. Dalam pembahasan, dua per tiga anggota MPR harus hadir. Kalau hadir semua, persetujuan amandemen harus disetujui lebih dari 50 persen total anggota MPR.

Menurut Bivitri, tahapannya memang rumit dalam melakukan amandemen konstitusi. Tidak seperti mengubah undang-undang yang bisa kapan saja dilakukan jika perlu. Sebab, perubahan UUD 1945 dapat mempengaruhi konteks kenegaraan di Indonesia.

"Karena konstitusi itu fundamental negara. Ini terkait desain kelembagaan, hak asasi manusia. Jadi sengaja dibuat tidak mudah," kata pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan [PSHK] ini.

Untuk istilah GBHN, Bivitri menerangkan bahwa istilah itu dikenal setelah Presiden Soekarno menyampaikan pidato politik pertama kali menjelang kejatuhan pemerintahannya.

Pidato itu disebut Manipol USDEK, yaitu negara [NKRI] berjuang keras mewujudkan UUD '45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Selanjutnya pidato itu menjadi garis besar haluan negara. Setelah era Soekarno jatuh, Presiden Soeharto melanjutkan GBHN dan menjadi konsesi ketatanegaraan.

Bivitri mengatakan, GBHN itu ada karena presiden dipilih oleh MPR. Lalu MPR memberikan mandat berupa GBHN yang harus dilakukan presiden. Meski begitu, pada prakteknya di era Soekarno dan Soeharto, GBHN dibuat oleh tim presiden lalu diketok oleh MPR. Sebab, MPR dan DPR khususnya era Soeharto tidak efektif karena kekuasaan presiden lebih kuat.

Adapun isi dari GBHN itu sendiri, menurut Bivitri, mengawang-ngawang alias tidak ada alat ukur dan targetnya. "Misalnya target kita GBHN memajukan kesejahteraan. Tapi enggak terlalu jelas target seperti apa, kapan mau dicapai," katanya.

Oleh: Drs. Indriyanto, S.H., M.Hum.

Pendahuluan

Pada masa reformasi ini, pembicaraan dan usul untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945 semakin santer disuarakan berbagai pihak. Prinsipnya, perubahan terhadap UUD itu bukanlah sesuatu yang “haram” karena situasi dan kondisi berdasarkan pengalaman pemerintahan masa lalu dirasakan banyak terjadi kekurangan-kekurangan politis dalam mengelola negara dan bangsa ini. Ujung-ujungnya, UUD 1945 dianggap tidak sesuai jaman lagi dan perlu diamandemen.

Sebenarnya, amandemen terhadap UUD 1945 [Batang Tubuh-nya] dimungkinkan berdasarkan pasal 3 dan pasal 37 UUD 1945. Oleh karena itu tidaklah menyalahi hukum tata negara Indonesia bila ada usaha untuk melakukan amandemen UUD demi kelancaran dalam kehidupan berkebangsaan Indonesia. Mengapa perlu diamandemen? Memang, sehubungan dengan perdebatan mengenai perubahan politik di Indonesia akhir-akhir ini dan berangkat adanya keharusan perubahan politik di Indonesia disebabkan karena dominasi negara dan aparat-aparatnya di masa Orde Baru, maka perubahan yang mendasar diperlukan sebagai upaya pemulihan hak-hak rakyat dan lembaga-lembaga tinggi negara.

Dominasi negara merupakan akibat dari proses penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan politik yang diwarnai cara-cara yang tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan, kemandirian, kesejahteraan. Sementara itu pada tingkat lembaga, yang berkembang adalah cara-cara berpolitik yang bersifat monolitik, monopolistik dan yang serba tunggal. Cara-cara inilah yang perlu ditinggalkan jika yang dikehendaki adalah  kehidupan kenegaraan dan politik yang melayani, memberdayakan,dan memfasilitasi upaya rakyat menyelesaikan masalah.

Penyelenggaraan kehidupan kenegaraan dan politik yang baik akan terlaksana bila dapat memenuhi kebutuhan rakyat akan tiga hal, yaitu: 1. Pelayanan dalam rangka mencapai keadilan; 2. Pemberdayaan dalam rangka mewujudkan kemandiriann; 2. Pembangunan dalam rangka mencapai kesejahteraan. Pemenuhan ketiga kebutuhan ini memerlukan lembag-lembaga dan perilaku dalam supra struktur politik dan infrastruktur politik  maupun lembaga-lembaga yang accountable, responsible, dan responsive.

Setting Historis

Pada saat UUD 1945 ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945, oleh para penyusunnya [PPKI] UUD ini memang dimaksudkan sebagai UUD sementara.

Bung Karno mengatakan:

“tuan-tuan semuanya tentu mengerti, bahwa Undang-undang Dasar yang buat sekarang ini, adalah Undang-undang Dasar sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-undang Dasar Kilat. Nanti kalau kita telah bernegara didalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang akan membuat Undang-undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap…”

“tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-undang Dasar Sementara, Undang-undang Dasar kita, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap…”

Jadi jelas, bahwa UUD 1945 itu adalah UUD sementara, dibuat dengan ketergesaan dalam situasi dan kondisi yang genting. Hal ini juga bisa dilihat pada Aturan Tambahan UUD 1945 yang berbunyi:

ayat 1 : Dalam enam bulan sesudah akhirnya peperangan Asia Timur Raya, presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-undang Dasar ini.

ayat 2: Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar.

Sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 diberlakukan kembali dan sifat kesementaraannya dianggap menjadi tetap. Dilanjutkan dengan tap-tap MPR yang mengukuhkan UUD 1945 sebagai UUD yang tetap dan keinginan MPR untuk tidak berkehendak merubah UUD itu dan bertekad untuk melaksanakannya secara murni dan konsekuen. Tap-tap MPR itu adalah: Tap No. XX/MPRS/1966 jo No. 1/MPR/1968; No.V/MPR/1973; No. IX/MPR/1978; No.IV/MPR/1983.

Sebelum Dekrit Presiden 59, pemerintah telah menganjurkan kepada Kontituante untuk kembali ke UUD 1945 dengan 10 buah alasan. Di antara alasan-alasan itu sebenarnya ada dua alasan yang memberikan alternatif tejadinya perubahan dan penyempurnaan, yaitu:

Alasan nomor 7: Sistem mengubah dan menyempurnakan UUD dalam UUD 1945 lebih fleksibel dan dapat dilakukan setiap waktu amat terasa keperluannya oleh MPR dengan suara 2/3.

Alasan nomor 10: Perubahan, tambahan dan penyempurnaan UUD 1945 dapat dilaksanakan dengan melalui jalan pasal 37 UUD 1945, yaitu oleh MPR. Sebaliknya hal ini baru dilakukan setelah beberapa tahun dan setelah tercapainya stabilisasi dilapangan politik dan ekonomi.

Dengan demikian pengertian fleksibel dan supel dalam UUD 1945 sebenarnya juga berlaku dalam hal merubah, menambah, dan menyempurnakannya.

Perjalanan UUD 1945 dan Praktek Ketatanegaraan

Pada masa 1945- Desember 1949: Praktis UUD 1945 tidak bisa dilaksanakan secara murni dan konsekuen karena banyak pasal yang tidak bisa direalisasikan. Bahkan bentuk pemerintahan pun mengalami perubahan mendasar dari sistem presidensial ke sistem parlementer. Sidang-sidang untuk menetapkan UUD yang lebih sempurna dan lengkap tidak pernah terwujud.

Desember 1949-1950: UUD 1945 hanya berlaku di Negara Bagian Republik Indonesia, yang jelas tidak mempunyai waktu untuk melaksanakan hal-hal yang diamanatkan oleh UUD tersebut.

Periode 1959-1965: Banyak terjadi penyimpangan terhadap UUD dengan diberlakukannya berbagai Penpres yang tidak dikenal oleh UUD tersebut. Misalnya: Ketua DPA dijabat oleh Presiden, Ketua MPR dijabat oleh Menteri, Pengangkatan Presiden seumur hidup, Pembubaran DPR, dan sebagainya.

Periode 1966-sekarang: Banyak terjadi pengebiran makna dari pasal-pasal di dalam UUD 1945 oleh UU, Kepres, dan lain-lain. Banyak contoh aktual yang bisa didiskusikan. Berdasarkan pengalaman sejarah baik secara hukum, teoritik, tekstual, maupun dalam praktek ketatanegaraan selama ini, UUD 1945 perlu diamandemen untuk menjawab tantangan jaman dan demokratisasi dalam perjalanan bangsa dan negara Indonesia ini.

Tujuan dan Cara Melakukan Perubahan UUD 1945

Alasan untuk mengadakan perubahan UUD 1945 secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut: pertama, UUD 1945 hanya dimaksudkan bersifat sementara. Kedua, UUD 1945 memberikan executive heavy. Ketiga, UUD 1945 tidak memberikan atribusi kewenangan yang jelas kepada lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara secara tegas. Keempat, UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang ambigu. Kelima, UUD 1945 hanya mengharapkan yang bermoral dan berbudi pekerti yang luhur.

Perubahan UUD 1945 hanya terhadap batang tubuh dan penjelasan, sedangkan terhadap pembukaannnya sduah merupakan staatsfundamental norm yang tidak perlu diubah dengan pertimbangan: pertama, pembukaan UUD 1945 mempunyai nilai historis tersendiri sebagai suatu pernyataan kemerdekaan yang terperinci dan erat kaitannya dengan teks proklamasi. Kedua, dalam pembukaan UUD 45 terdapat dasar negara Pancasila, cita-cita dan tujuan negara yang masih relevan. Ketiga, jika memberi peluang terhadap perubahan  pembukaan UUD 1945, maka berarti juga membuka peluang bagi pertentangan ideologi di kalangan bangsa Indonesia yang heterogen dan dapat memicu pertikaian berdasarkan realitas politik sekarang ini.

Adapun tujuan dari perubahan UUD 1945 adalah sebagai berikut:

  1. 1.   meletakkan dasar bagi perwujudan Indonesia Baru yang berdiri tegak di atas keseimbangan nilai-nilai moral /agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
  2. 2.   mewujudkan sebuah kemakmuran yang berkeadilan bagi bangsa Indonesia dengan berdasar pada kesederajadan dan persamaan di bidang hukung, politik, ekonomi, sosial, dan udaya.
  3. 3.   menciptakan sebuah Indonesia baru yang demokratis dan Indonesia yang menghargai serta mengakui hak azasi manusia bagi warganya.
  4. 4.   mewujudkan aturan main kehidupan bernegara yang lebih baik dengan penekanan pada:
    1. a.   pembagian kekuasaan [distibution of power] yang lebih tegas di antara lembaga-lembaga negara yang ada serta menghilangkan adanya executive heavy seperti yang terdapat pada UUD terdahulu.
    2. b.   pemberian atribusi kewenangan yang jelas pada lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara.
    3. c.   menghindari adanya interpretasi ganda dalam pasal-pasal UUD
    4. d.  memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang jelas terhadap hak asasi manusia.

Adapun cara untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945, yaitu dengan menggunakan mekanisme pasal 37 UUD 45 tanpa menggunakan referendum atau pasal 37 UUD 1945 dengan menggunakan referendum terlebih dahulu. Tentunya yang kita pilih adalah cara yang pertama, yakni dengan menggunakan pasal 37 tanpa melalui referendum, maka terlebih dulu MPR sebagai pemegang kedaulatan harus mencabut ketetapan MPR nomor IV/MPR/1983 tentang referendum sebagai derivatif dari pasal 37. Sebab jika kita menggunakan referendum untuk mengubah UUD 1945 tidaklah mudah, bahkan hampir dapat dipastikan tidak mungkin terlaksana.

Menurut UU Nomor 5 tahun 1985 tentang referendum, sebelum diadakan perubahan terhdap UU D 45, rakyat harus dimintai pendapat melalui referendum dengan syarat 90% yang mempunyai hak suara harus ikut dalam referendum dan yang setuju untuk mengadakan perubahan terhadap UUD 1945 harus 90% dari pemberi suara menyatakan “setuju” untuk diubah. Dengan demikian aturan untuk mengadakan perubahan UUD 1945 dengan menggunakan referendum tidak akan terlaksana, karena syaratnya sangat berat untuk dipenuhi.

MPR yang baru akan terbentuk nanti, setelah mencabut ketetapan No. IV/MPR/1983 tentang referendum beserta UU pelaksanaannya [UU No. 5 tahun 1985 tentang referendum] kemudian melaksanakan kewenangannya untuk menetapkan undang-undang dasar. Mekanisme atau cara perubahannya adalah sesuai dengan ketentuan dngan pasal 37 UUD 1945 dengan cara yang lebih mudah dan sederhana.

Penutup

Tampaknya, amandemen terhadap UUD 1945 merupakan hal yang urgen untuk segera dilaksanakan. Tidak layak lagi bagi kita bangsa Indonesia yang memasuki era globalisasi dunia ini hanya terkungkung oleh persoalan politik yang tidak demokratis lantaran produk UUD dan perangkat peraturan lainnya. Oleh sebab itu, perubahan dan amandemen terhadap UUD 1945 apapun alasannya adalah perlu segera dilakukan demi kelangsungan demokrasi bangsa Indonesia yang kita cita-citakan bersama.

Daftar Pustaka:

Sumbangan Pikiran Universitas Gadjah Mada , Demokrasi Politik [Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 1999]

Crisis Service Centre [CSC]-Kagama, Naskah Akademis Rancangan Perubahan UUD 1945 [Yogyakarta: Gadjahmada University Press, 1999.

Simorangkir, JCT, Hukum dan Konstitusi Indonesia [Jakarta: Gunung Agung, 1983]

Sekretariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI] Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia [PPKI] 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 [Jakarta: Sekneg RI, 1995]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề