Apa yang dilakukan seorang sejarawan apabila sumber tidak benar

dibaca normal 2 menit

Penulis: Ilham Choirul Anwar
tirto.id - 4 Jan 2021 10:41 WIB

View non-AMP version at tirto.id

Jenis sumber sejarah untuk menyusun suatu penelitian sejarah atau historiografi dapat dibedakan berdasarkan sifat dan bentuknya.

tirto.id - Merumuskan sejarah memerlukan kajian ilmiah dengan menggunakan sumber-sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan. Jenis sumber sejarah untuk menyusun suatu penelitian sejarah atau historiografi dapat dibedakan berdasarkan sifat dan bentuknya.

Menurut Ruslan Abdulgani dalam Penggunaan Ilmu Sejarah [1963], ilmu sejarah adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang meneliti dan menyelidiki secara sistematis keseluruhan perkembangan masyarakat serta kemanusiaan pada masa lampau beserta kejadian-kejadiannya.

Advertising

Advertising

Penelitian dan penyelidikan dimaskudkan agar dapat dilakukan penelitian secara kritisi seluruh hasilnya untuk selanjutnya dijadikan perbendaharaan pedoman bagi penilaian dan penentuan keadaan sekarang serta arah proses masa depan.

Sejarah merupakan kejadian di waktu lampau dan memiliki pengaruh besar untuk kehidupan manusia di masa-masa berikutnya. Unsur yang harus ada di dalamnya adalah manusia dan waktu. Objek utama dalam pengkajian sejarah yaitu [peradaban] manusia dan tindakannya.

Selain itu, aspek waktu akan menentukan suatu kejadian bisa dikatakan sebagai peristiwa sejarah. Lebih spesifik, waktu lampau yang memiliki nilai sejarah menjadi berarti, jika pembatasan periode telah dilakukan pada masa lalu manusia atau pengalaman kelampauan.

Pentingnya sejarah untuk diungkap yaitu sebagai bentuk pertanggungjawaban masa silam. Manusia dan tindakannya menentukan arti dari masa silam terbut. Tinda-tindakan yang ditemukan lantas disebut peristiwa sejarah.

Lebih penting lagi, peristiwa sejarah mesti memiliki arti dan makna untuk dikenang. Oleh sebab itu, diperlukan peran orang-orang berkompeten yang mampu menafsirkan dan memberi pemaknaan dari suatu peristiwa sejarah.

Baca juga:

Jenis-jenis Sumber Sejarah

Merumuskan sejarah tidak akan lepas dari sumber-sumber sejarah yang ditemukan. Dari situ dapat dilakukan rekonstruksi dan penafsiran peristiwa sejarah di masa lalu.

Menurut R. Moh. Ali dalam Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia [2005], sumber sejarah adalah segala sesuatu yang berwujud dan tidak berwujud, serta berguna bagi penelitian sejarah indonesia sejak zaman purba sampai sekarang. Sumber sejarah bisa berbentuk lisan, tulisan, atau audio-visual.

Dikutip dari Permendikbud Nomor 69 Tahun 2016, sumber-sumber sejarah memiliki beberapa jenis berdasarkan sifat dan bentuknya.

Infografik SC Jenis Sumber Sejarah. tirto.id/Fuad

1. Sumber Sejarah Berdasarkan Sifat

Sumber Primer

Sumber primer yaitu kesaksian dari seorang saksi yang menyaksikan peristiwa dengan indera yang dimilikinya, baik mata atau indera lainnya. Sumber primer juga bisa berupa alat mekanis, dokumen-dokumen, naskah perjanjian, arsip, dan san surat kabar.

Lantaran sumber primer berasal dari tulisan, lisan, dan audio-visual yang satu zaman dengan peristiwa, maka harus dihasikan dari manusia yang sezaman dengan peristiwa yang dikisahkan. Bisa jadi sumbernya adalah duplikasi aslinya, namun yang terpenting adalah isi atau konten dari sumber tersebut.

Sumber Sekunder

Sumber sekunder merupakan kesaksian dari orang yang tidak secara langsung terlibat atau hadir pada peristiwa yang dikisahkan. Sumber tangan kedua ini bisa berujud tulisan, lisan, audio-visual yang tidak sezaman dengan peristiwa.

Baca juga:

2. Sumber Sejarah Berdasarkan Bentuk

Sumber Tertulis

Sumber tertulis sebagai sumber sejarah didapatkan dari peninggalan-peninggalan tertulis. Contonya sangat banyak, seperti koran, majalah, notulen rapat, surat nikah, kuitansi, dan sebagainya.

Sumber Lisan

Sumber lisan diperoleh melalui wawancara atau penuturan lisan dari pelaku, saksi sejarah, atau orang-orang yang berada di dalam masa yang sedang diteliti. Sumber lisan ini juga akan diperoleh suasana emosi pelaku sejarah yang bisa memunculkan suasana kelampauan untuk peneliti. Pemakain sumber lisan hars dibarengi dengan sumber tertulis sebagai penunjang.

Sumber Audio-Visual

Sumber audio-visual merupakan sumber sejarah berupa rekaman bergambar. Secara fisik, sumber ini dapat berupa audio, video, digital video disc [DVD], hingga digital multi media. Saat ini, banyak ditemui sumber berupa audio-visual yang menggabungkan gambar video dan suara.

Baca juga artikel terkait SEJARAH atau tulisan menarik lainnya Ilham Choirul Anwar
[tirto.id - ica/isw]

Penulis: Ilham Choirul Anwar Editor: Iswara N Raditya Kontributor: Ilham Choirul Anwar

© 2022 tirto.id - All Rights Reserved.

Dalam filsafat sejarah modern, sejarah bukanlah narasi subjektif yang berkutat pada dichtung und wahrheit, antara dongeng dan kebenaran belaka. Sejarah juga bukan subjek metafisik yang berfungsi sebagai subtitusi atau komplementer. Sejarah merupakan anasir dalam proses dialektika yang dapat menuntun suatu zaman berbilang masa.

Menghadirkan masa lampau di masa kini memang kerap menimbulkan perdebatan. Sejak era Yunani Kuno hingga periode historiografi kontemporer, perdebatan ini selalu muncul sebagai sebuah proses dialektika dan swa kritik terhadap sejarah sebagai sebuah ilmu.

Sejarah telah hadir sejak awal kehidupan manusia itu sendiri [primum aevum].

Sejarah sebagai suatu obyek pengetahuan bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia. Sejarah telah hadir sejak awal kehidupan manusia itu sendiri [primum aevum].

Namun, kesadaran manusia untuk menggali sejarah dengan memusatkan manusia sebagai objek kajian, baru muncul seiring lahirnya para pemikir di berbagai belahan dunia, seperti Yunani kuno, Romawi, hingga pemikir Islam dari tanah Arab.

Bagi pecinta sejarah, perdebatan klasik yang begitu populer mencuat ke permukaan sebagai pelecut perkembangan sejarah adalah pertanyaan tentang asal mula kehidupan yang diungkapkan oleh beberapa filsuf dari Miletus pada abad ke-7 sebelum Masehi [SM]. Perdebatan ini boleh dikata sebagai salah satu gerbang kesadaran pada hakikat sejarah yang berpusat pada kehidupan manusia.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI [RAD]

Sosok Panglima Besar Jenderal Sudirman pada mural di Jalan Pluit Raya III, Jakarta Utara, Jumat [31/7/2020].

Pada tahap berikutnya, sejarah perang Persia karya Herodotus pada abad ke-5 SM turut memperkuat karya sejarah yang berbasis pada struktur. Melalui karya ini, masa lampau tidak hanya berada dalam kerangka perdebatan antara logos dan mitos belaka, melainkan mulai mengarah pada hal-hal yang lebih mendasar terkait latar belakang, proses, hingga jiwa zaman suatu peristiwa.

Adapula The Peloponnesian War karya Thucydides pada rentang periode yang sama. Karya tentang sejarah perang saudara di Yunani antara wilayah negara-kota, Athena dan Sparta, diulas dengan pendekatan sejarah pragmatis yang bertitik tolak pada kekuatan sumber sejarah.

Dari sini, kita dapat memahami, bahwa sejarah sebagai sebuah ilmu, telah menemukan ruhnya di tengah perbedaan alam pikiran periode Yunani Kuno. Meski bukan menjadi satu-satunya gerbang pembuka, periode ini cukup penting untuk memahami kesadaran manusia terhadap sejarah yang bertitik tolak pada manusia itu sendiri.

Baca juga: Merawat Marwah Demokrasi

Pada masa-masa berikutnya, sejarah selalu hadir untuk memahami situasi masa lampau dengan berbagai sudut pandang. Perkembangannya juga turut melahirkan berbagai pendekatan sejarah dari sisi penulisan mulai dari historiografi Yunani klasik, historiografi barat periode abad pertengahan, hingga historiografi Islam.

Ibnu Khaldun, contohnya, dalam karya magnum opusnya berjudul Muqaddimah, telah memperlakukan sejarah sebagai ilmu pengetahuan, bukan hanya narasi belaka.

Kini, di tengah perkembangan teknologi, eksistensi sejarah sebagai sebuah ilmu pengetahuan seakan menemui suatu realitas baru dalam perkembangannya.

Karya-karya sejarah mulai banyak mendapatkan tempat di berbagai media cetak dan digital. Bahkan, karya sejarah juga diterima banyak masyarakat melalui kanal media sosial seperti Youtube, Instagram, hingga media sosial lainnya.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Para siswa mengunjungi Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta, Kamis [23/8/2018]. Di tempat itu, para siswa bisa mengenal sejarah perjuangan bangsa, terutama dalam dinamika perumusan naskah Proklamasi RI.

Di tengah realitas dan bangkitnya eksistensi sejarah, muncul suatu pertanyaan mendasar, mengapa kita membutuhkan sejarah? Pertanyaan ini layak disematkan mengingat semakin banyaknya karya sejarah yang bermunculan.

Sayangnya, ragam karya sejarah yang bertebaran di ruang publik belum seutuhnya menggunakan metodologi penelitian sejarah, baik dari sisi penelitian maupun penulisan. Akibatnya, kerap terjadi kesalahan dalam penyajian karya sejarah yang diterima masyarakat.

Baca juga: Gus Dur, Humor, dan Demokrasi

Dua sisi

Pertama-tama, untuk menjawab pertanyaan tentang kebermanfaatan sejarah, kita perlu memahami kerangka sejarah sebagai sebuah ilmu. Sejarah sebagai sebuah ilmu memang memiliki keunikan tersendiri.

Selain metodologi penelitian, sejarah memiliki pendekatan dari segi penulisan. Dua sisi tahapan ini tak boleh luput dari karya sejarah, baik penyajian sejarah secara akademik maupun penulisan sejarah populer.

Pertama, dalam tahap penelitian, sejarah memiliki metodologi yang meliputi tahap heuristik, kritik intern dan ekstern [verifikasi], interpretasi, sebelum akhirnya mencapai tahap historiografi atau penulisan sejarah.

Setelah melalui tahap pencarian data dan melakukan kritik sumber sejarah, seorang sejarawan harus mampu melakukan interpretasi secara objektif pada sebuah temuan sejarah.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lukisan penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang, Jawa Tengah, pada 28 Maret 1830, yang dilukis oleh Raden Saleh pada 1857, ikut dipamerkan pada soft opening pameran “Kamar Diponegoro” yang diadakan oleh Museum Sejarah Jakarta di Kota Tua, Jakarta, Senin [12/11/2018]. Pameran ini menyajikan benda-benda peninggalan Pangeran Diponegoro selama menjalani masa pengasingan dari Pemerintah Hindia Belanda, pada April—3 Mei 1830.

Sementara pada tahap penulisan, pendekatan seorang sejarawan sangat mempengaruhi karya sejarah yang dihasilkan. Sebagai contoh, tindakan militer Belanda pada tahun 1947 dan 1948, jika dimaknai dalam konteks historiografi kolonial, maka tindakan militer ini akan dipahami sebagai sebuah aksi polisionil.

Sementara jika peristiwa itu didekati dari historiografi nasional dengan pendekatan Indonesia-sentris, peristiwa itu akan disebut sebagai agresi militer.

Contoh lainnya adalah Perang Diponegoro tahun 1825-1830 atau yang dikenal dengan sebutan Perang Jawa. Jika merujuk pada pendekatan historiografi kolonial, Diponegoro akan dinilai sebagai pemberontak.

Namun, kesimpulan berbeda jika perang itu kita lihat dari sudut pandang historiografi nasional, Diponegoro tentu dianggap sebagai pahlawan karena melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Baca juga: Ramadhan dan Siasat Politik Pemerintah Kolonial

Sudut pandang yang lebih rumit akan ditemukan jika menggunakan paradigma sejarah kedaerahan. Dalam perspektif sejarah lokal, seorang pahlawan bisa dianggap sebagai pengkhianat bagi daerah lain. Kondisi ini cukup rumit jika dipadukan dengan perspektif historiografi nasional.

Misalnya, sosok Arung Palakka, putra mahkota dari kerajaan Bone. Pada tahun 1666, Arung Palakka bekerja sama dengan VOC untuk melakukan perlawanan terhadap kerajaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin.

RENY SRI AYU ARMAN

Banteng Rotterdam adalah satu-satunya atau benteng terakhir peninggalan kerajaan Gowa yang masih utuh. Kawasan ini kini menjadi ruang publik bagi warga kota Makassar. juga menjadi tempat berbagai acara digelar, seperti pada Sabtu-Minggu [26-27/10/2019]

Tujuan perlawanan ini salah satunya adalah untuk membebaskan orang-orang kerajaan Bone yang dipekerjakan di Kerajaan Gowa. Pada tahun 1667, Gowa akhirnya menyerah dan Sultan Hasanuddin menyepakati Perjanjian Bongaya yang berdampak pada lepasnya Bone dari wilayah kekuasaan Gowa.

Dari peristiwa ini, tentu Arung Palakka dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat daerah Bone karena mampu melepaskan diri dari Kerajaan Gowa. Namun, dalam perspektif nasional, Arung Palakka belum dianggap sebagai pahlawan karena bekerja sama dengan VOC.

Dua sisi inilah, metodologi penelitian dan penulisan, yang sangat perlu dipahami sebelum menghasilkan karya sejarah. Tanpa memahami metodologi dan prinsip penulisan, maka karya sejarah berpotensi menimbulkan bias.

Baca juga: Penanggulangan Penyakit dan Manifesto Politik Soekarno

Antara dongeng dan kebenaran

Setelah menengok sejarah dari perkembangan ilmu sejarah, dan sejarah dari perspektif metodologi, dapat dipahami bahwa manusia memerlukan sejarah bukan hanya sebatas kerangka dichtung und wahrheit, antara dongeng atau kebenaran belaka. Sejarah memiliki fungsi lebih dari sekadar itu, yakni sebagai penuntun zaman.

Untuk berhasil mencapai tujuan ini, boleh dikata proses menghadirkan sejarah tidak sederhana. Friedrich Hegel, filsuf dari Jerman, misalnya, membedakan tiga jenis penulisan sejarah, yakni penulisan sejarah orisinal, penulisan sejarah reflektif, dan sejarah filsafati. Ketiga jenis penulisan ini dibalut unsur apriori dan aposteriori, baik dalam konteks filsafat sejarah formal maupun material.

RONY ARIYANTO NUGROHO

Sejumlah mahasiswa S3 Arkeologi Universitas Indonesia mengikuti kuliah lapangan membaca prasasti makam di Museum Prasasti , Jakarta, Rabu [4/12/2019]. Kuliah lapangan dengan bimbingan dosen Lili Suratminto ini untuk mengenal lebih dekat terkait sejarah material batuan yang digunakan, simbol-simbol yang tertera pada prasasti, serta beberapa akronim dalam penulisan yang tertera serta abreviasi-abreviasinya. Dengan materi ini, diharapkan dapat mengajarkan terkait transkripsi penelitian artefak sejarah dan penulisan latar belakang sejarah tersebut.

Dalam penulisan sejarah orisinal, seorang sejarawan perlu menggunakan sumber-sumber sezaman sebagai kekuatan ruh obyektif dalam penulisan sejarah.

Sementara pada penulisan sejarah reflektif, seorang sejarawan perlu mengambil jarak dari temuan masa silam, guna memberi ruang untuk melakukan interpretasi tanpa mengabaikan fakta sejarah. Dalam tahap ini, penulisan sejarah masuk ke tahap ruh subyektif yang belum dapat dikatakan sebagai karya sejarah yang mumpuni.

Guna mencapai penulisan sejarah yang sesuai kaidah penulisan, maka dibutuhkan penulisan sejarah filsafati, yang memandang sejarah dari sudut pandang akal budi, atau mengembalikan sejarah sesuai fakta setelah melalui proses penelitian ilmiah.

Penulisan sejarah tidak dapat serta-merta diubah tanpa adanya tahapan penelitian secara akademik.

Meski pandangan ini menuai beberapa perdebatan, yang jelas, penulisan sejarah perlu melalui rangkaian tahapan penelitian dan penulisan. Dengan demikian, maka penulisan sejarah tidak dapat serta-merta diubah tanpa adanya tahapan penelitian secara akademik.

Baca juga: Kala Bung Karno Dikritik Lewat Coretan Tembok

Selain akal budi, zeitgeist atau jiwa zaman sebuah peristiwa sejarah juga dapat didalami dengan memahami suasana kebatinan tokoh pelaku sejarah.

George Collingwood, filsuf dan sejarawan Inggris, menegaskan bahwa penelitian sejarah tidak hanya berkaitan dengan obyek lahiriah semata, melainkan juga perlu menggali lebih dalam suasana kebatinan dengan cara menghayati kembali [to re-enact] hidup seorang pelaku sejarah. Dengan begitu, tulisan sejarah dapat memiliki ruh dengan menampilkan jiwa zaman yang lebih konkret.

KOMPAS/SAMUEL OKTORA

Kondisi satu dari dua prasasti Curug Dago atau prasasti Raja Siam [Thailand] dalam saung di Kelurahan Dago, Bandung, Kamis [14/3]. Prasasti itu diguratkan oleh Raja Prajadhipok [Rama VII] yang mengunjungi Curug Dago pada 12 Agustus 1929.

Pandangan Collingwood sempat disederhanakan oleh filsuf sejarah dari Kanada, William Herbert Dray. Bagi Dray, penulisan sejarah cukup menampilkan bukti tentang alasan suatu tokoh atau latar belakang peristiwa sejarah terjadi. Alasan post factum ini dinilai cukup untuk menjelaskan peristiwa masa lampau mengingat kemungkinan bias suasana kebatinan saat mewawancarai tokoh sejarah di masa kini [Ankersmit, 1987].

Baca juga: Wiji Thukul, Grafiti, dan Nada Kegelisahan di Tembok Kota

Kebermanfaatan

Metodologi dan pandangan filsuf sejarah inilah yang dapat menjadi modal seorang penulis untuk menghadirkan masa lampau di ruang masa kini. Jika tidak, besar kemungkinan karya sejarah gagal menghadirkan masa lampau sebagai cermin, penuntun, dan pembelajaran di masa kini. Akibatnya, sesat pikir dalam menyimpulkan masa lampau sangat mungkin terjadi.

Salah satu kesalahan membaca sejarah, misalnya, menengok fakta masa lalu dengan perspektif masa kini secara menyeluruh. Hal ini pernah ramai didiskusikan di media sosial saat memahami hukum pidana dan perdata pada era Kerajaan Majapahit.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Struktur bata kuno yang diduga talud atau dinding pada era Kerajaan Majapahit terlihat saat ekskavasi di lokasi Situs Kumitir di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Rabu [30/10/2019]

Jika memahami hukum itu dari sudut pandang kekinian, memang terdapat pemisah antara hukum pidana dan perdata. Namun, di masa itu, belum ada pemisahan yang tegas antara hukum pidana dan perdata. Sebelum menyimpulkan, pemahaman jiwa zaman dalam memaknai fakta sejarah sangat dibutuhkan.

Baca juga: Hukum Pidana Era Majapahit: Dari Menebang Pohon hingga Korupsi Menteri

Di samping perdebatan yang terus bermunculan terkait suatu fakta sejarah, yang jelas, karya sejarah kini benar-benar memiliki ruang untuk terus tumbuh dan eksis di ruang publik. Ruang kebermanfaatan ini terbuka lebar, seperti media massa, media sosial, hingga ranah kebijakan publik, tentunya setelah melakukan kajian sejarah berbasis metodologi.

Pada media massa, misalnya, sejarah kerap kali hadir sebagai cermin bagi bangsa dalam melalui berbagai hambatan. Pada saat berhadapan dengan Covid-19, sejarah berfungsi menjadi pembelajaran tentang pengalaman bangsa ini dalam menghadapi berbagai penyakit menular. Catatan sejarah tentang penanggulangan penyakit kolera pada era Hindia Belanda, hingga penanggulangan SARS periode Reformasi, menjadi catatan tersendiri yang ramai ditulis di media massa.

Saat masyarakat menaruh keraguan pada vaksin, sejarah juga bermanfaat untuk memberikan ruang penjelasan bahwa situasi ini juga pernah terjadi pada era Hindia Belanda, tepatnya saat penyelenggaraan vaksin cacar pada tahun 1800-an awal, dan vaksin kolera pada tahun 1900-an awal. Salah satu cara yang dilakukan pemerintah kolonial saat itu adalah menggunakan pendekatan kultural agar masyarakat bersedia menerima vaksin.

Baca juga: Kisah Vaksin Era Kolonial: Ditolak dan Dihindari

Dalam ranah kebijakan publik, sejarah juga sangat dibutuhkan untuk menerapkan suatu kebijakan. Salah satu contohnya adalah pembangunan jalan tol di Sumatera Barat. Hingga kini, pembangunan tol tersebut masih tersendat karena persoalan pembebasan lahan di tanah adat.

Jika berkaca dari sejarah, pemerintah sebetulnya pernah menerapkan strategi yang cukup baik dalam pemanfaatan lahan pada tanah adat di wilayah Sumatera Barat. Strategi ini diterapkan dalam pelaksanaan proyek transmigrasi bedol desa dari Wonogiri ke Sawahlunto/Sijunjung, atau yang kini telah mekar menjadi Kabupaten Dharmasraya, pada dekade 1970-an.

Saat itu, para ninik mamak dan tokoh adat bertemu langsung dengan pemerintah pusat. Pertemuan ini sekaligus menyiratkan keseriusan pemerintah dalam memanfaatkan sebagian tanah adat dalam proyek transmigrasi. Hasilnya, proyek transmigrasi ini berhasil dilakukan dan hingga kini masyarakat pada desa-desa transmigrasi tetap hidup berdampingan dengan masyarakat setempat.

Jika sebuah kebijakan publik diawali dengan kajian sejarah, tentu kebijakan yang diambil memiliki landasan yang kokoh sebelum diterapkan.

Sayangnya, jika melihat implementasi kebijakan pembangunan di lapangan, belum semua penerapan program pemerintahan dilandasi oleh suatu kajian sejarah, khususnya sejarah lokal. Padahal, kajian sejarah ini penting dilakukan guna meminimalisir konflik yang timbul akibat pembangunan suatu proyek.

Sebagai resiliensi bangsa, sejarah juga tetap perlu mendapat ruang guna merawat memori kolektif.

Pada akhirnya, meski sejarah adalah ilmu yang memanjang dalam waktu dan terbatas dalam ruang [diakronik], atau meluas dalam ruang dan terbatas dengan waktu [sinkronik], kehadirannya dalam alam akal budi bersifat zeitlos, tak terikat waktu.

Sebagai resiliensi bangsa, sejarah juga tetap perlu mendapat ruang guna merawat memori kolektif. Jika tidak, maka kita akan terjebak pada situasi yang sama di alam pikiran yang berbeda, sebagaimana pepatah Perancis, plus ca change, plus c’est la meme chose, semakin berubah, semakin tetap sama. [LITBANG KOMPAS]

Baca juga: Demokrasi, Koperasi, dan Politik Kemakmuran Bung Hatta

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề